Bab 1 .
KETIKA CINTA
Waktu berjalan, pagi yang cerah menjelang bersama riuk pikuk persiapan pernikahan. Suasana begitu ramai menghiasi tiap sudut ruangan. Dapur penuh dengan orang yang bercanda bersahutan, memasak menyiapkan hidangan pesta pernikahan. Wangi semerbak masakan bercampur dengan wangi bunga pelaminan. Menambah romantisme segala persiapan.
Hari ini hari Kamis, tanggal 02 April 2009, hari yang akan menjadi sejarah sepanjang hidupku. Sejarah sepanjang kisah cintaku. Aku duduk dengan jantung berdegup tak beraturan. Menatap cermin, menikmati setiap perubahan yang diciptakan perias pengantin yang sudah datang sejak pagi.
Persiapan demi persiapan telah berlangsung sejak kemarin. Memberikan perasaan tersendiri padaku yang masih kelabu, ragu menatap waktu.
Aku termenung, menyaksikan setiap proses pemasangan tenda berhias background biru putih yang penuh dengan bunga pada Selasa malam. Indah menyilaukan mata. Bangku, meja, dan perabotan berdatangan, membuat sibuk barisan panitia yang dibentuk. Untuk memastikan semua sesuai pesanan.
Aku menatap syahdu rangkaian indah yang dengan kokoh terbentuk, menghias pelaminan coklat, kayu jati pilihan tempatku dan pujaan duduk melepas kerinduan.
Indah ...
Hai cinta
Lihatlah
Semua sudah siap
Menunggu ijab
Yang akan kau lantunkan
Lamunku, melantunkan sebait puisi yang terlintas di kepala. Aku tertawa sendiri.
“Jangan bengong Mbak, nanti juga ketemu sama dia.” Goda perias pengantin, saat mendapatiku melamun dalam senyuman. Wajahku merona malu karena jadi bahan tertawaan.
Suasana semakin riuh, panitia silih berganti membawa dekor yang akan dibuat di Mushola Baitul Ikhlas tempat dilangsungkannya acara akad. Mereka saling bersahutan bertanya memastikan semua sudah sesuai dengan kebutuhan dan rencana. Sesekali terdengar ocehan marah karena sebagian ternyata belum siap, ada saja kekurangan. Berbeda dengan barisan tukang masak, mereka sukses menyiapkan makanan yang sudah terhidang manis di meja prasmanan, menunggu tamu yang datang.
Semua bekerja keras memberikan yang terbaik untuk kelangsungan acara pernikahan. Mulai dari janur kuning, karpet selamat datang, tugu hias penuh bunga sebagai pintu masuk para undangan, hingga meja dan kursi yang di tata cantik dengan bajunya masing-masing, sama cantiknya dengan sekelompok remaja yang telah berdandan memakai baju kebaya yang sama. Siap di pajang, menjadi penerima tamu dan pelayan di meja prasman. Aku bahagia keluargaku berkumpul seluruhnya. Berjuang mewujudkan pernikahan indah yang tak akan aku lupakan.
“Terima kasih.” kata yang terus aku ucapkan dalam hati selama proses persiapan pernikahan hingga hari ini. Aku tak sabar, waktu silih berganti dan jika tak ada aral melintang pukul 08.00 WIB nanti aku akan resmi menjadi seorang istri.
Wajahku merona membayangkan sakralnya ikatan cinta, jantungku berdegup semakin kencang. Aku gelisah, tanganku berkeringat dibalik sarung tangan putih yang aku kenakan.
Riasan telah selesai menghiasi di wajah, jilbab putih berhias mahkota dan rangkaian indah bunga melati melengkapi seluruh kepala. Menampakkan wajah ayu yang tak seperti biasa.
Hari ini adalah hari istimewa untukku, hari di mana ikatan cinta aku dan sang kekasih bersatu, dalam suci ikatan cinta pernikahan.
Aku menunggu dalam kegamangan. Hatiku berbunga dengan segala rasa yang tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Waktu terus berjalan, semakin dekat dengan waktu yang di tentukan. Lamunanku melayang, sekali lagi sebait puisi melintas dikepala. Menari-nari untuk dilantunkan.
Aku bahagia
Jiwaku berbunga
Ragaku mendamba
Dia ...
Sang kekasih jiwa
“Cie ... cie ....” Goda Shinta sahabatku.
“Asik nih, nanti malam.“ Lanjut Yoga ikut menggoda.
“Jadi enggak sabar buat dengar ceritanya ....” kata Yoana juga ikut menggoda.
“Apaaan si ....” jawabku tertunduk malu merona, membuat mereka semua kompak tertawa.
“Wooooy ... udah saaaah!“ kata April tiba-tiba semakin memeriahkan suasana.
“Cie ... cie, sudah resmi nih jadi Nyonya Bahtiar Alviansyah.“ katanya lagi menggoda.
“Bakal seru dah pokoknya nanti malam. Ranjang berdenyit ‘krit ... krit’, hahahhahahh.“ kata Yoga kemudian penuh tawa, membuatku kembali merona seketika membayangkan.
“Enggak usah di bayang-in, di rasa-in saja ... -sakit enak deh pokoknya! “ Lanjut Sinta terkekeh.
“ Sakit ya Sin ...?” Tanya April polos kemudian.
“ Banget Pril ....” jawab Sinta.
April bergidik seraya berkata. “Iiiiiiikh ....” Tubuhnya bergerak lucu seperti benar merasakan.
“ Tapi nagih Pril ....” kata Sinta kemudian wajahnya lucu menggoda April yang tetap saja polos seperti biasa.
Kami pun tertawa bersama, ada sedikit kesedihan memenuhi relung dada. Aku takut, kebahagiaan bersama-sahabatku ini, akan hilang setelah aku menjalani keseharian dengan status baruku. Aku khawatir akan kehilangan mereka, kehilangan canda tawa bersama mereka.
“Kok menangis?” Kata Yoana mengheningkan suasana. Semua kompak melihat ke arahku. Menatap intens diriku yang tertunduk diam mengalirkan air mata.
“Tenang saja, meski loe sudah nikah ... kami semua tetap bakal jadi sahabat loe ... kita akan tetap berhubungan apa pun yang terjadi!“ katanya lagi dijawab dengan anggukan kepala semua sahabatku.
“Terima kasih ya ....” kataku merentangkan tangan, dan disambut oleh mereka satu persatu memberikan pelukan, kecuali Yoga, ... Ia sudah dewasa, jauh lebih dewasa dibanding pertama kali bertemu. Kini, ia tahu batasan dan sangat menjaga perilakunya. Terutama perilakunya terhadap kami teman-teman perempuannya.
“ Yuk ... Kak!“ ajak adikku Ika, memanggil tiba-tiba. Kami tak menyadari kedatangannya karena asyik bercengkerama dalam keharuan.
Semua terkesiap, membantuku bersiap memastikan pengantin baru ini cantik luar dalam ,isyarat untuk tersenyum dan mengusap air mata diberikan agar aku tampil sempurna di depan seseorang yang kini syah menjadi suamiku. Mereka memperbaiki segala riasan yang sempat rusak karena air mata. Aku terharu, mengucap syukur karena memiliki teman-teman yang luar biasa perhatian kepadaku.
“Terima kasih ya Allah, -Kau selalu tahu apa yang terbaik bagiku!” kataku dalam hati penuh syukur.
Kami beranjak, keluar dari tempat semula. Semua bahagia mengantarku kehidupan baru, menyandang status baru dengan pasangan yang baru saja mengikat janji denganku.
Ritual pernikahan yang baru saja selesai, menunggu diresmikan dengan bubuhan tanda tangan, penyematan mas kawin dan foto bersama.
Aku tersenyum penuh rasa syukur dan bahagia, aku telah resmi jadi ratu baginya. Kami berpandangan dalam bingkai rona malu dan kebahagiaan. Senyumku mengembang, hatiku membisikan sebait puisi yang aku tuliskan dalam selembar tisu yang aku pegang.
Hai mempelai
Sambutlah aku
Dengan kebahagiaan
Sebab cinta kita telah di bubuhkan
“Lagi apa?” tanya seseorang yang kini resmi menjadi suamiku. Berbisik di telinga ketika kami telah duduk dalam pelaminan. Menyalami tamu satu persatu yang datang memberi doa dan restu.
Aku tersenyum, kemudian menyodorkan tisu yang aku pegang. Ia membacanya, tersenyum penuh cinta menatapku, tangannya aktif menggenggam tanganku yang kini halal baginya.
“Jangan lupa cerita ya, bagaimana nanti malam!” Bisik Yoga ketika berpamitan.
“Sialan loe ....” kataku refleks menghantam wajahnya dengan buket bunga yang aku pegang. Semua tertawa, menertawakan tingkah kami berdua.
“ Titip ya Bro, ... cengeng banget anaknya!“ Lanjutnya lagi ketika berpamitan pada suamiku, dia masih saja cengengesan. Membuatku sebal.
“hahahahahhah,” Tawa mereka bersamaan.
“Titip ya Bro, tolong di jaga baik-baik, ... Dia salah satu yang berharga buat gw!” katanya ketika berhenti tertawa.
“Jangan di sakit-in, apalagi sampai loe telantar-in.” katanya, wajahnya sangat serius memandangku, kemudian bergantian memandang Sinta. Tersirat sedih mendalam dari kata-katanya. Kami terdiam, tak mengerti harus bagaimana.
“Siap brooow ....” Jawab suamiku memecah keheningan, tangannya memberi hormat, dengan sifat sempurna khas sikap tentara. Sekali lagi mereka tertawa bersama.
“Tapi tetap bantu-in gw ya!”
“Berhubung tadi loe bilang dia cengeng, jadi rada takut gw jadinya ... Loe harus bantu gw! Kalo gw butuh balon buat diemin dia!” katanya lagi, membuat semua teman-temanku tertawa.
Mereka berjabat tangan bersalaman khas pertemanan laki-laki kebanyakan.
“Selamet dah pokoknya, biar langgeng sampai jompo ya pada.” katanya lagi berpelukan dan
“Kita pulang ya sayang, selamet sekali lagi .....” kata sahabat-sahabatku berpamitan.
“ Terima kasih ya buat segalanya.” jawabku mengharu biru, menyambut pelukan mereka satu persatu.
“Tuh liat kan Bro, kayak mau berangkat perang! Pamitan aja pake ada air mata!” Ledek Yoga, tak kami pedulikan.
“ Apa pun yang terjadi nanti ke depannya jangan ragu buat cerita ya sayang!” kata Sinta pelukannya dieratkan kemudiannya diarahkan wajahnya mencium pipiku kiri dan kanan, kurasakan kekhawatiran di wajahnya. Ia takut melepasku dalam dunia baruku, dunia yang penuh liku, dunia rumah tangga.
Aku tahu berkeluarga tidaklah mudah, menyatukan dua orang dengan segala karakternya masing-masing sanggatlah sulit apalagi harus bertahan hingga maut memisahkan, pastilah bukan hal yang mudah sebab dia sudah lebih dulu merasakannya dan kegagalanlah yang menimpanya. Aku mengerti benar bagaimana dia. Seseorang dengan jiwa keibuan paling melekat di di antara kami semua, dia dan Yogalah yang selalu menjaga kami dari kejamnya dunia kerja hingga percintaan.
“ Take care ya honey ... love yon and congratulation for you.”
“ Selamet ya sayang, selamat menempuh hidup baru.”
“Jangan lupa ya cerita, Bagaimana malam pertamanya?” kata mereka bersamaan berbisik sambil cekikikan.
Wajahku merona, membayangkan segala kenikmatan cinta yang tergambar. Puas aku mendengar semua nasihat dan pengalaman.
Ibu ayahku setiap hari menjejali dengan segala nasihat rumah tangga sejak lamaran dan waktu pernikahan ditetapkan.
Sahabat-sahabatku yang lebih tua selalu berbagi cerita mulai dari pengalaman malam pertama hingga biduk dan kerumitan berumah tangga.
Tetanggaku juga ambil bagian berbagi cara dan pengalaman mereka dalam menjalani bahtera cinta dan rumah tangga.
Semua berbagi karena aku adalah pendengar yang baik hingga mereka senang menceritakan semuanya secara gamblang tanpa saringan.
Aku ngeri membayangkan rasa sakit yang mereka gambarkan, tapi tubuhku juga mendamba rasa yang membuat mereka ketagihan. cerita malam pertama lebih banyak aku dengar, semua berlomba menceritakan pengalaman mereka dan aku senang mendengarnya.
Aku bahkan tak ragu menceritakannya lagi pada calon suamiku...hingga ia menggoda untuk melakukannya lebih dulu.
“Hahahaha” tawaku selalu menggema tiap kali itu ia katakan itu.
Malam Penyatuan Aku terbangun dari tidur pulasku, mataku terganggu dengan embusan angin dan kilatan cahaya pagi yang mengintip dari balik jendel besar. Bau manis yang menyatu dengan aroma kopi menelisik hidung, memaksaku membuka mata. “Pagi Sayang ....” sapanya tersenyum ramah penuh arti. “Eum ....” kataku menggeliat membalas sapaan yang dilontarkannya dengan senyuman. “Pagi ....” kataku kemudian membuka mata seutuhnya. “Tidurnya nyenyak banget si ... sampai enggak tega ngapa-ngapain.“ lanjutnya lagi meraih tubuhku dalam pelukannya. “Mana masih lengkap pakai baju pengantin lagi. “katanya lagi mengecup lembut kening ini. “Ya Tuhan ....” Semeriwing rasa aneh menyergap didada ketika bibirnya menyentuh kulit kepala, ada rasa menggelitik diperut ketika kulit kami bersatu. “Enggak berasa ya, ditelanjangi? “ katanya lagi berbisik ditelinga membuatku terperanjat kaget. “Apaaaaaa ...?” katak
INIKAH cinta di malam Yang“Aku capek banget..”kataku memukul-mukul betis kakiku sendiri saat pantat ini mendarat di tepi ranjang.“Cape ya..? “ Tanyanya ku jawab anggukan.“Laper juga..”kataku lagi memegang perut yang keroncongan.“Mau makan apa sayang “ tanyanya sambil terus membereskan koper-koper bawaan kami,gerakannya sangat telaten mindahkan semua koper yang dibawa pelayan kamar dari luar kedalam,tak diijinkannya aku membantu membawa barang sedikitpun padahal banyak juga barangku yang sengaja ku masukan dalam tas-tas kecil agar aku mudah dan dapat membawanya sendiri,selain itu dia sungguh protektif aku begitu dijaganya hingga tak diijinkan bicara pada pelayan,supir atau pedagang laki-laki.Meski terasa risih diawalnya tapi aku senang,seperti mendapat bodyguard VIP gratis.“Sebentar y sayang,ayah urus ini dulu “katanya nyelonong pergi menemui pelayan yang sejak ta
Aku terperanjat kaget mendapati segudang hadiah memenuhi ruanganBunga,baju,sepatu,parpum,hingga Daleman ku dapatkan. Dari dia suamiku tercinta yang sedang sibuk bekerja...Ini hari ke tiga bulan madu kami,dan ternyata diisi dengan aku termenung seorang diri,karena dia sang suami sibuk dengan aktivitas nya sendiri.“Pantaslah ia begitu terburu-buru mengajakku berbulan madu,ternyata jadwal pekerjaannya sudah menunggu “kataku pagi tadi ketika dia berpamitan.Aku tak menyangka pilihanku kemarin akan aku sesalkan hari ini,aku terjebak disini,dikamar hotel seorang diri,hanya dapat menatap keluar jendela dengan secangkir kopi yang menemani.HujanSejuk menyergapBersandar bersama kedatanganmuHujan sunyi kudapatBersama heningnya malamDalam relung terdalamHujanRintikmu bagai bui dilautanMembasahi bumi yang kehausanHujanIndahnya malamBertabu
Aku baru saja tiba ketika ku dengar suara sumbang memekakkan telinga.Bagai petir menyambar disiang bolong,aku tertegun mendapati kenyataan.“Saya mah sampe kapan juga gak bakal nerima itu anak jadi mantu saya ““Anak orang miskin gitu,gak sepadan sama keluarga sayalah ““Kalo bukan gara-gara dipaksa anak,mana mau saya nerima dia ““Liat aja paling gak lama,nanti juga dibuang sama anak saya,diluar sana kan masih banyak perempuan cantik lebih dari dia ““Loh,kok gak langsung masuk ? “ Tanya suamiku dengan semua barang ditangan.“Assalamualaikum..”ucapnya seraya membuka pintu.“Waalaikumsalam “jawab serempak beberapa orang yang sedang duduk berbincang diruangan.Suasana mendadak canggung kulihat mereka saling berpandangan bertanya-tanya apakah kami mendengar pembicaraan mereka atau tidak.Aku terdiam mengi
Kami duduk bersama bersandar bantal dikepala ranjang,kopi hitam buatannya bertengger manja ditangan memberikan sedikit ketenangan.“Coba cerita sayang,kenapa tiba-tiba bunda ayah yang cantik ini tau-tau ngomong gitu?kita baru saja pulang bulan madu..kita masih pengantin baru “godanya penuh canda berharap kesedihanku berkurang.“Lihat ayah sayang..!”pintanya ketika pandanganku tetap saja kosong lurus kedepan.Kuseruput kopi ditangan tak berniat mengubah arah pandang,memandang lurus menikmati putihnya tembok kamar yang hanya berhias lukisan abstrak tak berbentuk namun mampu menghantarkan rasa siapapun yang melihat.Ku Hela napas panjang.“Ayah yang harusnya jawab pertanyaaan bunda?Kenapa ayah bohong?"Tanyaku dia diam"Kenapa ayah gak terus terang soal ibu ?""Kenapa ayah gak bilang kalo ibu sampe sekarang gak merestui hubungan kita?"lanjut ku terisak,berat rasanya hati ini melanjutkan pembicaraa
Aku terdiam,pandanganku lurus kedepan.Memandang senja yang tampak indah terbingkai dari balik jendela kamar.Kamar gelap penuh kesunyian kontras dengan indahnya pemandangan yang dilukiskan alam.Senja Olehku yang berdukaHai senjaWarnamu indahOren kemerahanMemberi semangat juga kehangatanCahayamu memberi ketenanganUntuk hatikuYang mengharu biruHai senjaKau mengantarkan cahaya kehidupanMengawali kegelapan malamMengantar makhlukKe peristirahatanHai senjaLihatlahAku terdiamMemandangmuDengan lukaSenyumku hilangMelayangTerbawa kegelapanTerbang bersama kebahagiaanMelayangTinggi ke awanHai senjaTeruslah bersinarHingga peraduanDan aku kembali bahagia“Hai
Aku berjalan dalam kebimbangan.Otakku menolak namun hatiku menerima.Aku mengalah.Aku menyerah.Aku akan melanjutkan pernikahan ini.Meski dengan segudang luka.Yang menunggu didepan mata.“Assalammualaikum”salamku ketika sampai didepan rumah tempatku dibesarkan.Kulihat dengan jelas senyum dan sambutan seluruh keluarga.Ini adalah pertama kalinya aku berkunjung setelah pernikahan,oleh-oleh yang aku bawa saat kembali dari bulan madu telah bertengger ditangan,disiapkan dengan apik oleh dia yang kini jadi suamiku tercinta.“Mama,Bapak.. Assalammualaikum,”kataku menyalami tangan mereka satu persatu dilanjutkan oleh suamiku yang juga menyalami mereka satu persatu secara bergantian.“Kemaren katanya sakit..”tanya ibu ku cemas.Ku iyakan dengan senyuman“Udah sembuhkan sekarang ..”ledek ayahku penuh canda."Udah dong,kalo belom m
Aku tersenyum,melihat hasil 2 garis yang tercetak di alat uji kehamilan.“Aku hamil,” kataku dalam hati.Kabar ini menjadi hadiah terbesar yang kumiliki di tengah usahaku mencari restu ibu.Usia pernikahan ku baru satu bulan tapi Alloh telah menitipkan sebuah jiwa didalam rahimku.Aku sangat bahagia teramat bahagia sampai melupakan segala kesedihanku.Aku yakin ini akan membuatku semakin dekat dengan ibu mertua,dan itu artinya aku akan segera mendapat restu ibu karena seorang cucu.Pokoknya aku sangat bahagia.Suamiku masih sibuk di kantor,aku tak berniat untuk mengabarkannya saat ini..aku akan mengabarkannya setelah ia kembali.Hamil itu memang aneh ya,pertandanya selalu membuat geleng-geleng kepala..tapi aku menikmati setiap prosesnya.Aku tak menyangka sakit sekujur badan yang aku rasakan selama dua minggu terakhir adalah pertanda awal tubuhku akan menerima calon manusia baru buah cintaku.Aku j
Bab 23 Menantu Baru Sudah dua Minggu, suamiku meninggalkan rumah sejak malam itu. Meski selalu memberi kabar, tapi hatiku merasa gersang sejak kepergiannya.Sebuah notifikasi muncul memendar sinar pada gawaiku, dari SMS banking yang menyatakan bahwa rekeningku menerima uang sebesar sepuluh juta.[ bunda ....Itu uang modal untuk bisnis bunda ... Di pikirin baik-baik mau bisnis apa, tapi sebelum mulai kasih tahu ayah dulu ya! ] Tulisnya kemudian memberikan emoticon penuh cinta [ Oh iya, Alhamdulillah Ibu baik-baik saja. Cuma kelelahan dan darah tingginya kambuh.Sekarang sudah di rawat di rumah sakit.] Mengirimkan gambar Selfi dirinya dengan background ibu mertuaku yang terbaring di rumah sakit. [ Terima kasih ya ayah.] Balasku untuk pesan pertamanya, yang segera dibalasnya dengan emoticon cinta.
Bab 22Awal Petaka Siang itu suamiku berubah, begitu memanjakan ku. Dibujuknya aku yang sedang merajuk dengan beragam cara, termasuk mengajak keluar rumah. Kami berkeliling ke taman, mall dan rumah makan yang menjual makanan favoritku. Ia bahkan mematikan gawainya sepanjang waktu. Aku menikmati semunya, tapi hatiku masih terus merasa tak tenang.“Sudah dong marahnya istri ayah, ayah kan sudah minta maaf!” pintanya saat kamu dalam perjalanan pulangAku tersenyum, menatap matanya.‘Ya Allah, tunjukan padaku jika ada sesuatu yang salah, aku ikhlas menerima segala ketentuan-Mu ya Allah.” Doaku dalam hati, mengangguk menjawab pintanya.Ia tersenyum, sambil kembali mengendarai mobil meraih sebelah tanganku dan mengecupnya.Ada desir aneh dalam hatiku saat itu juga.“Oh iya yah, bunda mau ngomong sesuatu ....”tanyaku menoleh padanya.“Mau ngomong apa? Ngomong aja sayang!” jawabnya, sebelah
Bab 21 Merajuk Aku bangun pagi-pagi sekali, menunaikan kewajiban ibadah kemudian sibuk dengan gawaiku di samping jendela kamar.Sudah jadi kebiasaanku, saat hati ini gundah aku akan duduk termenung di depan jendela. Memandang alam dari bingkai sempit yang menghalangi pandangan.Waktu menunjukkan pukul enam pagi, sudah waktunya suamiku bangun. Tak ingin bertemu pandang pagi ini, aku bangkit hendak meninggalkan kamar saat gawainya berdering singkat, pertanda masuknya sebuah pesan.[Mas bangun, sudah pagi. Ayo Shalat sayang!]Bunyi pesannya, tertera dilayar depan. Membuat alisku terangkat. “Sayang?” pikirku masih bingung dengan kata terakhir yang tertulis.[Mas, ikh ... Sejak semalem pesanku tidak pernah dibalas.] Aku masih menatap layar gawai suamiku, nyeri di hati. Takut menghadapi kenyataan pahit yang akan hinggap dalam rumah tangga ini.Pikiran ku melayang, membayangkan sesuatu y
Bab 20Bentak“Yah,” kataku riang menyambut kedatangan suamiku yang baru saja kembali kerumah.“Hai,” jawabnya mengecup pucuk keningku, sejenak setelah aku menyalami tangannya.Ini pertama kalinya bagiku, menjalani tugas istri di rumah baru kami. Aku sudah pulih, meski belum bisa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, terutama pekerjaan berat, tetapi aku sudah mulai memasak, menyiapkan masakan seperti yang bisa aku lakukan saat di rumah mertuaku dulu.“Gimana kabar Bunda?” tanyanya merangkul tubuhku seraya mengajak duduk di sofa ruang tamu.“Baik,” jawabku tersenyum, memandang wajahnya lalu berjongkok dan melepaskan sepatunya yang terpasang.“Terima kasih ya!” katanya mengusap lembut kepalaku.Tak ada yang aneh, ia tetap mesra seperti biasa ... Tetapi entah mengapa, instingku terus saja mengatakan ada yang salah sejak suamiku.“Mau langsung makan atau mandi
Bab 19LainDua Minggu berlalu sejak kedatangan ibu mertua beserta saudara iparku. Aku sudah pulih, tubuhku bugar hingga mampu merawat kebun kecil di depan dan belakang rumah.Aku masih berdoa memohon petunjuk agar segera mendapat jawaban atas kehidupan rumah tangga seumur jagungku.Jujur aku ingin mengakhiri semua ini, memulai lagi kehidupan seorang diri dengan status baru. Tetapi aku takut pada Tuhan yang membenci perceraian, lagi pula suamiku tidak bersalah. Ia melakukan tugasnya dengan baik sebagai suami dan terus membelaku selama ini.“Huuuh,” engahku membuang napas panjang demi menghempas pikiran yang sempat hinggap dikepala.“Namanya hidup berumah tangga emang banyak cobaannya Non. Enggak dari suami ya dari mertua, ipar bahkan bisa jadi dari anak. Tinggal gimana kita,” ucap ibu Ir, pembantu yang sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini terus membantu dan menemaniku.Aku t
Kata Maaf Ibu Mertua Bagian 4 “Nda!” panggil sebuah suara gusar membalikkan badanku yang tengah menangis sesenggukan. Ia tampak ngos-ngosan. “Nda,” panggilnya lagi saat melihatku hanya menatap kosong ke arahnya. “Maaf, ayah tidak tahu ibu akan datang!” katanya memeluk tubuhku yang masih diam saja. “Maaf,” katanya lagi, semakin erat memeluk tubuh ini dalam dekapannya. Terasa sekali aura bimbang dan marah yang terpancar dalam geliat dan gerak tubuhnya. Aku tahu, suamiku tidak bersalah. Seperti yang ia katakan ia pasti tidak tahu, keluarganya akan datang menemuiku dan aku juga tidak tahu siapa yang memberi tahu suamiku perihal kedatangan ibu dan kakaknya kerumah ini. Ia pasti terburu-buru pulang ketika mendapat kabar itu, hingga suaranya terdengar cepat dan ngos-ngosan. Aku tahu, sejatinya bukan hanya aku yang kehilangan, tapi juga dirinya. Bu
Kata maaf Bagian 3Pilihan ada di tanganku, lanjut atau tidaknya pernikahan ini tergantung dengan keputusanku. Sudah sebulan berlalu, luka di perutku telah kering, meski nyerinya kadang masih terasa saat aku terlalu kelelahan. Wajar katanya, itulah efek pasca operasi, dan akan begitu terus sampai setahun ke depan. Karenanya untuk berjaga-jaga, siapa pun tidak boleh bekerja terlalu berat, setelah melakukan operasi. Terutama untuk para ibu yang melahirkan dengan operasi sesar.“Assalamualaikum,” sapa seseorang di luar sana. Suaranya tak asing, begitu familiar hingga membuat merinding.“Waalaikumsalam,” jawab ibu yang membantuku di rumah, bergegas membukakan pintu.Tampak dari kejauhan suara itu semakin membuatku tak nyaman. Mereka berbincang berbasa-basi kemudian masuk ke dalam.“De!” panggil suara itu membuatku semakin malas.Bukan maksud mengabaikan panggilannya, tapi sejak saat itu. Setiap kali aku mengingatn
Kata MaafBagian 2Waktu berlalu, aku dan suamiku pulih dari keterpurukkan akibat kehilangan calon anak. Pernikahan ini masih berlangsung, aku juga masih terus berdoa dalam shalat menunggu jawaban terbaik dari Allah mengenai kelangsungan hubungan pernikahan kami berdua.“Assalamualaikum,” kata Mama memberi salam.“Waalaikum salam,” jawabku dari dalam rumah, membuka pintu.“Waaah, Mama ....” jawabku semringah mencium punggung tangannya.Hari ini suamiku kembali bertugas keluar kota. Pagi tadi sebelum berangkat ia bilang bahwa mama akan datang untuk menemaniku selama dia pergi, dan kepergiannya kali ini tak lama. Sebab dia akan kembali besok pagi, saat pekerjaannya selesai dengan pesawat paling pagi.Ia berjanji akan langsung kembali ketika pekerjaannya telah selesai paling telat besok pagi.“Ayo Ma, masuk!” ajakku“Nanti dulu, panas. Kita ngobrol di sini aja dulu ....&
Kata MaafBagian 1Waktu berlalu, aku telah pulih dari segala rasa yang menyakiti. Tersenyum, menatap mentari dari luar bilik kamar yang biasa kutempati.Aku berhasil melewati semua ini, berkat perawatan mama dan dampingan seluruh keluarga. Meski, luka sesar pasca keguguran dan luka hati akibat kehilangan masih basah menganga. Tetap saja aku bersyukur, karena tak melewati semuanya sendiri.Aku kembali bahagia dan merasa hidup setelah badai ini sedikit berlalu. Begitu pun dengan suamiku, sudah seminggu ini aku melihatnya lebih sering tersenyum.Ia tampak bahagia dengan kedekatannya dengan seluruh keluarga. Mereka seperti saling berlomba, memperbaiki kecanggungan yang ada. Aku bersyukur, melihat keakraban yang tercipta. Rasanya tak sia-sia dia mengorbankan waktu mengambil cuti dari segala aktivitasnya.Iya dia libur dari aktivitasnya bekerja, seminggu ini ia di rumah. Menghabiskan waktunya menemaniku, s