"Oke, apa yang kamu rencanakan?" tanya Clara. "Maksudnya ... apa yang harus kita lakukan?""Pertama, kamu ke kamar dan tanda tangan. Setelah itu, bawa surat kontraknya ke ruang kerjaku. Aku tunggu di sana."Sebenarnya Clara kesal, padahal Revan tinggal katakan saja apa rencananya. Kenapa surat kontrak itu tampak lebih penting daripada pembicaraan mereka? Namun, ia tidak memiliki pilihan selain mengikuti Revan masuk ke lift. Berdebat hanya akan membuang-buang waktu, sedangkan sekarang sudah malam.Tak lama kemudian, pintu lift pun tertutup. Berdua di ruang sempit bersama Revan seperti ini membuat Clara tidak tahu harus berbuat apa atau memulai pembicaraan dari mana sehingga ia lebih memilih diam."Jangan cemberut. Surat itu untuk pegangan masing-masing, supaya kita sama-sama merasa aman dan nggak khawatir saling mengkhianati," kata Revan memecah keheningan di antara mereka."Ya, ya, ya," jawab Clara.Sampai kemudian, pintu lift terbuka tepat di lantai tiga. "Aku tunggu," pamit Revan se
Clara membuka matanya dan mendapati dirinya berada di sofa. Ah, semalam pasti ia ketiduran dan terbukti TV masih menyala. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, tetapi saat mendengarkan seorang presenter acara gosip di TV mengatakan hal yang membuatnya terkejut, Clara langsung terduduk.Seluruh tubuh Clara merasa sakit dan pegal, mungkin akibat posisi tidurnya di sofa. Sambil memijat-mijat bahunya, Clara memperhatikan tayangan yang menampilkan Ariana dan Benny di bandara. Ya, mereka sudah pulang. Rupanya satu Minggu kembali berlalu dengan cepat.Tidak bekerja memang membuat Clara lupa tentang hari dan tanggal. Ia nyaris tidak percaya sudah berada di rumah ini selama dua mingguan.Awalnya Clara mengira menunggu kepulangan Ariana dan Benny akan terasa lama, tapi ternyata waktu benar-benar tidak terasa. Terlebih setiap hari Lidya mengajaknya melakukan banyak hal, dari menikmati segala fasilitas di rumah ini, sampai ke salon atau mal untuk sekadar menguras kartu kredit Revan. Clara bahkan t
Di ruangan khusus di lantai satu, Revan, Angga dan Lidya memang sedang duduk sambil fokus mendengarkan melalui alat yang sudah terhubung dengan ruang tamu sehingga mereka bisa mendengarkan pembicaraan Clara dan Ariana dengan sangat jelas. Tadi, Angga memang sengaja meletakkan alat berbentuk pulpen andalannya di ruang tamu.Ketiganya, terutama Revan sangat terkejut saat mendengar Clara tidak mengatakan tentang asisten. Melainkan calon istri. Apa-apaan ini?"Bos?" bisik Angga yang sudah menoleh ke arah Revan."Bisa-bisanya Clara seenaknya sendiri. Seharusnya bukan itu yang dia katakan. Dia pasti kerasukan, bukan ... maksudku dia udah nggak waras!" jawab Revan, ekspresinya sekarang sangat sulit diartikan. "Aku harus menghentikan ini sebelum kegilaannya makin menjadi-jadi.""Tunggu, Bos. Mungkin dia mempunyai rencana lain," kata Angga lagi."Rencana apa? Kalaupun dia ingin berpendapat tentang rencana lain, seharusnya bilang sejak awal." Revan lalu menoleh pada Lidya. "Kamu dengar jawaban
"Kamu yakin bukan aku aja yang nyetir? Tangan kamu gemetar terus dari tadi," ucap Clara memecah keheningan di dalam mobil. Ia dan Ariana memang sedang dalam perjalanan mencari tempat yang nyaman untuk berbicara.Ariana menoleh sejenak pada Clara di sampingnya, lalu kembali fokus ke arah jalanan. "A-aku aja nggak apa-apa. Aku gemetar karena belum makan.""Oh, kirain karena takut sama aku," balas Clara blakblakan.Eskpresi Ariana seperti orang bersalah yang tertangkap basah. "Ng-ngapain aku takut?""Ya karena kamu selingkuh sama pacarku. Ah, maksudnya sekarang udah jadi mantan. Wajar kalau kamu takut, apalagi kartu matimu ada di tanganku. Sayang banget ya, karier yang lagi bagus-bagusnya, sekarang berada di tanganku. Itu sebabnya kamu harus bersikap baik padaku," terang Clara memperjelas posisi mereka.Ariana tidak menjawab, pandangannya masih lurus ke depan. Namun, Clara sangat tahu betul kalau wanita itu sedang menahan kekesalan."Ah, karena kamu belum makan ... gimana kalau kita ngob
Clara masih memperhatikan mobil Ariana yang semakin menjauh meninggalkannya. Setelah mobil itu hilang dari penglihatannya, Clara lalu bersiap-siap untuk menyeberang.Namun sebelumnya, ia terlebih dahulu memeriksa ponselnya yang masih aktif merekam. Ya, Clara memang merekam pembicaraannya dengan Ariana sedari tadi saat mereka mulai masuk ke mobil. Setelah menyimpannya ke folder yang aman, Clara lalu kembali meletakkan ponselnya.Sekarang, Clara kembali bersiap-siap untuk menyeberang. Sesuai yang Ariana tunjuk tadi, di seberang sana ada restoran mewah dan Clara ingin makan di sana sebelum kembali ke rumah Revan. Ia ingin beristirahat sejenak di tempat yang nyaman sebelum berdebat dengan pria itu. Clara sangat yakin Revan akan menguras energinya dengan mengajak berdebat seperti biasa. Apalagi sudah jelas Revan memiliki alasan untuk mengamuk.Jalanan yang cukup ramai, ditambah teriknya matahari membuat Clara memutuskan untuk berteduh sejenak. Ia menoleh ke belakang, ada sebuah toko bunga.
Selama beberapa saat, Clara berusaha mencerna kalimat yang Revan lontarkan. Ia lalu tertawa yang dibuat-buat, lebih tepatnya mentertawakan Revan.Sampai kemudian ia menjawab, "Lelucon kamu benar-benar nggak lucu, tahu. Sekarang tolong kasih waktu setidaknya sepuluh menit karena aku baru banget selesai makan. Setelah itu, aku siap adu mulut sama kamu.""Adu mulut? Maksudnya berciuman?" jawab Revan pura-pura polos.Clara mengernyit. "Sial. Kamu pasti kerasukan!""Gimana keadaan bayi kita? Apa perlu aku antar ke dokter kandungan? Aku mau mendengar detak jantungnya.""Revaaan!" teriak Clara."Iya, Calon Istriku? Jangan teriak dong. Kasihan bayi kita."Clara mengembuskan napas kesal. Sungguh, ia awalnya membayangkan Revan akan memarahinya. Namun, yang pria itu lakukan sekarang benar-benar tak terduga. Kalau boleh jujur, Clara merasa lebih baik bertengkar daripada menghadapi respons Revan yang seperti ini."Iya, aku tahu aku salah. Apa yang aku katakan terhadap Ariana tadi nggak sesuai deng
Ariana membuka pintu ruang kerja Revan saat pria itu sedang sibuk menatap layar laptopnya. Ariana berusaha tersenyum manis seperti biasa, seolah tadi pagi tidak terjadi apa-apa.Setelah memastikan pintu terkunci, Ariana langsung melepaskan high heels-nya lalu setengah berlari ke arah Revan. Tidak lupa, ia juga membuka dua kancing teratas kemejanya. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menggoda Revan.Ariana berdiri tepat di samping kursi kebesaran Revan sambil merangkul pria itu. "Sayang, maaf ya ... tadi pagi aku ada urusan mendadak," ucap Ariana manja. "Lagian Mas nggak turun-turun, sih. Padahal aku nungguin lumayan lama.""Belakangan ini aku sibuk. Sekarang pun sedang sibuk."Mendengar nada dingin Revan, tentu Ariana jadi was-was sendiri. "Mas Revan marah?"Revan mendongak menatap Ariana, terpaksa tidak menepis tangan wanita itu dari pundaknya, padahal rasanya sangat tidak nyaman. Sungguh, segenap rasa yang pernah diberikannya pada Ariana seakan lenyap tak tersisa. Sekarang hanya ada p
"Mamaaa!" teriak Ayra penuh keceriaan.Mira yang sedang melihat-lihat foto Clara di Instagram, otomatis mengalihkan pandangan pada putri bungsunya yang baru saja datang. "Kamu ini masih pagi udah teriak-teriak. Kamu menang arisan? Sepertinya ada kabar gembira.""Dugaan kita benar, Ma. Tentang Kak Re dan Clara."Tentu saja Mira jadi bersemangat. "Tuh kan, feeling Mama benar. Gimana, gimana?"Ayra langsung duduk di samping mamanya. "Jadi, Bu Nina alias kepala divisinya Clara nggak sengaja ketemu mereka berdua di restoran. Mama pasti kaget kalau tahu anak sulung Mama bisa romantis juga. Kak Re ngasih bunga, Ma.""Ya Tuhan, Mama happy banget loh dengarnya.""Aku pun sama, Ma. Awalnya Bu Nina juga yakin nggak yakin, sih, karena nggak terlalu hafal banget sama Kak Re. Sampai kemudian dia sadar kalau itu Kak Re dan semuanya jadi masuk akal tentang pemindahan paksa Clara. Se-bucin itukah Kak Re sampai-sampai Clara nggak boleh kerja dan harus selalu di dekatnya?""Mama juga nggak nyangka kakak