"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.
Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu. "Enggak, pak," jawabku. "Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang. "Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?" "Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah." "Nikah sama kamu?" Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan. "Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku pada pak bos. "Nia siapa?" "Nia, pengasuhnya Tasya yang dulu. Masak Bapak nggak tau?" Ya, memang Budi akan menikah dengan Nia beberapa bulan lagi. Mungkin Budi belum mengajukan cuti, makanya pak bos belum tahu. "Yang bener kamu?" "Bener, Pak. Kalau Bapak nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi," jelasku. Capek juga ngejelasin sama pak bos yang emosian. "Tapi Budi dulu pernah suka sama kamu kan?" "Itu dulu, pas saya awal-awal masuk sini. Lagian itu kata temen-temen doang, Budi sendiri nggak pernah ngomong sama saya," jelasku. Memang semua yang bekerja di sini sudah tahu kalau Budi pernah menyukaiku, tapi dari Budi sendiri tidak pernah mengungkapkan apapun padaku. "Kalau misal Budi ngomong, kamu mau sama dia?" Kenapa sih, pak bos ini? "Enggaklah, Pak. Dulu itu saya udah punya pacar. Saya ini tipe setia, jadi nggak mungkin selingkuh kalau saya sudah punya pasangan," jawabku. "Kalau sekarang?" Masih ngotot juga orang ini. Hufft. Kuhembuskan napas lelah. "Enggak juga, Pak. Saya kan sudah bilang kalau Budi udah mau nikah dan yang mau dinikahi itu teman saya. Saya nggak mungkinlah nikung teman dari belakang. Mending cari yang single, duda juga nggak masalah, daripada sama pasangan orang. Takut kena karma saya." "Kalau...." "Pak, saya mau makan. Kalau Bapak ngomong terus, kapan saya bisa makan? Saya punya penyakit maag lo, Pak. Bapak mau tanggung jawab kalau sakit saya kambuh?" "Saya juga belum makan, sini bagi berdua." Dengan tidak tahu diri, pak Yogi sudah duduk di depanku. "Ya Allah, tega banget Bapak sama saya. Ini makanan dari Bapak, tapi malah diminta lagi. Mending saya beli sendiri aja deh, Pak." Kesal sekali aku. "Nggak usah. Makan ini aja berdua udah kenyang. Nanti kalau laper kita makan lagi setelah meeting. Lagian jamnya juga sudah mepet, bentar lagi klien udah datang," jawabnya, dengan tanpa perasaan beliau menyuap nasi beserta ayam goreng dan sambel. "Makan. Apa mau saya suapin?" tanya pak Yogi. Aku memang masih diam saja dari tadi. Dengan terpaksa aku juga menyendok nasi di depanku dengan penuh emosi. Apakah semua bos akan berbuat semena-mena seperti ini? "Sekarang beresin semua. Saya mau salat dhuhur, atau kamu mau jamaah?" tawarnya. "Enggak, Pak. Saya lagi halangan." Tanpa kata, pak Yogi keluar dari ruanganku. Enak ya jadi bos, dia yang kenyang, aku yang beresin. Nyesel aku makan makanan dari beliau, tapi biarlah Tuhan yang membalas. Kata mamaku, kalau kita ngasih sesuatu terus diminta lagi, nanti orangnya bakal bintitan. Biar tahu rasa pak Yogi nanti. Pukul satu, tiga klien sudah tiba di ruang rapat. Mereka membahas harga sewa untuk mengadakan acara do resort ini selama dua hari. Pak Doni, bagian keamanan dan Bu Sarina bagian keuangan juga ikut rapat siang ini. Beberapa kali aku menangkap pandangan bu Sarina pada pak Yogi dengan senyum tersungging di bibirnya. Bu Sarina adalah janda tanpa anak, janda kembang kata orang-orang karena baru bercerai beberapa bulan yang lalu. Usianya hanya terpaut satu tahun di atasku. Dengan badan semampai dan wajah yang cantik, apakah mungkin orang yang dimaksud pak Yogi adalah dia? "Sudah kamu catat semua, Lin?" Pertanyaan pak Yogi membuatku kembali pada dunia nyata, ternyata cukup lama aku melamun. Dengan sedikit ragu aku mengangguk, karena memang sudah ada beberapa yang aku catat. Nanti aku bisa mendengar rekaman karena aku selalu merekam agar tidak ada hal yang terlewat untuk aku catat nanti. "Terimakasih, Pak. Kalau begitu kami pamit. Minggu depan kami kirim salinan acara serta menu apa saja yang kami inginkan," ucap salah satu klien. Entah apa yang mereka bicarakan, karena sekarang fokusku kembali pada bu Sarina yang tengah mengamati pak Yogi lekat. Semua sudah pergi, tinggal aku yang tengah membereskan semua peralatan dan pak Yogi yang duduk diam di kursinya. "Kamu mulai suka sama cewek?" "Hah?" Aku terkejut dengan pertanyaan pak Yogi. "Kamu mulai suka sama cewek karena sering dikecewain laki-laki? Masak pertanyaan saya kurang jelas?" "Bukan pertanyaan Bapak yang kurang jelas, tapi maksud Bapak apa tanya kayak gitu sama saya? Saya masih normal, Pak!" Enak saja sembarangan menuduh. Aku masih sangat normal, bahkan seringkali berkhayal bisa nikah sama opa-opa korea, kok bisanya beliau bertanya seperti itu? "Kirain. Ngapain kamu liatin Sarina dari tadi? Padahal kalau normal, harusnya yang kamu perhatikan itu saya, di ruangan tadi yang paling ganteng cuma saya, kok kamu malah merhatiin Sarina terus?" Hih, pede banget orang ini. "Bukannya Bapak yang suka sama Bu Sarina?" "Tuduhan macam apa itu? Kamu yang merhatiin kok nuduh saya yang suka. Gimana kamu ini." "Dari tadi saya perhatiin Bu Sarina mandangin Bapak terus, makanya saya kira Bu Sarina yang Bapak maksud kemarin. Umur Bu Sarina kan nggak beda jauh sama saya," jelasku. "Mana ada saya bilang kalau saya suka janda? Lagian memang siapa yang tahan dengan pesona saya. Banyak wanita yang mengejar-ngejar saya, tapi anehnya saya kok malah suka sama cewek yang nggak peka!" "Saya permisi dulu, Pak. Mau bikin laporan. Kalau Bapak masih lama, tolong tutup pintunya." Daripada kena omel lagi, mending aku pergi dari sana. Suasananya sudah sangat panas kalau pak bos lagi mode sensi gitu. Entah beliau marah atau tidak, yang penting aku harus cepat menyelesaikan pekerjaanku dulu. "Ayo, pulang sama saya," ajak pak Yogi yang berdiri di sampingku yang sedang menunggu ojek online tiba. "Tapi saya sudah pesan ojek, Pak," jelasku lalu menunjukkan layar gawaiku pada beliau. Pak Yogi hanya mengamati lalu tidak berucap apa-apa, hanya diam disampingku. "Itu ojek saya sudah tiba, Pak. Saya duluan ya," pamitku. "Kamu tunggu sini dulu," ucap pak Yogi, dia menahanku untuk tetap berdiri lalu dia mendekati ojek online pesananku. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi setelah pak Yogi menyerahkan sesuatu, ojek online itu pergi begitu saja. "Kamu pulang sama saya! Ada yang mau ketemu sama kamu," ucapnya padaku dengan nada perintah. Aku hanya bisa menurut. Memangnya aku sepenting apa, sampai ada yang mau bertemu denganku?"Lin, pokoknya saya mau nikah!"Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja."Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih.Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu."kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi.Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini."Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku.Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya
Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain.Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya."Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini."Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku.Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh."Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu m
"Kamu belum ngerjain tugas?" tanyaku pada anak pak bos."Udah semua, kemarin dibantuin tante Najwa," jawabnya dan hal itu membuatku sedikit kesal. Bukankah tadi bapaknya bilang kalau anaknya punya banyak tugas dan perlu bantuan?"Terus kamu ngapain ke sini?" Meski kesal, tapi aku tetap harus bersikap manis pada bos kecil ini karena sikapnya tidak se-menyebalkan bapaknya."Papi yang nyuruh. Padahal tadi aku mau main sama Tasya, mumpung dia lagi main ke sini sama adek Davin," jelas Arya.Kok semakin lama aku semakin emosi ya. Sepertinya ini memang disengaja oleh pak Yogi supaya aku tidak jadi pulang kampung, tapi untuk apa?"Kamu mau makan apa?" tanyaku pada Arya.Sebenarnya Arya sudah cukup sering bermain ke sini saat bapaknya ada pekerjaan mendadak, apalagi cucu dari pemilik kos ini adalah teman satu kelas Arya."Adanya apa?" Arya meletakkan tas di atas kursi tamu, "kata Papi, aku nggak boleh ngerepotin mbak Linda. Aku dikasih uang, kalau mau apa-apa pesen aja lewat online, nggak bole
"Siapa?" tanya temanku."Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam."Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya.Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya.Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya."Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya.Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya."Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil."Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli."Tadi pacar kamu? H
"Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi.Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih."Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi.Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya?"Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku.Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi."Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku."Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumny
"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu."Enggak, pak," jawabku."Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang."Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?""Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah.""Nikah sama kamu?"Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan."Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku p
"Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi.Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih."Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi.Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya?"Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku.Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi."Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku."Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumny
"Siapa?" tanya temanku."Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam."Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya.Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya.Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya."Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya.Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya."Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil."Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli."Tadi pacar kamu? H
"Kamu belum ngerjain tugas?" tanyaku pada anak pak bos."Udah semua, kemarin dibantuin tante Najwa," jawabnya dan hal itu membuatku sedikit kesal. Bukankah tadi bapaknya bilang kalau anaknya punya banyak tugas dan perlu bantuan?"Terus kamu ngapain ke sini?" Meski kesal, tapi aku tetap harus bersikap manis pada bos kecil ini karena sikapnya tidak se-menyebalkan bapaknya."Papi yang nyuruh. Padahal tadi aku mau main sama Tasya, mumpung dia lagi main ke sini sama adek Davin," jelas Arya.Kok semakin lama aku semakin emosi ya. Sepertinya ini memang disengaja oleh pak Yogi supaya aku tidak jadi pulang kampung, tapi untuk apa?"Kamu mau makan apa?" tanyaku pada Arya.Sebenarnya Arya sudah cukup sering bermain ke sini saat bapaknya ada pekerjaan mendadak, apalagi cucu dari pemilik kos ini adalah teman satu kelas Arya."Adanya apa?" Arya meletakkan tas di atas kursi tamu, "kata Papi, aku nggak boleh ngerepotin mbak Linda. Aku dikasih uang, kalau mau apa-apa pesen aja lewat online, nggak bole
Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain.Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya."Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini."Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku.Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh."Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu m
"Lin, pokoknya saya mau nikah!"Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja."Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih.Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu."kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi.Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini."Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku.Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang duda yang punya