Hari demi hari, keuangan perusahaan terus menurun, dan sebagai pemimpin, Denis harus berpikir keras untuk mengelola agar perusahaan tetap berjalan. Dengan semangat yang tak kenal lelah, ia mencari investor yang mau menanamkan modal.
"Leo, apa sudah ada agenda pertemuan kita dengan perusahaan Dirgantara?" tanya Denis dengan ekspresi tegang dan tatapan kesal. "Belum, Pak. Pak Angga belum mengabarkan lagi," jawab asistennya dengan ragu. Denis berdecak kesal, emosinya terlihat teramat membuncah. "Kenapa juga harus pemuda itu yang menangani ini? Kerjanya lambat, hingga saat ini belum ada tanda-tanda dana investasi dari mereka!" keluhnya, melampiaskan kekesalan akibat kehilangan surat pengalihan perusahaan. "Kamu hubungi dia, tanya kapan kepastiannya," perintah Denis dengan suara yang bergetar akibat emosi yang meluap. Leo mengangguk, menahan perasaan terjepit di antara beban pekerjaanUntung saja, kediaman mertuanya tidak memiliki CCTV. Hanya ada satu pembantu yang tinggal di rumah itu, sementara yang satu lagi berangkat pagi dan pulang siang hari. Leona merasa berdebar ketika melangkah masuk ke rumah mertuanya; sepanjang dua tahun menikah, ia jarang mengunjungi tempat ini dan hanya beberapa kali menginap. Biasanya, mertuanya lebih sering menginap di kediaman Leona. Perlahan, Leona menapaki anak tangga, menuju kamar mertuanya di lantai dua. Dengan langkah hati-hati dan waspada, ia membuka pintu kamar itu. "Syukurlah, nggak dikunci," gumam Leona lega, berharap bisa menemukan sesuatu disana. Pandangannya mengedar kesana kemari, ada yang bilang jika seseorang bermain ilmu hitam, maka ada barang mistis yang di simpannya. Langkah pertama Leona langsung tertuju kearah lemari, sayang pintu lemari tekrunci rapat. "Astaghfirullah, kenapa sih di kunci
Air mata Leona seakan ingin terus mengalir tanpa henti, membayangi kenangan indah dua tahun silam, dan sekaligus melukai hatinya lebih dalam lagi. Mengeyam rasa sakit ketika menyadari bahwa kasih sayang dan perhatian sang suami semuanya hanyalah kepura-puraan semata, demi harta sejati. "Tumpahkanlah semua rasa sakitmu, Leon. Menangislah jika itu bisa membuat kamu merasa lebih baik. Keluarkan segala uneg-uneg, kekecewaan, dan apa pun yang menghantui hati perasaanmu. Setelah semua ini usai, bangkitlah sekuatmu. Jadilah wanita tangguh, rebut kembali apa yang seharusnya menjadi hak kamu," nasihat Tari dengan nada lembut. Tak pelak lagi, ucapan Tari kembali menggiring Leona menuju deru tangis yang pecah semakin memilukan, padahal wanita itu baru saja berusaha untuk mengendalikan diri dari kesedihan yang menyiksa. Dalam hati Leona merutuki kebodohannya sendiri, mencintai laki-laki s
Suara Adzan subuh menggema, menghantarkan deraian syahdu meski sepanjang malam Leona sulit terlelap. Namun, ia tetap berusaha bangkit menuju sajadah, untuk menuaikan shalatnya. Ketiadaan Denis di rumah itu menciptakan kedamaian untuknya, menyelimuti Leona dalam perpaduan keteduhan dan kesendirian. Dulu, saat Denis masih ada di sisinya, Leona bahkan jarang menunaikan kewajiban nya sebagai umat muslim. Shalat bagaikan asing dalam rutinitas mereka. Terpengaruh Denis yang memang jarang sekali meresapi panggilan Illahi. Sinar matahari yang begitu terik seakan menemani Leona, memberikan keberanian dan kesabaran untuknya. Semalaman suntuk, ia luapkan patah hatinya, mengumpulkan kekuatan untuk membalas akting Denis yang mempermainkan perasaannya. Leona meraih teleponnya, dan dengan malas mencoba menghubungi Denis. Meski saat ini baru pukul enam pagi, ia penasaran apakah suaminya menjawab panggilan i
"Bik, kamu bener nggak tahu kemarin Leona ngapain kesini?" tanya Laras. Sepanjang malam ia sulit terlelap, mengingat Art-nya memberi tau jika Leona kemarin berkunjung. Untung saja ia sedang tidak di rumah, jika Leona datang sewaktu dirinya masih ada dirumah, sudah pasti wanita itu akan merasa curiga. Asih menggeleng. "Nggak tau Nyah, non Leona hanya mencari barang den Denis, tapi sepertinya tidak ada, soalnya keluar tanpa membawa apapun," jelasnya. Meski sudah berulang kali Asih menjelaskan, etap saja Laras merasa curiga, sebab Leona jarang sekali berkunjung tanpa Denis. Mekipun ia akan datang, biasanya dia langsung pergi setelah tau dirinya tidak di rumah. "Udah deh Mah, biasa aja, nggak mungkin juga dia mau ngapa-ngapain," sahut Dini yang tengah sibuk menyuapi anaknya. Laras mengerutkan kening, rasa bingung menghantui pikirannya
“Udah dua tahun menikah, masa belum punya anak juga?” Leona langsung terdiam mendengar ujaran salah satu temannya. Dia selalu merasa tidak nyaman jika teman-temannya mulai membicarakan soal anak. “Masa kamu kalah sama Nina sih? Dia baru nikah bulan lalu, sekarang udah hamil loh.” “Bener. Bahkan Alia udah hamil anak ketiga. Kamu kapan, Leona?” Leona menelan ludah. Ia menggigit bagian dalam pipinya sembari berpikir bagaimana cara keluar dari pembicaraan yang tak ia sukai ini. “Aku—” “Denis kurang memuaskan di ranjang ya? Atau jangan-jangan, kamu mandul?”Deg! Jantung Leona seolah mencelus mendengar pertanyaan yang lebih seperti tuduhan itu. “Mending kamu sama Denis periksa ke dokter aja deh, Na.” “Iya, betul. Soalnya kalau sama-sama subur, harusnya cepat dapat momongan.” Telinga Leona seakan berdenging mendengar suara teman-temannya yang semakin lama semakin tumpang tindih. Memberinya saran agar cepat mendapatkan anak. Tapi, bagaimana bisa hamil jika suaminya sendiri tak meng
Leona termenung, merasa begitu hampa setelah suaminya pergi. Andai saja dia sudah memiliki anak, mungkin hidupnya tidak akan sesepi ini. Masih ada yang menemani dan menghiburnya meski Denis tidak ada."Non, sarapan," ucap Tuti, salah satu ART yang sudah bekerja di rumah Leona sedari ia duduk di bangku SMP, sedangkan yang lainnya baru dua tahun bekerja di rumah itu.Denting sendok beradu dengan piringlah yang selalu menemani sarapan maupun makan siang dan malam Leona. Hampir satu tahun terakhir ini dia merasakan kesepian, sebab Denis lebih sering melakukan perjalanan bisnis."Kenapa Non Leon nggak ikut Tuan?" Tuti menatap iba anak majikannya. "Takut ganggu Mas Denis, Mbok," jawab Leona lesu. Ia memang sangat ingin ikut, tapi Denis selalu melarangnya.Tuti tampak mengernyit. Leona mengerti. Pasti wanita paruh baya itu merasa aneh, sebab biasanya suami akan tenang jika ada istri di sampingnya. Tapi Denis tidak pernah mau membawanya dalam perjalanan bisnis, entah kenapa."Nyah, kamarnya
Leona meninggalkan kediaman mertuanya dengan perasaan kecewa. Ia memutuskan mampir ke kafe untuk membunuh waktu. Usai memesan beberapa menu, Leona mengeluarkan ponselnya, tanpa sengaja kartu nama terjatuh ke lantai. Leona mengambilnya, sejenak ia menimbang-nimbang untuk menyimpan nomor ponsel laki-laki itu."Simpen aja kali ya, barangkali butuh?" gumannya bimbang. "Tapi kalau mas Denis tahu gimana? Dia kan pencemburu akut."Leona hanya memutar-mutar kartu nama itu, hingga akhirnya dia memutuskan menyimpan nomor itu dengan nama perempuan.Leona membuka kolom obrolannya dengan adik iparnya. [Dini, kalian lagi pergi ya? Tadi mbak ke rumah, tapi kalian nggak ada.]Sayang sekali pesan yang Leona kirimkan pada Dini hanya mendapat centang satu. "Mereka kemana sih? Tumben nggak ajak aku kalau ada acara keluarga?" gerutu Leona.Kelopak mata Leona menyipit mendapati panggilan masuk dari Tari sahabatnya, tanpa menunggu lama wanita itu segera menjawabnya. "Halo Tar, tumben kamu hubungin aku?
Pagi esok harinya, Leona bangun dengan semangat yang membara, sebab sore nanti Denis akan kembali dari Malang. Selama beberapa hari ini juga Leona berusaha membuang jauh pikiran-pikiran jelek yang sempat mengganggunya.Dengan sigap Leona membersihkan diri. Semalam ia sudah meminta Tuti mengajarinya memasak. Denis sangat suka pindang baung segar, niat hati ia akan membuatnya sendiri untuk menyenangkan suaminya.Suara derap langkah menuruni anak tangga mencuri perhatian Tomy serta Sulis yang tengah berbincang-bincang di ruang tengah, mereka memperhatikan Leona yang pagi ini terlihat sumringah."Pagi Nyah," sapa keduanya.Leona mengangguk, wanita itu tersenyum dan menghampiri Tuti di dapur."Pagi non, sudah cantik saja," puji Tuti."Mbok bisa aja, sudah siap semua bahan-bahannya mbok?" Pandangan Leona menilik kesana kemari, ia memperhatikan segala macam bahan masakan yang ada diatas meja dapur."Sudah, pagi-pagi sekali mbok ke pasar untuk mencari ikan Baung," ujar Tuti seraya mengangkat