Mendengar ucapan putraku. Mama pun langsung meraih tubuh Arsen dan memangkunya.
“Bilang E-yang Putri Cen-cen.” Perintah mama.
Arsen sudah sedikit lancar bicara meskipun agak cadel.”E-yang U-ti.” Ucap Arsen.
Mama jadi nguyel-uyel rambut Arsen. Ia mencium pipi gembul putraku berulang kali.
“Sudahan kan cemburunya?”
Papa dengan gaya sok coolnya mencomot Sosis Bakar yang baru di pesannya. Tumben papa mau nyicip makanan yang paling anti di konsumsinya. Apalagi mama mertuaku, tidak ada kamus junk food dalam daftar menu makanannya.
“Kalau pengen bilang saja to Ma.” Kata Papa tanpa tedeng aling-aling.
Papa mengambil satu tusuk Sosis Bakar dan mendekatkan pada mulut mama. Mama memegangi Arsen agar tidak jatuh. Mama menggigit Sosis jumbo yang terlihat menggiurkan itu.
Wajah mama memerah. Aku dan Mas Gavrielle saling beradu pandang dan terbahak
“Bapak mau membayar tunai atau lewat kartu kredit Pak?” Tanya kasir. Wanita yang menggunakan seragam hitam putih itu bertanya dengan sopan.“Tolong ambil ponselku, Ren.”Kuambil ponsel Mas Gavrielle yang tadi di masukkan ke tasku. Arsen membuka mata lalu menangis keras. Mas Gavrielle menepuk-nepuk pantat putraku.“Bobok lagi, bobok lagi, Sen.”Arsen lama-lama tidur lagi setelah kepalanya di usap-usap oleh Mas Gavrielle. Mujarab sekali caranya menidurkan.“Sudah saya bayar ya Mbak, langsung ke rekening toko ini.”Mas Gavrielle memperlihatkan notifikasi pembayaran yang tertera di ponselnya.Seorang waitress membawakan pesanan kami ke counter. Tak lama salah satu bodyguard papa mengambil tumpukan cake itu. Ia lalu membawanya keluar toko.“Makasih lhoh Pak, saya bisa beliin cucu saya satu box Red Velvet.&rdqu
“Kok gitu sih Mas. Aku nggak mau orang lain ikut kebawa masalah dengan Matsuyama, kakek biang onar itu.”Mas Gavrielle menatapku cukup lama. Lalu ia menyentuh bulu mataku.“Ini bulu mata asli kan, Ren? Bukan bulu mata anti badai.”Aku sedang serius, masih saja ia bercanda. Aku beringsut masuk ke dalam kamar lagi. Mas Gavrielle mengikutiku.“Aku bukan mau kurang ajar Mas, apalagi meminta Mas selalu mendampingiku. Perasaanku ini was-was Mas. Aku khawatir sekali.”Mas Gavrielle justru pamer gigi sepagi ini. Aroma mouthwas yang segar membuat kedua tanganku reflek merangkum wajahnya.“Bagaimanapun hanya ada satu Gavrielle Baskoro yang tengil, aku nggak mau kehilangan kamu, Mas.”Mas Gavrielle mengambil sapu tangan dan membersihkan buliran air mataku.“Ya sudah, tapi kamu bicara baik-baik sama Sintia. Jangan lupa kasih sogokan biar nggak ngomel ke crew liput
Kami segera berangkat ke kantor setelah Mas Gavrielle mengganti bajunya di warung. Beruntung masih ada satu stel kemeja yang bisa digunakan oleh suamiku.Tante Deasy sudah menunggu di kantor bersama Bu Mira. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana reaksi Tante Deasy kalau tahu suamiku yang akan menjadi aspriku. Tapi ini pilihan yang paling terbaik.Setelah sampai di lobi kantor, Tante Deasy menyapa kami. Bu Mira menemani Tante Deasy di lobi.“Kenapa nggak nunggu kami di atas, Tan?”Mas Gavrielle menjabat tangan Tante Deasy. Ternyata beasty mama mertuaku sebelas dua belas dengan mama mertuaku glowingnya. Kurasa meski aku lebih muda, aku kalah soal perawatan tubuh.“Ini Renata ya? Aduh mantunya Rara, cantik kayak emak mertuanya, Dah punya cucu dua lagi. Kapan aku punya mantu ya.” Keluh Tante Deasy.Mas Gavrielle mengendikkan bahunya. Aku jadi geli sendiri melihat kehebohan besty mama mertua
“Kalian ini kayak ABG aja. Buruan sudah di tunggu sama Neil.”Tante Deasy menarik tanganku, di perbaikinya make-up ku dan rambutku yang sedikit berantakan. Lima menit sebelum pintu digedor-gedor Mas Gavrielle curi-curi kesempatan untuk bermanja padaku. Aku memang kagum pada Neil sekaligus takut. Aku merasa fotografer itu bukan pria sembarangan. Di lihat dari penampilan sportynya begitu perlente. Mungkin kalau berdiri di samping suamiku, ia cocok kalau di anggap adik Mas Gavrielle. Mirip meskipun sepintas namun pastilah beda karakter.“Setelah sesi ini. Tante sekalian pamit. Suami Tante sudah nunggu di lobi.”Kami keluar lobi berurutan. Jantungku tidak bisa kompromi dan keringat dingin terus keluar dari telapak tanganku. Mas Gavrielle mengambil sapu tangan untuk membersihkan keringatku.“Rileks, Ren.”Kami duduk di bawah Pohon Beringin. Set yang sudah di tata apik, pemotretan perdanaku untuk
“Mas apa-apaan sih ini? Malu lhoh dilihat semua orang. Besok bakal trending di medsos.”Mas Gavrielle tidak peduli, ia berjalan dengan cepat tanpa melihat ke kanan kiri. Ia tetap tidak menurunkan aku sampai CEO room.Di meja kerjanya, Bu Mira dan John melihat kami. Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang sudah biasa kalau suamiku kerap kali bertingkah absurd, tapi ini menggendongku dari set lokasi pemotretan dan syuting sampai ruangan kerja.“Trending di medsos ya? Biar saja. Bukannya nama kita lebih cepat di kenal oleh publik. Siapa produk kita juga penjualannya nanti juga meroket.” Kilah Mas Gavrielle, ia menurunkanku di sofa lalu melepas sepatuku.“Huftttt. Kakimu bengkak lagi. Sadar nggak?”Mungkin saking jengkelnya aku saat proses pemotretan tadi, aku sampai tidak menyadari kalau kakiku bengkak lagi. Aku hanya berpikir supaya pemotretan cepat selesai dan aku bisa segera pergi.“Permisi Tuan, di luar ada Mr. Matsuyama ingin bertemu.” John meletakkan beberapa berkas di meja k
“Tan-te?” Ucap suamiku dengan gelagapan.Mas Gavrielle menjauhkan wajahnya dari pipiku. Kami tertangkap basah saat Mas Gavrielle menciumku padahal mulutku berisi makanan dan di bibirnya belepotan dengan sedikit keju dan saos.Kenapa John tidak ngasih tahu kalau Tante Deasy mau naik. Kami jadi melupakan keberadaannya karena terlalu tegang menghadapi kedatangan Matsuyama.“Lihat bibirmu seperti apa? Pipi Renata penuh saos, Vriel. Tahu tempat deh!"Mas Gavrielle buru-buru mengambil ponsel. Ia mengaktifkan kamera untuk berkaca. Wajahnya tertunduk. Setelahnya suamiku meraih tisu lalu membersihkan bibirnya dan pipi kananku. Mau di taruh dimana wajahku?Tante Deasy sudah duduk di depan kami bersama Om Shane.“Ma, udah dong. Namanya juga masih muda. Kayak Mama nggak kayak gitu dulu.” Bela Om Shane.Tante Deasy melirik Om Shane dengan sinis. Sudah ngomel lalu di jatuhkan, betul-betul nggak enak pastinya. Tante Dea
“Ra, aku sudah jelasin to? Aku nggak ada niat bohongin kamu.”Tante Deasy tetap saja ngotot.Kami semua hanya jadi penonton adu mulut diantara keduanya. Terlebih Om Shane justru sibuk dengan ponselnya.“Apa sih susahnya tinggal telfon saja.”Tante Deasy sampai menitikkan air mata.”Ra, demi Tuhan deh, kamu nggak tau. Anakku pernah hampir jadi korban sindikat perdagangan orang.”Setelah ucapan Tante Deasy itu, mama langsung diam.“Kamu sendiri pernah ngerasin harus struggle sejak lama. Aku hanya punya dua anak perempuan, Ra.”“Sudah, Ma. Udah dong.” Bujuk Om Shane.Tante Deasy justru menepis tangan Om Shane yang berusaha merengkuhnya.“Udah apanya. Diem Pa. Biar pada tahu, kalau selama ini bukan kita yang sombong tapi keadaan kita nggak memungkinkan buat umbar cerita ke publik.”“Renata permisi dulu Ma, Pa. Tante.”Kuambil Arsen dari pangkuan mama dan putraku menurut saja. Aku nggak menyangka, ternyata di balik sikap ceria dan suka nyerocos Tante Deasy tersimpan cerita pahit juga. Aku n
“Mas tambah ngelantur saja, apa yang sudah Mas sembunyikan dariku. Tadi nyebut Matsuyama dengan panggilan Kek, setelahnya kenapa bawa-bawa adikku.”Mas Gavrielle menghindar, kami sangat jarang bertengkar. Hanya berselisih paham saja, bagiku itu wajar. Tapi tidak seperti malam ini. Harus dengan cara apa aku membujuknya supaya hatinya luluh.“Aku harus apa supaya Mas Gavrielle nggak marah lagi?”Ku lepas kimonoku. Aku masuk ke dalam selimut. Tumben sekali suamiku menurunkan suhu AC. Ia tidur memunggungiku, itu membuatku merasa bersalah. Rasanya sangat menyesakkan dada.“Kalau kamu masih marah lebih baik aku tidur di kamar anak-anak Mas.”Aku paling tidak tahan untuk di cuekin atau di diamkan olehnya. Kupakai kembali kimonoku, saat kakiku hendak turun dari ranjang, Mas Gavrielle menarik tanganku sampai aku jatuh diatas tubuhnya.“Sulit sekali memenangkan hatimu Ren. Berdarah-darah un