"Siapa?" tanya temanku.
"Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam. "Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya. Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya. Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya. "Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya. Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya. "Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil. "Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli. "Tadi pacar kamu? Harusnya kamu tidak mengajak anakku untuk berkencan, dia masih kecil dan polos. Apa jadinya nanti kalau dia ikut-ikutan pacaran gara-gara kamu!" ujar pak Yogi. "Pak...." Belum sempat aku berucap, pak Yogi sudah memotongnya. "Lagian kamu harusnya cari pacar yang dewasa, kulihat lelaki tadi masih terlalu muda untuk menikah. Bagaimana kalau nanti kalian ada masalah dan tidak bisa menyelesaikan karena sama-sama emosi dan tidak ada yang mengalah?" "Bapak lagi patah hati?" tebakku, karena dari tadi pak Yogi tidak berhenti mengomel. "Hah! maksudnya gimana?" "Bapak dari tadi marah-marah terus, padahal saya nggak merasa punya salah sama bapak. Lagian itu tadi temen semasa saya sekolah, pak. Dia juga sudah punya istri dan anak, nggak mungkin saya pacaran sama dia," jelasku. Entah mengapa, aku melihat raut pak Yogi berubah cerah. Dasar bos nggak jelas. "Kenapa nggak jelasin dari tadi?" Terdengar nada suara pak Yogi merendah. "Dari tadi bapak potong terus pas saya mau jelasin. Kalau lagi marah sama orang lain mending selesein deh, pak, jangan marah-marah sama orang lain!" sungutku. Emang dia kira cuma bos yang bisa marah. "Kamu tau kenapa ada perempuan yang tidak peka?" "Hah," apa maksudnya? Keluar lagi pertanyaan nggak jelas dari pak duda ini. "Kenapa ada perempuan yang nggak peka di dunia ini, padahal biasanya lelaki yang selalu disalahkan karena tidak peka." "Ada dua alasan. Yang pertama karena sudah sering disakiti, akhirnya dia memilih menutup hati dari orang lain. Yang kedua, mungkin memang sikap dia begitu. Sebenarnya banyak kok perempuan yang tidak peka, tapi memang umumnya laki-laki yang nggak peka. Kenapa pak? Wanita yang bapak suka nggak peka?" "Kamu! Kamu yang nggak peka, kenapa?" "Kok saya?" Nggak peka soal apa? Marah kok bersambung. Dasar aneh! "Sudahlah. Kamu masuk aja, saya pusing," usir pak Yogi. Aku memilih masuk ke kamar, malas meladeni orang yang sedang emosi. Lebih baik istirahat di depan kipas dan melihat-lihat postingan di aplikasi hijau dan biru. Tidak sadar aku sudah tertidur, saat bangun kulihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Perut sudah mulai keroncongan ingin diisi. Gegas aku ke dapur untuk membuat mi rebus, di beri sawi dan cabe rawit pasti lebih enak. Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga mi kuah dan jus tomat sudah siap di santap, makan di depan mungkin lebih mantap sambil melihat ke depan, siapa tahu ada cowok ganteng lewat. Baru saja membuka pintu aku sudah dikejutkan dengan penampakan yang mengenaskan. Di kursi depan kamarku terdapat sesosok lelaki yang tengah tertidur pulas, posisinya masih duduk di kursi dengan lengan menutupi mata. Aku kira sudah pulang. Karena sudah terlanjur keluar, aku memutuskan menaruh mangkuk mi dan segelas jus tomat dengan pelan agar orang yang tengah tertidur itu tidak bangun. "Enak makannya?" Hampir aku tersedak saat mendengar ucapan pak Yogi, beliau masih menutup matanya, tapi kenapa bisa tahu kalau aku sedang makan? "Bapak kok tau kalau saya lagi makan?" Aku kira akan aman, padahal tinggal setengah lagi habis. "Baunya nusuk hidung." "Aku kira bapak sudah pulang, ngapain masih di sini. Ini sudah siang loh, pak. Nggak baik main ke rumah orang jam segini, yang punya rumah mau tidur siang," jelasku pada tamu yang tidak tahu waktu ini. "Kamu aja udah bangun tidur." Pak Yogi membuka tangan yang menutupi wajahnya, ia lalu menegakkan tubuhnya. "Pak, itu mi saya. Lagian itu tinggal setengah," ujarku, tidak rela rasanya mi yang tinggal setengah diambil pak bos. "Bikin lagi, bikin dua sekalian. Masak kamu makan sendiri, tamu nggak ditawarin." Aku menghela nafas kasar. "Mi di laci tinggal lima, itu stok sampai akhir bulan. Saya harus berhemat, pak. Gajian masih lima hari lagi. Kalau nanti saya kelaparan, bapak mau tanggung jawab?" Kesal rasanya menghadapi tamu yang tidak tahu diri. "Tadi pagi aku kasih uang lima ratus ribu masak bikinin mi satu aja masih bikin kamu kelaparan? Nih aku kasih lagi, sana bikinin mi yang kayak gini," pak Yogi menyerahkan uang lima puluh ribu. Senyumku terbit, dengan gembira aku masuk ke dalam kamar untuk membuatkan mi kuah spesial untuk pak bos seharga lima puluh ribu. Kalau ada yang bilang aku matre, biarlah. Uang lima ratus ribu yang kuterima tadi pagi akan kuberikan pada ibuku untuk menambah dagangan di warungnya, karena terakhir pulang bulan lalu kulihat warung ibu semakin sedikit barang yang dijual. Bisa jadi ibu kekurangan modal karena masih harus membiayai adikku yang paling kecil. Dengan penuh percaya diri kubawa mi buatanku pada pak bos. Rasanya pasti sangat enak karena kubuat dengan penuh semangat dan kebahagiaan. Bagaimana tidak, di mana lagi aku bisa menjual mi kuah seharga lima puluh ribu untuk satu porsi? "Enak nggak nih?" Pak Yogi mengaduk mi yang baru kuserahkan padanya. "Pastilah, coba aja." Aku duduk kembali untuk menikmati jus tomat yang sudah mulai hilang esnya. "Enak juga, kamu bakat masak kayaknya." Ucapan pak Yogi membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa, hampir saja jus dalam mulutku tersembur keluar. "Kenapa ketawa? Apanya yang lucu." "Itu mi instan, pak. Anak kecil juga bisa bikin kayak gitu dan rasanya pasti sama," jelasku di sela tawa yang masih berderai. Saking kayanya, mungkin pak bos belum pernah memakan mi instan. "Sudah cocok jadi istri kayaknya," ujarnya. "Papi. Lagi makan apa?" Belum sempat aku menjawab ucapan pak Yogi, Arya sudah datang menghampiri kami. "Mi instan buatan mbak Linda." "Mau, Pi. Boleh kan? Kayaknya enak banget," pinta Arya. Senyumku tidak bisa ditahan. Semoga saja boleh, karena aku sudah terbayang untuk mendapat lima puluh ribu lagi."Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi.Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih."Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi.Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya?"Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku.Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi."Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku."Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumny
"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu."Enggak, pak," jawabku."Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang."Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?""Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah.""Nikah sama kamu?"Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan."Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku p
Di pikiranku saat ini sedang berputar-putar. Siapa sebenarnya yang ingin bertemu denganku? Seingatku selama ini aku tidak melakukan kesalahan, baik di rumah maupun di tempat kerja."Siapa sih yang mau bertemu dengan saya? Jangan main rahasia-rahasiaan deh, Pak," ucapku pada pak Yogi, kesal juga karena dari tadi beliau hanya diam."Nanti juga tau sendiri." Sudah, memang sudah itu saja jawaban pak Yogi.Sebab sangat kesal, aku akhirnya memalingkan wajah ke kiri untuk melihat suasana sore di sepanjang perjalanan. Dulu pernah setiap hari lewat sini waktu aku tinggal bersama bu Najwa selama beberapa bulan, mendampingi beliau yang susah tidur setiap malam. Perjuangan berat kami lalui berdua, hingga bu Najwa memberi hadiah dengan merenovasi rumah Mama di kampung. Sebaik itu memang bu Najwa padaku."Turun! Jangan ngelamun terus," ucapan pak Yogi membawaku kembali ke alam sadar.Mengenang masa lalu membuatku tidak sadar kalau kami sudah sampai di pekarangan rumah pak Yogi. Aku segera turun unt
"Belum tau sih, mbak. Beliau kapan hari itu pernah ngomongin soal perempuan yang lagi disuka, katanya seumuran sama aku. Nah, pas rapat kan bu Sarina merhatiin pak Yogi terus, aku kira orangnya dia, secara bu Sarina kan hampir seumuran sama aku, pas aku tanyain malah aku kena marah sama pak Yogi," jelasku."Kenapa kok kena marah?" Bu Najwa justru tertawa mendengar jawabanku."Katanya gini, 'mana ada saya bilang kalau saya suka janda? Lagian memang siapa yang tahan dengan pesona saya. Banyak wanita yang mengejar-ngejar saya, tapi anehnya saya kok malah suka sama cewek yang nggak peka!'Makin keras suara tawa bu Najwa."Kok ketawa sih, mbak. Harusnya mbak Najwa kasian sama aku, tiap hari dimarah-marahi, disalah-salahin terus. Pak Yogi sekarang itu makin sensi sama aku. Apa-apa salah pokoknya yang aku lakuin di mata beliau." "Emang susah sih, Lin, kalau duda berpengalaman suka sama cewek nggak peka. Harusnya dari awal aku udah bisa nebak kalau mas Yogi bakal suka sama tuh cewek. Secara
"Hati-hati ya, Lin. Maaf nggak bisa nganter, anak-anak lagi rewel," ucap bu Najwa saat aku berpamitan pulang.Waktu masih menunjukkan pukul lima tiga puluh, beruntung sudah ada taksi online yang bisa mengantarku pulang. Aku harus ke kos terlebih dahulu sebelum berangkat bekerja, karena harus berganti baju dan mengambil berkas yang masih berada di kos.Tiga puluh menit waktu yang harus kutempuh dari rumah pak Yogi hingga sampai gerbang kos. Ganti baju dan bersiap-siap harus kulakukan kurang dari satu jam, belum lagi harus berjalan ke luar untuk membeli sarapan. Karena waktu yang mepet, aku memilih sarapan di resort saja.Hari ini aku ada janji dengan satu keluarga dari luar kota yang akan menginap beberapa hari di resort, mereka mengatakan akan sampai pukul delapan pagi. Sambutan yang cukup istimewa karena mereka masih saudara dari pak Dafa.Meski hanya memakai beberapa alat make up, tetap saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum lagi harus memadupadankan baju yang sesuai untuk di
"Saya bisa pulang sendiri, Pak, ngapain pakek dianter segala?" tanyaku pada pak Yogi. Kesambet di mana kok bisa sebaik ini? Tapi kok ya waktunya tidak tepat."Harusnya kamu ngucapin makasih. Saya sebenarnya sibuk, tapi masih mau luangin waktu buat anter kamu pulang.""Makasih, Pak. Tapi saya bisa pulang sendiri. Bapak bisa pulang kalau memang sedang sibuk.""Ayo, cepet masuk mobil. Kasian Arya dari tadi nungguin." Tanpa mendengar ucapanku, Pak Yogi berjalan menuju mobilnya setelah mengambil tas ranselku.Akhirnya aku mengunci pintu kamar, lalu berjalan mengikuti pak Yogi. Jiwa penguasa beliau sedang on, tidak mungkin aku dibiarkan pulang sendiri kalau sudah begini. Padahal rencananya besok aku akan mengunjungi rumah beberapa teman."Mbak Linda," sapa Arya saat aku sudah masuk ke dalam mobil. Arya duduk di depan bersama bapaknya, sementara aku di belakang seperti nyonya besar. Hahaha."Hai juga ganteng, kamu mau ikut ke rumah mbak Linda?""Mau banget. Arya sama Papi boleh nginep di san
"Bukan, Ma, beliau bosnya Linda," jelasku pada Mama."Oh, maaf kalau saya salah. Mari, silahkan masuk," ucap Mamaku. Aku memapah Mama, membantu beliau berjalan. Mamaku memakai tongkat sebagai penopang tubuhnya karena satu kaki Mama harus diamputasi saat kecelakaan bersama Ayahku dulu, kecelakaan yang merenggut nyawa cinta pertamaku."Silahkan duduk, Pak. Saya buatkan minum dulu," ucapku pada pak Yogi."Biar Mama aja yang buat minum, kamu duduk di sini aja. Kamu pasti capek habis perjalanan jauh." Mama mulai melangkahkan kakinya."Jangan, Ma, Linda aja yang buat minum. Mama duduk sini aja, temani bosnya Linda." Aku lalu berlalu menuju dapur untuk membuat minum."Mbak ngapain?" tanya Arman, adikku."Mau buat minum, kamu mau ke mana?""Mau bantuin Mama angkat jemuran," jawabnya lalu duduk di kursi. Arman memang sudah terbiasa membantu pekerjaan rumah, karena keterbatasan Mama, menjadikan Arman anak yang pengertian. Aku bersyukur, meski seorang lelaki, tapi Arman mau membantu Mama.Saat
"Budhe kira kamu perempuan baik-baik. Kerja di luar kota buat bantuin Ibumu sekolahin adek-adekmu yang tinggi, nyatanya malah jadi simpanan. Dulu Budhe udah curiga, kamu cuma lulusan SMA tapi kok bisa biayain sekolah, beliin motor sama benerin rumah. Dasar perempuan nggak bener, kamu. Malu-maluin keluarga besar," ujar Budhe Rahmi.Ya Tuhan, berikanlah hambamu ini kesabaran, agar hamba tidak menyakiti orang lain."Kenapa diem aja. Ini si Dini, anaknya bawa pulang laki-laki kok nggak ditegur, malah dibiarin aja." Budhe masih terus mengatakan hal yang tidak enak di depanku. Ingin rasanya aku menjawab ucapan beliau, tapi aku takut beliau marah dan akan melampiaskan pada mamaku jika aku tidak ada."Ada apa ini?" tanya pak Yogi yang baru keluar dari rumahku."Anda siapa? Jangan ikut campur urusan orang lain!" bentak Budheku."Saya calon suami Linda. Kenapa Ibu marah-marah, apa Linda melakukan kesalahan pada Ibu?""Calon suami? Halah, ngaku aja kalau Linda kamu jadikan simpenan. Nggak usah p
Sudah bersih-bersih dan bersiap akan tidur, ponsel di sebelahku berbunyi, tanda panggilan masuk. Nama bos galak tertera di layar. Beruntung pak Yogi tidak pernah melihat namanya di ponselnya, kalau tahu pasti beliau akan marah."Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam. Sudah mau tidur?" Suara pak Yogi dari seberang."Iya, ada apa Pak?""Nggak apa-apa. Kalau mau tidur ya tidur aja, teleponnya nggak usah dimatiin. Mau ganti video call bisa kan?""Saya mau tidur, Pak. Udah nggak dandan, malu," jawabku.Bagaimana bisa aku melakukan panggilan video dengan pak Yogi, sementara sekarang aku hanya memakai baju tidur tanpa lengan."Biarin aja, nanti juga setiap hari aku liat kamu kayak gitu," jawabnya. Beberapa detik kemudian panggilan sudah beralih ke video.Aku segera meraih sweater yang ada di samping ranjang dan buru-buru memakainya, baru setelah itu aku menerima panggilan video dari pak Yogi."Emang di situ dingin? Mau tidur aja pakek sweater segala," ujarnya."Nggak sih, saya udah biasa
"Silahkan pesanannya," ujar pemilik warung.Kami menikmati makan sore ini, pak Yogi terlihat sangat menikmati makanannya."Mie-nya beda, nggak kayak biasanya," ucapnya."Emang biasanya gimana?" tanyaku dengan serius karena aku belum pernah makan di sini."Biasanya enak.""Yang ini nggak enak? Perasaan punyaku enak kok," ujarku. Ini bahkan lebih enak dari mie ayam keliling yang biasa aku beli di depan indekos."Yang ini enak banget karena makannya ditemenin sama kamu," ucapnya yang sukses membuat pipiku memerah.Haduh, sekarang kok semakin pintar gombalin ya. Bapak duda satu ini memang sangat meresahkan."Udah ah, cepetan abisin makannya, keburu maghrib nanti," ucapku. Sebenarnya aku takut pada kondisi jantungku kalau pak Yogi merayu terus."Minggu ini kamu nggak usah pulang, minggu depan aja sekalian. Undangannya tiga hari lagi jadi, nanti kamu bawa sekalian yang buat temen-temen kamu," ujar pak Yogi.Aku mengangguk. Kami sekarang sudah berada di depan kos. "Besok Bapak ada pertemuan
Yogi, kamu kok bisa ada di sini?" tanya mbak Mia menghampiri pak Yogi.Sepertinya mereka cukup akrab, pak Yogi menerima uluran tangan dari mbak Mia."Kamu juga ngapain di sini? Bukannya ikut suamimu ke jakarta?"Mbak Mia duduk di samping pak Yogi. "Udah balik gue, laki gue udah bikin usaha di sini. Ya ampun nggak nyangka banget bisa ketemu di sini. Kamu ngapain di sini? Sama Nadia?"Pak Yogi menatapku sebentar, lalu beralih pada mbak Mia lagi. "Nadia udah nggak ada dari dua tahun yang lalu," jelasnya."Ya ampun, maafin ya, beneran aku nggak tau. Terakhir reuni empat tahun lalu kamu masih sama dia. Kok gak ada yang kabarin aku ya? Oh, iya lupa. Hape aku ilang dua tahun lalu, jadi nggak punya kontak temen-temen. Baru kontekkan lagi beberapa bulan ini sebelum pulang. Aku turut berduka ya," ucap mbak Mia."Kamu udah kenal sama Linda?"Mbak Mia menatapku lalu tersenyum, beberapa detik beliau sempat terpaku lalu tersadar kembali."Kenal dong. Dia yang baru aja aku dandanin. Katanya mau prew
"Masih banyak, Bapak masih mau?" Kenapa aku jadi salah tingkah begini?"Ya kan, saya yang minta dibawain sarapan. Ya pasti saya makan."Aku lalu menyuapi pak Yogi lagi, sampai nasi di kotak bekal habis tidak bersisa.Sepertinya aku memang harus cepat-cepat pulang kampung, kamu terus-terusan seperti ini, aku takut kena serangan jantung karena setiap hari dibuat berdebar."Katanya Bapak sudah nggak jemput saya?" Aku ingat kemarin pak Yogi bilang kalau aku akan dijemput sopirnya."Nggak jadi. Nanti sopir saya jatuh cinta sama kamu," ucapnya."Astaga, Bapak. Saya itu setia, nggak akan selingkuh kalau sudah punya pasangan. Bapak nih, suka sembarangan kalau ngomong." Kesal sekali dengan ucapan pak Yogi."Saya tau. Lagian nggak mungkin juga kamu sia-siain orang seperti saya, nggak mungkin kamu bisa dapet yang lebih baik dari saya."Kepedean pak Yogi sudah melampaui ambang batas, sudah terlalu berlebihan. Aku lebih memilih diam daripada menanggapi ucapan ngelantur pak Yogi.Kami sudah sampai
"Ini cuma simbol, yang mengikat kita itu cinta," ucap pak Yogi.Ya Tuhan, tolong lindungi hatiku agar tidak meleleh. Kenapa semakin ke sini sikap pak Yogi semakin romantis, kalau seperti ini bisa-bisa aku yang khilaf."Pakek ini, kalau ada yang deketin, bilang kalau kamu udah ada yang punya," ujarnya lalu mengecup punggung tanganku."Udah buruan masuk, bahaya kalau berduaan terus, takut entar si Ai nulis yang iya-iya," lanjut pak Yogi.Aku turun setelah mencium punggung tangan pak Yogi. Pak Yogi melambaikan tangan dan melajukan mobilnya setelah aku membuka gerbang, aku lalu masuk dan mengunci pintu gerbang.Semua pintu kamar kos sudah tertutup dan beberapa pintu terasnya sudah mati, pertanda penghuni di dalamnya sudah terbuai mimpi.Aku membuka pintu kamar, masuk lalu menutup dan mengunci pintunya kembali. Duduk di kursi kecil untuk melepas sepatu, lalu menaruhnya di rak.Berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan muka, menggosok gigi dan mengosongkan kantung kemih.Menat
Astaga, Ruri ini, kenapa membahas hal seperti ini saat aku bersama pak Yogi dan bu Sandra?Kulihat pak Yogi sudah melotot padaku. Ya Tuhan, tolong lindungi hambamu ini."Boleh, suruh ke sini aja." Sumpah, itu bukan jawabanku. Pak Yogi yang dengan entengnya menjawab begitu."Bentar aku panggil dulu ya, pasti seneng banget dia," jawab Ruri."Bapak kok jawab gitu sih," protesku."Kenapa? Ada orang mau kenalan masak nggak boleh?""Mbak Linda. Kenalin ini Dion, sepupu aku. Dion, kenalin ini mbak Linda," ujar Ruri.Aku lalu menyalami Dion. Dion juga berkenalan dengan pak Yogi dan bu Sandra."Kalau mau kenal lebih dekat boleh kan, Mbak?" tanya Ruri."Boleh. Mau kenal sebagai apa?" tanya pak Yogi, beliau seperti seorang ayah yang tengah menginterogasi pacar anaknya."Kalau boleh, saya mau mengenal mbak Linda lebih jauh," jawab Dion."Iya, kalau sudah kenal lebih dekat, mau dijadiin apa? Pacar? Istri? Atau kakak?""Kalau boleh, saya mau serius sama mbak Linda. Saya nggak mau pacaran, kalau mau
"Mbak Linda." Aku baru saja membuka pintu kamar saat kulihat malaikat kecil itu tersenyum manis di depanku."Kangen," ucapku. Aku memeluk tubuh kurusnya. Anak lelaki ini sudah membuatku jatuh hati sejak pertama bertemu.Dia anak yang manis, seringnya kami bertemu membuat kami cukup akrab."Mbak Linda cantik banget hari ini," pujinya dan aku tersipu. Pantas saja anak ini manis sekali, ternyata papinya juga sangat manis."Makasih. Kamu juga ganteng banget, ini baju baru?"Aku belum pernah melihat dia berpakaian serapi ini, biasanya aku hanya melihatnya memakai celana pendek dan kaos. Hari ini Arya memakai kemeja lengan pendek, celana bahan panjang dan sepatu. Tampan sekali calon anakku ini. Apakah nanti aku juga bisa punya anak setampan ini?"Iya, baru beli kemarin sama Papi. Mbak Linda suka?""Suka. Ganteng banget kamu pakai baju kayak gini." Aku mencubit pipi Arya gemas.Mata Arya berbinar. Anak manis ini memang selalu menggemaskan."Lama banget!" Pak Yogi sudah duduk di kursi kemudi
"Sayang banget, Pak, tinggal sebulan lagi.""Dua minggu lagi kamu saya pulangin," ungkapnya."Kok dua minggu? Kan akadnya satu bulan lagi. Saya masih harus kerja, Pak. Kasian Mama kalau semua biaya beliau yang nanggung," jelasku."Ada saya, Lin. Kamu juga nggak percaya kalau saya kaya? Tau gitu tadi saya bayarin sekalian warung baksonya!""Bukan gitu, Pak. Saya cuma nggak mau dibilang matre. Saya mau uang untuk acara nikahan nanti pakai uang saya sendiri," jawabku."Kamu itu nggak matre, kebetulan aja saya banyak uang. Kalau kamu matre, pasti udah dari dulu kamu mempan saya kodein." Pak Yogi menghentikan mobilnya karena kami sudah sampai di depan kos.Aku tertawa mendengar jawaban pak Yogi. Bukannya nggak peka, hanya berhati-hati. Logikanya memang sangat langka orang kaya raya mau sama gadis miskin, tapi kalau masalah cinta dan takdir memang tidak bisa disalahkan."Kenapa nggak seminggu sebelum akad baru dipulangin?""Kalau bisa aja saya maunya sekarang kamu balik ke rumah Mamamu, tap
"Tante." Oh, aku lupa kalau ini dekat dengan rumah mas Hasan, jadi kemungkinannya sangat besar aku bertemu dengan ibu mas Hasan."Ya ampun, nggak nyangka bisa ketemu sama kamu di sini. Udah lama banget Tante pengen ketemu sama kamu, tapi nggak bisa-bisa. Selalu sibuk kerja atau lagi pulang kampung. Kamu apa kabar?"Wow, ramah sekali ibu mas Hasan ini. Sangat jauh berbeda dengan sikapnya yang dulu, kemana ibu mas Hasan yang galak dan pemarah itu?" Baik, Tante.""Tambah cantik ya sekarang. Tante boleh duduk di sini ya?" Tanpa menunggu jawabanku, ibu mas Hasan langsung duduk di sebelahku. Aku melihat pak Yogi sudah menghentikan kegiatannya menyuap bakso."Maaf, Tante ....""Nggak perlu minta maaf, justru Tante yang mau minta maaf sama kamu atas sikap Tante selama ini. Mungkin Tante sudah keterlaluan sama kamu, tapi sebenarnya Tante itu sayang sama kamu," ucapnya. Mimpi apa sampai ibu mas Hasan yang dulu sangat membenciku, sekarang bisa begitu baik padaku."Maaf ya, Tante buru-buru, dit