Mataku membelalak waktu kudekati kedua sosok yang sedang beradu mulut itu. Mas Badrun berusaha melerai keduanya, bahkan dua orang pegawai warung berusaha memegang tubuh eyang dan sosok wanita yang belum kulihat wajahnya itu.
Semakin menggelegar suaranya, semakin ku yakin kalau itu suara istri Mbah Mo. Beliau seumuran dengan eyang putri atau mungkin terpaut beberapa tahun lebih tua.
“Eyang.”
Keduanya menoleh, begitu juga Mas Badrun dan para karyawan kedai. Apa keduanya tidak malu jadi bahan tontonan pengunjung kedai. Yang pasti masih suasana berduka, tapi kenapa eyangku juga istri Mbah Mo nggak punya empati sama sekali untuk hal ini.
“Kinarsih, berani kamu menginjakkan kaki di tanah ini!” Hardik isteri Mbah Mo sambil menuding ke arah wajah eyang.
Eyang tak tinggal diam, ia balik mendorong tubuh istri Mbah Mo.
“Badrun kenapa kamu diam saja. Harusnya kamu bawa nenek tua ini keluar dari warung in
Eyang Kinarsih meninggalkan kami. Ia masuk ke mobil lalu mobil Papa Syaron meninggalkan halaman parkir Warung Mbah Mo.“Ini sudah malam Ren. Sebaiknya kita pulang.” Ajak Mas Gavrielle. Ia meraih tanganku.“Mas apa sedemikian buruk Riwayat keluargaku?” Pertanyaanku membuatnya menoleh. Ia membuka pintu mobil untukku.“Kita bahas lain kali Ren. Hari yang melelahkan.” Kata suamiku sembari meraih kepalaku dengan tangan kirinya. Kami meninggalkan warung.Pengunjung masih ramai. Meski begitu aku tidak ingin berlama-lama untuk tinggal di warung. Aku ingin tahu dimana benang merah antara kepemilikan tanah eyangku, warung yang dialihnamakan kepadaku dan juga sikap eyangku yang sangat misterius terkait keberadaan eyang kakungku.“Mas dulu kita punya kenangan yang indah di warung ini. Sekarang justru jadi milik kita.” Mas Gavrielle tak menggubrisku. Ia menyetir dengan kecepatan sedang sampai akhirny
Mas Gavrielle menutup laptop dan berpaling menatapku. Wajahnya merah seketika. Bagiku peristiwa lampau saat ia memarahiku di depan crew liputan sungguh membuatku malu kalau ingat. Seberapa pun kesalahannya aku memaafkan, karena selama ini yang ada adalah kurangnya komunikasi yang baik diantara kami. Semua kesalahpahaman yang ada menimbulkan masalah besar.“Mas ngetawain apa, seru sekali ya?” Kuambil laptopnya lalu kubawa ke meja tamu. Ia berjalan mengikutiku sambil merajuk.“Renata kamu kok sensi banget sih sayang. Itu kan dah lewat. Kamu juga sudah maafin aku.”Mas Gavrielle melepas kacamata bacanya. Ia menarik tubuhku sampai aku hampir duduk diatas pangkuannya.“Ups…….sorry.” Dokter Pambudi main nyelonong masuk. Ia membuat suamiku kaget dan melepaskan tangannya dari tubuhku.Brukkkkk“Aww, sakit.”Tubuhku terhempas karena Mas Gavrielle hilang konsentrasi
“Yogyakarta, duh liputan? Ini tugas bisa nggak di canceled.” Sintia menepuk pundakku dari belakang membuatku melompat kaget dari kursi tempatku duduk. “Awwwww.” Rintihku. "Kakiku masih belum kempes bengkaknya." Sintia pasti mendengar gerutuanku yang keras tadi. “Sorry Mbak, sorry…nggak sengaja. Habis dari tadi melamun terus sih!” Sintia mengambil kursi dari meja kerjanya. Ia duduk di sebelah kubikelku. “Kamu ini gimana to Sin! Apa nggak bilang sama bos besar kalau kakiku bermasalah!” Rasanya ingin ku cubit keras pipi Sintia, biar dia kapok sudah mengumpankan aku di proyek mangkraknya.”Maksutmu apa Sin?Aku jadi penananggung jawab lapangan, liputan proyek acara di Yogyakarta?” Sinta gelagapan melihatku ngomel-ngomel tidak jelas. “Ngomong aja kalau kamu jealouse sama aku Sin! Nggak usah make acara nikung gini!” Rasanya otakku benar-benar mendidih. Mana kaki masih saja perih, dikasih tugas berat pula. “Kita dah di tunggu di bawah sama crew lain, Mbak Ren! Semua perlengkapan and crew
Kaca jendela sebelah kanan pintu mobil masih saja di ketuk berulang kali. ”Buka pintunya Pak Sartono!” Perintah bos galak itu. Pak Sartono panik melihat sosok di depannya. Ia terlihat semakin kalut. Kalau ia tidak membuka pintu, kemungkinan besar nasibnya mencari sesuap nasi di depan kantor bakalan tidak jelas ke depannya. Bos galak itu bisa memecatnya. Derita kacung korporat. Mau tidak mau kami harus menuruti petinggi yang kantongnya tebal. Assetnya ada di mana-mana, tidak hanya di nusantara mungkin juga ia menyimpan dollar di bank Singapura atau Swiss. “Maaf Mbak Renata.” Kata Pak Sartono dengan wajah menunduk. Daripada satu mobil dengan bos gila itu, lebih baik aku kabur saja. Pokoknya aku tidak mau melihat lagi wajahnya.”Buka saja Pak!” Aku memaklumi keputusan Pak Sartono, karena kalau aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Pak Sartono pun akhirnya membuka pintu sisi kiri bagian depan mobil. Bos gila itu masuk. Ku tarik handle pintu mobil di sisi kan
“Kita sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama. Sudah enam bulan dan kamu belum memberikan hakku sebagai suamimu. Kurang sabar apa ku Ren?” Tanya Gavrielle. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ia merapikan rambutku, lalu mengambil ikat rambut dan menguncir rambutku tinggi. “Tapi kamu nggak harus memarahiku di kantor seperti tadi pagi! Bukan Pak Syaron sugar dady-ku tapi dirimu.” Gavrielle terbahak.”Aku bukan sugar daddy-mu, sejak kapan coba? Apa ada posisi seperti itu sejak kita kenal. Yang akan terjadi adalah aku daddy dari calon baby-mu, iya kan?” Tanyanya menyudutkanku. Gavrielle merangsek memeluk tubuhku. Padahal awalnya aku ingin dia pergi. Ternyata aku masih saja kalah kalau menyangkut urusan strategi darinya. Menyebalkan! ”Ini sudah enam bulan, aku ingin hakku malam ini.” Ia merajuk. Aku sadar apa yang di katakan oleh suamiku adalah benar. Semuanya ucapannya, fakta. “Aku tidak bisa menunda lagi.” Ucap suamiku pelan. Bersyukur kakiku tetap ia perhatikan, sehingga aku
Kubuka tutup toples cookies agar memudahkan Gavrielle kalau mau mengambil. Tapi dugaanku ternyata salah, ternyata ia justru mengambil Nuget Tuna dengan tissue. Ia menggigitnya lalu mengunyah camilan itu dan menelannya. Setelah itu ia membersihkan bibirnya hingga bersih dengan tissue. ”Tolong ambilkan cookies itu, Ren.” Aku mengambil satu cookies lalu menyuapkan ke mulutnya. Ternyata ia menarik tubuhku membuatku berpindah ke sampingnya. Ia memegang kepalaku lalu mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. “Buka mulutmu!” Aku menurutinya. Akhirnya ia memindahkan separuh cookies yang belum di telannya ke mulutku. Astaga, tak terpikirkan olehku. Gavrielle benar-benar membuat jantungku mau copot. Aku menggigit cookies itu supaya tidak jatuh. Gavrielle pasti akan marah kalau cookies itu jatuh. Mungkin ia akan tersinggung. Sisa cookies itu ku kunyah lalu kutelan. ”Ini variasi cara makan terbaru.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Rasanya benar-benar nano-nano. Kadang aku sangsi kalau Gavrie
Pagi itu ternyata mertuakau, Pak Syaron dan Bu Larasati bertandang ke rumahku. Bersyukur sekali keadaan rumahku tidak terlalu kotor. Di sela-sela pulang ngantor kadang aku masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih rumah. Gavriel sudah rapi begitupun dengan diriku. “Kenapa Pak Syaron bisa datang kemari?” Tanyaku pada suamiku. Mudah saja bagi seorang bos besar seperti beliau untuk menyelidiki banyak hal tentangku. Masalahnya, kenapa datang justrudi saat yang tidak tepat. Gavrielle mengendikkan bahunya. Seharusnya suamiku tidak perlu membuka pintu terlebih dahulu. Ia bisa membangunkan aku agar aku bisa membuka pintu dan dia sembunyi. Sehingga aku tidak perlu takut atau canggung menghadapi bos yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Gavrielle berjalan di depanku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat. Pak Syaron dan Bu Larasati duduk di ruang tamu. Pak Syaron melihat-lihat foto yang kupajang di dinding ruang tamu. Aku tidak tahu harus memajang foto siapa, jadi lebih baik aku
Aku terpaksa menarik baju suamiku agar mengikutiku. Aku punya tempat duduk favorite di Warung Mbah Mo. Kalau tidak dipakai oleh pengunjung lain, biasanya aku akan memilih tempat itu.“Sini, Vriel."Aku lebih dulu duduk di tempat lesehan yang ada di pojok. Warung Mbah Mo sangat luas, meskipun tempatnya tidak mewah tapi sangat rapi dan asri. Ada banyak tumbuhan yang tumbuh di luar warung. Tanaman sulur seperti Pare juga Suruh merambat diatas pergola. Selain itu, banyak tanaman hias yang tumbuh subur meskipun di pot. Aneka Mawar, Anyelir, Pakis, bahkan ada juga Janda Bolong. Yang bolong tidak hanya kaos, Janda juga ada yang Bolong. Tidak hanya itu, di daerah belakang warung ada areal luas untuk menanam tanaman seperti Cabai, Daun Bawang, juga Tomat dan Daun Kemangi. Bisa di bilang areal itu memang di tanami untuk stok persediaan tambahan bahan yang akan di masak di warung.“Mbak, ini sepiring Baceman Burung Dara dan Telur Puyuh buat Mbak Renata.” Kata Mas Badrun, pelayan utama di warung