Anak-anakku terdiam mendengar permintaan papanya. Mereka hanya mengangguk. Mas Gavrielle mencium pipi gembul mereka.
“Take care, Ren. Nanti aku jemput setelah selesai meeting.”
Aku iyakan permintaan Mas Gavrielle. Hari ini aku ingin ada waktu bersama anak-anakku. Masa pertumbuhan mereka takkan terulang kembali. Aku bersyukur meski sempat terpisah dengan Mas Gavrielle kami bisa bertemu dan hidup bersama kembali.
Tak jarang ada keluarga yang kandas bahkan bercerai karena terpaan cobaan hidup. Aku tak mengharapkan hal itu terjadi. Meskipun badai masalah menerpa kami, aku dan suamiku masih bertahan sampai hari ini. Itu semua adalah berkah Sang Pencipta.
Mas Gavrielle meraih tangan kananku dan mencium punggung tanganku. Ia selalu menatapku dengan tatapan hangat dan memuja. Laksana padang gersang yang di siram oleh air hujan, hatiku menghangat karenanya.
“Kita makan bareng nanti. Tunggu Papa nanti. Papa usahakan
“Apa maksud kalian Nak?”“Ratmi, Mia?” Kedua baby sitter anakku masih bungkam.Pelan-pelan ku dekati keduanya.“Bu Renata.” Mia terisak, berlinang air mata. Ratmi terlihat sedikit lebih kuat daripada Mia. Ia mengusap kepala Mia.Anak-anakku yang bermain Puzzle lama-lama mendekati kami bertiga. Akhirnya kami bertiga saling berpelukan. Anak-anakku melihat kami dan keduanya pun ikutan tantrum.“Mama kenapa nangis, Ma. Katanya opa kita lagi main drama kayak di film-film di internet, Ma. Ini seru banget.” Kata Arsen.Sungguh aku tak menyangka, kalau kakek tak berperasaan itu akan memberikan alasan logis di luar apa yang ku prediksi. Bagaimana aku mengatakan kebenaran ini pada keduanya, bisa-bisa anakku tambah tantrum ke depannya. Mereka akan selalu mengingat kalau mereka pernah mengalami penculikan.“Maaf Mia, Ratmi. Kami nggak bermaksud membawa kalian ke dalam masalah kami.”Ratmi masih berusaha mengibur Mia. Sejak mereka lepas dari majikan mereka yang kasar dan bekerja padaku, tentunya m
Gavrielle’s PovFirasatku pagi itu ternyata benar, pelukan terakhirku untuk Renata juga kedua anak-anakku. Sesaat sebelum kejadian naas itu, aku dan Mia masih berkirim pesan. Bahkan tak ada yang tahu kalau aku menjadikan Mia sebagai mata-mata untuk menjaga Renata.Aku tak ada niat buruk untuk hal itu, tapi mengingat banyak kejadian buruk yang menimpaku juga Renata, aku melakukan antisipasi. Bahkan sebelum penculik itu menyerbu mobil, Mia masih mengirimkan video juga foto terakhir keadaan anak-anakku. Ia selalu berdalih membuat foto untuk kenang-kenangan padahal semua itu ia kirimkan padaku.Sudah hampir satu minggu, aku belum bisa terbang untuk mencari Renata juga anak-anakku. Ada lima nyawa yang harus kuselamatkan. Aku tak bisa memilih. Semuanya harus ku selamatkan.“Gavrielle.” Om Shane menepuk pundakku dari belakang. Papa langsung datang setelah meeting penting di Surabaya.Mama duduk di ruang tamu di tem
“Saya tahu Eyang ingin menyelamatkan Renata. Tapi masalahnya Yang, nggak hanya Renata saja tapi juga baby sitter Arsen dan Ancel di tawan mereka juga.”Eyang Kinarsih tetap teguh dengan pendiriannya. Ia berjalan meninggalkan kami berdua.Papa naik ke atas untuk berpamitan pada mama. Tentu saja, ia juga harus bicara empat mata dengan Om Shane juga Tante Deasy. Berkat kenalan Om Shane, akhirnya kami temukan juga kalau salah satu security di rumah di manfaatkan oleh orang Matsuyama. Ia di minta oleh orang kepercayaan Matsuyama untuk membawa minuman yang sudah di beri obat tidur. Ia sendiri tidak tahu kalau minuman itu diberi obat tidur. Security itu juga pingsan setelah di pukul di tengkuknya.“Tunggu papa sebentar, Eyang.”Ku minta Eyang Renata menunggu. Entah apa yang beliau khawatirkan sehingga ia buru-buru ingin segera datang ke rumah Matsuyama.Papa datang bersama Om Shane. Aku nggak menyangka kalau Om Shane akan ikut. Sebagai pengacara kelas elite dan memiliki firma hukum ternama d
Gavrielle’s Baskoro PoVPutraku di bawa oleh dua orang pria berpakaian sama dengan bodyguard papa, setelan jas formal tanpa dasi. Matsuyama duduk dengan santai sembari memainkan ponselnya. Seumur-umur belum pernah sekalipun saat meeting atau menemuinya ia bermain ponsel bahkan memutar lagu-lagu anak-anak. Kurasa kekek di depanku ini terobsesi oleh anak-anakku atau ia betulan sungguh sudah menyayangi anak-anakku. Bagaimanapun ia kekek buyutnya.Aku merasakan sangat exited sewaktu menggendong Arsen dan Ancel pertama kalinya. Mungkin itu juga yang di alami Matsuyama.“Papa………..” Anak-anakku berlari turun dari gendongan dua bodyguard itu.Ancel dan Arsen langsung mendatangiku. Ia naik di pangkuanku. Sontak saja mereka mencium pipiku bergantian.“Papa, Arsen kangen banget sama Papa. Kata Opa, papa lagi ada perjalanan bisnis. Dan kita kemarin main peran kayak di film thriller, Pah.”Setelah mencium pipiku. Ancel turun dari pangkuanku, ia berjalan pelan-pelan mendatangi papa. Ia menatap papa
“Oma bilang apa barusan? Kata Opa kita kemarin lagi main peran kayak di film th-riller itu lhoh.” Kata Ancel. Setelahnya ia memutar ponsel memperlihatkan sekeliling ruangan yang terjangkau ponsel.Mama terlihat manggut-manggut saja. Di samping mama, Tante Deasy hanya menatap putriku sembari menutup mulutnya. Tante Deasy menahan isak tangisnya.“Oma-oma bilang sama Mbok Sumi ya, masak yang e-nak, Cel mau pulang.” Putriku itu benar-benar ceriwis. Suasana di ruangan ini berubah karena putriku yang tidak bisa diam.Mama kembali menunduk.”Oma sayang sama kalian, besok Oma buatin es krim ya.”Ancel melompat-lompat sampai ponsel yang di pegangnya hampir jatuh.“Ancel, pelan-pelan.” Tegur papa. Papa mengambil ponsel yang di pegang Ancel lalu papa bicara dengan mama mengabarkan kalau kami akan pulang secepatnya.Anak adalah rezeki sekaligus anugerah yang di titipkan oleh Sang Pencipta. Karena kedatangan anak-anakku, rumah mewah ini menjadi ramai sekali.Arsen terbahak-bahak karena Om Shane kal
“Anak-anak ayo kita makan. Turun dari tubuh Papa. Kalian berat, tau.” Bujuk Renata. Renata terpaksa meninggalkan meja makan dan menarik tubuh Ancel. Dengan cemberut kedua anakku berjalan menuju ruang makan.“Kami nggak mau duduk dekat mama atau papa. Kami mau duduk di sini saja.” Kata Arsen dan Ancel pun mengangguk. Arsen duduk di sudut paling ujung.Pelayan menarik kursi untuk kedua anakku itu. Melihat keduanya ngambek, aku jadi tidak tega. Akhirnya aku meninggalkan kursiku dan duduk di samping mereka.“Mari kita makan.” Renata mulai mengambil nasi. Ia mengambilkan nasi untuk Kakek Matsuyama.“Eyang Putri di makan Guraminya, ada Sup Ayam juga. Papa juga suka Gurami kan?”Papa mengambil nasi, Gurami juga lauk lainnya. Sementara itu Eyang Kinarsih mengisi mangkuk supnya dengan penuh. Om Shane dan dokter Pambudi menikmati hidangan lain Steak Salmon.Anak-anakku masih saja cemberut.
Eyang Kinarsih awalnya terlihat ogah-ogahan saat Kakek Matsuyama menawarinya. Tapi anak-anakku terus saja menganggu dan memprovokasi. Akhirnya Eyang Kinarsih luluh juga.Hari itu hari yang begitu damai untuk keluarga besar kami, tak mudah buatku memaafkan sosok yang sudah membuat istriku juga hidupku kacau balau belakangan ini. Kalau aku terlihat biasa saja juga terlihat berusaha santun, itu karena aku menghargai permintaan Renata. Selain itu juga karena mengingat begitu besar rasa sayang Eyang Kinarsih pada Renata juga cucu buyutnya alias anak-anakku.“Opa, hati-hati ya jalannya. Eyang buyut pu-tri sudah su-sah jalan.” Kata Ansel. Ansel meraih tanganku dan ia berjalan lebih cepat sehingga aku harus menyesuaikan jalan putriku.Arsen lebih memilih untuk jalan bersama papaku. Renata sendiri berjalan bersama dengan dokter Pambudi juga Om Shane.Kakek Matsuyama hanya berjalan sebentar, akhirnya mereka memilih untuk duduk di tempat tu
Kami kembali ke toko lalu masuk ke dalam. Kami menemukan papa menggandeng Ancel sedangkan Arsen ada bersama Om Shane.“Kalian darimana saja?” Tegur papa dengan wajah sengak.”Jangan mojok terus, nggak mikirin anak!”Sebelum anakku bertanya yang aneh-aneh, ku telfon bodyguard papa yang ada di bawah. Dua dari mereka langsung naik dan membantu papa membawa barang-barang belanjaannya.Kami turun ke lantai satu, baik aku maupun Renata tak membeli apapun. Entahlah, apa papa membelikan sesuatu untukku atau tidak. Yang pasti dua bodyguard papa kewalahan membawa paper bag dari toko itu.“Ka-kek, Cel laper. Mau makan dong.” Ancel merengek.Krucuckkkk.Semua orang melihat ke arah putriku.“Cel bisa nggak sih, nggak usah lebay gitu. Malu tau.” Gerutu Arsen. Putraku menegur adiknya. Padahal aku juga yakin ia juga lapar karena jalannya tidak bersemangat seperti