"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.
Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu. "Enggak, pak," jawabku. "Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang. "Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?" "Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah." "Nikah sama kamu?" Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan. "Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku pada pak bos. "Nia siapa?" "Nia, pengasuhnya Tasya yang dulu. Masak Bapak nggak tau?" Ya, memang Budi akan menikah dengan Nia beberapa bulan lagi. Mungkin Budi belum mengajukan cuti, makanya pak bos belum tahu. "Yang bener kamu?" "Bener, Pak. Kalau Bapak nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi," jelasku. Capek juga ngejelasin sama pak bos yang emosian. "Tapi Budi dulu pernah suka sama kamu kan?" "Itu dulu, pas saya awal-awal masuk sini. Lagian itu kata temen-temen doang, Budi sendiri nggak pernah ngomong sama saya," jelasku. Memang semua yang bekerja di sini sudah tahu kalau Budi pernah menyukaiku, tapi dari Budi sendiri tidak pernah mengungkapkan apapun padaku. "Kalau misal Budi ngomong, kamu mau sama dia?" Kenapa sih, pak bos ini? "Enggaklah, Pak. Dulu itu saya udah punya pacar. Saya ini tipe setia, jadi nggak mungkin selingkuh kalau saya sudah punya pasangan," jawabku. "Kalau sekarang?" Masih ngotot juga orang ini. Hufft. Kuhembuskan napas lelah. "Enggak juga, Pak. Saya kan sudah bilang kalau Budi udah mau nikah dan yang mau dinikahi itu teman saya. Saya nggak mungkinlah nikung teman dari belakang. Mending cari yang single, duda juga nggak masalah, daripada sama pasangan orang. Takut kena karma saya." "Kalau...." "Pak, saya mau makan. Kalau Bapak ngomong terus, kapan saya bisa makan? Saya punya penyakit maag lo, Pak. Bapak mau tanggung jawab kalau sakit saya kambuh?" "Saya juga belum makan, sini bagi berdua." Dengan tidak tahu diri, pak Yogi sudah duduk di depanku. "Ya Allah, tega banget Bapak sama saya. Ini makanan dari Bapak, tapi malah diminta lagi. Mending saya beli sendiri aja deh, Pak." Kesal sekali aku. "Nggak usah. Makan ini aja berdua udah kenyang. Nanti kalau laper kita makan lagi setelah meeting. Lagian jamnya juga sudah mepet, bentar lagi klien udah datang," jawabnya, dengan tanpa perasaan beliau menyuap nasi beserta ayam goreng dan sambel. "Makan. Apa mau saya suapin?" tanya pak Yogi. Aku memang masih diam saja dari tadi. Dengan terpaksa aku juga menyendok nasi di depanku dengan penuh emosi. Apakah semua bos akan berbuat semena-mena seperti ini? "Sekarang beresin semua. Saya mau salat dhuhur, atau kamu mau jamaah?" tawarnya. "Enggak, Pak. Saya lagi halangan." Tanpa kata, pak Yogi keluar dari ruanganku. Enak ya jadi bos, dia yang kenyang, aku yang beresin. Nyesel aku makan makanan dari beliau, tapi biarlah Tuhan yang membalas. Kata mamaku, kalau kita ngasih sesuatu terus diminta lagi, nanti orangnya bakal bintitan. Biar tahu rasa pak Yogi nanti. Pukul satu, tiga klien sudah tiba di ruang rapat. Mereka membahas harga sewa untuk mengadakan acara do resort ini selama dua hari. Pak Doni, bagian keamanan dan Bu Sarina bagian keuangan juga ikut rapat siang ini. Beberapa kali aku menangkap pandangan bu Sarina pada pak Yogi dengan senyum tersungging di bibirnya. Bu Sarina adalah janda tanpa anak, janda kembang kata orang-orang karena baru bercerai beberapa bulan yang lalu. Usianya hanya terpaut satu tahun di atasku. Dengan badan semampai dan wajah yang cantik, apakah mungkin orang yang dimaksud pak Yogi adalah dia? "Sudah kamu catat semua, Lin?" Pertanyaan pak Yogi membuatku kembali pada dunia nyata, ternyata cukup lama aku melamun. Dengan sedikit ragu aku mengangguk, karena memang sudah ada beberapa yang aku catat. Nanti aku bisa mendengar rekaman karena aku selalu merekam agar tidak ada hal yang terlewat untuk aku catat nanti. "Terimakasih, Pak. Kalau begitu kami pamit. Minggu depan kami kirim salinan acara serta menu apa saja yang kami inginkan," ucap salah satu klien. Entah apa yang mereka bicarakan, karena sekarang fokusku kembali pada bu Sarina yang tengah mengamati pak Yogi lekat. Semua sudah pergi, tinggal aku yang tengah membereskan semua peralatan dan pak Yogi yang duduk diam di kursinya. "Kamu mulai suka sama cewek?" "Hah?" Aku terkejut dengan pertanyaan pak Yogi. "Kamu mulai suka sama cewek karena sering dikecewain laki-laki? Masak pertanyaan saya kurang jelas?" "Bukan pertanyaan Bapak yang kurang jelas, tapi maksud Bapak apa tanya kayak gitu sama saya? Saya masih normal, Pak!" Enak saja sembarangan menuduh. Aku masih sangat normal, bahkan seringkali berkhayal bisa nikah sama opa-opa korea, kok bisanya beliau bertanya seperti itu? "Kirain. Ngapain kamu liatin Sarina dari tadi? Padahal kalau normal, harusnya yang kamu perhatikan itu saya, di ruangan tadi yang paling ganteng cuma saya, kok kamu malah merhatiin Sarina terus?" Hih, pede banget orang ini. "Bukannya Bapak yang suka sama Bu Sarina?" "Tuduhan macam apa itu? Kamu yang merhatiin kok nuduh saya yang suka. Gimana kamu ini." "Dari tadi saya perhatiin Bu Sarina mandangin Bapak terus, makanya saya kira Bu Sarina yang Bapak maksud kemarin. Umur Bu Sarina kan nggak beda jauh sama saya," jelasku. "Mana ada saya bilang kalau saya suka janda? Lagian memang siapa yang tahan dengan pesona saya. Banyak wanita yang mengejar-ngejar saya, tapi anehnya saya kok malah suka sama cewek yang nggak peka!" "Saya permisi dulu, Pak. Mau bikin laporan. Kalau Bapak masih lama, tolong tutup pintunya." Daripada kena omel lagi, mending aku pergi dari sana. Suasananya sudah sangat panas kalau pak bos lagi mode sensi gitu. Entah beliau marah atau tidak, yang penting aku harus cepat menyelesaikan pekerjaanku dulu. "Ayo, pulang sama saya," ajak pak Yogi yang berdiri di sampingku yang sedang menunggu ojek online tiba. "Tapi saya sudah pesan ojek, Pak," jelasku lalu menunjukkan layar gawaiku pada beliau. Pak Yogi hanya mengamati lalu tidak berucap apa-apa, hanya diam disampingku. "Itu ojek saya sudah tiba, Pak. Saya duluan ya," pamitku. "Kamu tunggu sini dulu," ucap pak Yogi, dia menahanku untuk tetap berdiri lalu dia mendekati ojek online pesananku. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi setelah pak Yogi menyerahkan sesuatu, ojek online itu pergi begitu saja. "Kamu pulang sama saya! Ada yang mau ketemu sama kamu," ucapnya padaku dengan nada perintah. Aku hanya bisa menurut. Memangnya aku sepenting apa, sampai ada yang mau bertemu denganku?Di pikiranku saat ini sedang berputar-putar. Siapa sebenarnya yang ingin bertemu denganku? Seingatku selama ini aku tidak melakukan kesalahan, baik di rumah maupun di tempat kerja."Siapa sih yang mau bertemu dengan saya? Jangan main rahasia-rahasiaan deh, Pak," ucapku pada pak Yogi, kesal juga karena dari tadi beliau hanya diam."Nanti juga tau sendiri." Sudah, memang sudah itu saja jawaban pak Yogi.Sebab sangat kesal, aku akhirnya memalingkan wajah ke kiri untuk melihat suasana sore di sepanjang perjalanan. Dulu pernah setiap hari lewat sini waktu aku tinggal bersama bu Najwa selama beberapa bulan, mendampingi beliau yang susah tidur setiap malam. Perjuangan berat kami lalui berdua, hingga bu Najwa memberi hadiah dengan merenovasi rumah Mama di kampung. Sebaik itu memang bu Najwa padaku."Turun! Jangan ngelamun terus," ucapan pak Yogi membawaku kembali ke alam sadar.Mengenang masa lalu membuatku tidak sadar kalau kami sudah sampai di pekarangan rumah pak Yogi. Aku segera turun unt
"Belum tau sih, mbak. Beliau kapan hari itu pernah ngomongin soal perempuan yang lagi disuka, katanya seumuran sama aku. Nah, pas rapat kan bu Sarina merhatiin pak Yogi terus, aku kira orangnya dia, secara bu Sarina kan hampir seumuran sama aku, pas aku tanyain malah aku kena marah sama pak Yogi," jelasku."Kenapa kok kena marah?" Bu Najwa justru tertawa mendengar jawabanku."Katanya gini, 'mana ada saya bilang kalau saya suka janda? Lagian memang siapa yang tahan dengan pesona saya. Banyak wanita yang mengejar-ngejar saya, tapi anehnya saya kok malah suka sama cewek yang nggak peka!'Makin keras suara tawa bu Najwa."Kok ketawa sih, mbak. Harusnya mbak Najwa kasian sama aku, tiap hari dimarah-marahi, disalah-salahin terus. Pak Yogi sekarang itu makin sensi sama aku. Apa-apa salah pokoknya yang aku lakuin di mata beliau." "Emang susah sih, Lin, kalau duda berpengalaman suka sama cewek nggak peka. Harusnya dari awal aku udah bisa nebak kalau mas Yogi bakal suka sama tuh cewek. Secara
"Hati-hati ya, Lin. Maaf nggak bisa nganter, anak-anak lagi rewel," ucap bu Najwa saat aku berpamitan pulang.Waktu masih menunjukkan pukul lima tiga puluh, beruntung sudah ada taksi online yang bisa mengantarku pulang. Aku harus ke kos terlebih dahulu sebelum berangkat bekerja, karena harus berganti baju dan mengambil berkas yang masih berada di kos.Tiga puluh menit waktu yang harus kutempuh dari rumah pak Yogi hingga sampai gerbang kos. Ganti baju dan bersiap-siap harus kulakukan kurang dari satu jam, belum lagi harus berjalan ke luar untuk membeli sarapan. Karena waktu yang mepet, aku memilih sarapan di resort saja.Hari ini aku ada janji dengan satu keluarga dari luar kota yang akan menginap beberapa hari di resort, mereka mengatakan akan sampai pukul delapan pagi. Sambutan yang cukup istimewa karena mereka masih saudara dari pak Dafa.Meski hanya memakai beberapa alat make up, tetap saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum lagi harus memadupadankan baju yang sesuai untuk di
"Saya bisa pulang sendiri, Pak, ngapain pakek dianter segala?" tanyaku pada pak Yogi. Kesambet di mana kok bisa sebaik ini? Tapi kok ya waktunya tidak tepat."Harusnya kamu ngucapin makasih. Saya sebenarnya sibuk, tapi masih mau luangin waktu buat anter kamu pulang.""Makasih, Pak. Tapi saya bisa pulang sendiri. Bapak bisa pulang kalau memang sedang sibuk.""Ayo, cepet masuk mobil. Kasian Arya dari tadi nungguin." Tanpa mendengar ucapanku, Pak Yogi berjalan menuju mobilnya setelah mengambil tas ranselku.Akhirnya aku mengunci pintu kamar, lalu berjalan mengikuti pak Yogi. Jiwa penguasa beliau sedang on, tidak mungkin aku dibiarkan pulang sendiri kalau sudah begini. Padahal rencananya besok aku akan mengunjungi rumah beberapa teman."Mbak Linda," sapa Arya saat aku sudah masuk ke dalam mobil. Arya duduk di depan bersama bapaknya, sementara aku di belakang seperti nyonya besar. Hahaha."Hai juga ganteng, kamu mau ikut ke rumah mbak Linda?""Mau banget. Arya sama Papi boleh nginep di san
"Bukan, Ma, beliau bosnya Linda," jelasku pada Mama."Oh, maaf kalau saya salah. Mari, silahkan masuk," ucap Mamaku. Aku memapah Mama, membantu beliau berjalan. Mamaku memakai tongkat sebagai penopang tubuhnya karena satu kaki Mama harus diamputasi saat kecelakaan bersama Ayahku dulu, kecelakaan yang merenggut nyawa cinta pertamaku."Silahkan duduk, Pak. Saya buatkan minum dulu," ucapku pada pak Yogi."Biar Mama aja yang buat minum, kamu duduk di sini aja. Kamu pasti capek habis perjalanan jauh." Mama mulai melangkahkan kakinya."Jangan, Ma, Linda aja yang buat minum. Mama duduk sini aja, temani bosnya Linda." Aku lalu berlalu menuju dapur untuk membuat minum."Mbak ngapain?" tanya Arman, adikku."Mau buat minum, kamu mau ke mana?""Mau bantuin Mama angkat jemuran," jawabnya lalu duduk di kursi. Arman memang sudah terbiasa membantu pekerjaan rumah, karena keterbatasan Mama, menjadikan Arman anak yang pengertian. Aku bersyukur, meski seorang lelaki, tapi Arman mau membantu Mama.Saat
"Budhe kira kamu perempuan baik-baik. Kerja di luar kota buat bantuin Ibumu sekolahin adek-adekmu yang tinggi, nyatanya malah jadi simpanan. Dulu Budhe udah curiga, kamu cuma lulusan SMA tapi kok bisa biayain sekolah, beliin motor sama benerin rumah. Dasar perempuan nggak bener, kamu. Malu-maluin keluarga besar," ujar Budhe Rahmi.Ya Tuhan, berikanlah hambamu ini kesabaran, agar hamba tidak menyakiti orang lain."Kenapa diem aja. Ini si Dini, anaknya bawa pulang laki-laki kok nggak ditegur, malah dibiarin aja." Budhe masih terus mengatakan hal yang tidak enak di depanku. Ingin rasanya aku menjawab ucapan beliau, tapi aku takut beliau marah dan akan melampiaskan pada mamaku jika aku tidak ada."Ada apa ini?" tanya pak Yogi yang baru keluar dari rumahku."Anda siapa? Jangan ikut campur urusan orang lain!" bentak Budheku."Saya calon suami Linda. Kenapa Ibu marah-marah, apa Linda melakukan kesalahan pada Ibu?""Calon suami? Halah, ngaku aja kalau Linda kamu jadikan simpenan. Nggak usah p
"Nggak Ma, tadi cuma buat tenangin Budhe aja. Mana mungkin pak Yogi mau sama aku, pastinya beliau cari yang selevel," jawabku pada mama."Mama tadi juga mikir gitu. Ya udah kamu istirahat sana, besok kan harus nemenin pak Yogi ke air terjun."Aku mengangguk lalu berpamitan pada mama untuk beristirahat. Mama pasti juga capek dari tadi menemaniku.Aku merebahkan diri di pembaringan, air mata mulai menetes tanpa bisa dicegah. Padahal selama ini aku tidak pernah mengusik kehidupan mereka, tapi mengapa mereka masih saja tidak suka padaku? Selama ini aku berusaha bersikap tegar, tapi nyatanya aku rapuh kalau menyangkut keluarga.Aku merasa bersalah pada mama, karena ketidaksukaan budhe padaku, membuat mama juga dimusuhi. Aku ingin mengurangi beban pikiran mama dengan segera menikah, tapi dengan siapa?Entah pukul berapa aku tertidur. Saat terbangun aku melihat jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Tenggorokan terasa kering, aku memutuskan pergi ke dapur untuk mengambil minum karen
"Linda!"Mataku terbuka dengan sempurna, melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aku bisa bernafas lega karena semua yang aku alami tadi hanyalah mimpi. Aku berjalan dengan gontai untuk membuka pintu."Tidur udah kayak kebo, dibangunin susah banget!" gerutu pak Yogi."Ya Allah, Pak, kenapa harus marah-marah. Ini di rumah orang tua saya, masak masih dimarahin juga," ucapku. Kesal sekali tiap bertemu pak Yogi pasti dimarahi."Dibangunin dari tadi susah banget, buruan bangun terus salat. Katanya mau anterin jalan-jalan."Pede bener, siapa juga yang mau anterin. Padahal rencana dari awal aku akan bermain ke rumah teman-teman, tapi gagal karena pak Yogi ikut mudik."Malah bengong. Buruan sana! Arya udah mandi dari tadi." Pak Yogi berlalu setelah mengatakan itu.Aku bergegas mandi dan melaksanakan ibadah. Maafkan hambamu ya Tuhan, gara-gara mimpi dinikahin aku jadi kesiangan.Memakai celana dan kaos oblong, aku sudah siap untuk pergi ke air terjun dholo yang ada d
Sudah bersih-bersih dan bersiap akan tidur, ponsel di sebelahku berbunyi, tanda panggilan masuk. Nama bos galak tertera di layar. Beruntung pak Yogi tidak pernah melihat namanya di ponselnya, kalau tahu pasti beliau akan marah."Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam. Sudah mau tidur?" Suara pak Yogi dari seberang."Iya, ada apa Pak?""Nggak apa-apa. Kalau mau tidur ya tidur aja, teleponnya nggak usah dimatiin. Mau ganti video call bisa kan?""Saya mau tidur, Pak. Udah nggak dandan, malu," jawabku.Bagaimana bisa aku melakukan panggilan video dengan pak Yogi, sementara sekarang aku hanya memakai baju tidur tanpa lengan."Biarin aja, nanti juga setiap hari aku liat kamu kayak gitu," jawabnya. Beberapa detik kemudian panggilan sudah beralih ke video.Aku segera meraih sweater yang ada di samping ranjang dan buru-buru memakainya, baru setelah itu aku menerima panggilan video dari pak Yogi."Emang di situ dingin? Mau tidur aja pakek sweater segala," ujarnya."Nggak sih, saya udah biasa
"Silahkan pesanannya," ujar pemilik warung.Kami menikmati makan sore ini, pak Yogi terlihat sangat menikmati makanannya."Mie-nya beda, nggak kayak biasanya," ucapnya."Emang biasanya gimana?" tanyaku dengan serius karena aku belum pernah makan di sini."Biasanya enak.""Yang ini nggak enak? Perasaan punyaku enak kok," ujarku. Ini bahkan lebih enak dari mie ayam keliling yang biasa aku beli di depan indekos."Yang ini enak banget karena makannya ditemenin sama kamu," ucapnya yang sukses membuat pipiku memerah.Haduh, sekarang kok semakin pintar gombalin ya. Bapak duda satu ini memang sangat meresahkan."Udah ah, cepetan abisin makannya, keburu maghrib nanti," ucapku. Sebenarnya aku takut pada kondisi jantungku kalau pak Yogi merayu terus."Minggu ini kamu nggak usah pulang, minggu depan aja sekalian. Undangannya tiga hari lagi jadi, nanti kamu bawa sekalian yang buat temen-temen kamu," ujar pak Yogi.Aku mengangguk. Kami sekarang sudah berada di depan kos. "Besok Bapak ada pertemuan
Yogi, kamu kok bisa ada di sini?" tanya mbak Mia menghampiri pak Yogi.Sepertinya mereka cukup akrab, pak Yogi menerima uluran tangan dari mbak Mia."Kamu juga ngapain di sini? Bukannya ikut suamimu ke jakarta?"Mbak Mia duduk di samping pak Yogi. "Udah balik gue, laki gue udah bikin usaha di sini. Ya ampun nggak nyangka banget bisa ketemu di sini. Kamu ngapain di sini? Sama Nadia?"Pak Yogi menatapku sebentar, lalu beralih pada mbak Mia lagi. "Nadia udah nggak ada dari dua tahun yang lalu," jelasnya."Ya ampun, maafin ya, beneran aku nggak tau. Terakhir reuni empat tahun lalu kamu masih sama dia. Kok gak ada yang kabarin aku ya? Oh, iya lupa. Hape aku ilang dua tahun lalu, jadi nggak punya kontak temen-temen. Baru kontekkan lagi beberapa bulan ini sebelum pulang. Aku turut berduka ya," ucap mbak Mia."Kamu udah kenal sama Linda?"Mbak Mia menatapku lalu tersenyum, beberapa detik beliau sempat terpaku lalu tersadar kembali."Kenal dong. Dia yang baru aja aku dandanin. Katanya mau prew
"Masih banyak, Bapak masih mau?" Kenapa aku jadi salah tingkah begini?"Ya kan, saya yang minta dibawain sarapan. Ya pasti saya makan."Aku lalu menyuapi pak Yogi lagi, sampai nasi di kotak bekal habis tidak bersisa.Sepertinya aku memang harus cepat-cepat pulang kampung, kamu terus-terusan seperti ini, aku takut kena serangan jantung karena setiap hari dibuat berdebar."Katanya Bapak sudah nggak jemput saya?" Aku ingat kemarin pak Yogi bilang kalau aku akan dijemput sopirnya."Nggak jadi. Nanti sopir saya jatuh cinta sama kamu," ucapnya."Astaga, Bapak. Saya itu setia, nggak akan selingkuh kalau sudah punya pasangan. Bapak nih, suka sembarangan kalau ngomong." Kesal sekali dengan ucapan pak Yogi."Saya tau. Lagian nggak mungkin juga kamu sia-siain orang seperti saya, nggak mungkin kamu bisa dapet yang lebih baik dari saya."Kepedean pak Yogi sudah melampaui ambang batas, sudah terlalu berlebihan. Aku lebih memilih diam daripada menanggapi ucapan ngelantur pak Yogi.Kami sudah sampai
"Ini cuma simbol, yang mengikat kita itu cinta," ucap pak Yogi.Ya Tuhan, tolong lindungi hatiku agar tidak meleleh. Kenapa semakin ke sini sikap pak Yogi semakin romantis, kalau seperti ini bisa-bisa aku yang khilaf."Pakek ini, kalau ada yang deketin, bilang kalau kamu udah ada yang punya," ujarnya lalu mengecup punggung tanganku."Udah buruan masuk, bahaya kalau berduaan terus, takut entar si Ai nulis yang iya-iya," lanjut pak Yogi.Aku turun setelah mencium punggung tangan pak Yogi. Pak Yogi melambaikan tangan dan melajukan mobilnya setelah aku membuka gerbang, aku lalu masuk dan mengunci pintu gerbang.Semua pintu kamar kos sudah tertutup dan beberapa pintu terasnya sudah mati, pertanda penghuni di dalamnya sudah terbuai mimpi.Aku membuka pintu kamar, masuk lalu menutup dan mengunci pintunya kembali. Duduk di kursi kecil untuk melepas sepatu, lalu menaruhnya di rak.Berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan muka, menggosok gigi dan mengosongkan kantung kemih.Menat
Astaga, Ruri ini, kenapa membahas hal seperti ini saat aku bersama pak Yogi dan bu Sandra?Kulihat pak Yogi sudah melotot padaku. Ya Tuhan, tolong lindungi hambamu ini."Boleh, suruh ke sini aja." Sumpah, itu bukan jawabanku. Pak Yogi yang dengan entengnya menjawab begitu."Bentar aku panggil dulu ya, pasti seneng banget dia," jawab Ruri."Bapak kok jawab gitu sih," protesku."Kenapa? Ada orang mau kenalan masak nggak boleh?""Mbak Linda. Kenalin ini Dion, sepupu aku. Dion, kenalin ini mbak Linda," ujar Ruri.Aku lalu menyalami Dion. Dion juga berkenalan dengan pak Yogi dan bu Sandra."Kalau mau kenal lebih dekat boleh kan, Mbak?" tanya Ruri."Boleh. Mau kenal sebagai apa?" tanya pak Yogi, beliau seperti seorang ayah yang tengah menginterogasi pacar anaknya."Kalau boleh, saya mau mengenal mbak Linda lebih jauh," jawab Dion."Iya, kalau sudah kenal lebih dekat, mau dijadiin apa? Pacar? Istri? Atau kakak?""Kalau boleh, saya mau serius sama mbak Linda. Saya nggak mau pacaran, kalau mau
"Mbak Linda." Aku baru saja membuka pintu kamar saat kulihat malaikat kecil itu tersenyum manis di depanku."Kangen," ucapku. Aku memeluk tubuh kurusnya. Anak lelaki ini sudah membuatku jatuh hati sejak pertama bertemu.Dia anak yang manis, seringnya kami bertemu membuat kami cukup akrab."Mbak Linda cantik banget hari ini," pujinya dan aku tersipu. Pantas saja anak ini manis sekali, ternyata papinya juga sangat manis."Makasih. Kamu juga ganteng banget, ini baju baru?"Aku belum pernah melihat dia berpakaian serapi ini, biasanya aku hanya melihatnya memakai celana pendek dan kaos. Hari ini Arya memakai kemeja lengan pendek, celana bahan panjang dan sepatu. Tampan sekali calon anakku ini. Apakah nanti aku juga bisa punya anak setampan ini?"Iya, baru beli kemarin sama Papi. Mbak Linda suka?""Suka. Ganteng banget kamu pakai baju kayak gini." Aku mencubit pipi Arya gemas.Mata Arya berbinar. Anak manis ini memang selalu menggemaskan."Lama banget!" Pak Yogi sudah duduk di kursi kemudi
"Sayang banget, Pak, tinggal sebulan lagi.""Dua minggu lagi kamu saya pulangin," ungkapnya."Kok dua minggu? Kan akadnya satu bulan lagi. Saya masih harus kerja, Pak. Kasian Mama kalau semua biaya beliau yang nanggung," jelasku."Ada saya, Lin. Kamu juga nggak percaya kalau saya kaya? Tau gitu tadi saya bayarin sekalian warung baksonya!""Bukan gitu, Pak. Saya cuma nggak mau dibilang matre. Saya mau uang untuk acara nikahan nanti pakai uang saya sendiri," jawabku."Kamu itu nggak matre, kebetulan aja saya banyak uang. Kalau kamu matre, pasti udah dari dulu kamu mempan saya kodein." Pak Yogi menghentikan mobilnya karena kami sudah sampai di depan kos.Aku tertawa mendengar jawaban pak Yogi. Bukannya nggak peka, hanya berhati-hati. Logikanya memang sangat langka orang kaya raya mau sama gadis miskin, tapi kalau masalah cinta dan takdir memang tidak bisa disalahkan."Kenapa nggak seminggu sebelum akad baru dipulangin?""Kalau bisa aja saya maunya sekarang kamu balik ke rumah Mamamu, tap
"Tante." Oh, aku lupa kalau ini dekat dengan rumah mas Hasan, jadi kemungkinannya sangat besar aku bertemu dengan ibu mas Hasan."Ya ampun, nggak nyangka bisa ketemu sama kamu di sini. Udah lama banget Tante pengen ketemu sama kamu, tapi nggak bisa-bisa. Selalu sibuk kerja atau lagi pulang kampung. Kamu apa kabar?"Wow, ramah sekali ibu mas Hasan ini. Sangat jauh berbeda dengan sikapnya yang dulu, kemana ibu mas Hasan yang galak dan pemarah itu?" Baik, Tante.""Tambah cantik ya sekarang. Tante boleh duduk di sini ya?" Tanpa menunggu jawabanku, ibu mas Hasan langsung duduk di sebelahku. Aku melihat pak Yogi sudah menghentikan kegiatannya menyuap bakso."Maaf, Tante ....""Nggak perlu minta maaf, justru Tante yang mau minta maaf sama kamu atas sikap Tante selama ini. Mungkin Tante sudah keterlaluan sama kamu, tapi sebenarnya Tante itu sayang sama kamu," ucapnya. Mimpi apa sampai ibu mas Hasan yang dulu sangat membenciku, sekarang bisa begitu baik padaku."Maaf ya, Tante buru-buru, dit