Eyang Kinarsih meninggalkan kami. Ia masuk ke mobil lalu mobil Papa Syaron meninggalkan halaman parkir Warung Mbah Mo.
“Ini sudah malam Ren. Sebaiknya kita pulang.” Ajak Mas Gavrielle. Ia meraih tanganku.
“Mas apa sedemikian buruk Riwayat keluargaku?” Pertanyaanku membuatnya menoleh. Ia membuka pintu mobil untukku.
“Kita bahas lain kali Ren. Hari yang melelahkan.” Kata suamiku sembari meraih kepalaku dengan tangan kirinya. Kami meninggalkan warung.
Pengunjung masih ramai. Meski begitu aku tidak ingin berlama-lama untuk tinggal di warung. Aku ingin tahu dimana benang merah antara kepemilikan tanah eyangku, warung yang dialihnamakan kepadaku dan juga sikap eyangku yang sangat misterius terkait keberadaan eyang kakungku.
“Mas dulu kita punya kenangan yang indah di warung ini. Sekarang justru jadi milik kita.” Mas Gavrielle tak menggubrisku. Ia menyetir dengan kecepatan sedang sampai akhirny
Mas Gavrielle menutup laptop dan berpaling menatapku. Wajahnya merah seketika. Bagiku peristiwa lampau saat ia memarahiku di depan crew liputan sungguh membuatku malu kalau ingat. Seberapa pun kesalahannya aku memaafkan, karena selama ini yang ada adalah kurangnya komunikasi yang baik diantara kami. Semua kesalahpahaman yang ada menimbulkan masalah besar.“Mas ngetawain apa, seru sekali ya?” Kuambil laptopnya lalu kubawa ke meja tamu. Ia berjalan mengikutiku sambil merajuk.“Renata kamu kok sensi banget sih sayang. Itu kan dah lewat. Kamu juga sudah maafin aku.”Mas Gavrielle melepas kacamata bacanya. Ia menarik tubuhku sampai aku hampir duduk diatas pangkuannya.“Ups…….sorry.” Dokter Pambudi main nyelonong masuk. Ia membuat suamiku kaget dan melepaskan tangannya dari tubuhku.Brukkkkk“Aww, sakit.”Tubuhku terhempas karena Mas Gavrielle hilang konsentrasi
“Renata kita tidak bisa membatalkan kerjasama secara sepihak dengan perusahaan Matsuyama.”Ucapan Mas Gavrielle membuat ulu hatiku begitu nyeri. Apa bagusnya meneruskan kerjasama dengan kakek tua biang onar itu. Apa suamiku keberatan melepas asset demi menutup kerugian pembatalan sepihak.“Mas aku sadar nggak punya asset yang terlalu besar untuk menutup kerugian kalau kita melakukan pembatalan secara sepihak. Tapi aku sayang padamu, Mas.”Bu Mira masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.“Obatnya sudah dibelikan security Mbak Renata. Mau di bantu mengoleskan?” Tawar Bu Mira.“Nggak perlu Bu Mira, biar saya saja.” Mas Gavrielle meminta obat yang di bawa Bu Mira. Bu Mira lalu keluar ruangan.Tok tok tok“Masuk.” Jawab Mas Gavrielle.Jarang-jarang sekali Sintia masuk ke ruangan suamiku. Apa karena aku tadi sempat janjian buat makan
Perawat mendorong brankarku hingga masuk IGD. Sebetulnya aku minta untuk tidak di masukkan ke IGD tapi Mas Gavrielle masih saja bersikeras. Daripada memperpanjang masalah lebih baik aku iyakan saja.Kemunculan office boy yang kulihat di kantor sebelum kami masuk ke lift membuatku bertanya-tanya. Jangan-jangan? Pikiran buruk menghantuiku.Dokter Pambudi sudah stand by di ruang rawat. Ia mempersiapkan segala peralatan untuk memeriksaku.“Renata, ini tidak hanya formalitas. Ku harap kamu menuruti keinginan Gavrielle. Ngerti sendiri gimana suamimu itu.” Kata Dokter Pambudi. Ia mulai memeriksa tubuhku. Satu hal yang ia cermati dengan teliti adalah tungkai kakiku juga lututku.“Tekanan darahmu turun. Kamu harus konsumsi suplemen Ren.”“Dok, jangan resepkan obat. Dokter tau kan riwayat sakitku?”Dokter Pambudi menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu atau pura-pura. Aku alergi obat. K
“Yogyakarta, duh liputan? Ini tugas bisa nggak di canceled.” Sintia menepuk pundakku dari belakang membuatku melompat kaget dari kursi tempatku duduk. “Awwwww.” Rintihku. "Kakiku masih belum kempes bengkaknya." Sintia pasti mendengar gerutuanku yang keras tadi. “Sorry Mbak, sorry…nggak sengaja. Habis dari tadi melamun terus sih!” Sintia mengambil kursi dari meja kerjanya. Ia duduk di sebelah kubikelku. “Kamu ini gimana to Sin! Apa nggak bilang sama bos besar kalau kakiku bermasalah!” Rasanya ingin ku cubit keras pipi Sintia, biar dia kapok sudah mengumpankan aku di proyek mangkraknya.”Maksutmu apa Sin?Aku jadi penananggung jawab lapangan, liputan proyek acara di Yogyakarta?” Sinta gelagapan melihatku ngomel-ngomel tidak jelas. “Ngomong aja kalau kamu jealouse sama aku Sin! Nggak usah make acara nikung gini!” Rasanya otakku benar-benar mendidih. Mana kaki masih saja perih, dikasih tugas berat pula. “Kita dah di tunggu di bawah sama crew lain, Mbak Ren! Semua perlengkapan and crew
Kaca jendela sebelah kanan pintu mobil masih saja di ketuk berulang kali. ”Buka pintunya Pak Sartono!” Perintah bos galak itu. Pak Sartono panik melihat sosok di depannya. Ia terlihat semakin kalut. Kalau ia tidak membuka pintu, kemungkinan besar nasibnya mencari sesuap nasi di depan kantor bakalan tidak jelas ke depannya. Bos galak itu bisa memecatnya. Derita kacung korporat. Mau tidak mau kami harus menuruti petinggi yang kantongnya tebal. Assetnya ada di mana-mana, tidak hanya di nusantara mungkin juga ia menyimpan dollar di bank Singapura atau Swiss. “Maaf Mbak Renata.” Kata Pak Sartono dengan wajah menunduk. Daripada satu mobil dengan bos gila itu, lebih baik aku kabur saja. Pokoknya aku tidak mau melihat lagi wajahnya.”Buka saja Pak!” Aku memaklumi keputusan Pak Sartono, karena kalau aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Pak Sartono pun akhirnya membuka pintu sisi kiri bagian depan mobil. Bos gila itu masuk. Ku tarik handle pintu mobil di sisi kan
“Kita sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama. Sudah enam bulan dan kamu belum memberikan hakku sebagai suamimu. Kurang sabar apa ku Ren?” Tanya Gavrielle. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ia merapikan rambutku, lalu mengambil ikat rambut dan menguncir rambutku tinggi. “Tapi kamu nggak harus memarahiku di kantor seperti tadi pagi! Bukan Pak Syaron sugar dady-ku tapi dirimu.” Gavrielle terbahak.”Aku bukan sugar daddy-mu, sejak kapan coba? Apa ada posisi seperti itu sejak kita kenal. Yang akan terjadi adalah aku daddy dari calon baby-mu, iya kan?” Tanyanya menyudutkanku. Gavrielle merangsek memeluk tubuhku. Padahal awalnya aku ingin dia pergi. Ternyata aku masih saja kalah kalau menyangkut urusan strategi darinya. Menyebalkan! ”Ini sudah enam bulan, aku ingin hakku malam ini.” Ia merajuk. Aku sadar apa yang di katakan oleh suamiku adalah benar. Semuanya ucapannya, fakta. “Aku tidak bisa menunda lagi.” Ucap suamiku pelan. Bersyukur kakiku tetap ia perhatikan, sehingga aku
Kubuka tutup toples cookies agar memudahkan Gavrielle kalau mau mengambil. Tapi dugaanku ternyata salah, ternyata ia justru mengambil Nuget Tuna dengan tissue. Ia menggigitnya lalu mengunyah camilan itu dan menelannya. Setelah itu ia membersihkan bibirnya hingga bersih dengan tissue. ”Tolong ambilkan cookies itu, Ren.” Aku mengambil satu cookies lalu menyuapkan ke mulutnya. Ternyata ia menarik tubuhku membuatku berpindah ke sampingnya. Ia memegang kepalaku lalu mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. “Buka mulutmu!” Aku menurutinya. Akhirnya ia memindahkan separuh cookies yang belum di telannya ke mulutku. Astaga, tak terpikirkan olehku. Gavrielle benar-benar membuat jantungku mau copot. Aku menggigit cookies itu supaya tidak jatuh. Gavrielle pasti akan marah kalau cookies itu jatuh. Mungkin ia akan tersinggung. Sisa cookies itu ku kunyah lalu kutelan. ”Ini variasi cara makan terbaru.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Rasanya benar-benar nano-nano. Kadang aku sangsi kalau Gavrie
Pagi itu ternyata mertuakau, Pak Syaron dan Bu Larasati bertandang ke rumahku. Bersyukur sekali keadaan rumahku tidak terlalu kotor. Di sela-sela pulang ngantor kadang aku masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih rumah. Gavriel sudah rapi begitupun dengan diriku. “Kenapa Pak Syaron bisa datang kemari?” Tanyaku pada suamiku. Mudah saja bagi seorang bos besar seperti beliau untuk menyelidiki banyak hal tentangku. Masalahnya, kenapa datang justrudi saat yang tidak tepat. Gavrielle mengendikkan bahunya. Seharusnya suamiku tidak perlu membuka pintu terlebih dahulu. Ia bisa membangunkan aku agar aku bisa membuka pintu dan dia sembunyi. Sehingga aku tidak perlu takut atau canggung menghadapi bos yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Gavrielle berjalan di depanku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat. Pak Syaron dan Bu Larasati duduk di ruang tamu. Pak Syaron melihat-lihat foto yang kupajang di dinding ruang tamu. Aku tidak tahu harus memajang foto siapa, jadi lebih baik aku