Kami duduk bersama bersandar bantal dikepala ranjang,kopi hitam buatannya bertengger manja ditangan memberikan sedikit ketenangan.
“Coba cerita sayang,kenapa tiba-tiba bunda ayah yang cantik ini tau-tau ngomong gitu?kita baru saja pulang bulan madu..kita masih pengantin baru “godanya penuh canda berharap kesedihanku berkurang.
“Lihat ayah sayang..!”pintanya ketika pandanganku tetap saja kosong lurus kedepan.
Kuseruput kopi ditangan tak berniat mengubah arah pandang,memandang lurus menikmati putihnya tembok kamar yang hanya berhias lukisan abstrak tak berbentuk namun mampu menghantarkan rasa siapapun yang melihat.Ku Hela napas panjang.
“Ayah yang harusnya jawab pertanyaaan bunda?Kenapa ayah bohong?"Tanyaku dia diam
"Kenapa ayah gak terus terang soal ibu ?"
"Kenapa ayah gak bilang kalo ibu sampe sekarang gak merestui hubungan kita?"lanjut ku terisak,berat rasanya hati ini melanjutkan pembicaraan tiada arti.Ku kuatkan diri menahan segala gejolak dada,rasanya lelah menangis tanpa henti.
"Ayah harusnya tak hanya memikirkan ego semata,ego ingin memiliki bunda.Harusnya ayah juga mikirin perasaan bunda...keluarga bunda juga keluarga ayah sendiri..”jedaku saat kurasakan suara ini semakin bergetar karena ingin menangis.Aku diam menenangkan diri mengambil nafas panjang berusaha menjaga agar air tak lagi keluar dari mata yang sudah membengkak.
“Bunda yakin ayah tau hal ini,ayah gak mungkin gak tau soal restu Ibu,ayahlah yang mengajukan lamaran dan ayah yang bilang bahwa semua sudah setuju“kataku kemudian ia tetap saja diam tak bersuara hanya memandang sendu penuh penyesalan.Entah apa yang ia sesalkan aku tak ingin bertanya tentang perasaannya.Aku hanya peduli pada hatiku yang terluka.
“Harusnya ayah cerita semuanya,ayah tau...gak ada pernikahan yang akan berjalan lancar tanpa restu orang tua.Jalan kita akan rumit nantinya jika semua kita lanjutkan “kataku kembali terisak aku bingung harus memilih apa untuk menyelesaikan masalah ini.Semua pilihan menjadi momok menakutkan yang tak ingin aku jalani.
Tangis Duka
Oleh ku yang berduka
Hai cinta
Lihatlah
Dukaku amat dalam
Hai cinta
Lihatlah
Sukaku telah hilang
Hai cinta
Lihatlah
Bahagiaku melayang
Karena duka
Terganjal restu orang tua
Pengantin baru terluka
Karena ego jiwa
“Pernikahan itu bukan hanya soal kita,tapi soal menyatukan dua keluarga. “kataku
“Bagaimana kita berjalan jika kerikil tajam sudah bertebaran didepan mata.“
“Restu orang tua itu penting untuk sebuah pernikahan.“kataku nanar menatap lurus kedepan.Lagi-lagi setitik air bening mengalir membasahi pipi tak dapat ku tahan.
“Ayah tau..” katanya mulai bersuara.
"Ayah tau ayah salah,ayah minta maaf soal rasa yang kamu rasakan sekarang"
“Tapi bisa jelasin darimana kamu tau? Jelasin sama ayah!apa yang kamu dengar sampai bisa menyimpulkan sejauh itu.“
“Ayah gak nyangkal kenyataan yang ada tapi ayah berani bilang apa yg kamu pikirin gak semuanya benar.“jelasnya
"Kamu tentu ingat dengan jelas ibu gak merestui hubungan kita saat kita baru memulai hubungan ini,3 tahun lalu....ibu menolak hubungan kita hanya karena kamu anak keluarga sederhana.Ayah yakin kamu pasti masih ingat dengan jelas kejadian waktu itu...lalu ..."katanya terdiam sejenak memberi jeda pada ceritanya.
"Dan hubungan kita sudah berakhir saat itu,kamu mutusin hubungan kita secara sepihak..kamu menyerah tak ingin memperjuangkan dan setelah itu kamu menghilang...3 bulan tanpa kabar tak bisa dihubungi." lanjutnya aku diam.Kejadian itu berputar otomatis dikepala.
"Kamu tau betul dan pasti ingat bagaimana kondisi ayah saat itu?Ayah hancur!"
"Ayah hancur dan kehilangan semangat untuk hidup,ayah seperti orang gila mencari-cari kamu kemana-mana "katanya meletakan gelas ditangan seraya merapatkan posisi tubuhnya kepadaku.
"Ayah sayang sama bunda."
"Ayah sangaaaaat mencintai bunda. "katanya kemudian mengubah posisi duduk menghadap ku yang tetap asik memandang lurus kedepan.
"Butuh waktu setahun untuk ayah meyakinkan bunda,meyakinkan bahwa ayah sangat mencintai bunda."
"Setahun ayah berjuang meyakinkan kamu"
"Dan soal restu ibu? Itu hanya karena Ekonomi dan bunda tau benar ekonomi itu bisa kita cari dan ayah sudah pastikan itu akan kita dapatkan.Restu ibu hanya soal waktu..restu itu akan kita dapat seiring berjalannya waktu saat ekonomi kamu semakin baik."katanya menjelaskan.
"Lagi pula pernikahan ini kita yang menjalani,bukan ibu atau keluarga ayah...bukan juga keluarga bunda,pernikahan ini untuk kita dan anak-anak kita..bukan mereka."
"Tak bolehkan ayah egois untuk kebahagian ayah,untuk sesuatu yang nantinya ayah yang menjalani?"katanya menangkup wajahku memaksa mata kami saling berpandangan.
"Kasih tau ayah!apa yang kamu dengar!"perintahnya aku terdiam sesaat lalu bercerita tantang kabar duka yang ku dengar sesampainya dirumah.
Ia mendengar dengan seksama kemudian wajahnya memerah tanda marah.Menurutnya masalah restu sudah dibahas jauh hari sebelum pernikahan,harusnya sudah tak jadi masalah.Namun ia tak menyangka itu kembali jadi bahasan dan topik utama.Ia terlihat kecewa karena hal itu disampaikan ibunya pada teman-teman arisannya bukan langsung padanya.
"Dengarkan ayah,Pernikahan ini sudah dibahas setahun lalu,restu dan segalanya juga sudah selesai dibicarakan"katanya seraya mengambil gelas kopi di nakas samping ranjang kumudian menyeruputnya.
“Ayah janji ayah akan selesaikan semua ini..”katanya tak ku hiraukan,aku malas menghadapi janji-janji yang sudah jelas sulit ditepati.Restu berhubungan dengan hati,siapa yang mampu mengendalikan hati jika bukan pemiliknya sendiri.Jadi mana mungkin suamiku mampu membalikan hati ibunya seperti membalikan telapak tangannya sendiri.
Aku terluka,otakku beku tak mampu mencerna,perpisahan adalah jawaban terbaik untuk semua tapi luka yang akan tercipta di keluarga membuatku urung melakukannya.Aku ragu menentukan pilihan.Aku terjepit diantara dua pilihan.
“Apakah ayah memaksakan pernikahan kita seperti yang Ibu bilang..”tanyaku
“Tidak..ayah tak memaksa..semua sudah dijelaskan sejak awal,seperti yang ayah jelaskan tadi hubungan kita memang kurang mendapat respon positif dari Ibu hanya karena usia dan status sosial ekonomi.“
"Lalu ..?"selaku ia mengambil nafas panjang
"Kita sudah berpisah untuk itu .."katanya lemah.
"Dan ayah hancur dengan perpisahan itu"katanya terdiam.
"Butuh waktu setahun untuk meyakinkan bunda kembali hingga saat ini,ayah gak mau kehilangan kamu lagi...gak mau!"lanjutnya suaranya semakin lemah tapi terdengar penuh ketegasan.
“Berarti itu hanyalah kebohongan..”Kataku terisak,sesak kembali memenuhi relung hati tangis tak mampu kuelakan.
“Kenapa ayah harus bohong...hiks..hiks huaaaaaaaa hiks “tangisku pecah otakku tak bisa berpikir aku tetap saja kecewa tak memperdulikan semua penjelasan yang ia ungkapkan sebelumnya.
“Ayah ngancurin semua impian bunda..”lanjutku ia terdiam tanpa kata
“Sebaiknya kita berpisah..,”ucapku ia tergagap
“bunda...aayang,ayah mohon ..ayah janji akan meluruskan semua ini..”katanya Aku terdiam tak berkata.Pusing tiba-tiba terasa kepalaku berputar hebat..badanku lemah perut mual seketika.Aku muntah terkulai hingga gelap memenuhi mata.
Aku lelah pukulan berat yang ku terima membuatku terkulai,jiwaku merana hingga tubuh ini menyerah dan sakit hinggap memenuhi raga.
Tubuhku menggigil namun suhu tubuhku memuncak dibatas maksimal.Perutku mual tak mampu menerima secuil pun makanan.Tubuhku melemah karena kenyataan yang ku terima.Pengantin ini berduka hingga jiwa raganya ikut terluka.
"Bagaimana kondisi istri saya dok?"tanya suara yang ku kenal
"Ini dimana..?"tanyaku lemah saat membuka mata
"Sayaaaang..ini dirumah sakit,kamu pingsan semalam.."jelasnya mendekat menghalangiku yang hendak bangkit dari pembaringan.
"Ehm..."kataku kembali menutup mata.
Aku terdiam,pandanganku lurus kedepan.Memandang senja yang tampak indah terbingkai dari balik jendela kamar.Kamar gelap penuh kesunyian kontras dengan indahnya pemandangan yang dilukiskan alam.Senja Olehku yang berdukaHai senjaWarnamu indahOren kemerahanMemberi semangat juga kehangatanCahayamu memberi ketenanganUntuk hatikuYang mengharu biruHai senjaKau mengantarkan cahaya kehidupanMengawali kegelapan malamMengantar makhlukKe peristirahatanHai senjaLihatlahAku terdiamMemandangmuDengan lukaSenyumku hilangMelayangTerbawa kegelapanTerbang bersama kebahagiaanMelayangTinggi ke awanHai senjaTeruslah bersinarHingga peraduanDan aku kembali bahagia“Hai
Aku berjalan dalam kebimbangan.Otakku menolak namun hatiku menerima.Aku mengalah.Aku menyerah.Aku akan melanjutkan pernikahan ini.Meski dengan segudang luka.Yang menunggu didepan mata.“Assalammualaikum”salamku ketika sampai didepan rumah tempatku dibesarkan.Kulihat dengan jelas senyum dan sambutan seluruh keluarga.Ini adalah pertama kalinya aku berkunjung setelah pernikahan,oleh-oleh yang aku bawa saat kembali dari bulan madu telah bertengger ditangan,disiapkan dengan apik oleh dia yang kini jadi suamiku tercinta.“Mama,Bapak.. Assalammualaikum,”kataku menyalami tangan mereka satu persatu dilanjutkan oleh suamiku yang juga menyalami mereka satu persatu secara bergantian.“Kemaren katanya sakit..”tanya ibu ku cemas.Ku iyakan dengan senyuman“Udah sembuhkan sekarang ..”ledek ayahku penuh canda."Udah dong,kalo belom m
Aku tersenyum,melihat hasil 2 garis yang tercetak di alat uji kehamilan.“Aku hamil,” kataku dalam hati.Kabar ini menjadi hadiah terbesar yang kumiliki di tengah usahaku mencari restu ibu.Usia pernikahan ku baru satu bulan tapi Alloh telah menitipkan sebuah jiwa didalam rahimku.Aku sangat bahagia teramat bahagia sampai melupakan segala kesedihanku.Aku yakin ini akan membuatku semakin dekat dengan ibu mertua,dan itu artinya aku akan segera mendapat restu ibu karena seorang cucu.Pokoknya aku sangat bahagia.Suamiku masih sibuk di kantor,aku tak berniat untuk mengabarkannya saat ini..aku akan mengabarkannya setelah ia kembali.Hamil itu memang aneh ya,pertandanya selalu membuat geleng-geleng kepala..tapi aku menikmati setiap prosesnya.Aku tak menyangka sakit sekujur badan yang aku rasakan selama dua minggu terakhir adalah pertanda awal tubuhku akan menerima calon manusia baru buah cintaku.Aku j
Kabar tak mengenakan yang didengar keluargaku, cukup memukul hati kedua orang tua. Mereka sedih atas apa yang kulakukan, meski tak percaya dengan ucapan ibu mertua mereka tetap memikirkan hal itu. Berusaha mencari untuk mendapat kebenaran. Aku bingung dan cemas tapi tak mampu berbuat apa-apa, karena aku tak bisa menghubungi siapapun. Tak ada nomor telepon yang ku hapal dengan baik. Ini hari keduaku dirumah ini,rumah baru kami, sementara suamiku belum juga kembali. Ia hanya mengabariku melalui telepon rumah memberi perintah, untuk menunggu kedatangannya dan jangan pergi kemana-mana. Dikirimnya dua orang berbaju hitam untuk menjagaku, ia juga mengirim seorang ibu untuk membantu menyiapkan segala keperluanku. Hatiku gelisah. Aku tidak tenang. Aku khawatir pada kedua orang tuaku. Aku khawatir dengan keluargaku. Tapi tak ada yang dapat kulakukan. Suamiku membawa handphone ku bersamanya, ia tak mengijin
Wajah Ke-2Bagian 1Kehancuran kami berlanjut sepulangnya aku dari rumah sakit. Keluargaku telah menunggu dengan wajah masam di rumah tempat kami tinggal sekarang. Aku tidak tahu siapa yang mengabari mereka. Mungkin suamiku?.Aku turun dari kendaraan yang mengantarku pulang. Menyiapkan hati dan mental menghadapi mereka seorang diri. Sementara suamiku, telah pergi. Ia berpamitan mengerjakan pekerjaan yang ia tinggalkan beberapa hari ini. Meski berat, akhirnya aku mengizinkannya, jadilah di sini aku sendiri.Suasana mendadak sunyi, ibu sudah menyiapkan kamarku dengan rapi. Membuatkan makanan, dan menghidangkannya untukku makan.Sementara ayah tak bersuara, hanya diam saja. Namun wajahnya masam menunjukkan segudang kekesalan memenuhi dadanya. Aku tak berani bertanya, aku tak ingin memulai pembicaraan.Aku ingin mendengar mereka lebih dulu, mengatakan apa pun yang mereka pikirkan. Aku ingin merasakan apa pun yang mereka rasakan, me
Wajah Ke-2Bagian 2Kakakku diam, tak berkomentar. Ia hanya mengusap-usap lembut kepalaku yang berada dalam pelukan ibu. Sementara ibuku tetap dengan posisinya, memelukku dengan erat memberikan kasih sayang yang terus menjalar.“Mama tahu enggak! Aku stres Ma ... aku stres, mau aku berusaha kayak apa pun aku masih enggak diterima di keluarga itu, apa pun yang aku lakukan enggak pernah diliat, aku enggak pernah diajak ke acara keluarga. Aku enggak diakui menantu, bahkan dia enggak terima kehadiran calon anakku Ma.” ceritaku panjangIbu memegang kepalaku, mencium keningku.“Iya sayang ... Iya, Mama dengar semuanya, Mama mengerti sayang, Mama ngerti!” katanya memegang kepalaku, berbicara memandang mataku sambil terus menciumiku.“Sudah, sudah Sayang! Mama tahu semua yang dia bilang pasti enggak benar.”“Mama tahu anak Mama, Mama yakin anak Mama enggak mungkin melakuka
Wajah ke-2 Bagian 3 Suamiku kembali dari pekerjaannya, dua hari ia terpaksa pergi meninggalkan aku demi mengurus pekerjaannya di luar kota. Sesekali menelepon, menghubungi untuk sekedar menanyakan dan memberi kabar. Ia selalu sibuk, status pada gawai miliknya hanya online di waktu-waktu tertentu. Karena itu aku tidak pernah berani menghubunginya terlebih dahulu, karena takut mengganggu. Sempat aku dengar, bapak bertanya soal kabar yang bapak dengar dari keluarganya. Bapak menanyakan tentang kebenaran ceritaku padanya, bahkan aku sempat mendengar, suara bapak meninggi saat mereka berbicara dari telepon. Begitu pun dengan kakakku. Setiap malam, aku mendengar kakak mengobrol panjang dengan suamiku, menanyakan kebenaran cerita dan perlakuan yang aku terima dari keluarganya. Tentu saja tak semua suamiku tahu, aku tak selalu cerita padanya soal perlakuan seluruh keluarganya padaku. Terutama
Wajah kedua Bagian 4 “Bapak enggak minta itu!” kata bapakku lantang, matanya penuh dengan emosi yang menyala-nyala. “Bapak enggak minta, ibu kamu minta maaf.” “Yang Bapak butuhkah adalah kepastian.” “Bagaimana dengan keluarga kamu? mereka jelas-jelas menentang pernikahan kalian, sementara pernikahan sudah terjadi? Apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya dengan nada kecewa, raut wajahnya sulit di gambarkan dengan kata-kata. “Aa enggak peduli Pak, soal restu orang tua ... yang pasti Aa enggak akan melepas Denda hanya karena terhalang restu mereka, Aa enggak akan pernah melakukan itu!” jawabnya lantang kemudian terdiam, menatapku yang duduk termenung di sampingannya. “Selama Denda enggak melepas pernikahan ini. Aa enggak peduli dengan restu atau pengakuan mereka lagi. Pernikahan ini Aa yang menjalani, bukan mereka,” lirihnya menjeda sejenak, menarik nafas tertunduk lalu menatap kembali wajah bapak yang
Bab 23 Menantu Baru Sudah dua Minggu, suamiku meninggalkan rumah sejak malam itu. Meski selalu memberi kabar, tapi hatiku merasa gersang sejak kepergiannya.Sebuah notifikasi muncul memendar sinar pada gawaiku, dari SMS banking yang menyatakan bahwa rekeningku menerima uang sebesar sepuluh juta.[ bunda ....Itu uang modal untuk bisnis bunda ... Di pikirin baik-baik mau bisnis apa, tapi sebelum mulai kasih tahu ayah dulu ya! ] Tulisnya kemudian memberikan emoticon penuh cinta [ Oh iya, Alhamdulillah Ibu baik-baik saja. Cuma kelelahan dan darah tingginya kambuh.Sekarang sudah di rawat di rumah sakit.] Mengirimkan gambar Selfi dirinya dengan background ibu mertuaku yang terbaring di rumah sakit. [ Terima kasih ya ayah.] Balasku untuk pesan pertamanya, yang segera dibalasnya dengan emoticon cinta.
Bab 22Awal Petaka Siang itu suamiku berubah, begitu memanjakan ku. Dibujuknya aku yang sedang merajuk dengan beragam cara, termasuk mengajak keluar rumah. Kami berkeliling ke taman, mall dan rumah makan yang menjual makanan favoritku. Ia bahkan mematikan gawainya sepanjang waktu. Aku menikmati semunya, tapi hatiku masih terus merasa tak tenang.“Sudah dong marahnya istri ayah, ayah kan sudah minta maaf!” pintanya saat kamu dalam perjalanan pulangAku tersenyum, menatap matanya.‘Ya Allah, tunjukan padaku jika ada sesuatu yang salah, aku ikhlas menerima segala ketentuan-Mu ya Allah.” Doaku dalam hati, mengangguk menjawab pintanya.Ia tersenyum, sambil kembali mengendarai mobil meraih sebelah tanganku dan mengecupnya.Ada desir aneh dalam hatiku saat itu juga.“Oh iya yah, bunda mau ngomong sesuatu ....”tanyaku menoleh padanya.“Mau ngomong apa? Ngomong aja sayang!” jawabnya, sebelah
Bab 21 Merajuk Aku bangun pagi-pagi sekali, menunaikan kewajiban ibadah kemudian sibuk dengan gawaiku di samping jendela kamar.Sudah jadi kebiasaanku, saat hati ini gundah aku akan duduk termenung di depan jendela. Memandang alam dari bingkai sempit yang menghalangi pandangan.Waktu menunjukkan pukul enam pagi, sudah waktunya suamiku bangun. Tak ingin bertemu pandang pagi ini, aku bangkit hendak meninggalkan kamar saat gawainya berdering singkat, pertanda masuknya sebuah pesan.[Mas bangun, sudah pagi. Ayo Shalat sayang!]Bunyi pesannya, tertera dilayar depan. Membuat alisku terangkat. “Sayang?” pikirku masih bingung dengan kata terakhir yang tertulis.[Mas, ikh ... Sejak semalem pesanku tidak pernah dibalas.] Aku masih menatap layar gawai suamiku, nyeri di hati. Takut menghadapi kenyataan pahit yang akan hinggap dalam rumah tangga ini.Pikiran ku melayang, membayangkan sesuatu y
Bab 20Bentak“Yah,” kataku riang menyambut kedatangan suamiku yang baru saja kembali kerumah.“Hai,” jawabnya mengecup pucuk keningku, sejenak setelah aku menyalami tangannya.Ini pertama kalinya bagiku, menjalani tugas istri di rumah baru kami. Aku sudah pulih, meski belum bisa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, terutama pekerjaan berat, tetapi aku sudah mulai memasak, menyiapkan masakan seperti yang bisa aku lakukan saat di rumah mertuaku dulu.“Gimana kabar Bunda?” tanyanya merangkul tubuhku seraya mengajak duduk di sofa ruang tamu.“Baik,” jawabku tersenyum, memandang wajahnya lalu berjongkok dan melepaskan sepatunya yang terpasang.“Terima kasih ya!” katanya mengusap lembut kepalaku.Tak ada yang aneh, ia tetap mesra seperti biasa ... Tetapi entah mengapa, instingku terus saja mengatakan ada yang salah sejak suamiku.“Mau langsung makan atau mandi
Bab 19LainDua Minggu berlalu sejak kedatangan ibu mertua beserta saudara iparku. Aku sudah pulih, tubuhku bugar hingga mampu merawat kebun kecil di depan dan belakang rumah.Aku masih berdoa memohon petunjuk agar segera mendapat jawaban atas kehidupan rumah tangga seumur jagungku.Jujur aku ingin mengakhiri semua ini, memulai lagi kehidupan seorang diri dengan status baru. Tetapi aku takut pada Tuhan yang membenci perceraian, lagi pula suamiku tidak bersalah. Ia melakukan tugasnya dengan baik sebagai suami dan terus membelaku selama ini.“Huuuh,” engahku membuang napas panjang demi menghempas pikiran yang sempat hinggap dikepala.“Namanya hidup berumah tangga emang banyak cobaannya Non. Enggak dari suami ya dari mertua, ipar bahkan bisa jadi dari anak. Tinggal gimana kita,” ucap ibu Ir, pembantu yang sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini terus membantu dan menemaniku.Aku t
Kata Maaf Ibu Mertua Bagian 4 “Nda!” panggil sebuah suara gusar membalikkan badanku yang tengah menangis sesenggukan. Ia tampak ngos-ngosan. “Nda,” panggilnya lagi saat melihatku hanya menatap kosong ke arahnya. “Maaf, ayah tidak tahu ibu akan datang!” katanya memeluk tubuhku yang masih diam saja. “Maaf,” katanya lagi, semakin erat memeluk tubuh ini dalam dekapannya. Terasa sekali aura bimbang dan marah yang terpancar dalam geliat dan gerak tubuhnya. Aku tahu, suamiku tidak bersalah. Seperti yang ia katakan ia pasti tidak tahu, keluarganya akan datang menemuiku dan aku juga tidak tahu siapa yang memberi tahu suamiku perihal kedatangan ibu dan kakaknya kerumah ini. Ia pasti terburu-buru pulang ketika mendapat kabar itu, hingga suaranya terdengar cepat dan ngos-ngosan. Aku tahu, sejatinya bukan hanya aku yang kehilangan, tapi juga dirinya. Bu
Kata maaf Bagian 3Pilihan ada di tanganku, lanjut atau tidaknya pernikahan ini tergantung dengan keputusanku. Sudah sebulan berlalu, luka di perutku telah kering, meski nyerinya kadang masih terasa saat aku terlalu kelelahan. Wajar katanya, itulah efek pasca operasi, dan akan begitu terus sampai setahun ke depan. Karenanya untuk berjaga-jaga, siapa pun tidak boleh bekerja terlalu berat, setelah melakukan operasi. Terutama untuk para ibu yang melahirkan dengan operasi sesar.“Assalamualaikum,” sapa seseorang di luar sana. Suaranya tak asing, begitu familiar hingga membuat merinding.“Waalaikumsalam,” jawab ibu yang membantuku di rumah, bergegas membukakan pintu.Tampak dari kejauhan suara itu semakin membuatku tak nyaman. Mereka berbincang berbasa-basi kemudian masuk ke dalam.“De!” panggil suara itu membuatku semakin malas.Bukan maksud mengabaikan panggilannya, tapi sejak saat itu. Setiap kali aku mengingatn
Kata MaafBagian 2Waktu berlalu, aku dan suamiku pulih dari keterpurukkan akibat kehilangan calon anak. Pernikahan ini masih berlangsung, aku juga masih terus berdoa dalam shalat menunggu jawaban terbaik dari Allah mengenai kelangsungan hubungan pernikahan kami berdua.“Assalamualaikum,” kata Mama memberi salam.“Waalaikum salam,” jawabku dari dalam rumah, membuka pintu.“Waaah, Mama ....” jawabku semringah mencium punggung tangannya.Hari ini suamiku kembali bertugas keluar kota. Pagi tadi sebelum berangkat ia bilang bahwa mama akan datang untuk menemaniku selama dia pergi, dan kepergiannya kali ini tak lama. Sebab dia akan kembali besok pagi, saat pekerjaannya selesai dengan pesawat paling pagi.Ia berjanji akan langsung kembali ketika pekerjaannya telah selesai paling telat besok pagi.“Ayo Ma, masuk!” ajakku“Nanti dulu, panas. Kita ngobrol di sini aja dulu ....&
Kata MaafBagian 1Waktu berlalu, aku telah pulih dari segala rasa yang menyakiti. Tersenyum, menatap mentari dari luar bilik kamar yang biasa kutempati.Aku berhasil melewati semua ini, berkat perawatan mama dan dampingan seluruh keluarga. Meski, luka sesar pasca keguguran dan luka hati akibat kehilangan masih basah menganga. Tetap saja aku bersyukur, karena tak melewati semuanya sendiri.Aku kembali bahagia dan merasa hidup setelah badai ini sedikit berlalu. Begitu pun dengan suamiku, sudah seminggu ini aku melihatnya lebih sering tersenyum.Ia tampak bahagia dengan kedekatannya dengan seluruh keluarga. Mereka seperti saling berlomba, memperbaiki kecanggungan yang ada. Aku bersyukur, melihat keakraban yang tercipta. Rasanya tak sia-sia dia mengorbankan waktu mengambil cuti dari segala aktivitasnya.Iya dia libur dari aktivitasnya bekerja, seminggu ini ia di rumah. Menghabiskan waktunya menemaniku, s