“Kita sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama. Sudah enam bulan dan kamu belum memberikan hakku sebagai suamimu. Kurang sabar apa ku Ren?” Tanya Gavrielle. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ia merapikan rambutku, lalu mengambil ikat rambut dan menguncir rambutku tinggi.
“Tapi kamu nggak harus memarahiku di kantor seperti tadi pagi! Bukan Pak Syaron sugar dady-ku tapi dirimu.”
Gavrielle terbahak.”Aku bukan sugar daddy-mu, sejak kapan coba? Apa ada posisi seperti itu sejak kita kenal. Yang akan terjadi adalah aku daddy dari calon baby-mu, iya kan?” Tanyanya menyudutkanku. Gavrielle merangsek memeluk tubuhku. Padahal awalnya aku ingin dia pergi. Ternyata aku masih saja kalah kalau menyangkut urusan strategi darinya. Menyebalkan!
”Ini sudah enam bulan, aku ingin hakku malam ini.” Ia merajuk.
Aku sadar apa yang di katakan oleh suamiku adalah benar. Semuanya ucapannya, fakta.
“Aku tidak bisa menunda lagi.” Ucap suamiku pelan. Bersyukur kakiku tetap ia perhatikan, sehingga aku tidak terlalu merasakan ngilu parah. Kurasa sikap manisnya mengompres kakiku adalah karena keinginannya ini. Ia menciumku dan memperlakukanku dengan sangat lembut namun sangatlah agresif.
Hampir tiga jam kami bergulat panas. Peluhnya menetes ke tubuhku. Ia terlentang setelah mendapatkan pelepasan yang ketiga kalinya.
“Renata...” Ia menyebut namaku. Lalu, ia mengecup dahiku dengan lembut. Ia pun menyelimuti tubuhku.
"Bagaimana dengan keadaan nenekmu, Ren? Apakah sudah sehat? Hmm?” Gavrielle menatapku intens lalu ia memeluk tubuhku seakan takut akan kehilanganku.
“Sudah lebih baik. Pelayan di rumah bilang,nenekku sudah membaik.” Jawabku lirih. ”Gav, bagaimana kalau aku hamil? Kamu tidak pakai pengaman? Aku akan membersihkan diri sekarang.”
“Memangnya kenapa?Aku suamimu yang sah. Kenapa kamu takut sekali?”
Aku mendongak menatap mata Gavrielle, aku mengusap rambutnya yang hitam namun sangat halus dan harum. Ia benar-benar manis, amarahku sedikit mereda setelah kegilaannya di kantor tadi.
Gavrielle mengusap perutku dengan tangan kanannya. Ia bangkit lalu mencium perutku yang tertutup selimut.
“Apaan sih, Gav? Ini malam pertama kita.”
“Aku ingin kamu cepat hamil supaya papa tidak memaksaku untuk menikah dengan wanita lain.”
“Aku ingin resign, Gav. Aku nggak tau harus bersikap bagaimana kalau aku berangkat ke kantor besok. Kenapa kamu harus memarahiku di depan orang-orang, tanpa belas kasihan lagi.” Rajukku. Rasanya suamiku benar-benar sudah tidak menganggapku sebagai isteri. Semuanya begitu menyesakkan.
“Aku pria dewasa yang normal. Kita ini sudah menikah. Aku ingin hakku sebagai suami tapi kamu selalu saja menolakku. Bayangkan! Selama enam bulan aku harus menahan diri. Ngapain juga kamu harus ke Jogja. Kamu ini kepala tim, bukan crew! Sembarangan! Siapa yang ngasih perintah itu ke kamu?” Cecar suamiku.
“Vriel, aku nggak ingin namamu semakin buruk di kantor. Lebih baik aku resign.” Ku usap rambutnya dan ku kecup kedua pipinya. Ia pun terkekeh sejenak.
“Aku keberatan, ingat perjanjian kita sebelum menikah. Meskipun perjanjian itu tidak tertulis tapi semua keputusanmu setelah menikah itu harus ku setujui, Renata.”
Keadaanku sekarang sangatlah tidak menguntungkan. Terhimpit diantara begitu banyak kepentingan orang-orang di sekitarku. Aku tidak menyangka kalau aku bersedia menikah dengan putra CEO yang penuh skandal. Menjadi isteri sahnya secara diam-diam tanpa sepengetahuan publik dan juga keluarganya. Diantara sekian banyak karyawan wanita di Baskoro Group Company kenapa harus aku yang di jadikan tumbal oleh bosku yang arogan ini. Ponsel ku bergetar, aku hendak mengambilnya dari atas nakas di sebelah ranjang. Tapi ternyata Gavrielle lebih dulu mengambilnya.
“Berikan! Itu ponselku, Gav!” Dia masih saja arogan, semaunya.
“Nomor siapa ini, Renata?” Tanyanya dengan nyalang.
“Kamu bisa lihat kan, ada ID call-nya pasti.”
“Kalau ada sudah pasti langsung ku blokir. Jam berapa ini hampir tengah malam. Jam segini orang ini menelfonmu. Menganggu saja!”
Gavrielle meninggalkan kamar. Ia beranjak ke ruang tamu. Ia menyalakan televisi sambal merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan bersandar pada bantal. Ia terlihat kacau, aku tahu dia banyak pikiran. Aku sudah sangat mengantuk, tapi tidak bisa meninggalkannya dengan santai apalagi tidur pulas. Bagaimanapun kami suami isteri yang sah. Tubuhku lelah, tapi kupaksakan berjalan ke dapur. Ku buka buffet, mencari Teh Melati dan set peralatan minum dari tanah liat. Aku suka menyeduh dengan teko itu, aromanya berbeda. Kumasukkan Teh Melati ke teko tanah liat itu. Kutambahkan sedikit bubuk vanili, juga teh lain yang aroma daun tehnya lebih kuat.
Krucuk.....
Air panas dari ceret sedikit tumpah. Tanganku sedikit gemetar saat aku menuang air panas. Bersyukur aku selalu memakai apron tebal, benda itu sungguh melindungi tubuhku sehingga air panas itu tidak melukai tubuhku.
Satu minggu lamanya aku tidak berbelanja ke swalayan, stok kue basah di kulkas sudah habis, begitu juga camilan lainnya, yang tersisa Cookies dan juga Nugget Tuna. Entah mengapa aku membeli salah satu camilan kesukaan suamiku itu minggu kemarin. Padahal, ia sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di rumahku ini. Selama ini, kami tinggal di rumahnya yang jaraknya berjauhan dengan kediaman Pak Syaron Baskoro. Daripada menggoreng terlalu lama, kumasukkan Nugget Tuna itu ke air fryer. Lagian suamiku sangat detail masalah makanan, ia tidak akan sembarangan makan. Sambil menunggu Nugget, aku memasukkan cookies itu ke toples dan mengambil nampan di buffet.
Akhinya Nugget Tunaku matang. Kuangkat dari air fryer dan kuletakkan di toples kotak. Aku tidak menutup karena masih panas. Aku ambil Saos Cabai botolan dan tissue kering. Entah pernikahan model apa yang ku jalani dengan suamiku. Bukan nikah kontrak, mungkin tepatnya marriadge with benefit. Mungkin ini hanya anggapanku secara sepihak. Sebab suamiku mungkin punya pandangan lain.
Kuletakkan set cangkir bertatakan tanah liat itu di meja. Kutuang teh panas dari teko, kutambahkan gula diet dan ku aduk perlahan. Setelahnya, aku berjalan kembali ke dapur mengambil Tuna juga cookies-ku.
“Minumlah, mumpung masih anget.” Gavrielle masih saja belum mengambil teh itu.
"Ren bagaimana kalau minggu depan kamu pindah saja ke rumah, letaknya lebih dekat dengan kantor. Lebih terjangkau dengan fasilitas umum, bagaimana?” Tanyanya dengan nada pelan.
“Kenapa? Bukannya Pak Syaron dan Bu Larasati sering berkunjung? Aku mohon. Vriel, jangan membuat masalah dengan Pak Syaron. Setiap orang tua hanya ingin yang terbaik bagi anak-anaknya, termasuk beliau.” Kuambil cangkir juga tatakannya, kuberikan pada Gavrielle. Melihat aku menunggunya meraih cangkir, akhirnya dia-pun menerimanya. Ia mengaduk teh lalu menyeruputnya.
“Yang jadi anaknya itu aku. Kenapa kamu justru membela kedua orang tuaku?” Cibir Gavrielle.
“Kamu ini cemburuan sekali pada orang tuamu. Mereka juga orang tuaku, meski aku hanya menantu.”
“Syukurlah kalau kamu sadar.” Sikap arogannya, selalu nylekit kalau bicara, tidak pikir panjang apakah akan menyakiti orang lain atau tidak! Rasanya ingin kutampol wajah tampannya dengan Nugget yang kuberi banyak Saos Cabai. Menyebalkan sekali, suami tampanku yang arogan.
Huhhh.
Kubuka tutup toples cookies agar memudahkan Gavrielle kalau mau mengambil. Tapi dugaanku ternyata salah, ternyata ia justru mengambil Nuget Tuna dengan tissue. Ia menggigitnya lalu mengunyah camilan itu dan menelannya. Setelah itu ia membersihkan bibirnya hingga bersih dengan tissue. ”Tolong ambilkan cookies itu, Ren.” Aku mengambil satu cookies lalu menyuapkan ke mulutnya. Ternyata ia menarik tubuhku membuatku berpindah ke sampingnya. Ia memegang kepalaku lalu mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. “Buka mulutmu!” Aku menurutinya. Akhirnya ia memindahkan separuh cookies yang belum di telannya ke mulutku. Astaga, tak terpikirkan olehku. Gavrielle benar-benar membuat jantungku mau copot. Aku menggigit cookies itu supaya tidak jatuh. Gavrielle pasti akan marah kalau cookies itu jatuh. Mungkin ia akan tersinggung. Sisa cookies itu ku kunyah lalu kutelan. ”Ini variasi cara makan terbaru.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Rasanya benar-benar nano-nano. Kadang aku sangsi kalau Gavrie
Pagi itu ternyata mertuakau, Pak Syaron dan Bu Larasati bertandang ke rumahku. Bersyukur sekali keadaan rumahku tidak terlalu kotor. Di sela-sela pulang ngantor kadang aku masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih rumah. Gavriel sudah rapi begitupun dengan diriku. “Kenapa Pak Syaron bisa datang kemari?” Tanyaku pada suamiku. Mudah saja bagi seorang bos besar seperti beliau untuk menyelidiki banyak hal tentangku. Masalahnya, kenapa datang justrudi saat yang tidak tepat. Gavrielle mengendikkan bahunya. Seharusnya suamiku tidak perlu membuka pintu terlebih dahulu. Ia bisa membangunkan aku agar aku bisa membuka pintu dan dia sembunyi. Sehingga aku tidak perlu takut atau canggung menghadapi bos yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Gavrielle berjalan di depanku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat. Pak Syaron dan Bu Larasati duduk di ruang tamu. Pak Syaron melihat-lihat foto yang kupajang di dinding ruang tamu. Aku tidak tahu harus memajang foto siapa, jadi lebih baik aku
Aku terpaksa menarik baju suamiku agar mengikutiku. Aku punya tempat duduk favorite di Warung Mbah Mo. Kalau tidak dipakai oleh pengunjung lain, biasanya aku akan memilih tempat itu.“Sini, Vriel."Aku lebih dulu duduk di tempat lesehan yang ada di pojok. Warung Mbah Mo sangat luas, meskipun tempatnya tidak mewah tapi sangat rapi dan asri. Ada banyak tumbuhan yang tumbuh di luar warung. Tanaman sulur seperti Pare juga Suruh merambat diatas pergola. Selain itu, banyak tanaman hias yang tumbuh subur meskipun di pot. Aneka Mawar, Anyelir, Pakis, bahkan ada juga Janda Bolong. Yang bolong tidak hanya kaos, Janda juga ada yang Bolong. Tidak hanya itu, di daerah belakang warung ada areal luas untuk menanam tanaman seperti Cabai, Daun Bawang, juga Tomat dan Daun Kemangi. Bisa di bilang areal itu memang di tanami untuk stok persediaan tambahan bahan yang akan di masak di warung.“Mbak, ini sepiring Baceman Burung Dara dan Telur Puyuh buat Mbak Renata.” Kata Mas Badrun, pelayan utama di warung
Waktu masih menunjukkan pukul 10.00 pagi. Suamiku sudah mengganti kemejanya dengan bathrobe. Tubuhku tambah panas dingin. Lebih baik pura-pura ke toilet. Apes betul. Di kamar mandi, suamiku menuliskan notes yang di tempel di belakang pintu kamar mandi. Jelas-jelas penglihatanku masih sangatlah bagus. Ia memintaku agar aku memakai baju yang sudah ia siapkan.“Astaga, baju dinas berwarna merah. Aku tidak tau haruskah menurutinya?Sedangkan rambutku baru saja kering. Dengan sangat terpaksa kupakai. Setelah itu aku memakai bathrobe. Salahku juga, tidak mengkomunikasikan dengan baik pada suamiku masalah hal seperti ini sejak awal.Wajar saja kalau dia menggebu-gebu saat bergumul bersamaku. Ibarat sesorang musafir yang berjalan di padang pasir dan menemukan oase yang jernih dan ia meminumnya. Dahaganya pastilah hilang. Aku memikirkan masalah kewajiban seorang isteri pada suami, meskipun semuanya karena kontrak semata.Aku sadar akan hutang budiku padanya, meskipun kalau dipikir semua ada im
Suamiku masih saja berdebat dengan papa mertuaku. Ia menyusul papa mertuaku yang masuk ke ruang kerja.“Kenapa nggak bilang kalau Papa ingin menjodohkan aku dengan Renata?”“Pernah kamu menghargai Papa selama ini? Kerjamu keluyuran. Keluar masuk club. Papa sudah menyerah, Vriel. Saat pertama kali Papa menemukan Renata. Papa berpikir mungkin Renata adalah calon yang tepat untuk mendampingimu.”“Kamu tidak tahu seperti apa rasanya menjadi orang tua, kalut memikirkan masa depan anaknya. Bagaimana nasib perusahaan kalau generasi penerus kami tidak punya kepedulian pada usaha yang sudah turun temurun? Jutaan karyawan bernaung di bawah perusahaan kita. Pernah kamu memikirkan Mamamu? Kamu sampai tidak tahu kalau mama-mu keluar masuk rumah sakit terlalu tertekan melihat sikapmu.”Tidak sopan rasanya menguping pembicaraan mereka. Awalnya aku ingin bicara pada papa mertuaku. Namun, ternyata mereka berdua masih saja bersitegang. Aku tidak ingin mendengar lagi alasan apa yang akan dikatakan suami
Matahari sudah naik, jam makan pagi sudah lewat. Suamiku pun bergegas mandi lalu berpakaian. Kuambilkan setelan kemeja, celana panjang, lengkap dengan jas, juga dasi yang cocok dengan kemejanya. Tak lama ia selesai mandi. Dilihat-lihat suamiku sungguh tampan, kadang aku selalu menepis pikiran kalau aku dinikahinya demi keuntungan pribadinya semata, sebab sayang sekali melewatkan segala bentuk perhatian dan kasih sayangnya padaku selama ini. Mubazir sekali melewatkan dirinya dengan segala pesonanya berikut juga kebrengsekannya.“Ren, buruan mandi. Kita akan ke kantor hari ini.”Mataku membola, telingaku kulebarkan mendengar penuturan suamiku.”Ngantor?” Saat ini. “Maksudnya apa?”“Kita berangkat ke kantor hari ini. Agak siang tak masalah.”Bergegas aku ke kamar mandi tanpa banyak bertanya. Aku sebenernya ingin berendam meski tak lama. Tapi perintah suamiku pasti kupatuhi. Sepuluh menit dan aku keluar dari kamar mandi. Sepuluh menit kemudian akupun selesai berpakaian. Keluar menenteng ta
Suamiku berjalan, ia mendekat ke arah papa mertuaku. Benar-benar mengejutkan. Ia justru memilih duduk menghimpit diantara aku dan papa mertuaku.“Om Aryo, maaf sebelumnya. Masalah perjodohan itu, dulu kan baru sebatas pembicaraan.. Saya sudah menikah dengan isteri saya.” Suamiku merengkuhku.Pasangan Aryo sontak kaget. Pun putrinya yang cantik namun berpenampilan sangat seksi itu. Tak menampik dia memang cantik. Ku pikir suamiku akan meliriknya, namun ia justru mengusap rambutku. Membuat pasangan Aryo memalingkan wajahnya.“Harusnya kalau Gavy sudah menikah, Om Syaron tinggal bilang saja di telefon. Nggak perlu kan kita kemari.” Kata gadis itu sinis. Ia melirik tajam padaku lalu membuang muka.Papa mertuaku begitu santai menangapinya. Beliau justru tersenyum.“Mohon maaf Om, Gavrielle sudah kebelet. Daripada khilaf lebih baik segera nikah saja.” Ucap Suamiku dengan santai tanpa bersalah.Mereka memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bersyukur aku tak lupa perawatan dan tamp
Aku naik ke ranjang. Tak menggubris kejengkelannya. Ia menyusulku dan tanpa ba-bi-bu menyergap tubuhku dari belakang.”Lepasin,” aku meronta.Aku sadar dengan posisiku di rumah juga di hadapannya. Tapi aku juga manusia biasa. Sekuat apapun aku bertahan ternyata melelahkan juga menghadapi banyak drama pernikahanku. Meskipun kenyataannya aku adalah menantu pilihan kedua mertuaku, mungkin menantu kesayangan mereka. Iya, karena Joya tidak ada di sini.“Mas lepasin bisa nggak sih?” Dia tetap tidak melepaskanku, justru semakin menjadi.”Lebih baik kita bercerai Mas, kalau kamu ingin anak dari pernikahan kita, aku bersedia.” Tangisku luruh. ”Mungkin itu yang sebenarnya kamu inginkan dari pernikahan kita, pewaris dan keturunan untuk baskoro Group!”“Renata Wijaya jaga bicaramu! Aku ini suamimu, Ren. Aku sudah bilang tidak akan menceraikanmu bukan!” Suamiku beringsut, mengunci pintu dan menyembunyikan di sakunya.“Akan kulakukan dan kabulkan apapun permintaanmu asal kamu melepasku dan kita ber