“Mama sama papa ngapain di sini?”
Sedang asyik berduaan begini kenapa anak-anakku bisa datang? Ini Pak Khamdan sama bodyguard papa juga ikut-ikutan datang.
Wajah Mas Gavrielle langsung di tekuk. Kenapa aku merasa kalau suamiku tidak ingin di ganggu privasinya.
Ancelia dan Arsen menenteng tasnya. Harusnya aku justru senang dengan kedatangan anak-anakku. Tapi kenapa kok aku juga terbawa suasana enggan diganggu siapapun termasuk anak-anakku sendiri.
“Papa kok gitu sih, wajah Papa kok manyun. Nggak senang kita datengin?” Tanya Arsen. Ia membuka ranselnya lalu mengambil sebuah bungkusan.
Arsen memberikan bungkusan itu pada Ancelia. Putriku lalu menyerahkan bingkisan itu pada Mas Gavrielle.
"Papa, kami nggak bermaksud mengganggu waktu Mama sama Papa. Tapi kata Kak Arsen ini hari ulang tahun pernikahan mama sama papa jadinya Kak Arsen tadi minta di anterin ke toko buat beli ini.” Kata putriku pan
Mobil itu masih mengikuti kami sampai rumah. Begitu sampai rumah. Adzan magrib berkumandang. Aku turun dari motor dan Mas Gavrielle menyerahkan kunci motor itu pada salah satu bodyguard papa.Kami masuk dan di kejutkan oleh suara terompet. Rupanya yang meniup terompet anak-anakku juga Mbok Sumi dan Pak Khamdan. Mama, Papa juga eyang putriku dan Kakek sudah ada di ruang tamu.Bukan kue tart yang menyambut kami melainkan tumpeng kecil berisikan nasi kuning. Aku takjub sekali, meskipun bukan pesta yang meriah tapi bagiku ini adalah kado yang sangat berharga bagiku juga suamiku.“Happy wedding anniversary ya Mama, Papa.” Kata Arsen dan Ancel berbarengan. Suamiku yang paling tegar di luar tiba-tiba saja menengadahkan matanya ke langit-langit. Ternyata bertepatan dengan momen itu seseorang masuk ke ruang tamu.“Maaf sepertinya aku ganggu.” Kata Neil. Setelah menyapaku di jalan dan tidak di gubris oleh suam
Mataku terbelalak waktu kami melihat kalau yang datang itu adalah Agusto. Setahuku Mas Gavrielle sudah melakukan tes DNA diam-diam. Hasil itu menunjukkan kalau Neil itu anak Agusto. Tante Haruka sendiri juga pernah berhubungan dengan Agusto cukup lama. Bahkan Agusto sudah yakin kalau Neil itu adalah anaknya.Paman Hiromi justru mengaku kalau Neil adalah anak biologisnya. Tante Haruka itu super jenuis. Ia bisa melakukan hal apa saja di luar nalar. Termasuk memalsukan hasil Tes DNA Agusto dan Neil.“Agusto mari silahkan.” Sambut suamiku. Ia menyambut Agusto dengan baik.Agusto juga ikut duduk di karpet bersama kami. Suamiku tentu saja kaget dengan kedatangan Agusto.“Sebelum kamu menginterogasiku lebih lanjut. Lebih baik aku jujur saja.”Agusto menepuk pundak Adrian dengan keras.“Sakit Om. Slow kenapa sih.” Adrian menyingkirkan tangan Agusto dari pundaknya.“Aku ingin menanyakan menu m
Jakarta, enam bulan kemudian.Satu persatu masalah berat yang kami alami dalam hidup ini kami lewati. Mengurainya sungguh tak mudah. Berderai air mata, berpeluk keringat dan sungguh menguras tenaga apa yang kami alami.Suamiku sudah memberikan bonus akhir tahun pada seluruh karyawannya di akhir tahun ini. Untuk para bodyguard kakek, mereka justru siap untuk bekerja kembali. Jadilah mereka gentian. Bodyguard papa akan liburan sebentar dan pulang ke kampung halamannya.Hubunganku dengan Meira sudah membaik meskipun aku membatasi akses Meira dan Dito untuk masuk lebih dalam ke dalam keluarga kami. Bukannya aku sok, tapi mencegah lebih baik daripada mengobati.“Mama, kami semua sudah siap berangkat.” Kata Arsen. Putraku kelihatan ganteng sekali. Ia memakai pakaian kembar dengan adiknya. Ancel menolak mengganti celana jeans dengan rok. Yang ada justru ia memakai celana jeans dengan bahan dan warna yang
“Yogyakarta, duh liputan? Ini tugas bisa nggak di canceled.” Sintia menepuk pundakku dari belakang membuatku melompat kaget dari kursi tempatku duduk. “Awwwww.” Rintihku. "Kakiku masih belum kempes bengkaknya." Sintia pasti mendengar gerutuanku yang keras tadi. “Sorry Mbak, sorry…nggak sengaja. Habis dari tadi melamun terus sih!” Sintia mengambil kursi dari meja kerjanya. Ia duduk di sebelah kubikelku. “Kamu ini gimana to Sin! Apa nggak bilang sama bos besar kalau kakiku bermasalah!” Rasanya ingin ku cubit keras pipi Sintia, biar dia kapok sudah mengumpankan aku di proyek mangkraknya.”Maksutmu apa Sin?Aku jadi penananggung jawab lapangan, liputan proyek acara di Yogyakarta?” Sinta gelagapan melihatku ngomel-ngomel tidak jelas. “Ngomong aja kalau kamu jealouse sama aku Sin! Nggak usah make acara nikung gini!” Rasanya otakku benar-benar mendidih. Mana kaki masih saja perih, dikasih tugas berat pula. “Kita dah di tunggu di bawah sama crew lain, Mbak Ren! Semua perlengkapan and crew
Kaca jendela sebelah kanan pintu mobil masih saja di ketuk berulang kali. ”Buka pintunya Pak Sartono!” Perintah bos galak itu. Pak Sartono panik melihat sosok di depannya. Ia terlihat semakin kalut. Kalau ia tidak membuka pintu, kemungkinan besar nasibnya mencari sesuap nasi di depan kantor bakalan tidak jelas ke depannya. Bos galak itu bisa memecatnya. Derita kacung korporat. Mau tidak mau kami harus menuruti petinggi yang kantongnya tebal. Assetnya ada di mana-mana, tidak hanya di nusantara mungkin juga ia menyimpan dollar di bank Singapura atau Swiss. “Maaf Mbak Renata.” Kata Pak Sartono dengan wajah menunduk. Daripada satu mobil dengan bos gila itu, lebih baik aku kabur saja. Pokoknya aku tidak mau melihat lagi wajahnya.”Buka saja Pak!” Aku memaklumi keputusan Pak Sartono, karena kalau aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Pak Sartono pun akhirnya membuka pintu sisi kiri bagian depan mobil. Bos gila itu masuk. Ku tarik handle pintu mobil di sisi kan
“Kita sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama. Sudah enam bulan dan kamu belum memberikan hakku sebagai suamimu. Kurang sabar apa ku Ren?” Tanya Gavrielle. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ia merapikan rambutku, lalu mengambil ikat rambut dan menguncir rambutku tinggi. “Tapi kamu nggak harus memarahiku di kantor seperti tadi pagi! Bukan Pak Syaron sugar dady-ku tapi dirimu.” Gavrielle terbahak.”Aku bukan sugar daddy-mu, sejak kapan coba? Apa ada posisi seperti itu sejak kita kenal. Yang akan terjadi adalah aku daddy dari calon baby-mu, iya kan?” Tanyanya menyudutkanku. Gavrielle merangsek memeluk tubuhku. Padahal awalnya aku ingin dia pergi. Ternyata aku masih saja kalah kalau menyangkut urusan strategi darinya. Menyebalkan! ”Ini sudah enam bulan, aku ingin hakku malam ini.” Ia merajuk. Aku sadar apa yang di katakan oleh suamiku adalah benar. Semuanya ucapannya, fakta. “Aku tidak bisa menunda lagi.” Ucap suamiku pelan. Bersyukur kakiku tetap ia perhatikan, sehingga aku
Kubuka tutup toples cookies agar memudahkan Gavrielle kalau mau mengambil. Tapi dugaanku ternyata salah, ternyata ia justru mengambil Nuget Tuna dengan tissue. Ia menggigitnya lalu mengunyah camilan itu dan menelannya. Setelah itu ia membersihkan bibirnya hingga bersih dengan tissue. ”Tolong ambilkan cookies itu, Ren.” Aku mengambil satu cookies lalu menyuapkan ke mulutnya. Ternyata ia menarik tubuhku membuatku berpindah ke sampingnya. Ia memegang kepalaku lalu mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. “Buka mulutmu!” Aku menurutinya. Akhirnya ia memindahkan separuh cookies yang belum di telannya ke mulutku. Astaga, tak terpikirkan olehku. Gavrielle benar-benar membuat jantungku mau copot. Aku menggigit cookies itu supaya tidak jatuh. Gavrielle pasti akan marah kalau cookies itu jatuh. Mungkin ia akan tersinggung. Sisa cookies itu ku kunyah lalu kutelan. ”Ini variasi cara makan terbaru.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Rasanya benar-benar nano-nano. Kadang aku sangsi kalau Gavrie
Pagi itu ternyata mertuakau, Pak Syaron dan Bu Larasati bertandang ke rumahku. Bersyukur sekali keadaan rumahku tidak terlalu kotor. Di sela-sela pulang ngantor kadang aku masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih rumah. Gavriel sudah rapi begitupun dengan diriku. “Kenapa Pak Syaron bisa datang kemari?” Tanyaku pada suamiku. Mudah saja bagi seorang bos besar seperti beliau untuk menyelidiki banyak hal tentangku. Masalahnya, kenapa datang justrudi saat yang tidak tepat. Gavrielle mengendikkan bahunya. Seharusnya suamiku tidak perlu membuka pintu terlebih dahulu. Ia bisa membangunkan aku agar aku bisa membuka pintu dan dia sembunyi. Sehingga aku tidak perlu takut atau canggung menghadapi bos yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Gavrielle berjalan di depanku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat. Pak Syaron dan Bu Larasati duduk di ruang tamu. Pak Syaron melihat-lihat foto yang kupajang di dinding ruang tamu. Aku tidak tahu harus memajang foto siapa, jadi lebih baik aku