"Siapa?" tanya temanku.
"Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam. "Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya. Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya. Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya. "Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya. Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya. "Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil. "Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli. "Tadi pacar kamu? Harusnya kamu tidak mengajak anakku untuk berkencan, dia masih kecil dan polos. Apa jadinya nanti kalau dia ikut-ikutan pacaran gara-gara kamu!" ujar pak Yogi. "Pak...." Belum sempat aku berucap, pak Yogi sudah memotongnya. "Lagian kamu harusnya cari pacar yang dewasa, kulihat lelaki tadi masih terlalu muda untuk menikah. Bagaimana kalau nanti kalian ada masalah dan tidak bisa menyelesaikan karena sama-sama emosi dan tidak ada yang mengalah?" "Bapak lagi patah hati?" tebakku, karena dari tadi pak Yogi tidak berhenti mengomel. "Hah! maksudnya gimana?" "Bapak dari tadi marah-marah terus, padahal saya nggak merasa punya salah sama bapak. Lagian itu tadi temen semasa saya sekolah, pak. Dia juga sudah punya istri dan anak, nggak mungkin saya pacaran sama dia," jelasku. Entah mengapa, aku melihat raut pak Yogi berubah cerah. Dasar bos nggak jelas. "Kenapa nggak jelasin dari tadi?" Terdengar nada suara pak Yogi merendah. "Dari tadi bapak potong terus pas saya mau jelasin. Kalau lagi marah sama orang lain mending selesein deh, pak, jangan marah-marah sama orang lain!" sungutku. Emang dia kira cuma bos yang bisa marah. "Kamu tau kenapa ada perempuan yang tidak peka?" "Hah," apa maksudnya? Keluar lagi pertanyaan nggak jelas dari pak duda ini. "Kenapa ada perempuan yang nggak peka di dunia ini, padahal biasanya lelaki yang selalu disalahkan karena tidak peka." "Ada dua alasan. Yang pertama karena sudah sering disakiti, akhirnya dia memilih menutup hati dari orang lain. Yang kedua, mungkin memang sikap dia begitu. Sebenarnya banyak kok perempuan yang tidak peka, tapi memang umumnya laki-laki yang nggak peka. Kenapa pak? Wanita yang bapak suka nggak peka?" "Kamu! Kamu yang nggak peka, kenapa?" "Kok saya?" Nggak peka soal apa? Marah kok bersambung. Dasar aneh! "Sudahlah. Kamu masuk aja, saya pusing," usir pak Yogi. Aku memilih masuk ke kamar, malas meladeni orang yang sedang emosi. Lebih baik istirahat di depan kipas dan melihat-lihat postingan di aplikasi hijau dan biru. Tidak sadar aku sudah tertidur, saat bangun kulihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Perut sudah mulai keroncongan ingin diisi. Gegas aku ke dapur untuk membuat mi rebus, di beri sawi dan cabe rawit pasti lebih enak. Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga mi kuah dan jus tomat sudah siap di santap, makan di depan mungkin lebih mantap sambil melihat ke depan, siapa tahu ada cowok ganteng lewat. Baru saja membuka pintu aku sudah dikejutkan dengan penampakan yang mengenaskan. Di kursi depan kamarku terdapat sesosok lelaki yang tengah tertidur pulas, posisinya masih duduk di kursi dengan lengan menutupi mata. Aku kira sudah pulang. Karena sudah terlanjur keluar, aku memutuskan menaruh mangkuk mi dan segelas jus tomat dengan pelan agar orang yang tengah tertidur itu tidak bangun. "Enak makannya?" Hampir aku tersedak saat mendengar ucapan pak Yogi, beliau masih menutup matanya, tapi kenapa bisa tahu kalau aku sedang makan? "Bapak kok tau kalau saya lagi makan?" Aku kira akan aman, padahal tinggal setengah lagi habis. "Baunya nusuk hidung." "Aku kira bapak sudah pulang, ngapain masih di sini. Ini sudah siang loh, pak. Nggak baik main ke rumah orang jam segini, yang punya rumah mau tidur siang," jelasku pada tamu yang tidak tahu waktu ini. "Kamu aja udah bangun tidur." Pak Yogi membuka tangan yang menutupi wajahnya, ia lalu menegakkan tubuhnya. "Pak, itu mi saya. Lagian itu tinggal setengah," ujarku, tidak rela rasanya mi yang tinggal setengah diambil pak bos. "Bikin lagi, bikin dua sekalian. Masak kamu makan sendiri, tamu nggak ditawarin." Aku menghela nafas kasar. "Mi di laci tinggal lima, itu stok sampai akhir bulan. Saya harus berhemat, pak. Gajian masih lima hari lagi. Kalau nanti saya kelaparan, bapak mau tanggung jawab?" Kesal rasanya menghadapi tamu yang tidak tahu diri. "Tadi pagi aku kasih uang lima ratus ribu masak bikinin mi satu aja masih bikin kamu kelaparan? Nih aku kasih lagi, sana bikinin mi yang kayak gini," pak Yogi menyerahkan uang lima puluh ribu. Senyumku terbit, dengan gembira aku masuk ke dalam kamar untuk membuatkan mi kuah spesial untuk pak bos seharga lima puluh ribu. Kalau ada yang bilang aku matre, biarlah. Uang lima ratus ribu yang kuterima tadi pagi akan kuberikan pada ibuku untuk menambah dagangan di warungnya, karena terakhir pulang bulan lalu kulihat warung ibu semakin sedikit barang yang dijual. Bisa jadi ibu kekurangan modal karena masih harus membiayai adikku yang paling kecil. Dengan penuh percaya diri kubawa mi buatanku pada pak bos. Rasanya pasti sangat enak karena kubuat dengan penuh semangat dan kebahagiaan. Bagaimana tidak, di mana lagi aku bisa menjual mi kuah seharga lima puluh ribu untuk satu porsi? "Enak nggak nih?" Pak Yogi mengaduk mi yang baru kuserahkan padanya. "Pastilah, coba aja." Aku duduk kembali untuk menikmati jus tomat yang sudah mulai hilang esnya. "Enak juga, kamu bakat masak kayaknya." Ucapan pak Yogi membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa, hampir saja jus dalam mulutku tersembur keluar. "Kenapa ketawa? Apanya yang lucu." "Itu mi instan, pak. Anak kecil juga bisa bikin kayak gitu dan rasanya pasti sama," jelasku di sela tawa yang masih berderai. Saking kayanya, mungkin pak bos belum pernah memakan mi instan. "Sudah cocok jadi istri kayaknya," ujarnya. "Papi. Lagi makan apa?" Belum sempat aku menjawab ucapan pak Yogi, Arya sudah datang menghampiri kami. "Mi instan buatan mbak Linda." "Mau, Pi. Boleh kan? Kayaknya enak banget," pinta Arya. Senyumku tidak bisa ditahan. Semoga saja boleh, karena aku sudah terbayang untuk mendapat lima puluh ribu lagi."Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi.Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih."Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi.Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya?"Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku.Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi."Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku."Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumny
"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu."Enggak, pak," jawabku."Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang."Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?""Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah.""Nikah sama kamu?"Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan."Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku p
"Lin, pokoknya saya mau nikah!"Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja."Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih.Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu."kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi.Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini."Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku.Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya
Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain.Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya."Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini."Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku.Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh."Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu m
"Kamu belum ngerjain tugas?" tanyaku pada anak pak bos."Udah semua, kemarin dibantuin tante Najwa," jawabnya dan hal itu membuatku sedikit kesal. Bukankah tadi bapaknya bilang kalau anaknya punya banyak tugas dan perlu bantuan?"Terus kamu ngapain ke sini?" Meski kesal, tapi aku tetap harus bersikap manis pada bos kecil ini karena sikapnya tidak se-menyebalkan bapaknya."Papi yang nyuruh. Padahal tadi aku mau main sama Tasya, mumpung dia lagi main ke sini sama adek Davin," jelas Arya.Kok semakin lama aku semakin emosi ya. Sepertinya ini memang disengaja oleh pak Yogi supaya aku tidak jadi pulang kampung, tapi untuk apa?"Kamu mau makan apa?" tanyaku pada Arya.Sebenarnya Arya sudah cukup sering bermain ke sini saat bapaknya ada pekerjaan mendadak, apalagi cucu dari pemilik kos ini adalah teman satu kelas Arya."Adanya apa?" Arya meletakkan tas di atas kursi tamu, "kata Papi, aku nggak boleh ngerepotin mbak Linda. Aku dikasih uang, kalau mau apa-apa pesen aja lewat online, nggak bole
"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu."Enggak, pak," jawabku."Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang."Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?""Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah.""Nikah sama kamu?"Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan."Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku p
"Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi.Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih."Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi.Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya?"Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku.Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi."Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku."Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumny
"Siapa?" tanya temanku."Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam."Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya.Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya.Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya."Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya.Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya."Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil."Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli."Tadi pacar kamu? H
"Kamu belum ngerjain tugas?" tanyaku pada anak pak bos."Udah semua, kemarin dibantuin tante Najwa," jawabnya dan hal itu membuatku sedikit kesal. Bukankah tadi bapaknya bilang kalau anaknya punya banyak tugas dan perlu bantuan?"Terus kamu ngapain ke sini?" Meski kesal, tapi aku tetap harus bersikap manis pada bos kecil ini karena sikapnya tidak se-menyebalkan bapaknya."Papi yang nyuruh. Padahal tadi aku mau main sama Tasya, mumpung dia lagi main ke sini sama adek Davin," jelas Arya.Kok semakin lama aku semakin emosi ya. Sepertinya ini memang disengaja oleh pak Yogi supaya aku tidak jadi pulang kampung, tapi untuk apa?"Kamu mau makan apa?" tanyaku pada Arya.Sebenarnya Arya sudah cukup sering bermain ke sini saat bapaknya ada pekerjaan mendadak, apalagi cucu dari pemilik kos ini adalah teman satu kelas Arya."Adanya apa?" Arya meletakkan tas di atas kursi tamu, "kata Papi, aku nggak boleh ngerepotin mbak Linda. Aku dikasih uang, kalau mau apa-apa pesen aja lewat online, nggak bole
Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain.Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya."Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini."Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku.Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh."Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu m
"Lin, pokoknya saya mau nikah!"Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja."Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih.Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu."kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi.Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini."Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku.Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya