Pagi itu ternyata mertuakau, Pak Syaron dan Bu Larasati bertandang ke rumahku. Bersyukur sekali keadaan rumahku tidak terlalu kotor. Di sela-sela pulang ngantor kadang aku masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih rumah. Gavriel sudah rapi begitupun dengan diriku.
“Kenapa Pak Syaron bisa datang kemari?” Tanyaku pada suamiku. Mudah saja bagi seorang bos besar seperti beliau untuk menyelidiki banyak hal tentangku. Masalahnya, kenapa datang justrudi saat yang tidak tepat.
Gavrielle mengendikkan bahunya. Seharusnya suamiku tidak perlu membuka pintu terlebih dahulu. Ia bisa membangunkan aku agar aku bisa membuka pintu dan dia sembunyi. Sehingga aku tidak perlu takut atau canggung menghadapi bos yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Gavrielle berjalan di depanku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat.
Pak Syaron dan Bu Larasati duduk di ruang tamu. Pak Syaron melihat-lihat foto yang kupajang di dinding ruang tamu. Aku tidak tahu harus memajang foto siapa, jadi lebih baik aku memajang foto pribadiku saja saat bertugas. Toh foto kenang-kenangan itu sangat berharga buatku. Foto yang ku pajang terbilang saat unik, karena tidak semuanya menampilkan obyek yang indah.
Ada foto yang diabadikan seorang tentara saat aku liputan di daerah perbatasan Malaysia dan Indonesia di daerah Kalimantan. Kemudian fotoku bersama anak-anak yang ada di camp pengungsian musibah banjir di Jawa Barat. Selain itu ada foto unik bersama suku pedalaman di daerah Irian Jaya. Diantara sekian foto yang paling nggeh, mungkin hanya foto wisudaku saat dulu aku lulus kuliah di Jurusan Hubungan Internasional di salah satu kampus negeri di Jakarta.
Kami sampai di ruang tamu. Gavrielle duduk diatas sofa persis berhadapan dengan Pak Syaron, sedangkan aku duduk tepat persis di sebelahnya.
“Ku dengar hari ini tim liputan tidak jadi berangkat ke Jogja untuk liputan, benar begitu Renata?"Tanya Pak Syaron dengan wajah datar. Seumur hidup baru kali ini aku melihat wajah dingin beliau.
Aku tidak bisa menjawab. Aku benar-benar tidak bisa memikirkan apapun kemarin saat bertengkar dengan Gavrielle. Ujungnya, kalau di keluarkan pun aku juga terima. Namun ujungnya, mertuaku turun tangan dan kemungkinan masalah jadi akan berbuntut panjang sekali. Bak Labirin tak berujung.
“Aku yang minta Renata Pah!” Jawab Suamiku.
“Lantas, sejauh apa hubungan kalian? Pagi-pagi kami sudah disuguhi pemandangan seperti ini. Jam berapa ini Vriel, jam 6.30 pagi. Di rumah pun biasanya kamu masih tidur pulas. Kamu bermalam di sini Vriel, benar seperti itu?” Tegas mertuaku. Rasanya beliau benar-benar marah. Sekian lama aku bekerja pada beliau, aku sangat hafal sekali dengan sifat beliau juga apa saja yang tidak di sukai.
“Saya akan bertanggung jawab untuk proyek liputan di Jogja Pak!” Jawabku dengan tertunduk. Rasanya aku ingin menjewer telinga suamiku. Gara-gara kelakuannya. Aku pun tertimpa musibah.
“Bagus kalau kamu sadar Renata. Salah satu alasan mengapa selama ini aku selalu memberi tugas dan tanggung jawab lebih padamu karena kamu selalu bisa diandalkan!”
“Tapi setelah liputan, saya ingin mengundurkan diri dari perusahaan. Saya mohon perusahaan bisa mengabulkan.”
Wajah Pak Syaron semakin nanar mendengar permintaanku.
Bu Larasati mengusap-usap pundaknya.”Tenangkan diri Papa.”
“Gavrielle, kamu belum menjelaskan pada Papa, apa hubungan kalian. Kalian sudah lama Kumpul Kebo begini atau jangan-jangan kalian sudah diam-diam menikah!”
Gavrielle tak menjawab. Ia berdiri hendak keluar dari ruang tamu, namun aku mencegahnya. ”Aku tidak Kumpul Kebo Pah!”
“Lantas?”
“Aku sudah menikahi Renata enam bulan yang lalu. Sah secara hukum dan agama.” Jawab suamiku.
Pak Syaron memijit keningnya. Ia sangat kaget mendengar fakta itu. ”Bagaiamana bisa kamu menikah tanpa restu dan sepengetahuan kami, Vriel. Kami orang tua yang sudah membesarkan kamu!”
Bu Larasati terlihat sangat kecewa padaku. Aku tahu hal itu. Selama sekian tahun aku bekerja pada Baskoro TV, hubunganku dengan beliau sangat baik. Bahkan Bu Larasati kerapkali memintaku untuk menemani belanja, menemani makan, bahkan seringkali memintaku datang kerumah hanya sekedar untuk datang di acara arisan sosialitanya.
Beliau memang bukan tipikal wanita tukang arisan atau pamer, hanya di kalangan tertentu saja ia bergaul. Beliau banyak promosi terselubung tentang kegiatan charity-nya untuk menarik donatur. Kuakui caranya sangat halus dan jauh dari publikasi. Meskipun begitu tetap saja, yayasan akan membuat pamlet atau iklan sebagai bentuk tanggung jawab pada pihak sponsor.
“Kamu sangat mengecewakan Papa, Vriel.” Pak Syaron berdiri. Ia meraih tangan Bu Larasati lalu meninggalkan rumahku. Dari dalam ruang tamu aku masih bisa melihat kalau Bu Larasati keluar pintu sambal terisak.
Supir membukakan pintu untuk Pak Syaron. Mereka berdua masuk, mobil yang di kemudikan Pak Nanto itu pun dalam sekejap tak tampak lagi.
“Susul papamu, Vriel.” Pintaku pada suamiku.
“Tidak Ren, kita langsung pulang ke rumah saja. Ada banyak PR menanti kita. Setelah serah terima jabatan Anak Cabang Basoro Group, Baskoro TV dan PH enam bulan yang lalu. Akulah pemilik sah perusahaan tempat kamu bekerja."
"Aa-pa maksudmu Vriel?” Tanyaku tak kalah kaget.” Ja-ja-di se-la-ma ini bu-kan Pak Syaron bosku, tapi ka-mu? ”Lidahku semakin kelu saja. Aku tak menyangka lebih dari enam bulan lamanya aku di minta mengerjakan tugas ekstra berat yang sebenarnya di luar kapasitasku sebagai kepala tim siaran dan produksi. Bahkan bisa di bilang apa yang ku kerjakan lebih tepatnya mengerjakan pekerjaan asisten CEO. "Apa maksud Pak Syaron dengan semua ini?”
“Lebih baik kita segera pulang, Ren. Nggak usah berkemas. Semua pakaianmu dan juga peralatan kerjamu sudah ada dirumah?” Suamiku menggendengku.
“Sebentar, aku ambil tas dulu.” Aku bergegas masuk ke kamar mengambil tasku. Setelahnya, aku keluar pintu setelah mengunci rumah. Suamiku sudah menunggu di depan mobil dengan gaya bossynya.
Gavriele membuka pintu untukku lalu aku masuk. Setelahnya, ia mengemudikan Alphardnya menuju rumah. Satu jam berlalu dan kami pun larut dalam hening tanpa percakapan sampai akhirnya dia mengehentikan mobil di warung bubur langganan kami. ”Sarapan dulu, Ren.” Gavrielle melepaskan seatbelt-ku dan kami turun bersamaan.
Sejak aku di nikahinya. Ia jadi ikutan makan di tempat langgananku, meskipun itu warung tenda, warung sederhana, atau lesehan di kaki lima.
“Lama nggak sarapan disini, Mbak Renata? Kemana saja Mbak? Lhoh tau-tau sudah bawa gandengan baru.”
Duh, ini pelayan warung kenapa pakai latah segala. Nyebut gandengan baru segala. Wajah Gavrielle yang awalnya sumringah berubah mendung.
”Pesanan saya seperti biasanya ya, Mbah.” Aku mendekat ke samping pedagang yang sedang meracik sayur untuk di masukkan ke mangkuk-mangkuk soto. ”Suami saya, Bubur Ayam spesial, kuahnya tolong di pisah. Minumnya teh panas, gulanya separuh porsi saja. Sama tambah air putih hangat satu gelas. Itu saja Mbah Mo.”
Pria berumur lebih dari setengah abad itu pun mengangguk. Pelayan yang tadinya menyapaku segera menyiapkan mangkuk untuk kami juga pelanggan lainnya yang sudah lebih dulu datang.
“Kalau ada gandengan baru, berarti ada gandengan lama dong, Ren. Gandengan lamanya siapa? Yang mana sih. Kok aku penasaran.” Sindir suamiku dengan wajah memberengut. Satire pedas.
Gimana caranya menghindari percakapan ini? Duh,..... kabur? Mau kabur kemana?Terlanjur basah begini. Repotnya punya suami bos yang punya kuasa.
Aku terpaksa menarik baju suamiku agar mengikutiku. Aku punya tempat duduk favorite di Warung Mbah Mo. Kalau tidak dipakai oleh pengunjung lain, biasanya aku akan memilih tempat itu.“Sini, Vriel."Aku lebih dulu duduk di tempat lesehan yang ada di pojok. Warung Mbah Mo sangat luas, meskipun tempatnya tidak mewah tapi sangat rapi dan asri. Ada banyak tumbuhan yang tumbuh di luar warung. Tanaman sulur seperti Pare juga Suruh merambat diatas pergola. Selain itu, banyak tanaman hias yang tumbuh subur meskipun di pot. Aneka Mawar, Anyelir, Pakis, bahkan ada juga Janda Bolong. Yang bolong tidak hanya kaos, Janda juga ada yang Bolong. Tidak hanya itu, di daerah belakang warung ada areal luas untuk menanam tanaman seperti Cabai, Daun Bawang, juga Tomat dan Daun Kemangi. Bisa di bilang areal itu memang di tanami untuk stok persediaan tambahan bahan yang akan di masak di warung.“Mbak, ini sepiring Baceman Burung Dara dan Telur Puyuh buat Mbak Renata.” Kata Mas Badrun, pelayan utama di warung
Waktu masih menunjukkan pukul 10.00 pagi. Suamiku sudah mengganti kemejanya dengan bathrobe. Tubuhku tambah panas dingin. Lebih baik pura-pura ke toilet. Apes betul. Di kamar mandi, suamiku menuliskan notes yang di tempel di belakang pintu kamar mandi. Jelas-jelas penglihatanku masih sangatlah bagus. Ia memintaku agar aku memakai baju yang sudah ia siapkan.“Astaga, baju dinas berwarna merah. Aku tidak tau haruskah menurutinya?Sedangkan rambutku baru saja kering. Dengan sangat terpaksa kupakai. Setelah itu aku memakai bathrobe. Salahku juga, tidak mengkomunikasikan dengan baik pada suamiku masalah hal seperti ini sejak awal.Wajar saja kalau dia menggebu-gebu saat bergumul bersamaku. Ibarat sesorang musafir yang berjalan di padang pasir dan menemukan oase yang jernih dan ia meminumnya. Dahaganya pastilah hilang. Aku memikirkan masalah kewajiban seorang isteri pada suami, meskipun semuanya karena kontrak semata.Aku sadar akan hutang budiku padanya, meskipun kalau dipikir semua ada im
Suamiku masih saja berdebat dengan papa mertuaku. Ia menyusul papa mertuaku yang masuk ke ruang kerja.“Kenapa nggak bilang kalau Papa ingin menjodohkan aku dengan Renata?”“Pernah kamu menghargai Papa selama ini? Kerjamu keluyuran. Keluar masuk club. Papa sudah menyerah, Vriel. Saat pertama kali Papa menemukan Renata. Papa berpikir mungkin Renata adalah calon yang tepat untuk mendampingimu.”“Kamu tidak tahu seperti apa rasanya menjadi orang tua, kalut memikirkan masa depan anaknya. Bagaimana nasib perusahaan kalau generasi penerus kami tidak punya kepedulian pada usaha yang sudah turun temurun? Jutaan karyawan bernaung di bawah perusahaan kita. Pernah kamu memikirkan Mamamu? Kamu sampai tidak tahu kalau mama-mu keluar masuk rumah sakit terlalu tertekan melihat sikapmu.”Tidak sopan rasanya menguping pembicaraan mereka. Awalnya aku ingin bicara pada papa mertuaku. Namun, ternyata mereka berdua masih saja bersitegang. Aku tidak ingin mendengar lagi alasan apa yang akan dikatakan suami
Matahari sudah naik, jam makan pagi sudah lewat. Suamiku pun bergegas mandi lalu berpakaian. Kuambilkan setelan kemeja, celana panjang, lengkap dengan jas, juga dasi yang cocok dengan kemejanya. Tak lama ia selesai mandi. Dilihat-lihat suamiku sungguh tampan, kadang aku selalu menepis pikiran kalau aku dinikahinya demi keuntungan pribadinya semata, sebab sayang sekali melewatkan segala bentuk perhatian dan kasih sayangnya padaku selama ini. Mubazir sekali melewatkan dirinya dengan segala pesonanya berikut juga kebrengsekannya.“Ren, buruan mandi. Kita akan ke kantor hari ini.”Mataku membola, telingaku kulebarkan mendengar penuturan suamiku.”Ngantor?” Saat ini. “Maksudnya apa?”“Kita berangkat ke kantor hari ini. Agak siang tak masalah.”Bergegas aku ke kamar mandi tanpa banyak bertanya. Aku sebenernya ingin berendam meski tak lama. Tapi perintah suamiku pasti kupatuhi. Sepuluh menit dan aku keluar dari kamar mandi. Sepuluh menit kemudian akupun selesai berpakaian. Keluar menenteng ta
Suamiku berjalan, ia mendekat ke arah papa mertuaku. Benar-benar mengejutkan. Ia justru memilih duduk menghimpit diantara aku dan papa mertuaku.“Om Aryo, maaf sebelumnya. Masalah perjodohan itu, dulu kan baru sebatas pembicaraan.. Saya sudah menikah dengan isteri saya.” Suamiku merengkuhku.Pasangan Aryo sontak kaget. Pun putrinya yang cantik namun berpenampilan sangat seksi itu. Tak menampik dia memang cantik. Ku pikir suamiku akan meliriknya, namun ia justru mengusap rambutku. Membuat pasangan Aryo memalingkan wajahnya.“Harusnya kalau Gavy sudah menikah, Om Syaron tinggal bilang saja di telefon. Nggak perlu kan kita kemari.” Kata gadis itu sinis. Ia melirik tajam padaku lalu membuang muka.Papa mertuaku begitu santai menangapinya. Beliau justru tersenyum.“Mohon maaf Om, Gavrielle sudah kebelet. Daripada khilaf lebih baik segera nikah saja.” Ucap Suamiku dengan santai tanpa bersalah.Mereka memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bersyukur aku tak lupa perawatan dan tamp
Aku naik ke ranjang. Tak menggubris kejengkelannya. Ia menyusulku dan tanpa ba-bi-bu menyergap tubuhku dari belakang.”Lepasin,” aku meronta.Aku sadar dengan posisiku di rumah juga di hadapannya. Tapi aku juga manusia biasa. Sekuat apapun aku bertahan ternyata melelahkan juga menghadapi banyak drama pernikahanku. Meskipun kenyataannya aku adalah menantu pilihan kedua mertuaku, mungkin menantu kesayangan mereka. Iya, karena Joya tidak ada di sini.“Mas lepasin bisa nggak sih?” Dia tetap tidak melepaskanku, justru semakin menjadi.”Lebih baik kita bercerai Mas, kalau kamu ingin anak dari pernikahan kita, aku bersedia.” Tangisku luruh. ”Mungkin itu yang sebenarnya kamu inginkan dari pernikahan kita, pewaris dan keturunan untuk baskoro Group!”“Renata Wijaya jaga bicaramu! Aku ini suamimu, Ren. Aku sudah bilang tidak akan menceraikanmu bukan!” Suamiku beringsut, mengunci pintu dan menyembunyikan di sakunya.“Akan kulakukan dan kabulkan apapun permintaanmu asal kamu melepasku dan kita ber
“Nyah ngagetin. Simbok kira hantu lho. Pakaiannya putih ngibas-ngibas gini.” Mbok Sumi memegang kimono tipis yang kupakai. Sambil memegang bahannya.”Lha bener to saking halusnya. Ini bahan dari apa to, Nyah? Halus bener kaya orangnya.” Tanya Mbok Sumi sambal terkekeh.“Simbok mau buat Mie buat Pak Khamdan, Nyah. Katanya kok lapar waktu terbangun tadi. Simbok jadi nggak bisa tidur lagi to.”“Ya sudah Mbok, buruan di buat. Ada Dara Bacem bakar, tadi saya simpen di kulkas bawah Mbok. Simbok tinggal goreng lagi atau manasin di microwave.”“Nggih, makasih Nyah.” Mbok Sumi pun menyalakan kompor dan menjerang air diatas panci untuk merebus mie.Kutinggalkan dapur menuju kamar yang tadinya kutempati. Sudah jam 2.30 pagi. Kuambil air wudlu dan kugelar sajadah. Terkadang ada banyak hal yang tak bisa kuadukan pada manusia, pada sahabatku apalagi keluargaku. Hanya bisa kuadukan pada Sang Pemilik Hidup. Sudah benarkah keputusanku untuk meninggalkan suamiku nantinya? Keputusanku untuk bersedia di n
“Yang benar saja to Ren, Gavrielle itu malasnya minta ampun kalau sakit. Merengek-rengek manjanya minta ampun. Aneh kalau tiba-tiba anak itu jadi segesit itu.”“Tapi kenyatannya begitu, Pa. Renata nggak bohong. Coba Papa, telfon John sekarang. Pasti Mas Gavrielle sedang meeting.”Mama mertuaku justru terkekeh. Ia terlihat benar-benar tidak percaya dengan perkataanku, tepatnya bukan apa yang ku katakan tapi kenyataan yang di lakukan oleh putranya yang bad boy itu.“Renata bener-bener kurang tau, Ma. Semalaman Renata kompres. Pagi tadi sudah sehat, makan Burjo dan Wedang Jahe.”Papa mertuaku tambah terbahak keras.”Ini beneran to Mah, nggak lagi bohong kan Renata?”Semakin aneh saja pembicaraan mertuaku ini. Kepalaku tambah pusing meski mereka tampak gembira sampai terkekeh lepas. Apa mau di kata, kenyataan kan demikian. Aku paling anti bohong, kecuali sangat terpaksa.Mama mertuaku mendekat. Ia tiba-tiba memelukku.”Mama minta maaf, kalian bertengkar ya kemarin?” Tanya beliau.“Nggak Ma