"Maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu gini," ucap Leona dengan wajah cemas.
Wanita cantik yang duduk di samping Leona tersenyum sambil menepuk-nepuk lengannya. "Ya ampun, Leon, aku malah seneng kok bisa bantuin kamu. Santai aja, kita ini sahabat," sahutnya. Leona terpaksa meminta Tari menemaninya dalam menghadapi masa sulit ini. Entah mengapa, ia merasa butuh sekali adanya dukungan teman. Leona merasa tak akan sanggup sendiri menghadapi kenyataan yang pasti akan menyakitkan nanti, dan dia tak kuat menanggung perasaannya seorang diri. Sudut bibir Leona terangkat sedikit, merasa bersyukur masih memiliki Tari yang selalu setia mendukungnya, sementara teman-teman lainnya lebih memilih menjauhi. Entah apa alasan mereka, namun memang sejak dulu Leona dikenal sebagai pribadi yang introvert. Dengan perlahan, mobil yang dikemudikan Leona melaju menuju komplek perumahan tempat mertuanya tinggal. Sejujurnya, Leona"Mama merasa nggak sih, sikap Mbak Leona akhir-akhir ini berubah? Dia jarang menghubungi Mama lagi, dan sudah lama nggak transfer uang," gumam Dini dengan nada khawatir. Pembicaraan tentang Leona menggantung menjadi perdebatan yang hangat di antara mereka. Rasa kesal dan kecewa menyeruak, apalagi karena uang bulanan mereka belum juga dikirimkan oleh Denis. "Menurutku, Mah, ini pasti ada kaitannya dengan kedatangan Mbak Saras ke sana. Mungkinkah Mbak Leona mulai curiga dan merasa ada sesuatu yang tidak beres?" Dini mencoba menyusun teka-teki yang mungkin terjadi, raut wajahnya tampak semakin cemas. Dini mulai curiga, menangkap perubahan sikap Leona yang belakangan terasa asing. Biasanya wanita itu hampir setiap hari menghubungi ibunya. Namun kini, tak ada lagi panggilan sayang seolah mereka ibu dan anak kandung. "Entahlah, Mama juga bingung. Mas mu selalu menuruti Saras, permintaannya selalu jadi prio
Sudah hampir seperempat jam mereka berada di sana, namun tak kunjung tampak mobil mertuanya melintas. Bahkan, semakin banyak mobil mewah yang memasuki gapura tersebut. Lama kelamaan, perasaan Leona mulai terasa tak menentu; bulu kuduknya merinding dan rasa herannya semakin mendalam, mengapa tempat itu tak tercantum dalam Maps, atau apakah sang pemilik memang sengaja menyembunyikannya. "Untuk apa Mama Laras dan Dini ke sana?" gumam Leona dalam hati, sambil hanya mengaduk-aduk piring pecel di hadapannya, tanpa berniat menikmatinya, berbeda dengan Tari yang sudah melahap setengah porsinya. Melihat kelakuan aneh sahabatnya itu, Tari merasa khawatir dan akhirnya menyikut lengan Leona, membuatnya tersadar dari lamunannya. "Ayo, buruan makan. Setelah ini kita pergi dari sini," bisik Tari seraya menatap Leona dengan tatapan penuh perhatian. Akhirnya, meskipun dengan terpaksa, Leona menyuapkan beberapa sendok pecel itu ke dalam m
Hari demi hari, keuangan perusahaan terus menurun, dan sebagai pemimpin, Denis harus berpikir keras untuk mengelola agar perusahaan tetap berjalan. Dengan semangat yang tak kenal lelah, ia mencari investor yang mau menanamkan modal. "Leo, apa sudah ada agenda pertemuan kita dengan perusahaan Dirgantara?" tanya Denis dengan ekspresi tegang dan tatapan kesal. "Belum, Pak. Pak Angga belum mengabarkan lagi," jawab asistennya dengan ragu. Denis berdecak kesal, emosinya terlihat teramat membuncah. "Kenapa juga harus pemuda itu yang menangani ini? Kerjanya lambat, hingga saat ini belum ada tanda-tanda dana investasi dari mereka!" keluhnya, melampiaskan kekesalan akibat kehilangan surat pengalihan perusahaan. "Kamu hubungi dia, tanya kapan kepastiannya," perintah Denis dengan suara yang bergetar akibat emosi yang meluap. Leo mengangguk, menahan perasaan terjepit di antara beban pekerjaan
Untung saja, kediaman mertuanya tidak memiliki CCTV. Hanya ada satu pembantu yang tinggal di rumah itu, sementara yang satu lagi berangkat pagi dan pulang siang hari. Leona merasa berdebar ketika melangkah masuk ke rumah mertuanya; sepanjang dua tahun menikah, ia jarang mengunjungi tempat ini dan hanya beberapa kali menginap. Biasanya, mertuanya lebih sering menginap di kediaman Leona. Perlahan, Leona menapaki anak tangga, menuju kamar mertuanya di lantai dua. Dengan langkah hati-hati dan waspada, ia membuka pintu kamar itu. "Syukurlah, nggak dikunci," gumam Leona lega, berharap bisa menemukan sesuatu disana. Pandangannya mengedar kesana kemari, ada yang bilang jika seseorang bermain ilmu hitam, maka ada barang mistis yang di simpannya. Langkah pertama Leona langsung tertuju kearah lemari, sayang pintu lemari tekrunci rapat. "Astaghfirullah, kenapa sih di kunci
Air mata Leona seakan ingin terus mengalir tanpa henti, membayangi kenangan indah dua tahun silam, dan sekaligus melukai hatinya lebih dalam lagi. Mengeyam rasa sakit ketika menyadari bahwa kasih sayang dan perhatian sang suami semuanya hanyalah kepura-puraan semata, demi harta sejati. "Tumpahkanlah semua rasa sakitmu, Leon. Menangislah jika itu bisa membuat kamu merasa lebih baik. Keluarkan segala uneg-uneg, kekecewaan, dan apa pun yang menghantui hati perasaanmu. Setelah semua ini usai, bangkitlah sekuatmu. Jadilah wanita tangguh, rebut kembali apa yang seharusnya menjadi hak kamu," nasihat Tari dengan nada lembut. Tak pelak lagi, ucapan Tari kembali menggiring Leona menuju deru tangis yang pecah semakin memilukan, padahal wanita itu baru saja berusaha untuk mengendalikan diri dari kesedihan yang menyiksa. Dalam hati Leona merutuki kebodohannya sendiri, mencintai laki-laki s
Suara Adzan subuh menggema, menghantarkan deraian syahdu meski sepanjang malam Leona sulit terlelap. Namun, ia tetap berusaha bangkit menuju sajadah, untuk menuaikan shalatnya. Ketiadaan Denis di rumah itu menciptakan kedamaian untuknya, menyelimuti Leona dalam perpaduan keteduhan dan kesendirian. Dulu, saat Denis masih ada di sisinya, Leona bahkan jarang menunaikan kewajiban nya sebagai umat muslim. Shalat bagaikan asing dalam rutinitas mereka. Terpengaruh Denis yang memang jarang sekali meresapi panggilan Illahi. Sinar matahari yang begitu terik seakan menemani Leona, memberikan keberanian dan kesabaran untuknya. Semalaman suntuk, ia luapkan patah hatinya, mengumpulkan kekuatan untuk membalas akting Denis yang mempermainkan perasaannya. Leona meraih teleponnya, dan dengan malas mencoba menghubungi Denis. Meski saat ini baru pukul enam pagi, ia penasaran apakah suaminya menjawab panggilan i
"Bik, kamu bener nggak tahu kemarin Leona ngapain kesini?" tanya Laras. Sepanjang malam ia sulit terlelap, mengingat Art-nya memberi tau jika Leona kemarin berkunjung. Untung saja ia sedang tidak di rumah, jika Leona datang sewaktu dirinya masih ada dirumah, sudah pasti wanita itu akan merasa curiga. Asih menggeleng. "Nggak tau Nyah, non Leona hanya mencari barang den Denis, tapi sepertinya tidak ada, soalnya keluar tanpa membawa apapun," jelasnya. Meski sudah berulang kali Asih menjelaskan, etap saja Laras merasa curiga, sebab Leona jarang sekali berkunjung tanpa Denis. Mekipun ia akan datang, biasanya dia langsung pergi setelah tau dirinya tidak di rumah. "Udah deh Mah, biasa aja, nggak mungkin juga dia mau ngapa-ngapain," sahut Dini yang tengah sibuk menyuapi anaknya. Laras mengerutkan kening, rasa bingung menghantui pikirannya
“Udah dua tahun menikah, masa belum punya anak juga?” Leona langsung terdiam mendengar ujaran salah satu temannya. Dia selalu merasa tidak nyaman jika teman-temannya mulai membicarakan soal anak. “Masa kamu kalah sama Nina sih? Dia baru nikah bulan lalu, sekarang udah hamil loh.” “Bener. Bahkan Alia udah hamil anak ketiga. Kamu kapan, Leona?” Leona menelan ludah. Ia menggigit bagian dalam pipinya sembari berpikir bagaimana cara keluar dari pembicaraan yang tak ia sukai ini. “Aku—” “Denis kurang memuaskan di ranjang ya? Atau jangan-jangan, kamu mandul?”Deg! Jantung Leona seolah mencelus mendengar pertanyaan yang lebih seperti tuduhan itu. “Mending kamu sama Denis periksa ke dokter aja deh, Na.” “Iya, betul. Soalnya kalau sama-sama subur, harusnya cepat dapat momongan.” Telinga Leona seakan berdenging mendengar suara teman-temannya yang semakin lama semakin tumpang tindih. Memberinya saran agar cepat mendapatkan anak. Tapi, bagaimana bisa hamil jika suaminya sendiri tak meng