Untung saja, kediaman mertuanya tidak memiliki CCTV. Hanya ada satu pembantu yang tinggal di rumah itu, sementara yang satu lagi berangkat pagi dan pulang siang hari. Leona merasa berdebar ketika melangkah masuk ke rumah mertuanya; sepanjang dua tahun menikah, ia jarang mengunjungi tempat ini dan hanya beberapa kali menginap. Biasanya, mertuanya lebih sering menginap di kediaman Leona.
Perlahan, Leona menapaki anak tangga, menuju kamar mertuanya di lantai dua. Dengan langkah hati-hati dan waspada, ia membuka pintu kamar itu. "Syukurlah, nggak dikunci," gumam Leona lega, berharap bisa menemukan sesuatu disana. Pandangannya mengedar kesana kemari, ada yang bilang jika seseorang bermain ilmu hitam, maka ada barang mistis yang di simpannya. Langkah pertama Leona langsung tertuju kearah lemari, sayang pintu lemari tekrunci rapat. "Astaghfirullah, kenapa sih di kunciAir mata Leona seakan ingin terus mengalir tanpa henti, membayangi kenangan indah dua tahun silam, dan sekaligus melukai hatinya lebih dalam lagi. Mengeyam rasa sakit ketika menyadari bahwa kasih sayang dan perhatian sang suami semuanya hanyalah kepura-puraan semata, demi harta sejati. "Tumpahkanlah semua rasa sakitmu, Leon. Menangislah jika itu bisa membuat kamu merasa lebih baik. Keluarkan segala uneg-uneg, kekecewaan, dan apa pun yang menghantui hati perasaanmu. Setelah semua ini usai, bangkitlah sekuatmu. Jadilah wanita tangguh, rebut kembali apa yang seharusnya menjadi hak kamu," nasihat Tari dengan nada lembut. Tak pelak lagi, ucapan Tari kembali menggiring Leona menuju deru tangis yang pecah semakin memilukan, padahal wanita itu baru saja berusaha untuk mengendalikan diri dari kesedihan yang menyiksa. Dalam hati Leona merutuki kebodohannya sendiri, mencintai laki-laki s
Suara Adzan subuh menggema, menghantarkan deraian syahdu meski sepanjang malam Leona sulit terlelap. Namun, ia tetap berusaha bangkit menuju sajadah, untuk menuaikan shalatnya. Ketiadaan Denis di rumah itu menciptakan kedamaian untuknya, menyelimuti Leona dalam perpaduan keteduhan dan kesendirian. Dulu, saat Denis masih ada di sisinya, Leona bahkan jarang menunaikan kewajiban nya sebagai umat muslim. Shalat bagaikan asing dalam rutinitas mereka. Terpengaruh Denis yang memang jarang sekali meresapi panggilan Illahi. Sinar matahari yang begitu terik seakan menemani Leona, memberikan keberanian dan kesabaran untuknya. Semalaman suntuk, ia luapkan patah hatinya, mengumpulkan kekuatan untuk membalas akting Denis yang mempermainkan perasaannya. Leona meraih teleponnya, dan dengan malas mencoba menghubungi Denis. Meski saat ini baru pukul enam pagi, ia penasaran apakah suaminya menjawab panggilan i
"Bik, kamu bener nggak tahu kemarin Leona ngapain kesini?" tanya Laras. Sepanjang malam ia sulit terlelap, mengingat Art-nya memberi tau jika Leona kemarin berkunjung. Untung saja ia sedang tidak di rumah, jika Leona datang sewaktu dirinya masih ada dirumah, sudah pasti wanita itu akan merasa curiga. Asih menggeleng. "Nggak tau Nyah, non Leona hanya mencari barang den Denis, tapi sepertinya tidak ada, soalnya keluar tanpa membawa apapun," jelasnya. Meski sudah berulang kali Asih menjelaskan, etap saja Laras merasa curiga, sebab Leona jarang sekali berkunjung tanpa Denis. Mekipun ia akan datang, biasanya dia langsung pergi setelah tau dirinya tidak di rumah. "Udah deh Mah, biasa aja, nggak mungkin juga dia mau ngapa-ngapain," sahut Dini yang tengah sibuk menyuapi anaknya. Laras mengerutkan kening, rasa bingung menghantui pikirannya
"Kamu dipecat," ucap Leona tegas, seolah tak ada belas kasihan di matanya. Mendengar hal tersebut, Sulis terbelalak, jantungnya nyaris berhenti berdetak karena kekagetan. la menatap Leona yang masih menatapnya datar. "Nyah, maafkan saya Nyah," Sulis merintih, tangannya gemetar menahan ketakutan. "Sungguh saya hanya ingin membantu Tuan. Tuan Denis bilang dia sangat mencintai Nyonya, dia meminta saya mengawasi Nyonya karena takut ada yang terjadi pada Nyonya." Sulis merangkak mendekati Leona, wanita setengah baya itu tampak begitu pilu dan putus asa. Baginya, kehilangan pekerjaan ini adalah suatu bencana. Leona masih menatap Sulis dengan mata yang dingin dan tanpa empati. Sebenarnya, ia bukan orang yang tega, namun pengalaman pahit dengan Denis membuatnya berubah. Rasa percaya yang ia berikan pada mereka hanya diinjak-injak, membuat jiwanya hancur berkeping-keping. Kini, hanya amarah dan rasa kecewa yang menguasai hatinya.
Pukul dua siang, Denis dan Sarah tiba di kantor notaris dan pengacara yang akan menyiapkan surat pemindahan kekuasaan. Pasangan suami istri itu terlihat bersemangat dan saling bergandengan tangan dengan mesra, seolah tak sabar ingin mengakhiri sandiwara yang sudah berlangsung cukup lama. Sementara itu, Miko dan Mayra ditinggalkan di rumah. "Loh, bukankah itu Pak Denis, CEO Wiguna Group, suami Leona?" tebak seorang pria tampan yang kebetulan berada di lokasi yang sama. Dia baru saja menyelesaikan urusannya dan melirik ke arah Denis dan Sarah dengan heran. Pria itu baru saja selesai bertemu klien, ia berniat kembali ke kantor. Namun, siapa sangka dia akan mendapati pemandangan mengejutkan seperti ini. "Siapa wanita di sampingnya itu? Jelas bukan Leona." Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, mengingat pria tersebut sudah beristri. Senyuman menghiasi wajah mereka
"Sayang, apa kabar nak?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu memandangi wajah Leona lekat-lekat, berusaha menunjukkan perhatiannya sebagai ibu. Namun, Leona tahu bahwa semua itu hanyalah sandiwara semata. "Baik, Mah. Mama kok nggak bilang mau ke sini?" Leona menjawab sambil tersenyum kecut, padahal dalam hati ia ingin sekali mengutarakan betapa sakitnya perasaannya. la ingin mempertanyakan segala kebohongan yang pernah mereka lakukan dan melampiaskan rasa kecewanya yang menumpuk. Laras tersenyum lebar, senyum yang mengandung berbagai arti tersembunyi. "Kejutan, Nak. Bibik bilang kemarin kamu kerumah, tapi kemarin Mama sampai rumah sudah malam. Jadi, Mama memutuskan untuk datang ke sini sore ini. Kamu kemarin ngapain?" Pertanyaan tersebut terdengar biasa, namun Leona yakin ada kecurigaan di balik kata-kata Laras. "Iya, Mah, kemarin Leona cari ja
Leona terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Sepanjang hidupnya, tak pernah ia mengalami mimpi seburuk ini. Dalam kegelapan, Leona menyalakan lampu dan meneguk segelas air putih. Meski hanyalah mimpi, bayangan mengerikannya masih melekat erat dalam benaknya. "Astagfirullah..." Leona menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantung yang berdebar kencang. Pikirannya berkecamuk, mencari arti di balik mimpi tentang Tuti yang menyeramkan itu. Wanita itu merintih kesakitan, wajahnya tertutup oleh darah segar yang terus mengalir dari dahinya. Permintaan tolong yang berulang kali terdengar, membuat Leona merasa ngeri. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku bermimpi seperti itu?" gumam Leona dengan gelisah. Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari, baru dua jam ia terlelap, namun kini ia terjaga. Leona menyesali mimpinya yang menakutkan tersebut, berharap itu bukan pertanda
"Akkkhhhhh..." Suara teriakan itu begitu menggelegar, sampai-sampai membangunkan seluruh penghuni rumah besar tersebut. Leona yang sedang menunaikan salat malam bergegas keluar, wanita itu menemukan ibu mertua dan adik iparnya berpelukan ketakutan di depan pintu kamar mereka. Tak lama, ketiga asisten rumah tangga juga berdatangan. "Mama, Dini, kenapa?" tanya Leona dengan rasa heran, sangat jelas bahwa sebelumnya keduanya pergi ke bawah. Namun, kini malah suara teriakan menggema di tengah malam yang sunyi ini. "Nyah, ada apa?" ekspresi bingung tergambar di wajah para ART, pastinya mereka langsung berlari ke atas begitu mendengar suara teriakan tersebut. "Ha-hantu.." jelas Dini dengan suara terbata, mencoba menahan rasa takut yang menggebu. Sementara itu, suara tangisan Arya terdengar sayup-sayup dari dalam kamar. Barangkali, ia terkejut mendengar teriakan
Di sinilah Ferdy berada di ruang UGD. Pria tampan itu tengah di periksa dokter di dalam, dan setelah beberapa saat menunggu akhirnya sang dokter keluar juga.Leona menghampiri dokter itu lebih dulu dan bertanya pada sang dokter bagaimana keadaan suaminya. Tari dan Rendy mengikuti Leona dari belakang."Dok gimana keadaan suami saya" tanya Leona dengan wajah cemasnya.Dokter itu tersenyum dan menjawab pertanyaan Leona."Ibu tenang saja suami ibu tidak apa-apa hanya saja dia kekurangan asupan makanan dan membuat tubuhnya menjadi tak bertenaga. Apa sebelumnya suami ibu sering muntah" tanya sang dokter di akhir kalimat."Iya dok sejak saya hamil dia sering muntah di pagi hari dan suami saya juga gak nafsu makan dok" jawab Leona."Nah di situ kendalanya buk, suami ibu ini tengah mengalami yang namanya morning sikcnees setiap pagi atau nama lainnya sindrom couvade pada calon ayahnya, ini memang biasa terjadi buk di setiap pasangan yang
Dua bulan kemudianPagi-pagi sekali suara muntahan pria tampan memenuhi kamar mandi, ia tengah memuntahkan isi perutnya yang sama sekali tak mengeluarkan apa-apa yang keluar hanyalah cairan bening dan kental. Siapa lagi kalau bukan Ferdy ya Ferdy tengah mengalami morning sickness atau bisa di sebut sindrom couvade, morning sickness seharusnya Leona yang mengalami kini berbanding balik Ferdy lah yang mengalaminya, dua Minggu sudah Ferdy tak masuk kerja di karnakan tubuhnya yang tak bertenaga dan nafsu makan pun berkurang.Ya Leona tengah hamil anak pertamanya, dan morning sickness itu Ferdy yang mengalami bukan Leona, awalnya memang baik-baik saja tetapi saat kandungan Leona memasuki 2 Minggu mual muntah selalu menghampiri Ferdy tiap pagi. Leona terkadang merasa khawatir akan kondisi Ferdy yang semakin lama semakin lemas tak bertenaga Leona pernah menyuruhnya untuk pergi ke rumah sakit agar di berikan beberapa vitamin atau semacam obat agar Ferdy bisa bertenaga lagi
Ferdy mengemudi mobilnya dengan kecepatan sedang sembari tangannya mengelus puncak kepala sang istri, senyuman Ferdy tak pernah luntur sejak tadi pria tampan benar-benar sangat bahagia setelah dirinya menikahi wanita yang amat ia cintai, sebelum pulang. Leona meminta Ferdy mengantarkan dirinya ke makam sang ayah dan ibunya, wanita cantik itu merindukan orang tuanya, Ferdy dengan cepat mengiyakan ucapan sang istri.Sesampainya di pemakam, Ferdy dan Leona sama-sama turun dari mobil. Ferdy menggandeng tangan Leona menuju makam ayahnya yang bersebelahan dengan makam ibunya."Assalamualaikum Pah Mah "ucap Leona dan Ferdy yang saat ini sudah berada di tengah makam orang tuanya."Pah Mah, lihatlah Leona sekarang gak sendiri lagi. Leona udah ada yang jagain" ucap Leona pertama kali."Sekarang Papa sama Mama jangan sedih lagi liat Leona dari atas sana, Leona sekarang udah bahagia seperti yang pernah ayah bilang" ucap Leona dengan suara serak, Leona berusah
Tangan lebar nan kasar itu kini berada di bukit kembar Leona, Ferdy merasakan bukit Leona yang masih terasa padat dan berisi, dan perlahan tapi pasti Ferdy meremas bukit kembar Leona dengan lembut hingga membuat Leona sedikit melenguh di sela-sela lumatan bibir mereka. Setelah di rasa Leona kehabisan patokan oksigen, barulah Ferdy melepaskan tautan bibirnya dari bibir Leona. Leona menghirup udara sebanyak-banyaknya seakan udara di kamar mandi tidak cukup untuk dirinya.Ferdy belum menghentikan aksinya, kini kepalanya berada di ceruk leher sang istri dan kembali membuat tanda kepemilikan di sana, padahal tanda semalam belum hilang dan sekarang Ferdy memberikannya lagi.Leona menutup matanya merasakan Ferdy yang menghisap lehernya sedikit kuat dan itu membuat Leona meleguh karnanya apa lagi di tambah sensasi yang di berikan Ferdy yaitu meremas salah satu bukit kembar Leona."Ah Mas hentikan sudah cukup gumam Leona sambil menahan sesuatu yang bergej
Leona melebarkan matanya melihat pusaka Ferdy yang besar dan sedikit panjang.Leona meringis sendiri dalam hatinya. Apakah muat punya Ferdy masuk ke goa kenikmatannya, ah rasanya pasti menyakitkan tapi enak batin Leona.Perlahan Ferdy memposisikan tubuhnya di tengah-tengah paha Leona, "Kamu siap sayang?" tanya Ferdy.Leona mengangguk sebagai jawaban.Melihat anggukan sang istri. Pria tampan itu mulai meluruskan posisinya, dan perlahan tapi pasti pusaka yang sudah berdiri tegak itu mulai memasuki goa surganya."Gak usah di tutup matanya, ga usah malu. Teriak aja sayang, mendesah aja yah gak bakalan ada yang dengar kamar ini kedap suara kamu bisa teriak sekerasnya" ucap Ferdy.Sebelum melakukannya lagi Ferdy melumat bibir Leona, ia juga mulai memasukkan Pusakanya di goa kenikmatan istrinya kali ini Ferdy tidak pelan-pelan lagi, melainkan sekaligus sebab dirinya sudah penuhi oleh nafsu yang tertahan."Aahhh Mas enak banget"ucap
Ragu-ragu Leona mengangguk kecil, melihat anggukan sang istri. Ferdy mendekati Leona dan menyuruh istrinya itu membalikkan tubuh.Leona berbalik dengan wajahnya menghadap cermin wastafel sembari memandang Ferdy yang mulai membuka perlahan resleting gaun nya.Jantung Leona saat ini tidak sedang baik-baik saja, ia merasakan detak jantung yang begitu cepat serta keringat dingin di telapak tangannya, Leona benar-benar sangat gugup, apa lagi saat melihat Ferdy yang sudah melepaskan resleting gaun dan menatap punggungnya yang putih bersih tanpa noda."Putih banget kulit kamu sayang" ucap Ferdy pelan.Leona tersenyum malu mendengar perkataan sang suami.Ferdy mulai membuka gaun yang tak berlengan itu. Cara Ferdy membukanya yaitu dengan menurunkan gaun tersebut ke bawah tetapi sebelum melakukannya Leona menahan tangan Ferdy agar tak meneruskan membuka gaun tersebut."Kenapa sayang?" tanya Ferdy yang bingung."Kamu mau ngapain" tanya
Setelah ijab qobul disebutkan oleh Ferdy para tamu pun memberikan selamat pada kedua mempelai, kini Ferdy dan Leona berdiri di pelaminan, beberapa tamu masih ada yang belum memberikan selamat dan mereka juga menyempatkan diri menyalami Ferdy dan Leona lalu mengucapkan kata samawa pada kedua mempelai.Dan sebagian tamu juga ada yang sudah pulang dan ada yang masih betah di acara tersebut.Pak Anwar pun mendekati pengantin baru itu, " Selamat yah nak atas pernikahan kalian, bapak berharap kalian bahagia hingga maut memisahkan, Pak Ferdy saya titipkan nak Leona yah, sayangi dia" Ucap Pak Anwar sembari menepuk pundak Ferdy kemudian menyalami mereka berdua.Tari dan Rendy juga tak lupa memberikan selamat untuk Ferdy dan Leona, mereka berdua pun segera menghampiri sahabatnya itu."Selamat yah Leona sekarang kamu udah jadi istri Ferdy. Semoga pernikahan kalian samawa sampai kakek nenek" Ucap Tari pada Leona, tangan mereka saling bertautan di udara.
Satu bulan kemudian.......Dan satu minggu penuh Ferdy dan Leona habiskan untuk persiapan acara pernikahannya, dari fitting baju pengantin sampai dekorasi ballroom hotel yang mereka sewa satu minggu yang lalu.Dan hari itu pun tiba. Ferdy yang ingin menikahi Leona setelah perjuangan panjang yang ia lewati. Semua kesalah pahaman yang pernah singgah di sela-sela hubungannya, dan drama lainnya semua ia lewati. Dan akhirnya semua telah selesai.Semenjak kembalinya Leona di sisi Ferdy, lelaki tampan itu selalu tersenyum dan tampak sekali kebahagiaan di wajahnya sebab Leona yang selalu membuat Fedry tersenyum di saat-saat suka dukanya.Dan disinilah Leona sekarang tengah memandang baju pengantin dan di temani Tari ,sedari tadi ia menatap wajahnya di cermin, di saat hari bahagianya kedua orang tuanya sudah tidak ada jujur Leona begitu sangat merindukan kedua orang tuanya. Andai mereka masih hidup pasti ibu dan ayah Leona sangat bahagia anaknya menikah de
Setelah meninggalkan bandara, Ferdy berjalan dengan langkah berat menuju rumahnya. Langit senja mulai meredup, menambah suasana kelam yang menyelimuti hatinya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Leona, setiap tawa, tangis, dan kebahagiaan yang pernah mereka bagi.Sesampainya di rumah, Ferdy merasa hampa. Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang foto Leona yang selalu ada di meja kecil di samping tempat tidur. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya."Saat kamu pergi, Leona, aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku. Tapi aku tahu, kamu memilih jalan ini untuk kebaikan kita berdua. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari, takdir akan mempertemukan kita kembali," gumam Ferdy dengan suara bergetar.Beberapa hari berlalu, dan Ferdy mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Namun, hatinya tetap terasa kosong. Ia terus merindukan Leona, meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya di dep