“Ini rumah Eyang Erlangga. Asal kamu tahu, Eyang menempati rumah ini saat dinas di negara ini. Ini milik seorang pengusaha yang bangkrut dulu. Eyang lalu membelinya dan membangun sedemikian rupa.”
“Ta-pi ke-napa mirip dengan kediaman Mr. Matsuyama?”
Mas Gavrielle menuang teh lalu menyeruputnya dengan perlahan.
“Not so bad.” Puji suamiku.
Bikin penasaran saja. Dia bisa-bisanya memuji teh buatan orang lain. Padahal selama ini ia hanya memuji teh buatanku. Kalau suamiku bisa memuji begitu berarti teh yang ia minum benar-benar enak.
“Kenapa wajahmu cemberut begitu Ren?” Mas Gavrielle membuka jendela. Angin dingin berhembus menerpa kulitku.
“Kenapa di buka Mas. Dingin sekali.”
Pintu di ketuk. Meskipun pelan, suaranya jadi terdengar jelas karena heningnya suasana.
“Masuk.”
Mas Gavrielle memperbaiki posisi duduknya yang awalnya rebaha
“Kami sudah bercerai. Aku yang menggugatnya.”Ucapan Frederico benar-benar tak kuperkirakan. Tapi Mas Gavrielle terlihat biasa saja menanggapinya. Benar-benar semua di luar nalar. Bagaimana bisa suamiku menempati rumah ini. Kupikir kedatangan Frederico pasti ada hubungannya dengan rumah ini.“Oh ya Vriel, opa memintaku untuk datang kemari setelah kamu menempati rumah ini. Sebentar lagi pengacara akan datang.”“Good.” Jawab Mas Gavrielle.Mas Gavrielle pasti akan menunda ajakannya. Sia-sia dong aku dandan pakai Yukata begini. Paman Matsumoto menemani seorang pelayan yang mengantar teh untuk kami.Aku kurang tahu mengapa kebanyakan pelayan di rumah ini laki-laki semua. Tubuh mereka hampir sama tingginya. Dari segi postur juga sama. Bahkan kupikir kalau mereka itu mirip posturenya dengan bodyguard Papa Syaron juga beberapa penjaga lorong.“Tuan. Silahkan di nikmati tehnya. Seperti yang sudah Tuan minta. Kami menggunakan daun teh yang biasa digunakan oleh Nyonya Renata. Juga takaran yang
Dengan entengnya Mas Gavrielle mengambil lembaran dokumen yang berserakan.“Kamu benar-benar di butakan oleh cinta, Vriel? Di jampi-jampi apa kamu sama Renata?”Mas Gavrielle menarik tanganku lalu ia merangkulku.“Fred, jangan salahkan aku atau Renata atas gagalnya pernikahanmu. Kalau kamu mau introspeksi, kamu masih bisa rujuk dengan istrimu.”Frederico terbahak. Ia duduk di sofa sembari menyalakan sepuntung rokok. Mas Gavrielle mengambil tissue yang ada di atas meja kerjanya. Ia memberikan itu padaku.“Tutup hidung kamu, Ren.”Frederico mengeleng-gelengkan kepalanya. ”Drama betul pernikahan kalian. Kalian mau pamer padaku begitu?”Mas Gavrielle berdiri di depan Frederico. Ia menyilangkan kedua tangannya.“Fred, aku pernah kehilangan Renata saat ia hamil. Ia hidup di Singapura tanpa keluarga. Renata harus bekerja dan mengurus kehamilannya sendirian. Renata bahkan pernah koma tanpa siapapun yang mendampingi. Saat itu, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan.”Frederico menatap suamik
Mas Gavrielle sedang bercakap-cakap dengan seorang pria paruh baya. Tiba-tiba saja badanku menggigil luar biasa. Kepalaku sedikit berkunang-kunang. Kucoba untuk membelalakkan mata. Mas Gavrielle berlari kearahku.“Are you OK, Ren?”Ia memapahku menepi.“Kita mau ngapain sih Mas? Beli kapal? Atau perusahaan kita mau ekspansi?”Semua berondongan pertanyaanku hanya di jawabnya dengan gelengan kepala.Bodyguard papa datang dan memberikan mantel pada suamiku. Mas Gavrielle menyelimuti pundakku dengan mantel tadi. Badanku ringkih sekali.“Kamu kuat jalan, Sayang?”Setelah memakai mantel, rasa dingin itu tak lagi menghampiriku. Sepanjang jalan suamiku berceloteh panjang lebar. Baru kali ini aku justru benar-benar tidak fokus dengan obrolannya. Sepanjang jalan di tepi pelabuhan aku justru memperhatikan aneka kapal yang merapat. Mas Gavrielle berhenti di depan salah satu kapal besar yang berada di tepian.“Kamu diajak ngobrol nggak fokus.” Ia menarik tanganku membuatku tersadar dari lamunanku.
“Oh ternyata mahal to Mas. Ku pikir harga rumah itu nggak semahal itu.”Suamiku menoyor bahuku pelan. Wajahnya kemudian berubah cemberut.“Kamu ini suka sekali bikin suamimu kaget. Sengaja?”Aku tutup mulut. Memang ingin membuatnya jengkel. Bisa melihatnya ngambek dan sedikit jengkel adalah pemandangan yang memuaskan hatiku. Kadang sikap kekanak-kanakannya justru menjadi hiburan tersendiri bagiku.Perlahan kapal mulai mendekati pelabuhan. Di dekat pelabuhan kulihat sepintas mobil yang tak asing bagiku. Mobil Frederico? Tunggu. Mataku tak mungkin salah lihat bukan? Frederico tidak sendirian tapi ia bersama dengan seorang wanita.“Mas apa-apaan ini? Mas ngundang Frederico? Bersama mantannya itu?”Bodyguard papa mencegatku saat aku hendak turun terlebih dulu ke bawah melewati tangga kapal.“Nyonya, silahkan tunggu sebentar.”Aku tahu semua bodyguard papa adalah orang yang loyal pada papa mertuaku sekaligus pada suamiku tentunya. Mereka adalah orang lama yang bekerja untuk papa. Semua keb
Frederico menyeret tubuh Angela. Meskipun ia mewarisi darah bangsawan, namun ia sudah kelewat batas. Tak tahu sopan santun. Berani-beraninya melempar serbet makan diatas meja saat suamiku hendak menyantap Salmon Panggang.“Angel, please.”Frederico membawa Angela ke toilet. Kegaduhan itu menyita perhatian pengunjung. Meski keadaan jadi runyam, suamiku tetap saja menikmati makanan dengan tenang.“Habiskan makanmu, Ren. Kita harus punya tenaga untuk menghadapi wanita toksik model Angela.”Meski selera makanku hilang tapi tetap ku paksakan untuk makan. Sayang sekali kalau membuang uang untuk makanan yang kutahu harganya tidak murah. Banyak orang yang kesulitan makan, apalagi untuk makanan mewah seperti yang sedang kami santap.“Apa mama nelfon Mas? Anak-anak kita gimana?”“Mama belum nelfon Ren. Kita selesaikan ini lalu kita pulang.”Mas Gavrielle menyeruput teh yang
Sepagi ini salju sudah turun. Setelah kejahilan Mas Gavrielle tadi malam padaku, Mas Gavrielle langsung saja tidur. Ia tak banyak berkutik, mana mungkin aku berani menyuruhnya tidur di luar. Tapi kadang kejahilan dan ide konyolnya benar-benar membuatku hilang kesabaran.Kupandangi lekat-lekat wajah rupawan suamiku, waktu Subuh sudah lewat. Aku ingin melihat-lihat rumah ini. Kalau memang Angela ingin membeli rumah Kakek Kiyosi. Dengan senang hati aku akan melepaskannya. Kalau memang Mas Gavrielle benar-benar iklas tidak hanya sekedar ucapan di mulut.Mana ada hadiah anniversary yang diberikan oleh suami hanya dalam waktu sekejap saja dijual. Kalau kenyataannya justru keberadaan rumah ini membuat suamiku cemburu tidak jelas. Lebih baik di jual.Para pelayan sedang sibuk melakukan kegiatan, ada ART yang sedang menyalakan vacuum, di dapur Paman Matsumoto sedang melakukan briefing dengan beberapa ART lain. Baru kali ini aku melihat ada seorang wanita berumur yang berada di dapur selebihnya
Mas Gavrielle memijat pundakku. Sebetulnya aku juga capek sekali. Tapi aku tau itu triknya supaya aku luluh dan mau memaafkan kejahilannya semalam. Mas Gavrielle mengambil sendok lalu mengambil satu sendok Sambal Krecek yang sedang kuaduk diatas wajan.“Mas, aku mau jual rumah ini.”“Uhukkkkkkk. Apa?”Sambel Krecek yang sudah masuk kemulut suamiku menyembur ke arahku. Beruntung aku memakai apron. Selamatlah pakaianku dari merahnya cabai dan minyak.“Kupikir kemarin kamu bercanda. Kamu serius Ren?”Buru-buru aku berlari mengambil tissue untuk membersihkan mulut suamiku. Kalau suamiku berucap tentu saja itu bukan ucapan di bibir. Kamuflase saja kemarin itu?“Kita kembalikan rumah ini pada pewarisnya. Kalau kita kemari lagi, kita bisa menempati rumah lain. Almarhum Kakek Kiyosi nggak bakal marah dengan keputusanmu.”Mas Gavrielle menimbang-nimbang ucapanku. Aku sendiri l
Aku tak perlu berbasa basi pada wanita arogan itu. Aku bisa memaklumi perasaannya sebagai wanita yang pernah tak diharapkan oleh pria sebagaimana dulu aku merasa tak dicintai oleh Mas Gavrielle. Padahal, sikap suamiku itu hanyalah alibinya untuk menutupi perasaannya padaku. Sikap arrogannya dan ketidakjujurannya yang membawa malapetaka dalam rumah tangga kami.“Aku serius dengan ucapanku Angela. Aku hanya menjual rumah beserta barang-barannya tidak dengan keberadaan ART rumah ini?”Angele terbahak setelahnya.”Apa kalian begitu tidak suka padaku. Sampai-sampai kalian lebih memilih majikan yang baru. Begitu bukan Renata Baskoro?”Seluruh ART menatap Angela. Tak terkecuali Paman Mastumoto dan Bibi Fujima.“Angela, please.” Frederico menengahi. Ia mengambil serbet makan dan membersihkan mulutnya.Mas Gavrielle masih saja asyik makan. Ia justru mengambil dua potong daging rendang dan ia menyantap dengan santa