Aku terdiam,pandanganku lurus kedepan.
Memandang senja yang tampak indah terbingkai dari balik jendela kamar.
Kamar gelap penuh kesunyian kontras dengan indahnya pemandangan yang dilukiskan alam.
Senja
Olehku yang berduka
Hai senja
Warnamu indah
Oren kemerahan
Memberi semangat juga kehangatan
Cahayamu memberi ketenangan
Untuk hatiku
Yang mengharu biru
Hai senja
Kau mengantarkan cahaya kehidupan
Mengawali kegelapan malam
Mengantar makhluk
Ke peristirahatan
Hai senja
Lihatlah
Aku terdiam
Memandangmu
Dengan luka
Senyumku hilang
Melayang
Terbawa kegelapan
Terbang bersama kebahagiaan
Melayang
Tinggi ke awan
Hai senja
Teruslah bersinar
Hingga peraduan
Dan aku kembali bahagia
“Hai sayaaaaaang”sapa suara familiar jauh dari balik jendela melambai-lambai penuh kebahagiaan.Wajahnya berseri,ketika mendapati aku menoleh melihat kearahnya tersenyum dan melambai.
“Sudah pukul 5 sore”pikirku tersenyum sinis sendiri.
Ternyata waktu begitu cepat berlalu ketika kita sibuk dan hanya peduli sama rasa yang kita rasakan.Hari ini aku tak bermanfaat,waktu ku habis hanya untuk melamun dan memandang alam.Luka dihati membuatku enggan bergerak sekedar keluar kamar,makan atau menjalani rutinitas seperti biasa.
“Assalammualaikum..”ucapnya memberi salam.Wajahnya cerah meski baru kembali dari rutinitas bekerja seharian.Ia tampak bahagia berbanding terbalik dengan keadaanku yang dirundung duka.
“Waalaikumsalam..”jawabku tersenyum berusaha menjalankan peranku sebagai istri dengan baik meski dalam kungkungan kesedihan luka dan kegamangan hati.Kuraih tangannya kucium penuh bakti.
“Ya tuhan tunjukanlah jalan terbaik atas masalahku”doaku dalam hati.
“Masih sedih ya?”Tanyanya ketika kami saling berpandangan.
Aku kembali terdiam tak berniat menjawab,kembali memandang lurus kedepan.Saat itu lah ku dengar ia menghela nafas menahan kekesalan.
“Gimana kabar bunda hari ini?sudah minum obat?”tanyanya lagi tak ku hiraukan.
“Sudah minum obat belum?”tanyanya sekali lagi mendekatkan tubuhnya lalu memeluk erat dari belakang.
Aku dapat merasakan hembusan nafas dan wangi tubuhnya.Sebenarnya aku rindu padanya,rindu kasih sayangnya,tapi luka ini membuatku enggan melakukan apa-apa.
Aku hanya ingin diam berpikir dan merenungkan segala kemungkinan yang harus ku hadapi.
Kami terdiam bersama dalam pikiran masing-masing,ia masih asik memeluk sambil menciumi pucuk kepala dari belakang.Kami bersama memandang keindahan senja dikejauhan.
“Keluar yuuk!”ajaknya memecah kesunyian.
“Ayah pengen makan bakso deh,yuuk!”ajaknya lagi,dibalikkan tubuhku menghadapnya,wajahnya mendekat mengadu kening hingga hidung kami saling bersentuhan.Ia menunjukan tulus kasih sayangnya.
“Keluar yuuk!”ajaknya sekali lagi ku balas dengan senyuman.
“Bunda mau makan apa??”tanyanya seraya mencium lembut kedua tanganku penuh sayang.
Hatiku bergetar ingin kembali menangis aku bahagia tapi aku takut menghadapi kenyataan yang ada.
“Tuhan bisakah aku bahagia..??”tanyaku dalam hati.
“Sementara duri tajam telah menunggu sepanjang perjalanan rumahtangga yang baru ku bangun,pondasi ku belum juga terbangun tapi badai sudah menerjang dan menghancurkan disainnya"
“Yuuuk..!”ajaknya merangkul tubuhku jalan beriringan menuju dunia luar.Aku tau ini adalah caranya menghiburku keluar dari kesedihan yang mendera.
“Vi,mau kemana??”tanya sang ibu mertua,saat melihat kami keluar dari kamar bersiap akan pergi.
“Mau makan bakso Bu”jawabnya santai.
“Emang gak cape?baru pulang udah mau keluar lagi”cerocosnya judes melirik aku diam tak bereaksi.
"Kenapa gak makan dirumahkan aja si?ibu udah masuk banyak,makanan kesukaan kamu seperti biasa"
"Boros makan diluar terus"lanjutnya mendelik.
“Orang mah suami pulang disambut,dikasih minum disiapin makan bukanya dikamar bae”katanya kemudian nadanya penuh ketidaksukaan.
“Bukanya disambut disiapin makan malah diajak keluar,gak tau orang cape baru pulang kerja apa?”cerocosnya sukses membuat ku makin terluka.Aku diam tak berkata ku pertahankan emosi agar tak menjawab ocehannya yang lagi-lagi melukai dada.
“Avi yang ajak Bu,bukan Denda..”jelasnya pada sang Ibu sukses membuat sang ibu diam.
“Ibu emang gak mau bakso,udah lama loh kita gak makan bakso..”lanjutnya lagi.
"Soal makanan yang ibu buat,tenang aja nanti juga abis"
"Keluarga kita kan banyak bukan Avi doang"
“Avi berangkat ya Bu!”ijinnya menyalami.
“Nanti Avi bungkusin yang spesial buat ibu”katanya berlalu.
"Kalo yang lainnya mau,wa aja pesanannya!"
“Berangkat ya Bu..”kataku ikut menyalami.
“Jangan dikamar bae,kamu tuh istri bukan perawan lagi..harus tau diri”katanya makin ketus bicara
“Apaaan si Bu..”kata suamiku membela namun kutahan dengan menarik tangannya mengisyaratkan dia untuk diam.Aku tak mau dikatakan sebagai istri yang berlindung di ketiak suami.
“Iya Bu..”jawabku berlalu,mengiringi langkahnya menuju mobil yang terparkir didepan rumah.
Inilah salah satu alasan yang aku takutkan ketika hubungan dibangun di atas kebencian.Keduanya hanya akan saling menyakiti dengan kata-kata atau tindakan,yang satu akan selalu terluka setiap kali yang lain bahagia dan akan bahagia ketika yang lain terluka.Celakanya aku adalah tipe pendiam yang hanya akan mengalah tanpa berani membalas karena Ilmu agama dan ajaran orang tua.Ditambah lagi dia adalah orang tua.
Aku akan bertahan dengan luka-luka yang ada dan ketika keadaanya sudah tak terkendali aku akan menjadi bom waktu untuk diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Semua akan hancur dan dapat akibatnya.
“Ya Tuhan,”kataku menghela nafas.
“Kenapa gak biarin ayah ngebelain si Bun?”tanyanya ketika kami sudah berada didalam mobil,wajahnya merah tanda marah,ia kesal sanggaat kesal ini kedua kalinya aku menghalangi langkahnya untuk membelaku didepan orang tua atau keluarganya.
Mobil berseru,bersiap melaju keluar komplek,menuju lokasi yang kami tuju.Aku diam tak menjawab pertanyaannya aku malas berdebat perdebatan tiada akhir.
Setidaknya biarlah ini berjalan sampai aku dapat memantapkan hati untuk pilihan yang akan ku jalani.
Aku masih bingung harus melanjutkan atau mengakhiri pernikahan ini.
Harus cerita sama orang tua atau diam saja biarkan semua terjadi dan berlalu seiring waktu.
“Bunda..”panggilnya
“Bunda..”panggilnya lagi
“Sampe kapan bunda mau sedih terus??”tanyanya masih sibuk dengan kemudi ditangannya.
Sesekali ia menoleh memastikan aku lawan bicaranya menanggapi.
“Lihat kan,Ibu tetap bahagia..tetap dengan rutinitasnya!”
"Tetep dengan prilakunya yang ketus dan menjengkelkan"
“Gak ada yang berubah,jangankan mikirin peduli aja gak..”
“Hanya kamu yang tidak bahagia disini,hanya kamu yang terus berpikir hanya kamu yang murung”katanya suaranya payau terdengar namun aku merasakan amarah dalam nada suaranya.
“Pernikahan ini untuk kita Bun..”
“Kita yang menjalani pernikahan ini”
“Bukan ibu,keluarga kamu,keluarga ayah atau orang lain”
“Ini pernikahan kita,kita yang harus bahagia didalamnya.Gak ada yang bisa memberikan kebahagian kecuali kita sendiri.”katanya menjelaskan.
“Bunda minta ayah buat jangan ikut campur,apalagi sampe menegur Ibu soal kabar yang kamu dengar,padahal ayah bisa selesain ini semua.Ayah bahkan bisa buat ibu minta maaf sama kamu"
“Tapi kamu gak ngebolehin itu ..kamu bilang itu gak tulus nantinya.”
“Kamu bilang itu hanya akan menambah kebencian diantara hubungan kamu dan Ibu."
"Ayah sudah ikut mau kamu,Ayah gak ikut campur masalah kamu tapi lihat apa yang ayah dapet??"
“Kamu terus begini,murung sedih tak bergairah,jangankan untuk bercanda senyum pun gak.”
“Ayah sedih ngeliat kamu begini terus”
"Ayah rindu istri ayah yang manis,ceria dan penuh canda"katanya menjelaskan. Ia tampak kesal,karena permintaanku membuatnya tak bisa berbuat banyak.
“Kerumah mama yuuk!”ajakku ia menoleh kebingungan.Senyumnya datar sinis dan alisnya berkerut tanda tak mengerti.
“Kita makan bakso yang didekat sana aja,bungkus baksonya terus bawa kerumah Mama.”kataku tak peduli reaksinya.Ia tak menjawab tapi laju mobil menuju arah yang ku minta.
“Maaf sayang,bunda butuh waktu sebentar lagi...!” kataku dalam hati.
"Bunda butuh waktu untuk memilih"
Aku berjalan dalam kebimbangan.Otakku menolak namun hatiku menerima.Aku mengalah.Aku menyerah.Aku akan melanjutkan pernikahan ini.Meski dengan segudang luka.Yang menunggu didepan mata.“Assalammualaikum”salamku ketika sampai didepan rumah tempatku dibesarkan.Kulihat dengan jelas senyum dan sambutan seluruh keluarga.Ini adalah pertama kalinya aku berkunjung setelah pernikahan,oleh-oleh yang aku bawa saat kembali dari bulan madu telah bertengger ditangan,disiapkan dengan apik oleh dia yang kini jadi suamiku tercinta.“Mama,Bapak.. Assalammualaikum,”kataku menyalami tangan mereka satu persatu dilanjutkan oleh suamiku yang juga menyalami mereka satu persatu secara bergantian.“Kemaren katanya sakit..”tanya ibu ku cemas.Ku iyakan dengan senyuman“Udah sembuhkan sekarang ..”ledek ayahku penuh canda."Udah dong,kalo belom m
Aku tersenyum,melihat hasil 2 garis yang tercetak di alat uji kehamilan.“Aku hamil,” kataku dalam hati.Kabar ini menjadi hadiah terbesar yang kumiliki di tengah usahaku mencari restu ibu.Usia pernikahan ku baru satu bulan tapi Alloh telah menitipkan sebuah jiwa didalam rahimku.Aku sangat bahagia teramat bahagia sampai melupakan segala kesedihanku.Aku yakin ini akan membuatku semakin dekat dengan ibu mertua,dan itu artinya aku akan segera mendapat restu ibu karena seorang cucu.Pokoknya aku sangat bahagia.Suamiku masih sibuk di kantor,aku tak berniat untuk mengabarkannya saat ini..aku akan mengabarkannya setelah ia kembali.Hamil itu memang aneh ya,pertandanya selalu membuat geleng-geleng kepala..tapi aku menikmati setiap prosesnya.Aku tak menyangka sakit sekujur badan yang aku rasakan selama dua minggu terakhir adalah pertanda awal tubuhku akan menerima calon manusia baru buah cintaku.Aku j
Kabar tak mengenakan yang didengar keluargaku, cukup memukul hati kedua orang tua. Mereka sedih atas apa yang kulakukan, meski tak percaya dengan ucapan ibu mertua mereka tetap memikirkan hal itu. Berusaha mencari untuk mendapat kebenaran. Aku bingung dan cemas tapi tak mampu berbuat apa-apa, karena aku tak bisa menghubungi siapapun. Tak ada nomor telepon yang ku hapal dengan baik. Ini hari keduaku dirumah ini,rumah baru kami, sementara suamiku belum juga kembali. Ia hanya mengabariku melalui telepon rumah memberi perintah, untuk menunggu kedatangannya dan jangan pergi kemana-mana. Dikirimnya dua orang berbaju hitam untuk menjagaku, ia juga mengirim seorang ibu untuk membantu menyiapkan segala keperluanku. Hatiku gelisah. Aku tidak tenang. Aku khawatir pada kedua orang tuaku. Aku khawatir dengan keluargaku. Tapi tak ada yang dapat kulakukan. Suamiku membawa handphone ku bersamanya, ia tak mengijin
Wajah Ke-2Bagian 1Kehancuran kami berlanjut sepulangnya aku dari rumah sakit. Keluargaku telah menunggu dengan wajah masam di rumah tempat kami tinggal sekarang. Aku tidak tahu siapa yang mengabari mereka. Mungkin suamiku?.Aku turun dari kendaraan yang mengantarku pulang. Menyiapkan hati dan mental menghadapi mereka seorang diri. Sementara suamiku, telah pergi. Ia berpamitan mengerjakan pekerjaan yang ia tinggalkan beberapa hari ini. Meski berat, akhirnya aku mengizinkannya, jadilah di sini aku sendiri.Suasana mendadak sunyi, ibu sudah menyiapkan kamarku dengan rapi. Membuatkan makanan, dan menghidangkannya untukku makan.Sementara ayah tak bersuara, hanya diam saja. Namun wajahnya masam menunjukkan segudang kekesalan memenuhi dadanya. Aku tak berani bertanya, aku tak ingin memulai pembicaraan.Aku ingin mendengar mereka lebih dulu, mengatakan apa pun yang mereka pikirkan. Aku ingin merasakan apa pun yang mereka rasakan, me
Wajah Ke-2Bagian 2Kakakku diam, tak berkomentar. Ia hanya mengusap-usap lembut kepalaku yang berada dalam pelukan ibu. Sementara ibuku tetap dengan posisinya, memelukku dengan erat memberikan kasih sayang yang terus menjalar.“Mama tahu enggak! Aku stres Ma ... aku stres, mau aku berusaha kayak apa pun aku masih enggak diterima di keluarga itu, apa pun yang aku lakukan enggak pernah diliat, aku enggak pernah diajak ke acara keluarga. Aku enggak diakui menantu, bahkan dia enggak terima kehadiran calon anakku Ma.” ceritaku panjangIbu memegang kepalaku, mencium keningku.“Iya sayang ... Iya, Mama dengar semuanya, Mama mengerti sayang, Mama ngerti!” katanya memegang kepalaku, berbicara memandang mataku sambil terus menciumiku.“Sudah, sudah Sayang! Mama tahu semua yang dia bilang pasti enggak benar.”“Mama tahu anak Mama, Mama yakin anak Mama enggak mungkin melakuka
Wajah ke-2 Bagian 3 Suamiku kembali dari pekerjaannya, dua hari ia terpaksa pergi meninggalkan aku demi mengurus pekerjaannya di luar kota. Sesekali menelepon, menghubungi untuk sekedar menanyakan dan memberi kabar. Ia selalu sibuk, status pada gawai miliknya hanya online di waktu-waktu tertentu. Karena itu aku tidak pernah berani menghubunginya terlebih dahulu, karena takut mengganggu. Sempat aku dengar, bapak bertanya soal kabar yang bapak dengar dari keluarganya. Bapak menanyakan tentang kebenaran ceritaku padanya, bahkan aku sempat mendengar, suara bapak meninggi saat mereka berbicara dari telepon. Begitu pun dengan kakakku. Setiap malam, aku mendengar kakak mengobrol panjang dengan suamiku, menanyakan kebenaran cerita dan perlakuan yang aku terima dari keluarganya. Tentu saja tak semua suamiku tahu, aku tak selalu cerita padanya soal perlakuan seluruh keluarganya padaku. Terutama
Wajah kedua Bagian 4 “Bapak enggak minta itu!” kata bapakku lantang, matanya penuh dengan emosi yang menyala-nyala. “Bapak enggak minta, ibu kamu minta maaf.” “Yang Bapak butuhkah adalah kepastian.” “Bagaimana dengan keluarga kamu? mereka jelas-jelas menentang pernikahan kalian, sementara pernikahan sudah terjadi? Apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya dengan nada kecewa, raut wajahnya sulit di gambarkan dengan kata-kata. “Aa enggak peduli Pak, soal restu orang tua ... yang pasti Aa enggak akan melepas Denda hanya karena terhalang restu mereka, Aa enggak akan pernah melakukan itu!” jawabnya lantang kemudian terdiam, menatapku yang duduk termenung di sampingannya. “Selama Denda enggak melepas pernikahan ini. Aa enggak peduli dengan restu atau pengakuan mereka lagi. Pernikahan ini Aa yang menjalani, bukan mereka,” lirihnya menjeda sejenak, menarik nafas tertunduk lalu menatap kembali wajah bapak yang
Kata MaafBagian 1Waktu berlalu, aku telah pulih dari segala rasa yang menyakiti. Tersenyum, menatap mentari dari luar bilik kamar yang biasa kutempati.Aku berhasil melewati semua ini, berkat perawatan mama dan dampingan seluruh keluarga. Meski, luka sesar pasca keguguran dan luka hati akibat kehilangan masih basah menganga. Tetap saja aku bersyukur, karena tak melewati semuanya sendiri.Aku kembali bahagia dan merasa hidup setelah badai ini sedikit berlalu. Begitu pun dengan suamiku, sudah seminggu ini aku melihatnya lebih sering tersenyum.Ia tampak bahagia dengan kedekatannya dengan seluruh keluarga. Mereka seperti saling berlomba, memperbaiki kecanggungan yang ada. Aku bersyukur, melihat keakraban yang tercipta. Rasanya tak sia-sia dia mengorbankan waktu mengambil cuti dari segala aktivitasnya.Iya dia libur dari aktivitasnya bekerja, seminggu ini ia di rumah. Menghabiskan waktunya menemaniku, s
Bab 23 Menantu Baru Sudah dua Minggu, suamiku meninggalkan rumah sejak malam itu. Meski selalu memberi kabar, tapi hatiku merasa gersang sejak kepergiannya.Sebuah notifikasi muncul memendar sinar pada gawaiku, dari SMS banking yang menyatakan bahwa rekeningku menerima uang sebesar sepuluh juta.[ bunda ....Itu uang modal untuk bisnis bunda ... Di pikirin baik-baik mau bisnis apa, tapi sebelum mulai kasih tahu ayah dulu ya! ] Tulisnya kemudian memberikan emoticon penuh cinta [ Oh iya, Alhamdulillah Ibu baik-baik saja. Cuma kelelahan dan darah tingginya kambuh.Sekarang sudah di rawat di rumah sakit.] Mengirimkan gambar Selfi dirinya dengan background ibu mertuaku yang terbaring di rumah sakit. [ Terima kasih ya ayah.] Balasku untuk pesan pertamanya, yang segera dibalasnya dengan emoticon cinta.
Bab 22Awal Petaka Siang itu suamiku berubah, begitu memanjakan ku. Dibujuknya aku yang sedang merajuk dengan beragam cara, termasuk mengajak keluar rumah. Kami berkeliling ke taman, mall dan rumah makan yang menjual makanan favoritku. Ia bahkan mematikan gawainya sepanjang waktu. Aku menikmati semunya, tapi hatiku masih terus merasa tak tenang.“Sudah dong marahnya istri ayah, ayah kan sudah minta maaf!” pintanya saat kamu dalam perjalanan pulangAku tersenyum, menatap matanya.‘Ya Allah, tunjukan padaku jika ada sesuatu yang salah, aku ikhlas menerima segala ketentuan-Mu ya Allah.” Doaku dalam hati, mengangguk menjawab pintanya.Ia tersenyum, sambil kembali mengendarai mobil meraih sebelah tanganku dan mengecupnya.Ada desir aneh dalam hatiku saat itu juga.“Oh iya yah, bunda mau ngomong sesuatu ....”tanyaku menoleh padanya.“Mau ngomong apa? Ngomong aja sayang!” jawabnya, sebelah
Bab 21 Merajuk Aku bangun pagi-pagi sekali, menunaikan kewajiban ibadah kemudian sibuk dengan gawaiku di samping jendela kamar.Sudah jadi kebiasaanku, saat hati ini gundah aku akan duduk termenung di depan jendela. Memandang alam dari bingkai sempit yang menghalangi pandangan.Waktu menunjukkan pukul enam pagi, sudah waktunya suamiku bangun. Tak ingin bertemu pandang pagi ini, aku bangkit hendak meninggalkan kamar saat gawainya berdering singkat, pertanda masuknya sebuah pesan.[Mas bangun, sudah pagi. Ayo Shalat sayang!]Bunyi pesannya, tertera dilayar depan. Membuat alisku terangkat. “Sayang?” pikirku masih bingung dengan kata terakhir yang tertulis.[Mas, ikh ... Sejak semalem pesanku tidak pernah dibalas.] Aku masih menatap layar gawai suamiku, nyeri di hati. Takut menghadapi kenyataan pahit yang akan hinggap dalam rumah tangga ini.Pikiran ku melayang, membayangkan sesuatu y
Bab 20Bentak“Yah,” kataku riang menyambut kedatangan suamiku yang baru saja kembali kerumah.“Hai,” jawabnya mengecup pucuk keningku, sejenak setelah aku menyalami tangannya.Ini pertama kalinya bagiku, menjalani tugas istri di rumah baru kami. Aku sudah pulih, meski belum bisa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, terutama pekerjaan berat, tetapi aku sudah mulai memasak, menyiapkan masakan seperti yang bisa aku lakukan saat di rumah mertuaku dulu.“Gimana kabar Bunda?” tanyanya merangkul tubuhku seraya mengajak duduk di sofa ruang tamu.“Baik,” jawabku tersenyum, memandang wajahnya lalu berjongkok dan melepaskan sepatunya yang terpasang.“Terima kasih ya!” katanya mengusap lembut kepalaku.Tak ada yang aneh, ia tetap mesra seperti biasa ... Tetapi entah mengapa, instingku terus saja mengatakan ada yang salah sejak suamiku.“Mau langsung makan atau mandi
Bab 19LainDua Minggu berlalu sejak kedatangan ibu mertua beserta saudara iparku. Aku sudah pulih, tubuhku bugar hingga mampu merawat kebun kecil di depan dan belakang rumah.Aku masih berdoa memohon petunjuk agar segera mendapat jawaban atas kehidupan rumah tangga seumur jagungku.Jujur aku ingin mengakhiri semua ini, memulai lagi kehidupan seorang diri dengan status baru. Tetapi aku takut pada Tuhan yang membenci perceraian, lagi pula suamiku tidak bersalah. Ia melakukan tugasnya dengan baik sebagai suami dan terus membelaku selama ini.“Huuuh,” engahku membuang napas panjang demi menghempas pikiran yang sempat hinggap dikepala.“Namanya hidup berumah tangga emang banyak cobaannya Non. Enggak dari suami ya dari mertua, ipar bahkan bisa jadi dari anak. Tinggal gimana kita,” ucap ibu Ir, pembantu yang sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini terus membantu dan menemaniku.Aku t
Kata Maaf Ibu Mertua Bagian 4 “Nda!” panggil sebuah suara gusar membalikkan badanku yang tengah menangis sesenggukan. Ia tampak ngos-ngosan. “Nda,” panggilnya lagi saat melihatku hanya menatap kosong ke arahnya. “Maaf, ayah tidak tahu ibu akan datang!” katanya memeluk tubuhku yang masih diam saja. “Maaf,” katanya lagi, semakin erat memeluk tubuh ini dalam dekapannya. Terasa sekali aura bimbang dan marah yang terpancar dalam geliat dan gerak tubuhnya. Aku tahu, suamiku tidak bersalah. Seperti yang ia katakan ia pasti tidak tahu, keluarganya akan datang menemuiku dan aku juga tidak tahu siapa yang memberi tahu suamiku perihal kedatangan ibu dan kakaknya kerumah ini. Ia pasti terburu-buru pulang ketika mendapat kabar itu, hingga suaranya terdengar cepat dan ngos-ngosan. Aku tahu, sejatinya bukan hanya aku yang kehilangan, tapi juga dirinya. Bu
Kata maaf Bagian 3Pilihan ada di tanganku, lanjut atau tidaknya pernikahan ini tergantung dengan keputusanku. Sudah sebulan berlalu, luka di perutku telah kering, meski nyerinya kadang masih terasa saat aku terlalu kelelahan. Wajar katanya, itulah efek pasca operasi, dan akan begitu terus sampai setahun ke depan. Karenanya untuk berjaga-jaga, siapa pun tidak boleh bekerja terlalu berat, setelah melakukan operasi. Terutama untuk para ibu yang melahirkan dengan operasi sesar.“Assalamualaikum,” sapa seseorang di luar sana. Suaranya tak asing, begitu familiar hingga membuat merinding.“Waalaikumsalam,” jawab ibu yang membantuku di rumah, bergegas membukakan pintu.Tampak dari kejauhan suara itu semakin membuatku tak nyaman. Mereka berbincang berbasa-basi kemudian masuk ke dalam.“De!” panggil suara itu membuatku semakin malas.Bukan maksud mengabaikan panggilannya, tapi sejak saat itu. Setiap kali aku mengingatn
Kata MaafBagian 2Waktu berlalu, aku dan suamiku pulih dari keterpurukkan akibat kehilangan calon anak. Pernikahan ini masih berlangsung, aku juga masih terus berdoa dalam shalat menunggu jawaban terbaik dari Allah mengenai kelangsungan hubungan pernikahan kami berdua.“Assalamualaikum,” kata Mama memberi salam.“Waalaikum salam,” jawabku dari dalam rumah, membuka pintu.“Waaah, Mama ....” jawabku semringah mencium punggung tangannya.Hari ini suamiku kembali bertugas keluar kota. Pagi tadi sebelum berangkat ia bilang bahwa mama akan datang untuk menemaniku selama dia pergi, dan kepergiannya kali ini tak lama. Sebab dia akan kembali besok pagi, saat pekerjaannya selesai dengan pesawat paling pagi.Ia berjanji akan langsung kembali ketika pekerjaannya telah selesai paling telat besok pagi.“Ayo Ma, masuk!” ajakku“Nanti dulu, panas. Kita ngobrol di sini aja dulu ....&
Kata MaafBagian 1Waktu berlalu, aku telah pulih dari segala rasa yang menyakiti. Tersenyum, menatap mentari dari luar bilik kamar yang biasa kutempati.Aku berhasil melewati semua ini, berkat perawatan mama dan dampingan seluruh keluarga. Meski, luka sesar pasca keguguran dan luka hati akibat kehilangan masih basah menganga. Tetap saja aku bersyukur, karena tak melewati semuanya sendiri.Aku kembali bahagia dan merasa hidup setelah badai ini sedikit berlalu. Begitu pun dengan suamiku, sudah seminggu ini aku melihatnya lebih sering tersenyum.Ia tampak bahagia dengan kedekatannya dengan seluruh keluarga. Mereka seperti saling berlomba, memperbaiki kecanggungan yang ada. Aku bersyukur, melihat keakraban yang tercipta. Rasanya tak sia-sia dia mengorbankan waktu mengambil cuti dari segala aktivitasnya.Iya dia libur dari aktivitasnya bekerja, seminggu ini ia di rumah. Menghabiskan waktunya menemaniku, s