"Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."
Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi. Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih. "Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi. Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya? "Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku. Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi. "Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku. "Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumnya enggak?" Ngerepotin banget orang kaya ini. Terpaksa aku harus mengambilkan dua gelas air putih untuk kedua tamuku. "Nih," kuserahkan dua gelas air putih pada pak Yogi. "Cuma air putih?" Ya Tuhan. Salah apa aku hari ini? "Udah mending saya kasih air. Saya ini anak kos, jarang nyetok gula sama kopi. Kalau bapak mau yang lain, pesen di depan sana ada warung. Kalau mau tinggal minum, nggak mau ya taruh situ aja." Aku lalu menutup pintu kamar cukup keras. Capek banget ngadepin orang yang lagi patah hati. Marah-marah nggak jelas, banyak permintaan dan nyebelin benget. Untuk menyegarkan pikiran yang kacau, aku memilih mandi dan keramas. Biar badan segar dan otak encer lagi. Setelah selesai melaksanakan salat dhuhur, aku menengadahkan tangan untuk berdoa pada Tuhan. "Ya Tuhan, aku mohon segera pertemukanlah aku dengan jodohku. Kalau bisa aku minta yang ganteng, kaya, baik hati, setia, pengertian dan penyayang, Ya Tuhan, biar aku nggak usah kerja lagi sama bos nyebelin itu. Amin." Mungkin doaku sedikit berlebihan, mengingat aku belum menjadi hamba yang baik. Tapi aku percaya bahwa Tuhan Mahapengasih lagi Mahapenyayang, jadi pasti Tuhan mengabulkan doaku. *** Waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit, aku harus bergegas pergi kerja karena hari ini ada meeting pukul delapan. Baru saja keluar dari kamar, sudah ada seseorang yang menyambut di depan pintu dengan muka garangnya. "Bapak ngapain di sini?" "Jemput kamu lah, mau ngapain lagi!" "Pagi-pagi udah ngegas aja, Pak. Saya udah biasa berangkat sendiri, ngapain bapak pakek jemput segala." Tumben banget pak bos bisa baik? "Kamu itu dapet bos baik harusnya bersyukur. Jarang-jarang lo, ada bos yang mau jemput asistennya." Pede banget. Siapa juga yang mau dijemput? "Makasih ya, Pak, karena bapak sudah baik sama saya. Bukannya saya mau nolak, tapi saya berangkat sendiri aja. Nanti saya bingung pulangnya kalau bareng sama bapak," jelasku dan semoga saja pak bos tidak marah. "Nanti pulangnya ke rumah saya, ada yang mau ketemu sama kamu," jawabnya. Tanpa permisi, pak Yogi mengambil tas jinjingku yang berisi laptop lalu membawanya menuju mobil. "Tapi, Pak...." "Kalau kamu nggak mau, nanti saya potong gaji kamu buat sehari ini," ucapnya yang seketika membuatku menuruti beliau untuk berangkat bersama. Lagian siapa juga yang mau ketemu sama aku? Apakah itu sudah masuk dalam kategori penindasan dan bisa dilaporkan pada polisi? Ah, harusnya tadi aku merekamnya agar bisa jadi barang bukti. "Ayo, masuk. Ngapain bengong aja di situ?" "Ya Allah. Dulu pas Tuhan bagiin kesabaran, Bapak nggak kebagian ya? Heran, jadi orang kok nggak sabaran banget," gerutuku. "Udah, cepetan masuk. Kalau kamu peka pasti nggak kayak gini, makanya jadi cewek tuh peka dikit. Di kode keras keras tetep aja nggak paham-paham. Dulu kamu tuh beneran lulus apa nyogok sih?" "Mulutnya, Pak. Tajam banget, udah kayak reporter gosip." Daripada pak bos nyinyir terus, lebih baik aku buru-buru masuk mobil dan duduk manis. "Mantan-mantan kamu dulu kok bisa tahan sama kamu, heran saya." Aku hanya diam, malas menanggapi celotehan beliau. Bisa-bisa suasana hatiku jadi kacau sebelum berkembang, hari ini banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. "Turun!" "Iya, Pak, lagian siapa juga yang betah lama-lama di mobil bapak." Aku segera membuka pintu mobil lalu turun, kututup pintu mobil dengan cukup keras. Beruntung mobil itu tidak rusak, kalau sampai rusak, pasti gajiku enam bulan tidak akan cukup untuk memperbaikinya. "Kayaknya lagi kesel, kenapa?" tanya Sena, resepsionis di resort ini. "Iya, kesel banget. Pagi-pagi udah dibikin emosi. Pengen tak remes-remes," ucapku emosi. "Siapa yang mau kamu remes-remes?" Ya Tuhan, mati aku. Karena terlalu emosi, aku sampai nggak tahu kalau pak Yogi sudah di belakangku. "Bukan siapa-siapa, Pak, saya permisi mau masuk dulu." Tanpa berani menatap beliau, aku segera berlari menuju ruanganku. "Dasar lemes, nggak bisa nahan diri. Kalau sampai salah ucap, bisa dipecat aku," kupukul mulutku yang tidak bisa di rem ini. "Cepetan siap-siap, sebentar lagi Pak Damar sampai," ucap pak Yogi setelah membuka pintu ruanganku. "Iya, Pak, saya sudah siap." Aku bergegas mengikuti pak Yogi ke ruang rapat. Pak Damar adalah klien yang bekerja sama dengan pak Yogi untuk pembangunan hotel, kebetulan beliau adalah suami dari bu Rania, kenalanku. Aku masuk ke ruangan yang masih belum ada siapa-siapa. Segera ku pasang proyektor dan menempatkan laptop di meja. Lima menit kemudian, pak Yogi dan pak Damar masuk bersama beberapa penanggung jawab proyek. Kalau sesuai dengan rencana, hotel itu akan selesai tiga bulan lagi. Aku dengan khusyuk menyimak apa saja yang mereka bahas, mencatat hal yang dirasa penting untuk dicatat. Dua jam kurang dua puluh menit akhirnya rapat selesai, pak Yogi memintaku mentransfer sejumlah uang pada pihak keuangan proyek. Setelah selesai, aku segera membuat kwitansi dan meminta pihak keuangan untuk menandatanganinya. Setelah semua pulang, aku segera masuk ke ruangan karena nanti akan ada satu rapat lagi. Entah harus bersyukur atau justru harus takut, pak Yogi sama sekali tidak mengganggu pekerjaanku hingga jam makan siang tiba. Rapat akan diadakan setelah makan siang. "Mbak, ini makanan dari pak Yogi," ucap Budi setelah menyerahkan satu paper back padaku. "Tumben?" "Semua juga dapet, mbak. Anak-anak lagi pada makan di pantry." "Makasih ya, Bud, udah nganterin ke sini. Hampir aja aku keluar buat beli makan, sampein makasih sama Pak Yogi," ucapku. "Sampein sendiri aja, mbak. Saya mau nerusin makan dulu." Budi pergi dari ruanganku. Baru satu suap makanan masuk pada mulutku, pintu ruanganku sudah dibuka dengan kasar. Raut pak Yogi sangat tidak bersahabat. "Kamu pacaran sama Budi?" Ya Allah. Kenapa lagi pak bos ini?"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu."Enggak, pak," jawabku."Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang."Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?""Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah.""Nikah sama kamu?"Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan."Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku p
"Lin, pokoknya saya mau nikah!"Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja."Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih.Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu."kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi.Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini."Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku.Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya
Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain.Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya."Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini."Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku.Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh."Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu m
"Kamu belum ngerjain tugas?" tanyaku pada anak pak bos."Udah semua, kemarin dibantuin tante Najwa," jawabnya dan hal itu membuatku sedikit kesal. Bukankah tadi bapaknya bilang kalau anaknya punya banyak tugas dan perlu bantuan?"Terus kamu ngapain ke sini?" Meski kesal, tapi aku tetap harus bersikap manis pada bos kecil ini karena sikapnya tidak se-menyebalkan bapaknya."Papi yang nyuruh. Padahal tadi aku mau main sama Tasya, mumpung dia lagi main ke sini sama adek Davin," jelas Arya.Kok semakin lama aku semakin emosi ya. Sepertinya ini memang disengaja oleh pak Yogi supaya aku tidak jadi pulang kampung, tapi untuk apa?"Kamu mau makan apa?" tanyaku pada Arya.Sebenarnya Arya sudah cukup sering bermain ke sini saat bapaknya ada pekerjaan mendadak, apalagi cucu dari pemilik kos ini adalah teman satu kelas Arya."Adanya apa?" Arya meletakkan tas di atas kursi tamu, "kata Papi, aku nggak boleh ngerepotin mbak Linda. Aku dikasih uang, kalau mau apa-apa pesen aja lewat online, nggak bole
"Siapa?" tanya temanku."Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam."Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya.Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya.Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya."Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya.Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya."Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil."Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli."Tadi pacar kamu? H
"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu."Enggak, pak," jawabku."Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang."Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?""Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah.""Nikah sama kamu?"Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan."Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku p
"Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi.Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih."Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi.Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya?"Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku.Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi."Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku."Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumny
"Siapa?" tanya temanku."Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam."Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya.Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya.Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya."Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya.Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya."Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil."Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli."Tadi pacar kamu? H
"Kamu belum ngerjain tugas?" tanyaku pada anak pak bos."Udah semua, kemarin dibantuin tante Najwa," jawabnya dan hal itu membuatku sedikit kesal. Bukankah tadi bapaknya bilang kalau anaknya punya banyak tugas dan perlu bantuan?"Terus kamu ngapain ke sini?" Meski kesal, tapi aku tetap harus bersikap manis pada bos kecil ini karena sikapnya tidak se-menyebalkan bapaknya."Papi yang nyuruh. Padahal tadi aku mau main sama Tasya, mumpung dia lagi main ke sini sama adek Davin," jelas Arya.Kok semakin lama aku semakin emosi ya. Sepertinya ini memang disengaja oleh pak Yogi supaya aku tidak jadi pulang kampung, tapi untuk apa?"Kamu mau makan apa?" tanyaku pada Arya.Sebenarnya Arya sudah cukup sering bermain ke sini saat bapaknya ada pekerjaan mendadak, apalagi cucu dari pemilik kos ini adalah teman satu kelas Arya."Adanya apa?" Arya meletakkan tas di atas kursi tamu, "kata Papi, aku nggak boleh ngerepotin mbak Linda. Aku dikasih uang, kalau mau apa-apa pesen aja lewat online, nggak bole
Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain.Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya."Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini."Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku.Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh."Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu m
"Lin, pokoknya saya mau nikah!"Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja."Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih.Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu."kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi.Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini."Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku.Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya