“Kalian ini kayak ABG aja. Buruan sudah di tunggu sama Neil.”
Tante Deasy menarik tanganku, di perbaikinya make-up ku dan rambutku yang sedikit berantakan. Lima menit sebelum pintu digedor-gedor Mas Gavrielle curi-curi kesempatan untuk bermanja padaku. Aku memang kagum pada Neil sekaligus takut. Aku merasa fotografer itu bukan pria sembarangan. Di lihat dari penampilan sportynya begitu perlente. Mungkin kalau berdiri di samping suamiku, ia cocok kalau di anggap adik Mas Gavrielle. Mirip meskipun sepintas namun pastilah beda karakter.
“Setelah sesi ini. Tante sekalian pamit. Suami Tante sudah nunggu di lobi.”
Kami keluar lobi berurutan. Jantungku tidak bisa kompromi dan keringat dingin terus keluar dari telapak tanganku. Mas Gavrielle mengambil sapu tangan untuk membersihkan keringatku.
“Rileks, Ren.”
Kami duduk di bawah Pohon Beringin. Set yang sudah di tata apik, pemotretan perdanaku untuk
“Mas apa-apaan sih ini? Malu lhoh dilihat semua orang. Besok bakal trending di medsos.”Mas Gavrielle tidak peduli, ia berjalan dengan cepat tanpa melihat ke kanan kiri. Ia tetap tidak menurunkan aku sampai CEO room.Di meja kerjanya, Bu Mira dan John melihat kami. Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang sudah biasa kalau suamiku kerap kali bertingkah absurd, tapi ini menggendongku dari set lokasi pemotretan dan syuting sampai ruangan kerja.“Trending di medsos ya? Biar saja. Bukannya nama kita lebih cepat di kenal oleh publik. Siapa produk kita juga penjualannya nanti juga meroket.” Kilah Mas Gavrielle, ia menurunkanku di sofa lalu melepas sepatuku.“Huftttt. Kakimu bengkak lagi. Sadar nggak?”Mungkin saking jengkelnya aku saat proses pemotretan tadi, aku sampai tidak menyadari kalau kakiku bengkak lagi. Aku hanya berpikir supaya pemotretan cepat selesai dan aku bisa segera pergi.“Permisi Tuan, di luar ada Mr. Matsuyama ingin bertemu.” John meletakkan beberapa berkas di meja k
“Tan-te?” Ucap suamiku dengan gelagapan.Mas Gavrielle menjauhkan wajahnya dari pipiku. Kami tertangkap basah saat Mas Gavrielle menciumku padahal mulutku berisi makanan dan di bibirnya belepotan dengan sedikit keju dan saos.Kenapa John tidak ngasih tahu kalau Tante Deasy mau naik. Kami jadi melupakan keberadaannya karena terlalu tegang menghadapi kedatangan Matsuyama.“Lihat bibirmu seperti apa? Pipi Renata penuh saos, Vriel. Tahu tempat deh!"Mas Gavrielle buru-buru mengambil ponsel. Ia mengaktifkan kamera untuk berkaca. Wajahnya tertunduk. Setelahnya suamiku meraih tisu lalu membersihkan bibirnya dan pipi kananku. Mau di taruh dimana wajahku?Tante Deasy sudah duduk di depan kami bersama Om Shane.“Ma, udah dong. Namanya juga masih muda. Kayak Mama nggak kayak gitu dulu.” Bela Om Shane.Tante Deasy melirik Om Shane dengan sinis. Sudah ngomel lalu di jatuhkan, betul-betul nggak enak pastinya. Tante Dea
“Ra, aku sudah jelasin to? Aku nggak ada niat bohongin kamu.”Tante Deasy tetap saja ngotot.Kami semua hanya jadi penonton adu mulut diantara keduanya. Terlebih Om Shane justru sibuk dengan ponselnya.“Apa sih susahnya tinggal telfon saja.”Tante Deasy sampai menitikkan air mata.”Ra, demi Tuhan deh, kamu nggak tau. Anakku pernah hampir jadi korban sindikat perdagangan orang.”Setelah ucapan Tante Deasy itu, mama langsung diam.“Kamu sendiri pernah ngerasin harus struggle sejak lama. Aku hanya punya dua anak perempuan, Ra.”“Sudah, Ma. Udah dong.” Bujuk Om Shane.Tante Deasy justru menepis tangan Om Shane yang berusaha merengkuhnya.“Udah apanya. Diem Pa. Biar pada tahu, kalau selama ini bukan kita yang sombong tapi keadaan kita nggak memungkinkan buat umbar cerita ke publik.”“Renata permisi dulu Ma, Pa. Tante.”Kuambil Arsen dari pangkuan mama dan putraku menurut saja. Aku nggak menyangka, ternyata di balik sikap ceria dan suka nyerocos Tante Deasy tersimpan cerita pahit juga. Aku n
“Mas tambah ngelantur saja, apa yang sudah Mas sembunyikan dariku. Tadi nyebut Matsuyama dengan panggilan Kek, setelahnya kenapa bawa-bawa adikku.”Mas Gavrielle menghindar, kami sangat jarang bertengkar. Hanya berselisih paham saja, bagiku itu wajar. Tapi tidak seperti malam ini. Harus dengan cara apa aku membujuknya supaya hatinya luluh.“Aku harus apa supaya Mas Gavrielle nggak marah lagi?”Ku lepas kimonoku. Aku masuk ke dalam selimut. Tumben sekali suamiku menurunkan suhu AC. Ia tidur memunggungiku, itu membuatku merasa bersalah. Rasanya sangat menyesakkan dada.“Kalau kamu masih marah lebih baik aku tidur di kamar anak-anak Mas.”Aku paling tidak tahan untuk di cuekin atau di diamkan olehnya. Kupakai kembali kimonoku, saat kakiku hendak turun dari ranjang, Mas Gavrielle menarik tanganku sampai aku jatuh diatas tubuhnya.“Sulit sekali memenangkan hatimu Ren. Berdarah-darah un
Anak-anakku terdiam mendengar permintaan papanya. Mereka hanya mengangguk. Mas Gavrielle mencium pipi gembul mereka.“Take care, Ren. Nanti aku jemput setelah selesai meeting.”Aku iyakan permintaan Mas Gavrielle. Hari ini aku ingin ada waktu bersama anak-anakku. Masa pertumbuhan mereka takkan terulang kembali. Aku bersyukur meski sempat terpisah dengan Mas Gavrielle kami bisa bertemu dan hidup bersama kembali.Tak jarang ada keluarga yang kandas bahkan bercerai karena terpaan cobaan hidup. Aku tak mengharapkan hal itu terjadi. Meskipun badai masalah menerpa kami, aku dan suamiku masih bertahan sampai hari ini. Itu semua adalah berkah Sang Pencipta.Mas Gavrielle meraih tangan kananku dan mencium punggung tanganku. Ia selalu menatapku dengan tatapan hangat dan memuja. Laksana padang gersang yang di siram oleh air hujan, hatiku menghangat karenanya.“Kita makan bareng nanti. Tunggu Papa nanti. Papa usahakan
“Apa maksud kalian Nak?”“Ratmi, Mia?” Kedua baby sitter anakku masih bungkam.Pelan-pelan ku dekati keduanya.“Bu Renata.” Mia terisak, berlinang air mata. Ratmi terlihat sedikit lebih kuat daripada Mia. Ia mengusap kepala Mia.Anak-anakku yang bermain Puzzle lama-lama mendekati kami bertiga. Akhirnya kami bertiga saling berpelukan. Anak-anakku melihat kami dan keduanya pun ikutan tantrum.“Mama kenapa nangis, Ma. Katanya opa kita lagi main drama kayak di film-film di internet, Ma. Ini seru banget.” Kata Arsen.Sungguh aku tak menyangka, kalau kakek tak berperasaan itu akan memberikan alasan logis di luar apa yang ku prediksi. Bagaimana aku mengatakan kebenaran ini pada keduanya, bisa-bisa anakku tambah tantrum ke depannya. Mereka akan selalu mengingat kalau mereka pernah mengalami penculikan.“Maaf Mia, Ratmi. Kami nggak bermaksud membawa kalian ke dalam masalah kami.”Ratmi masih berusaha mengibur Mia. Sejak mereka lepas dari majikan mereka yang kasar dan bekerja padaku, tentunya m
Gavrielle’s PovFirasatku pagi itu ternyata benar, pelukan terakhirku untuk Renata juga kedua anak-anakku. Sesaat sebelum kejadian naas itu, aku dan Mia masih berkirim pesan. Bahkan tak ada yang tahu kalau aku menjadikan Mia sebagai mata-mata untuk menjaga Renata.Aku tak ada niat buruk untuk hal itu, tapi mengingat banyak kejadian buruk yang menimpaku juga Renata, aku melakukan antisipasi. Bahkan sebelum penculik itu menyerbu mobil, Mia masih mengirimkan video juga foto terakhir keadaan anak-anakku. Ia selalu berdalih membuat foto untuk kenang-kenangan padahal semua itu ia kirimkan padaku.Sudah hampir satu minggu, aku belum bisa terbang untuk mencari Renata juga anak-anakku. Ada lima nyawa yang harus kuselamatkan. Aku tak bisa memilih. Semuanya harus ku selamatkan.“Gavrielle.” Om Shane menepuk pundakku dari belakang. Papa langsung datang setelah meeting penting di Surabaya.Mama duduk di ruang tamu di tem
“Saya tahu Eyang ingin menyelamatkan Renata. Tapi masalahnya Yang, nggak hanya Renata saja tapi juga baby sitter Arsen dan Ancel di tawan mereka juga.”Eyang Kinarsih tetap teguh dengan pendiriannya. Ia berjalan meninggalkan kami berdua.Papa naik ke atas untuk berpamitan pada mama. Tentu saja, ia juga harus bicara empat mata dengan Om Shane juga Tante Deasy. Berkat kenalan Om Shane, akhirnya kami temukan juga kalau salah satu security di rumah di manfaatkan oleh orang Matsuyama. Ia di minta oleh orang kepercayaan Matsuyama untuk membawa minuman yang sudah di beri obat tidur. Ia sendiri tidak tahu kalau minuman itu diberi obat tidur. Security itu juga pingsan setelah di pukul di tengkuknya.“Tunggu papa sebentar, Eyang.”Ku minta Eyang Renata menunggu. Entah apa yang beliau khawatirkan sehingga ia buru-buru ingin segera datang ke rumah Matsuyama.Papa datang bersama Om Shane. Aku nggak menyangka kalau Om Shane akan ikut. Sebagai pengacara kelas elite dan memiliki firma hukum ternama d