“Yogyakarta, duh liputan? Ini tugas bisa nggak di canceled.” Sintia menepuk pundakku dari belakang membuatku melompat kaget dari kursi tempatku duduk.
“Awwwww.” Rintihku. "Kakiku masih belum kempes bengkaknya." Sintia pasti mendengar gerutuanku yang keras tadi.
“Sorry Mbak, sorry…nggak sengaja. Habis dari tadi melamun terus sih!” Sintia mengambil kursi dari meja kerjanya. Ia duduk di sebelah kubikelku.
“Kamu ini gimana to Sin! Apa nggak bilang sama bos besar kalau kakiku bermasalah!” Rasanya ingin ku cubit keras pipi Sintia, biar dia kapok sudah mengumpankan aku di proyek mangkraknya.”Maksutmu apa Sin?Aku jadi penananggung jawab lapangan, liputan proyek acara di Yogyakarta?”
Sinta gelagapan melihatku ngomel-ngomel tidak jelas.
“Ngomong aja kalau kamu jealouse sama aku Sin! Nggak usah make acara nikung gini!” Rasanya otakku benar-benar mendidih. Mana kaki masih saja perih, dikasih tugas berat pula.
“Kita dah di tunggu di bawah sama crew lain, Mbak Ren! Semua perlengkapan and crew sudah siap tinggal nunggu Mbak Ren!”
“Semprul kamu, Sin! Kaki pincang gini kamu umpankan juga! Tega kamu Sin!”
Terpaksa aku meninggalkan kubikelku, berjalan dengan susah payah turun ke lantai satu setelah melewati lift. Aku merasa ada hal yang aneh. Jelas-jelas aku datang ke kantor hanya untuk mengecek pekerjaan crew siaran dan liputan. Mengapa justru aku yang harus turun tangan! Apa Pak Syaron nggak lagi percaya padaku?Aku bahkan memperlihatkan bengkak kakiku pada beliau saat tadi pagi video call.
Sintia memapahku perlahan. Rasanya benar-benar melelahkan menjadi pesakitan! Percuma saja menangisi keadaan tak akan mengubah apapun.
Semua crew liputan khusus yang akan di berangkatkan ke Yogyakarta sudah berkumpul. Hendra, si tampan blasteran Jerman bagian reportase. Sefa, si cantik asal Palembang di bagian teknis. Dito si kameramen beken, secara ia adalah selebgram tajir yang followersnya berjubel dan tarif endorsenya mahal. Pak Mardi senior pengarah acara. Si usil Sintia di bagian wardrobe. Aku hanya bisa menghela nafas pasrah. Mereka semua terlihat mengasihaniku. Meskipun tiap hari aku mengomeli mereka. Tapi mereka tahu, jika semua ku lakukan demi kualitas siaran dan rating hasil produksi.
“Sintia hanya di perintah Pak Syaron, Mbak Ren. Bukan niatnya Sintia numbalin kamu!” Penjelasan Pak Mardi membuatku sedikit lega. Ternyata anak itu nggak berniat menikungku. Padahal aku sudah nethink duluan.
“Pak Mar. Kita kok nggak langsung berangkat, nunggu apa to Pak?” Tanyaku penasaran. Perasaanku mengapa berubah tidak enak. Wajah crew yang biasanya cerah hari ini mendadak seperti crew liputan khusus yang akan di kirim ke perbatasan Perang Ukraina-Rusia.
Sintia melihat ke arah pintu depan lobby. Pintu bergeser, sosok tinggi tegap itu mendekat pada kami.
“Siang semuanya. ready ke Yogyakarta?” Tanyanya datar dengan wajah dingin.
Aku malas sekali menengadahkan wajahku. Melihat sosok arogan di depanku. Fyuhhhh. Auranya terasa menyeramkan. Padahal aku hanya mendengar suaranya, bulu kudukku jadi berdiri semua.
“Kamu!” Pria yang berdiri tepat dua meter di depanku menunjuk ke arahku.“Berapa lama kamu jadi karyawan Baskoro Company? Nggak tahu aturan! Aturan buat di patuhi bukan di langar! Ngerti!” Bentaknya.
“Kakinya sakit, Pak!” Celetuk Sintia. Ia kemudian kicep dan menundukkan wajahnya.
“Sandal rumah dan di pakai di kantor? Teddy Bear lagi!” Ia berkelakar meremehkanku. Seketika wajahnya berubah merah padam menyeramkan!
”Ikut aku!” Perintahnya membuatku serasa menjadi terdakwa di atas kursi pesakitan. Ia berjalan meninggalkan lobi dan masuk ke ruang transit di sebelah lobi.
“Gimana nih Mbak Ren?” Sintia kalang kabut.
“Pak Gavrielle apa nggak di kasih tahu Pak Syaron to?” Kata Pak Mardi.
“Pak Mardi tolongin Mbak Renata dong.” Pinta Sintia.
“Temui saja Ren, turuti saja maunya. Kita ini sampah, mau mecat juga gampang buat beliau.” Ucapan Pak Mardi membuatku semakin gelisah.
“Semangat kak.” Ucap Dito.
“Aku padamu, Ren. Selamatkan crew kita.” Hendra mengacungkan jempolnya menyemangatiku. Sedang Sefa justru membuat mood-ku semakin ambyar. Matanya berkaca-kaca. Diantara crew liputan khusus, dialah yang paling sensitive dan mellow.
“Aku bantu ya, Mbak Ren!” Sintia memapahku.
Aku menggelengkan kepala. Kulepaskan tangannya perlahan. Aku berjalan pelan, menyeret kaki kiriku. Semakin mendekati ruang tamu transit, semakin jantungku berdegup kencang. Telapak tanganku mendadak dingin dan berkeringat. Langkah kakiku terasa semakin berat. Aku hanya bisa merapalkan doa sebisaku. Kutatap wajah teman-temanku. Pak Mardi menganggukkan kepalanya. Kudorong pintu kaca di depanku.
"Duduk perintahnya!” Pria arogan di depanku sedang duduk di sofa sembari menyilangkan kakinya. Ku akui ia memang tampan. Pahatan wajahnya bak dewa dalam mitologi Yunani. Postur tubuh suspeknya bisa membuat setiap wanita tunduk di bawah kakinya. Sayangnya, ia arogan dan semena-mena. Kutarik kursi itu perlahan dan aku mendaratkan tubuhku diatas kursi panas empuk itu.
“Re-na-ta At-ma-ja. Berapa lama kamu bekerja di kantor ini?” Sempat-sempatnya ia mengeja namaku. Menyebalkan.
“Lima tahun Pak!” Jawabku pelan.
“Ternyata seperti ini ya, dedikasi karyawan yang katanya di puja-puji sebagai karyawan teladan di kantor ini! Kamu punya mulutkan? Jawab!”
Seumur-umur baru kali ini aku di perlakukan buruk di kantor. Ia berpindah duduk di atas meja tepat di sampingku.
“Kamu cantik-cantik kok bisu? Sugar baby Papa jangan-jangan!” Ia menatap tajam ke arahku.
Sugar Baby! Kutampar wajah tampannya.
Plakkkkkkkk.
Masa bodoh kalau aku di pecat seketika.
“Saya karyawan biasa Pak! Saya akui, saya nggak punya jabatan, kedudukan, atau harta sebanyak yang Bapak punya. Asal Bapak tahu, kalau saya respek pada Pak Syaron karena saya sudah menganggap Beliau seperti ayah kandung saya sendiri.” Tanpa pikir panjang, aku keluar dari ruang transit tamu. Yang kupikirkan hanyalah keluar dari kantor dan pulang.
“RENATA…………” Teriaknya dari dalam ruangan.
Aku masih mendengar teriakan keras si bos arogan, Gavrielel Baskoro. Mendadak semua orang memperhatikanku. Mataku sembab. Aku sudah tidak memikirkan bagaimana riasan wajahku. Masa bodoh. Aku berlari meninggalkan lobi. Teman-teman satu crew-ku terlihat bingung saling menatap satu sama lainnya. Sampai di luar. Aku tidak tahu harus kemana. Kontrakan? Si bos gila itu bisa dengan mudah menemukanku.
“Taksi……..” Aku mendekat ke mobil yang sedang di parkir di badan jalan.
“Jalan!Cepat Jalan Pak!” Pikiranku kalut. Sudah jatuh ketimpa tangga. Andai aku di pecat. Aku terima. Tapi aku tidak terima harga diriku sebagai seorang wanita di lecehkan. Kalau bukan karena Pak Syaron mungkin aku masih berjibaku di kampus atau wara-wiri memasukkan CV ke setiap perusahaan di Jakarta. Ponselku berkedip. Nomor baru tertera di layar ponsel, ada 10x panggilan. Ku silence dering teleponku dan aku pun memasang mode pesawat. Masa bodoh dengan Gavrielle Baskoro!
“Mbak kita mau kemana?” Pertanyaan Pak Sartono mengagetkanku.
“Duh, saya bingung Pak!”
“Lhoh Mbak Renata mau kemana?” Pak Sartono tentu saja menunggu penjelasanku.
“Turunkan saya di taman terdekat, Pak.” Pak Sartono menggelengkan kepalanya.
“Mbak, tamannya masih jauh lho! Gimana? Kok ada mobil yang membuntuti kita?” Tanya Pak Sartono dengan khawatir.
Mati aku! Jangan-jangan Si bos arogan itu mengejarku?Aku hanya membatin. Kalau aku jujur pada Pak Sartono bisa-bisa Pak Sartono menurunkanku di trotoar. Ya Tuhan. BMW hitam di belakangku semakin memepet mobil Pak Sartono.
Pimmmmmm,......
Pak Sartono kaget. Ia menghentikan laju mobil karena melihat kaca mobil di ketuk dari samping.
Astaga……….habislah sudah aku! Dia sungguh-sungguh ternyata!
Kaca jendela sebelah kanan pintu mobil masih saja di ketuk berulang kali. ”Buka pintunya Pak Sartono!” Perintah bos galak itu. Pak Sartono panik melihat sosok di depannya. Ia terlihat semakin kalut. Kalau ia tidak membuka pintu, kemungkinan besar nasibnya mencari sesuap nasi di depan kantor bakalan tidak jelas ke depannya. Bos galak itu bisa memecatnya. Derita kacung korporat. Mau tidak mau kami harus menuruti petinggi yang kantongnya tebal. Assetnya ada di mana-mana, tidak hanya di nusantara mungkin juga ia menyimpan dollar di bank Singapura atau Swiss. “Maaf Mbak Renata.” Kata Pak Sartono dengan wajah menunduk. Daripada satu mobil dengan bos gila itu, lebih baik aku kabur saja. Pokoknya aku tidak mau melihat lagi wajahnya.”Buka saja Pak!” Aku memaklumi keputusan Pak Sartono, karena kalau aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Pak Sartono pun akhirnya membuka pintu sisi kiri bagian depan mobil. Bos gila itu masuk. Ku tarik handle pintu mobil di sisi kan
“Kita sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama. Sudah enam bulan dan kamu belum memberikan hakku sebagai suamimu. Kurang sabar apa ku Ren?” Tanya Gavrielle. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ia merapikan rambutku, lalu mengambil ikat rambut dan menguncir rambutku tinggi. “Tapi kamu nggak harus memarahiku di kantor seperti tadi pagi! Bukan Pak Syaron sugar dady-ku tapi dirimu.” Gavrielle terbahak.”Aku bukan sugar daddy-mu, sejak kapan coba? Apa ada posisi seperti itu sejak kita kenal. Yang akan terjadi adalah aku daddy dari calon baby-mu, iya kan?” Tanyanya menyudutkanku. Gavrielle merangsek memeluk tubuhku. Padahal awalnya aku ingin dia pergi. Ternyata aku masih saja kalah kalau menyangkut urusan strategi darinya. Menyebalkan! ”Ini sudah enam bulan, aku ingin hakku malam ini.” Ia merajuk. Aku sadar apa yang di katakan oleh suamiku adalah benar. Semuanya ucapannya, fakta. “Aku tidak bisa menunda lagi.” Ucap suamiku pelan. Bersyukur kakiku tetap ia perhatikan, sehingga aku
Kubuka tutup toples cookies agar memudahkan Gavrielle kalau mau mengambil. Tapi dugaanku ternyata salah, ternyata ia justru mengambil Nuget Tuna dengan tissue. Ia menggigitnya lalu mengunyah camilan itu dan menelannya. Setelah itu ia membersihkan bibirnya hingga bersih dengan tissue. ”Tolong ambilkan cookies itu, Ren.” Aku mengambil satu cookies lalu menyuapkan ke mulutnya. Ternyata ia menarik tubuhku membuatku berpindah ke sampingnya. Ia memegang kepalaku lalu mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. “Buka mulutmu!” Aku menurutinya. Akhirnya ia memindahkan separuh cookies yang belum di telannya ke mulutku. Astaga, tak terpikirkan olehku. Gavrielle benar-benar membuat jantungku mau copot. Aku menggigit cookies itu supaya tidak jatuh. Gavrielle pasti akan marah kalau cookies itu jatuh. Mungkin ia akan tersinggung. Sisa cookies itu ku kunyah lalu kutelan. ”Ini variasi cara makan terbaru.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Rasanya benar-benar nano-nano. Kadang aku sangsi kalau Gavrie
Pagi itu ternyata mertuakau, Pak Syaron dan Bu Larasati bertandang ke rumahku. Bersyukur sekali keadaan rumahku tidak terlalu kotor. Di sela-sela pulang ngantor kadang aku masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih rumah. Gavriel sudah rapi begitupun dengan diriku. “Kenapa Pak Syaron bisa datang kemari?” Tanyaku pada suamiku. Mudah saja bagi seorang bos besar seperti beliau untuk menyelidiki banyak hal tentangku. Masalahnya, kenapa datang justrudi saat yang tidak tepat. Gavrielle mengendikkan bahunya. Seharusnya suamiku tidak perlu membuka pintu terlebih dahulu. Ia bisa membangunkan aku agar aku bisa membuka pintu dan dia sembunyi. Sehingga aku tidak perlu takut atau canggung menghadapi bos yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Gavrielle berjalan di depanku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat. Pak Syaron dan Bu Larasati duduk di ruang tamu. Pak Syaron melihat-lihat foto yang kupajang di dinding ruang tamu. Aku tidak tahu harus memajang foto siapa, jadi lebih baik aku
Aku terpaksa menarik baju suamiku agar mengikutiku. Aku punya tempat duduk favorite di Warung Mbah Mo. Kalau tidak dipakai oleh pengunjung lain, biasanya aku akan memilih tempat itu.“Sini, Vriel."Aku lebih dulu duduk di tempat lesehan yang ada di pojok. Warung Mbah Mo sangat luas, meskipun tempatnya tidak mewah tapi sangat rapi dan asri. Ada banyak tumbuhan yang tumbuh di luar warung. Tanaman sulur seperti Pare juga Suruh merambat diatas pergola. Selain itu, banyak tanaman hias yang tumbuh subur meskipun di pot. Aneka Mawar, Anyelir, Pakis, bahkan ada juga Janda Bolong. Yang bolong tidak hanya kaos, Janda juga ada yang Bolong. Tidak hanya itu, di daerah belakang warung ada areal luas untuk menanam tanaman seperti Cabai, Daun Bawang, juga Tomat dan Daun Kemangi. Bisa di bilang areal itu memang di tanami untuk stok persediaan tambahan bahan yang akan di masak di warung.“Mbak, ini sepiring Baceman Burung Dara dan Telur Puyuh buat Mbak Renata.” Kata Mas Badrun, pelayan utama di warung
Waktu masih menunjukkan pukul 10.00 pagi. Suamiku sudah mengganti kemejanya dengan bathrobe. Tubuhku tambah panas dingin. Lebih baik pura-pura ke toilet. Apes betul. Di kamar mandi, suamiku menuliskan notes yang di tempel di belakang pintu kamar mandi. Jelas-jelas penglihatanku masih sangatlah bagus. Ia memintaku agar aku memakai baju yang sudah ia siapkan.“Astaga, baju dinas berwarna merah. Aku tidak tau haruskah menurutinya?Sedangkan rambutku baru saja kering. Dengan sangat terpaksa kupakai. Setelah itu aku memakai bathrobe. Salahku juga, tidak mengkomunikasikan dengan baik pada suamiku masalah hal seperti ini sejak awal.Wajar saja kalau dia menggebu-gebu saat bergumul bersamaku. Ibarat sesorang musafir yang berjalan di padang pasir dan menemukan oase yang jernih dan ia meminumnya. Dahaganya pastilah hilang. Aku memikirkan masalah kewajiban seorang isteri pada suami, meskipun semuanya karena kontrak semata.Aku sadar akan hutang budiku padanya, meskipun kalau dipikir semua ada im
Suamiku masih saja berdebat dengan papa mertuaku. Ia menyusul papa mertuaku yang masuk ke ruang kerja.“Kenapa nggak bilang kalau Papa ingin menjodohkan aku dengan Renata?”“Pernah kamu menghargai Papa selama ini? Kerjamu keluyuran. Keluar masuk club. Papa sudah menyerah, Vriel. Saat pertama kali Papa menemukan Renata. Papa berpikir mungkin Renata adalah calon yang tepat untuk mendampingimu.”“Kamu tidak tahu seperti apa rasanya menjadi orang tua, kalut memikirkan masa depan anaknya. Bagaimana nasib perusahaan kalau generasi penerus kami tidak punya kepedulian pada usaha yang sudah turun temurun? Jutaan karyawan bernaung di bawah perusahaan kita. Pernah kamu memikirkan Mamamu? Kamu sampai tidak tahu kalau mama-mu keluar masuk rumah sakit terlalu tertekan melihat sikapmu.”Tidak sopan rasanya menguping pembicaraan mereka. Awalnya aku ingin bicara pada papa mertuaku. Namun, ternyata mereka berdua masih saja bersitegang. Aku tidak ingin mendengar lagi alasan apa yang akan dikatakan suami
Matahari sudah naik, jam makan pagi sudah lewat. Suamiku pun bergegas mandi lalu berpakaian. Kuambilkan setelan kemeja, celana panjang, lengkap dengan jas, juga dasi yang cocok dengan kemejanya. Tak lama ia selesai mandi. Dilihat-lihat suamiku sungguh tampan, kadang aku selalu menepis pikiran kalau aku dinikahinya demi keuntungan pribadinya semata, sebab sayang sekali melewatkan segala bentuk perhatian dan kasih sayangnya padaku selama ini. Mubazir sekali melewatkan dirinya dengan segala pesonanya berikut juga kebrengsekannya.“Ren, buruan mandi. Kita akan ke kantor hari ini.”Mataku membola, telingaku kulebarkan mendengar penuturan suamiku.”Ngantor?” Saat ini. “Maksudnya apa?”“Kita berangkat ke kantor hari ini. Agak siang tak masalah.”Bergegas aku ke kamar mandi tanpa banyak bertanya. Aku sebenernya ingin berendam meski tak lama. Tapi perintah suamiku pasti kupatuhi. Sepuluh menit dan aku keluar dari kamar mandi. Sepuluh menit kemudian akupun selesai berpakaian. Keluar menenteng ta