Mas Gavrielle memijat pundakku. Sebetulnya aku juga capek sekali. Tapi aku tau itu triknya supaya aku luluh dan mau memaafkan kejahilannya semalam. Mas Gavrielle mengambil sendok lalu mengambil satu sendok Sambal Krecek yang sedang kuaduk diatas wajan.“Mas, aku mau jual rumah ini.”“Uhukkkkkkk. Apa?”Sambel Krecek yang sudah masuk kemulut suamiku menyembur ke arahku. Beruntung aku memakai apron. Selamatlah pakaianku dari merahnya cabai dan minyak.“Kupikir kemarin kamu bercanda. Kamu serius Ren?”Buru-buru aku berlari mengambil tissue untuk membersihkan mulut suamiku. Kalau suamiku berucap tentu saja itu bukan ucapan di bibir. Kamuflase saja kemarin itu?“Kita kembalikan rumah ini pada pewarisnya. Kalau kita kemari lagi, kita bisa menempati rumah lain. Almarhum Kakek Kiyosi nggak bakal marah dengan keputusanmu.”Mas Gavrielle menimbang-nimbang ucapanku. Aku sendiri l
Aku tak perlu berbasa basi pada wanita arogan itu. Aku bisa memaklumi perasaannya sebagai wanita yang pernah tak diharapkan oleh pria sebagaimana dulu aku merasa tak dicintai oleh Mas Gavrielle. Padahal, sikap suamiku itu hanyalah alibinya untuk menutupi perasaannya padaku. Sikap arrogannya dan ketidakjujurannya yang membawa malapetaka dalam rumah tangga kami.“Aku serius dengan ucapanku Angela. Aku hanya menjual rumah beserta barang-barannya tidak dengan keberadaan ART rumah ini?”Angele terbahak setelahnya.”Apa kalian begitu tidak suka padaku. Sampai-sampai kalian lebih memilih majikan yang baru. Begitu bukan Renata Baskoro?”Seluruh ART menatap Angela. Tak terkecuali Paman Mastumoto dan Bibi Fujima.“Angela, please.” Frederico menengahi. Ia mengambil serbet makan dan membersihkan mulutnya.Mas Gavrielle masih saja asyik makan. Ia justru mengambil dua potong daging rendang dan ia menyantap dengan santa
Sepertinya Mas Gavrielle masih akan mengajakku kembali ke Sapporo. Di perjalanan menuju bandara, salju tidak lagi turun. Langit pagi ini begitu cerah. Mas Gavrielle mengabadikan momen kebersamaan terakhir kami di Sapporo lewat video. Aku harus bersiap-siap untuk dapat ledekan, hujatan, atau bahkan makian mungkin juga pujian saat pulang ke tanah air nantinya.Mas Gavrielle membuka pintu mobil untukku. ”Kita sampai di bandara Ren. Kita akan langsung pulang ke Jakarta.”“Nggak belok ke Male kan Mas?”Mas Gavrielle dengan entengnya menyentil hidungku.”Nggak lucu banget deh Mas. Kebiasaan deh. Awas saja kalau sampai keterusan di kantor waktu meeting.”Suamiku sudah kebal akan omelanku. Bukannya dia marah, tapi dia justru merangkul pundakku.“Jakarta, I’m home……..”Teriaknya di bandara tanpa malu. Ku ambil mantelku untuk menutupi wajahku. Ini suamiku kenapa exited sekali. Honeymoon kami tetap saja ricuh, aku harus menerima dengan legowo. Dimanapun aku berada aku harus membiasakan diri untu
“Harga saham jatuh karena rumor. Kamu nggak sadar efek perbuatanmu. Menyebar video waktu kamu di Sapporo?”Mama menepuk pundak papa. Lalu mama menyerahkan putraku pada Ratmi kembali.“Bawa cucuku ke dalam.” Perintah mama, setelahnya mama memijit pundak papa.“Pah kalau Gavrielle harus kehilangan kursi, it’s OK. Tapi orang harus tahu kalau Gavrielle sudah menikah. Renata bukan istri simpananku. Hanya keadaan saja yang belum memungkinkan.”Sanggah suamiku dengan nada bicara pelan. Kuakui ia memang sudah banyak berubah dari hari ke hari. Itu merupakan suatu anugerah yang aku syukuri.“Semalaman Gavrielle meeting dengan pemegang saham terbesar Dubai Corp yang baru. Paman Abdulloh ternyata sudah menjual seluruh sahamnya begitu juga Dito, Pah.”Mas Gavrielle mengambil teh yang sudah sempat kuseruput.“Jangan muter-muter bicaramu Vriel. Ngomong yang j
Banyak sisi lain kehidupan Larasati Baskoro yang belum ku ketahui. Selama ini yang ku tahu mama adalah putri seorang diplomat, papa seorang Filantrop CEO. Ternyata mama jago nembak? Aku nggak nyangka.“Mama nggak suka, Gavrielle gegabah. Pergi dengan mobil sport seperti itu mencolok banget. Apa nggak belajar dari kesalahannya kemarin gegabah menghadapi Matsuyama, nyawanya hampir hilang. Dasar bocah tengil. Papamu juga sama. Huffft.”Keluh Mama. Aku pikir mama bakalan mencak-mencak. Ternyata kekhawatirannya sangat beralasan, keselamatan suamiku.Suamiku membutuhkan dukungan dari keluarga untuk menopang hidup kami, begitu pula sebaliknya mama juga papa mertuaku. Joya memutuskan hidup di luar negeri dan suamiku yang ada di tanah air. Mas Gavrielle harus mengelola anak cabang perusahaan juga menjaga mama dan papa.“Mama ingin papamu totally pensiun, tapi sepertinya belum bisa. Gavrielle belum sepenuhnya bisa d
Mendengar ucapan putraku. Mama pun langsung meraih tubuh Arsen dan memangkunya.“Bilang E-yang Putri Cen-cen.” Perintah mama.Arsen sudah sedikit lancar bicara meskipun agak cadel.”E-yang U-ti.” Ucap Arsen. Mama jadi nguyel-uyel rambut Arsen. Ia mencium pipi gembul putraku berulang kali.“Sudahan kan cemburunya?”Papa dengan gaya sok coolnya mencomot Sosis Bakar yang baru di pesannya. Tumben papa mau nyicip makanan yang paling anti di konsumsinya. Apalagi mama mertuaku, tidak ada kamus junk food dalam daftar menu makanannya.“Kalau pengen bilang saja to Ma.” Kata Papa tanpa tedeng aling-aling.Papa mengambil satu tusuk Sosis Bakar dan mendekatkan pada mulut mama. Mama memegangi Arsen agar tidak jatuh. Mama menggigit Sosis jumbo yang terlihat menggiurkan itu.Wajah mama memerah. Aku dan Mas Gavrielle saling beradu pandang dan terbahak
“Bapak mau membayar tunai atau lewat kartu kredit Pak?” Tanya kasir. Wanita yang menggunakan seragam hitam putih itu bertanya dengan sopan.“Tolong ambil ponselku, Ren.”Kuambil ponsel Mas Gavrielle yang tadi di masukkan ke tasku. Arsen membuka mata lalu menangis keras. Mas Gavrielle menepuk-nepuk pantat putraku.“Bobok lagi, bobok lagi, Sen.”Arsen lama-lama tidur lagi setelah kepalanya di usap-usap oleh Mas Gavrielle. Mujarab sekali caranya menidurkan.“Sudah saya bayar ya Mbak, langsung ke rekening toko ini.”Mas Gavrielle memperlihatkan notifikasi pembayaran yang tertera di ponselnya.Seorang waitress membawakan pesanan kami ke counter. Tak lama salah satu bodyguard papa mengambil tumpukan cake itu. Ia lalu membawanya keluar toko.“Makasih lhoh Pak, saya bisa beliin cucu saya satu box Red Velvet.&rdqu
“Kok gitu sih Mas. Aku nggak mau orang lain ikut kebawa masalah dengan Matsuyama, kakek biang onar itu.”Mas Gavrielle menatapku cukup lama. Lalu ia menyentuh bulu mataku.“Ini bulu mata asli kan, Ren? Bukan bulu mata anti badai.”Aku sedang serius, masih saja ia bercanda. Aku beringsut masuk ke dalam kamar lagi. Mas Gavrielle mengikutiku.“Aku bukan mau kurang ajar Mas, apalagi meminta Mas selalu mendampingiku. Perasaanku ini was-was Mas. Aku khawatir sekali.”Mas Gavrielle justru pamer gigi sepagi ini. Aroma mouthwas yang segar membuat kedua tanganku reflek merangkum wajahnya.“Bagaimanapun hanya ada satu Gavrielle Baskoro yang tengil, aku nggak mau kehilangan kamu, Mas.”Mas Gavrielle mengambil sapu tangan dan membersihkan buliran air mataku.“Ya sudah, tapi kamu bicara baik-baik sama Sintia. Jangan lupa kasih sogokan biar nggak ngomel ke crew liput