Kaca jendela sebelah kanan pintu mobil masih saja di ketuk berulang kali.
”Buka pintunya Pak Sartono!” Perintah bos galak itu.
Pak Sartono panik melihat sosok di depannya. Ia terlihat semakin kalut. Kalau ia tidak membuka pintu, kemungkinan besar nasibnya mencari sesuap nasi di depan kantor bakalan tidak jelas ke depannya. Bos galak itu bisa memecatnya. Derita kacung korporat. Mau tidak mau kami harus menuruti petinggi yang kantongnya tebal. Assetnya ada di mana-mana, tidak hanya di nusantara mungkin juga ia menyimpan dollar di bank Singapura atau Swiss.
“Maaf Mbak Renata.” Kata Pak Sartono dengan wajah menunduk.
Daripada satu mobil dengan bos gila itu, lebih baik aku kabur saja. Pokoknya aku tidak mau melihat lagi wajahnya.”Buka saja Pak!” Aku memaklumi keputusan Pak Sartono, karena kalau aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama.
Pak Sartono pun akhirnya membuka pintu sisi kiri bagian depan mobil. Bos gila itu masuk. Ku tarik handle pintu mobil di sisi kananku. Aku berlari kencang sebisaku.
“Renata…………”
Gavrielle Baskoro yang baru saja menyenderkan bahunya di jok mobil segera keluar dari mobil. Ia berlari mengejarku dan meneriakkan namaku. Beberapa orang jadi melihatku. Rasanya menyebalkan sekali. Aku jadi pusat perhatian.
Persetan, aku nggak terima di lecehkan, di ejek, di rendahkan. Gavrielle Baskoro mengejarku. Langkah kaki jenjangnya begitu cepat, tak sepadan denganku. Aku benar-benar kelimpungan menghindarinya. Kepalaku tiba-tiba pening, mataku tiba-tiba saja berkunang-kunang saat aku hendak menyebrang zebra cross. Terpaksa, aku mundur kembali ke badan jalan. Padahal Gavrielle Baskoro sudah terlihat jelas tak jauh dariku. Ia berlari semakin mendekat. Kiamat sudah! Aku pasrah dengan apapun yang akan dia lakukan. Bahkan kalau dia mau mendorong tubuhku untuk menjadi ganjalan mobil yang lewat pun aku tidak peduli.
Aku duduk di atas bahu jalan. Sungguh hariku benar-benar mengenaskan. Kakiku benar-benar ngilu.
Gavrielle Baskoro mendekatiku. Tanpa ba-bi-bu, ia justru meraih tanganku untuk menepi. Ia memapahku untuk mencari tempat berteduh.
Kami menepi di bawah Pohon Asem Besar yang ada di badan jalan. Padahal kata Pak Sartono taman kota masihlah jauh. Nyatanya sudah dekat sekali. Sekitar seratus meter dari tempat kami berteduh adalah taman. Apa Pak Sartono ikut sekongkol dengan bosku ini?
“Kakimu bengkak, di mana kostmu atau rumahmu?” Ku tepis tangannya yang hendak meraih tanganku.
Akhirnya aku berjalan tertatih meninggalkan bos arogan itu. Kupikir ia tidak akan mengejarku, ternyata aku salah. Tangan kanannya justru meraih pinggangku.
“Pak, saya mau pulang. Saya janji, nggak akan mengganggu Bapak atau membuat berita jelek tentang Bapak di kantor. Saya akan tutup mulut rapat-rapat.”
Gabrielle Baskoro masih saja bersikeras. Aku sudah lelah menghadapi sikap keras kepalanya. Pasrah, menurut saja. Aku benar-benar lelah dengan sikap bossy-nya. Ia memapahku sampai depan mobil BMW nya.
Ia membuka pintu depan mobil dan membantuku masuk ke mobil. Ia berlari melewati bagian depan mobil lalu membuka pintu kemudi, lalu duduk dan menyalakan mesin mobil.
“Dimana rumahmu Renata? Aku bertanya kepadamu?” Tanyanya dengan nada menukik. Mungkin ia lelah menghadapi sikapku. Ia terlihat seperti pacar yang harus membujuk wanitanya yang merajuk.
Kuperlihatkan ponselku.”Ikuti saja rute di maps, nanti sampai.” Aku bahkan tak berani menatap wajahnya. Keadaan begitu hening.
Gavrielle Baskoro menyalakan musik untuk menghalau kecanggungan kami. Bagaimana bisa dua orang yang bertengkar hebat kemudian duduk satu mobil tanpa klarifikasi lanjutan?
“Ren, aku minta maaf.” Ucapnya datar.
Aku benar-benar tak ingin menjawabnya. Meskipun dia meminta maaf dengan spontan dan terlihat tulus. Tapi bagiku apa yang sudah di katakannya terlalu menyakitkan untuk kuterima.”Belok kanan sudah sampai, Pak.”
Hari memang belum larut. Jalanan begitu ramai. Sekitaran rumahku masih padat dengan lalu lalang orang yang sibuk mencari makanan, pedagang kaki lima berjejer rapi, lampu kerlap kerlip dari tenda mereka sungguh meramaikan suasana. Meskipun letaknya hanya sekitar dua ratus meter dari rumahku, namun aku jarang makan atau jajan di area keramaian itu. Sepulang kerja, aku sudah cukup lelah. Biasanya aku sudah makan di kantor. Aku langsung pergi tidur setelah pulang jika tidak ada pekerjaan kantor yang masih harus ku kerjakan.
Gavriele menatap rumahku. Meski tak besar tapi rumahku sangat rindang. Ada taman mini lengkap dengan gazebo dan ayunannya. Aku juga memelihara ikan di dekat gazebo miniku.
“Terimakasih sudah mengantar saya, Pak.” Aku melepas seat belt lalu turun dari mobil.
“Jawab Ren!Kamu memaafkanku?”
Aku masih enggan menjawabnya. Ku tutup pintu mobil. Aku berjalan melewati gerbang untuk sampai pintu depan rumah. Lega rasanya, aku sudah membayangkan rebahan di kasur empukku. Gavrielle Baskoro menerobos masuk saat aku hampir menutup pintu.
”Bapak nggak sopan. Apa-apaan ini Pak?” Aku sudah menamparnya pagi ini, tidak mungkin aku akan melakukan hal itu dua kali padanya.
Tiba-tiba saja Gavrielle memepetku hingga mentok di ujung tembok. Ia menatap mataku, menyingkirkan anak rambut yang menutupi dahiku. Kurang ajar. Dia mencekal kedua tanganku ke atas. Ia juga menghimpit tubuhku. “Kamu kenapa jual mahal padaku? Hmmm? Banyak wanita bahkan rela antri padaku. Tapi kenapa kamu sok sekali!” Tegurnya. Ia benar-benar membuatku sesak nafas.
“Lepas! Bapak melecehkan saya!”
Gavrielle Baskoro tertawa keras. ”Melepaskanmu? Jangan mimpi Ren! Bahkan sampai Antartika pun kamu takkan kulepaskan! ” Gavrielle menyeringai.
”Jangan lupa Ren. Aku masih punya video penting itu.” Ancam Gavrielle. ”Menikahlah sungguhan denganku Renata? Aku tidak bisa membiarkanmu bersama dengan pria yang sudah di persiapkan oleh Papa, apalagi kalau sampai kamu di nikahinya.” Gavrielle masih saja meracau di tengah kegilaannya menciumku. Ia benar-benar kesetanan.
“Aku mohon Gav, ijinkan aku pergi. Aku tidak akan memperlihatkan wajahku lagi padamu, please. Aku akan segera mengurus perceraian kita diam-diam, takkan ada yang tau.” Mohonku dengan sangat putus asa. Tapi, ia benar-benar tak menghiraukanku.
Gavrielle memanggul tubuhku. Ia berjalan cepat. Aku benci sekali tindakan Gavrielle yang semena-mena. Ku kepalkan tanganku, lalu aku memukul punggungnya dengan tanganku yang tidak terlalu bertenaga. Ternyata percuma saja. Ia tetap tak menggubris sama sekali. Ia mendorong pintu kamarku. Ia menurunkanku di ranjang. Bersyukur ia tidak membanting tubuhku.
“Kita tidak perlu pura-pura lagi tidak saling kenal, Ren.” Gavrielle melepas jasnya, meletakkannya di atas kursi yang terletak persis di depan meja rias. Kemudian ia mendekatiku lalu menarik blazerku. Ia menyampirkan blazer itu diatas jasnya. Gavrielle keluar dari kamar, ternyata ia mengambil air untuk mengompres lukaku.
“Duduk yang benar!” Perintahnya dengan galak.
Ia jongkok di depanku lalu melipat celana panjangku hingga naik persis di bawah lutut. Ia benar-benar mengompres kakiku. Aku hanya bisa menahan rasa sakit dengan menggigit bibir saat ia memberi kompres es di atas kaki lebamku. Setelahnya, ia berjalan ke walk in clothes. Ia mengambil kimono tidurku berikut dengan baju dalamanku. Ia meletakkannya ke ranjang, tepat di samping tempat aku duduk. Ia keluar kamar. Aku pun melepas dalaman blazerku dan celana panjangku dengan hati-hati. Lalu memakai kimono tidurku. Aku berjalan sampai depan meja rias, membersihkan make-up ku dan mengaplikasikan serum wajah, mengoleskan lotion ke seluruh tubuh dan menyemprotkan parfum. Segar sekali rasanya setelah membersihkan wajah.
Ia langsung naik ke ranjang tanpa melihatku. Aku ingin menghindarinya, namun tangannya tiba-tiba meraihku. Ia memindahkanku ke atas ranjang.
“Kita batalkan perjanjian lama kita, Ren.” Ucapnya mengagetkanku.“A-apa maksudmu barusan Vriel?”
“Kita sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama. Sudah enam bulan dan kamu belum memberikan hakku sebagai suamimu. Kurang sabar apa ku Ren?” Tanya Gavrielle. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ia merapikan rambutku, lalu mengambil ikat rambut dan menguncir rambutku tinggi. “Tapi kamu nggak harus memarahiku di kantor seperti tadi pagi! Bukan Pak Syaron sugar dady-ku tapi dirimu.” Gavrielle terbahak.”Aku bukan sugar daddy-mu, sejak kapan coba? Apa ada posisi seperti itu sejak kita kenal. Yang akan terjadi adalah aku daddy dari calon baby-mu, iya kan?” Tanyanya menyudutkanku. Gavrielle merangsek memeluk tubuhku. Padahal awalnya aku ingin dia pergi. Ternyata aku masih saja kalah kalau menyangkut urusan strategi darinya. Menyebalkan! ”Ini sudah enam bulan, aku ingin hakku malam ini.” Ia merajuk. Aku sadar apa yang di katakan oleh suamiku adalah benar. Semuanya ucapannya, fakta. “Aku tidak bisa menunda lagi.” Ucap suamiku pelan. Bersyukur kakiku tetap ia perhatikan, sehingga aku
Kubuka tutup toples cookies agar memudahkan Gavrielle kalau mau mengambil. Tapi dugaanku ternyata salah, ternyata ia justru mengambil Nuget Tuna dengan tissue. Ia menggigitnya lalu mengunyah camilan itu dan menelannya. Setelah itu ia membersihkan bibirnya hingga bersih dengan tissue. ”Tolong ambilkan cookies itu, Ren.” Aku mengambil satu cookies lalu menyuapkan ke mulutnya. Ternyata ia menarik tubuhku membuatku berpindah ke sampingnya. Ia memegang kepalaku lalu mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. “Buka mulutmu!” Aku menurutinya. Akhirnya ia memindahkan separuh cookies yang belum di telannya ke mulutku. Astaga, tak terpikirkan olehku. Gavrielle benar-benar membuat jantungku mau copot. Aku menggigit cookies itu supaya tidak jatuh. Gavrielle pasti akan marah kalau cookies itu jatuh. Mungkin ia akan tersinggung. Sisa cookies itu ku kunyah lalu kutelan. ”Ini variasi cara makan terbaru.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Rasanya benar-benar nano-nano. Kadang aku sangsi kalau Gavrie
Pagi itu ternyata mertuakau, Pak Syaron dan Bu Larasati bertandang ke rumahku. Bersyukur sekali keadaan rumahku tidak terlalu kotor. Di sela-sela pulang ngantor kadang aku masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih rumah. Gavriel sudah rapi begitupun dengan diriku. “Kenapa Pak Syaron bisa datang kemari?” Tanyaku pada suamiku. Mudah saja bagi seorang bos besar seperti beliau untuk menyelidiki banyak hal tentangku. Masalahnya, kenapa datang justrudi saat yang tidak tepat. Gavrielle mengendikkan bahunya. Seharusnya suamiku tidak perlu membuka pintu terlebih dahulu. Ia bisa membangunkan aku agar aku bisa membuka pintu dan dia sembunyi. Sehingga aku tidak perlu takut atau canggung menghadapi bos yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Gavrielle berjalan di depanku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat. Pak Syaron dan Bu Larasati duduk di ruang tamu. Pak Syaron melihat-lihat foto yang kupajang di dinding ruang tamu. Aku tidak tahu harus memajang foto siapa, jadi lebih baik aku
Aku terpaksa menarik baju suamiku agar mengikutiku. Aku punya tempat duduk favorite di Warung Mbah Mo. Kalau tidak dipakai oleh pengunjung lain, biasanya aku akan memilih tempat itu.“Sini, Vriel."Aku lebih dulu duduk di tempat lesehan yang ada di pojok. Warung Mbah Mo sangat luas, meskipun tempatnya tidak mewah tapi sangat rapi dan asri. Ada banyak tumbuhan yang tumbuh di luar warung. Tanaman sulur seperti Pare juga Suruh merambat diatas pergola. Selain itu, banyak tanaman hias yang tumbuh subur meskipun di pot. Aneka Mawar, Anyelir, Pakis, bahkan ada juga Janda Bolong. Yang bolong tidak hanya kaos, Janda juga ada yang Bolong. Tidak hanya itu, di daerah belakang warung ada areal luas untuk menanam tanaman seperti Cabai, Daun Bawang, juga Tomat dan Daun Kemangi. Bisa di bilang areal itu memang di tanami untuk stok persediaan tambahan bahan yang akan di masak di warung.“Mbak, ini sepiring Baceman Burung Dara dan Telur Puyuh buat Mbak Renata.” Kata Mas Badrun, pelayan utama di warung
Waktu masih menunjukkan pukul 10.00 pagi. Suamiku sudah mengganti kemejanya dengan bathrobe. Tubuhku tambah panas dingin. Lebih baik pura-pura ke toilet. Apes betul. Di kamar mandi, suamiku menuliskan notes yang di tempel di belakang pintu kamar mandi. Jelas-jelas penglihatanku masih sangatlah bagus. Ia memintaku agar aku memakai baju yang sudah ia siapkan.“Astaga, baju dinas berwarna merah. Aku tidak tau haruskah menurutinya?Sedangkan rambutku baru saja kering. Dengan sangat terpaksa kupakai. Setelah itu aku memakai bathrobe. Salahku juga, tidak mengkomunikasikan dengan baik pada suamiku masalah hal seperti ini sejak awal.Wajar saja kalau dia menggebu-gebu saat bergumul bersamaku. Ibarat sesorang musafir yang berjalan di padang pasir dan menemukan oase yang jernih dan ia meminumnya. Dahaganya pastilah hilang. Aku memikirkan masalah kewajiban seorang isteri pada suami, meskipun semuanya karena kontrak semata.Aku sadar akan hutang budiku padanya, meskipun kalau dipikir semua ada im
Suamiku masih saja berdebat dengan papa mertuaku. Ia menyusul papa mertuaku yang masuk ke ruang kerja.“Kenapa nggak bilang kalau Papa ingin menjodohkan aku dengan Renata?”“Pernah kamu menghargai Papa selama ini? Kerjamu keluyuran. Keluar masuk club. Papa sudah menyerah, Vriel. Saat pertama kali Papa menemukan Renata. Papa berpikir mungkin Renata adalah calon yang tepat untuk mendampingimu.”“Kamu tidak tahu seperti apa rasanya menjadi orang tua, kalut memikirkan masa depan anaknya. Bagaimana nasib perusahaan kalau generasi penerus kami tidak punya kepedulian pada usaha yang sudah turun temurun? Jutaan karyawan bernaung di bawah perusahaan kita. Pernah kamu memikirkan Mamamu? Kamu sampai tidak tahu kalau mama-mu keluar masuk rumah sakit terlalu tertekan melihat sikapmu.”Tidak sopan rasanya menguping pembicaraan mereka. Awalnya aku ingin bicara pada papa mertuaku. Namun, ternyata mereka berdua masih saja bersitegang. Aku tidak ingin mendengar lagi alasan apa yang akan dikatakan suami
Matahari sudah naik, jam makan pagi sudah lewat. Suamiku pun bergegas mandi lalu berpakaian. Kuambilkan setelan kemeja, celana panjang, lengkap dengan jas, juga dasi yang cocok dengan kemejanya. Tak lama ia selesai mandi. Dilihat-lihat suamiku sungguh tampan, kadang aku selalu menepis pikiran kalau aku dinikahinya demi keuntungan pribadinya semata, sebab sayang sekali melewatkan segala bentuk perhatian dan kasih sayangnya padaku selama ini. Mubazir sekali melewatkan dirinya dengan segala pesonanya berikut juga kebrengsekannya.“Ren, buruan mandi. Kita akan ke kantor hari ini.”Mataku membola, telingaku kulebarkan mendengar penuturan suamiku.”Ngantor?” Saat ini. “Maksudnya apa?”“Kita berangkat ke kantor hari ini. Agak siang tak masalah.”Bergegas aku ke kamar mandi tanpa banyak bertanya. Aku sebenernya ingin berendam meski tak lama. Tapi perintah suamiku pasti kupatuhi. Sepuluh menit dan aku keluar dari kamar mandi. Sepuluh menit kemudian akupun selesai berpakaian. Keluar menenteng ta
Suamiku berjalan, ia mendekat ke arah papa mertuaku. Benar-benar mengejutkan. Ia justru memilih duduk menghimpit diantara aku dan papa mertuaku.“Om Aryo, maaf sebelumnya. Masalah perjodohan itu, dulu kan baru sebatas pembicaraan.. Saya sudah menikah dengan isteri saya.” Suamiku merengkuhku.Pasangan Aryo sontak kaget. Pun putrinya yang cantik namun berpenampilan sangat seksi itu. Tak menampik dia memang cantik. Ku pikir suamiku akan meliriknya, namun ia justru mengusap rambutku. Membuat pasangan Aryo memalingkan wajahnya.“Harusnya kalau Gavy sudah menikah, Om Syaron tinggal bilang saja di telefon. Nggak perlu kan kita kemari.” Kata gadis itu sinis. Ia melirik tajam padaku lalu membuang muka.Papa mertuaku begitu santai menangapinya. Beliau justru tersenyum.“Mohon maaf Om, Gavrielle sudah kebelet. Daripada khilaf lebih baik segera nikah saja.” Ucap Suamiku dengan santai tanpa bersalah.Mereka memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bersyukur aku tak lupa perawatan dan tamp