Ibarat mengurai benang kusut. Satu persatu masalah harus kita selesaikan barulah masalah yang lain.
Mama dan Papa beranjak bersama Pak Syakir. Mas Gavrielle pasti tak tahu kalau aku menyusulnya ke taman. Ia terlihat bingung.
“Mas.” Suamiku tak berkutik saat aku berjalan dengan pelan sambil sedikit menyeret kaki kiriku.
Aku duduk disampingnya.
”Maaf aku nggak bisa menjagamu dengan baik Ren.”
Suasana taman ini begitu sunyi. Aku tahu di kawasan VVIP hanya ada beberapa kamar saja. Lagian kalau ada perawat melihat suamiku tentu saja perawat dan pegawai yang tahu akan milih mlipir demi kenyamanan dan keleluasaan suamiku dalam beraktivitas.
“William baru saja mengabariku. Kalau anaknya Pak Syakir yang ada di luar negri di sandera. Bukan demi tebusan Ren. Tapi untuk menekan Pak Syakir agar mau menuruti permintaan orang itu.”
Mas Gavrielle memperlihatkan bukti dokumen juga rekaman vide
Setelah membersihkan diri. Aku beranjak dari toilet, begitu juga suamiku akhirnya ganti baju juga. Saat aku hendak membuka buku laporan diatas meja kerja di VVIP room yang memang ku klaim sebagai ruang kerja keduaku, Mas Gavrielle tiba-tiba menutup bukuku.“Ren, aku nggak ngajak kamu kemari buat kerja.” Mas Gavrielle mengambil buku laporan kerjaku lalu memindahnya.“It’s time to us.”Mas Gavrielle membuka jendela balkon. Ia pergi ke luar. Bukan kebetulan, karena aku memang memilih ruang VVIP yang kujadikan ruang kerjaku berhadapan dengan jalan raya. Di sebelah kedaiku berdiri gedung-gedung pencakar langit. Kerlap kerlip lampu terlihat menyemarakkan suasana.Saat berdua seperti ini, tentu saja sebagai orang tua aku masih ingat anak-anakku. Sudah tidur atau belum mereka, rewel atau tidak. Sejak aku melahirkan begitu banyak hal yang berubah dalam hidupku.Dulu aku berusaha untuk bertahan hidup karen
“Mas Pasti nggak akan menyangka kalau makam anak kita ada di komplek Makam Mbah Mo.”Suamiku hanya mengangguk saja. Ia mencuri satu kecupan lembut di dahiku.“Itu sebabnya Mbah Mo sangat sayang banget ke kamu ya?”Sudah tahu masih juga ditanya. Kan bikin jengkel sekali.“Perjalanan masih jauh Ren. Istirahat dulu ya.”Aku ingin ke Sapporo saja dulu. Kalau Mas Gavrielle menolak akan kupaksa supaya mengijinkan. Toh katanya memang ingin liburan tipis-tipis.Waktu berlalu begitu cepat, jam tangan suamiku menunjukkan waktu pukul 04.00 pagi. Entah kami sudah sampai dimana? Apakah untuk mencapai Sapporo masih lama?Aku jadi tidak sabar sekali. Mas Gavrielle berarti tidak mengijinkan aku hamil juga karena masalah ini. Aku bahkan tak lagi berkonsultasi dengan dokterku di rumah sakit milik Yayasan Paman Abdul. Saking bahagianya aku bertemu dan berkumpul lagi dengan Mas Gavrielle juga keluarga besar kami berdua.Kalau tahu akan ke Jepang sejak awal, aku akan bawa anak-anak. Aku akan tinggal sediki
“Ini rumah Eyang Erlangga. Asal kamu tahu, Eyang menempati rumah ini saat dinas di negara ini. Ini milik seorang pengusaha yang bangkrut dulu. Eyang lalu membelinya dan membangun sedemikian rupa.”“Ta-pi ke-napa mirip dengan kediaman Mr. Matsuyama?”Mas Gavrielle menuang teh lalu menyeruputnya dengan perlahan.“Not so bad.” Puji suamiku.Bikin penasaran saja. Dia bisa-bisanya memuji teh buatan orang lain. Padahal selama ini ia hanya memuji teh buatanku. Kalau suamiku bisa memuji begitu berarti teh yang ia minum benar-benar enak.“Kenapa wajahmu cemberut begitu Ren?” Mas Gavrielle membuka jendela. Angin dingin berhembus menerpa kulitku.“Kenapa di buka Mas. Dingin sekali.”Pintu di ketuk. Meskipun pelan, suaranya jadi terdengar jelas karena heningnya suasana.“Masuk.”Mas Gavrielle memperbaiki posisi duduknya yang awalnya rebaha
“Kami sudah bercerai. Aku yang menggugatnya.”Ucapan Frederico benar-benar tak kuperkirakan. Tapi Mas Gavrielle terlihat biasa saja menanggapinya. Benar-benar semua di luar nalar. Bagaimana bisa suamiku menempati rumah ini. Kupikir kedatangan Frederico pasti ada hubungannya dengan rumah ini.“Oh ya Vriel, opa memintaku untuk datang kemari setelah kamu menempati rumah ini. Sebentar lagi pengacara akan datang.”“Good.” Jawab Mas Gavrielle.Mas Gavrielle pasti akan menunda ajakannya. Sia-sia dong aku dandan pakai Yukata begini. Paman Matsumoto menemani seorang pelayan yang mengantar teh untuk kami.Aku kurang tahu mengapa kebanyakan pelayan di rumah ini laki-laki semua. Tubuh mereka hampir sama tingginya. Dari segi postur juga sama. Bahkan kupikir kalau mereka itu mirip posturenya dengan bodyguard Papa Syaron juga beberapa penjaga lorong.“Tuan. Silahkan di nikmati tehnya. Seperti yang sudah Tuan minta. Kami menggunakan daun teh yang biasa digunakan oleh Nyonya Renata. Juga takaran yang
Dengan entengnya Mas Gavrielle mengambil lembaran dokumen yang berserakan.“Kamu benar-benar di butakan oleh cinta, Vriel? Di jampi-jampi apa kamu sama Renata?”Mas Gavrielle menarik tanganku lalu ia merangkulku.“Fred, jangan salahkan aku atau Renata atas gagalnya pernikahanmu. Kalau kamu mau introspeksi, kamu masih bisa rujuk dengan istrimu.”Frederico terbahak. Ia duduk di sofa sembari menyalakan sepuntung rokok. Mas Gavrielle mengambil tissue yang ada di atas meja kerjanya. Ia memberikan itu padaku.“Tutup hidung kamu, Ren.”Frederico mengeleng-gelengkan kepalanya. ”Drama betul pernikahan kalian. Kalian mau pamer padaku begitu?”Mas Gavrielle berdiri di depan Frederico. Ia menyilangkan kedua tangannya.“Fred, aku pernah kehilangan Renata saat ia hamil. Ia hidup di Singapura tanpa keluarga. Renata harus bekerja dan mengurus kehamilannya sendirian. Renata bahkan pernah koma tanpa siapapun yang mendampingi. Saat itu, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan.”Frederico menatap suamik
Mas Gavrielle sedang bercakap-cakap dengan seorang pria paruh baya. Tiba-tiba saja badanku menggigil luar biasa. Kepalaku sedikit berkunang-kunang. Kucoba untuk membelalakkan mata. Mas Gavrielle berlari kearahku.“Are you OK, Ren?”Ia memapahku menepi.“Kita mau ngapain sih Mas? Beli kapal? Atau perusahaan kita mau ekspansi?”Semua berondongan pertanyaanku hanya di jawabnya dengan gelengan kepala.Bodyguard papa datang dan memberikan mantel pada suamiku. Mas Gavrielle menyelimuti pundakku dengan mantel tadi. Badanku ringkih sekali.“Kamu kuat jalan, Sayang?”Setelah memakai mantel, rasa dingin itu tak lagi menghampiriku. Sepanjang jalan suamiku berceloteh panjang lebar. Baru kali ini aku justru benar-benar tidak fokus dengan obrolannya. Sepanjang jalan di tepi pelabuhan aku justru memperhatikan aneka kapal yang merapat. Mas Gavrielle berhenti di depan salah satu kapal besar yang berada di tepian.“Kamu diajak ngobrol nggak fokus.” Ia menarik tanganku membuatku tersadar dari lamunanku.
“Oh ternyata mahal to Mas. Ku pikir harga rumah itu nggak semahal itu.”Suamiku menoyor bahuku pelan. Wajahnya kemudian berubah cemberut.“Kamu ini suka sekali bikin suamimu kaget. Sengaja?”Aku tutup mulut. Memang ingin membuatnya jengkel. Bisa melihatnya ngambek dan sedikit jengkel adalah pemandangan yang memuaskan hatiku. Kadang sikap kekanak-kanakannya justru menjadi hiburan tersendiri bagiku.Perlahan kapal mulai mendekati pelabuhan. Di dekat pelabuhan kulihat sepintas mobil yang tak asing bagiku. Mobil Frederico? Tunggu. Mataku tak mungkin salah lihat bukan? Frederico tidak sendirian tapi ia bersama dengan seorang wanita.“Mas apa-apaan ini? Mas ngundang Frederico? Bersama mantannya itu?”Bodyguard papa mencegatku saat aku hendak turun terlebih dulu ke bawah melewati tangga kapal.“Nyonya, silahkan tunggu sebentar.”Aku tahu semua bodyguard papa adalah orang yang loyal pada papa mertuaku sekaligus pada suamiku tentunya. Mereka adalah orang lama yang bekerja untuk papa. Semua keb
Frederico menyeret tubuh Angela. Meskipun ia mewarisi darah bangsawan, namun ia sudah kelewat batas. Tak tahu sopan santun. Berani-beraninya melempar serbet makan diatas meja saat suamiku hendak menyantap Salmon Panggang.“Angel, please.”Frederico membawa Angela ke toilet. Kegaduhan itu menyita perhatian pengunjung. Meski keadaan jadi runyam, suamiku tetap saja menikmati makanan dengan tenang.“Habiskan makanmu, Ren. Kita harus punya tenaga untuk menghadapi wanita toksik model Angela.”Meski selera makanku hilang tapi tetap ku paksakan untuk makan. Sayang sekali kalau membuang uang untuk makanan yang kutahu harganya tidak murah. Banyak orang yang kesulitan makan, apalagi untuk makanan mewah seperti yang sedang kami santap.“Apa mama nelfon Mas? Anak-anak kita gimana?”“Mama belum nelfon Ren. Kita selesaikan ini lalu kita pulang.”Mas Gavrielle menyeruput teh yang