“Harga saham jatuh karena rumor. Kamu nggak sadar efek perbuatanmu. Menyebar video waktu kamu di Sapporo?”Mama menepuk pundak papa. Lalu mama menyerahkan putraku pada Ratmi kembali.“Bawa cucuku ke dalam.” Perintah mama, setelahnya mama memijit pundak papa.“Pah kalau Gavrielle harus kehilangan kursi, it’s OK. Tapi orang harus tahu kalau Gavrielle sudah menikah. Renata bukan istri simpananku. Hanya keadaan saja yang belum memungkinkan.”Sanggah suamiku dengan nada bicara pelan. Kuakui ia memang sudah banyak berubah dari hari ke hari. Itu merupakan suatu anugerah yang aku syukuri.“Semalaman Gavrielle meeting dengan pemegang saham terbesar Dubai Corp yang baru. Paman Abdulloh ternyata sudah menjual seluruh sahamnya begitu juga Dito, Pah.”Mas Gavrielle mengambil teh yang sudah sempat kuseruput.“Jangan muter-muter bicaramu Vriel. Ngomong yang j
Banyak sisi lain kehidupan Larasati Baskoro yang belum ku ketahui. Selama ini yang ku tahu mama adalah putri seorang diplomat, papa seorang Filantrop CEO. Ternyata mama jago nembak? Aku nggak nyangka.“Mama nggak suka, Gavrielle gegabah. Pergi dengan mobil sport seperti itu mencolok banget. Apa nggak belajar dari kesalahannya kemarin gegabah menghadapi Matsuyama, nyawanya hampir hilang. Dasar bocah tengil. Papamu juga sama. Huffft.”Keluh Mama. Aku pikir mama bakalan mencak-mencak. Ternyata kekhawatirannya sangat beralasan, keselamatan suamiku.Suamiku membutuhkan dukungan dari keluarga untuk menopang hidup kami, begitu pula sebaliknya mama juga papa mertuaku. Joya memutuskan hidup di luar negeri dan suamiku yang ada di tanah air. Mas Gavrielle harus mengelola anak cabang perusahaan juga menjaga mama dan papa.“Mama ingin papamu totally pensiun, tapi sepertinya belum bisa. Gavrielle belum sepenuhnya bisa d
Mendengar ucapan putraku. Mama pun langsung meraih tubuh Arsen dan memangkunya.“Bilang E-yang Putri Cen-cen.” Perintah mama.Arsen sudah sedikit lancar bicara meskipun agak cadel.”E-yang U-ti.” Ucap Arsen. Mama jadi nguyel-uyel rambut Arsen. Ia mencium pipi gembul putraku berulang kali.“Sudahan kan cemburunya?”Papa dengan gaya sok coolnya mencomot Sosis Bakar yang baru di pesannya. Tumben papa mau nyicip makanan yang paling anti di konsumsinya. Apalagi mama mertuaku, tidak ada kamus junk food dalam daftar menu makanannya.“Kalau pengen bilang saja to Ma.” Kata Papa tanpa tedeng aling-aling.Papa mengambil satu tusuk Sosis Bakar dan mendekatkan pada mulut mama. Mama memegangi Arsen agar tidak jatuh. Mama menggigit Sosis jumbo yang terlihat menggiurkan itu.Wajah mama memerah. Aku dan Mas Gavrielle saling beradu pandang dan terbahak
“Bapak mau membayar tunai atau lewat kartu kredit Pak?” Tanya kasir. Wanita yang menggunakan seragam hitam putih itu bertanya dengan sopan.“Tolong ambil ponselku, Ren.”Kuambil ponsel Mas Gavrielle yang tadi di masukkan ke tasku. Arsen membuka mata lalu menangis keras. Mas Gavrielle menepuk-nepuk pantat putraku.“Bobok lagi, bobok lagi, Sen.”Arsen lama-lama tidur lagi setelah kepalanya di usap-usap oleh Mas Gavrielle. Mujarab sekali caranya menidurkan.“Sudah saya bayar ya Mbak, langsung ke rekening toko ini.”Mas Gavrielle memperlihatkan notifikasi pembayaran yang tertera di ponselnya.Seorang waitress membawakan pesanan kami ke counter. Tak lama salah satu bodyguard papa mengambil tumpukan cake itu. Ia lalu membawanya keluar toko.“Makasih lhoh Pak, saya bisa beliin cucu saya satu box Red Velvet.&rdqu
“Kok gitu sih Mas. Aku nggak mau orang lain ikut kebawa masalah dengan Matsuyama, kakek biang onar itu.”Mas Gavrielle menatapku cukup lama. Lalu ia menyentuh bulu mataku.“Ini bulu mata asli kan, Ren? Bukan bulu mata anti badai.”Aku sedang serius, masih saja ia bercanda. Aku beringsut masuk ke dalam kamar lagi. Mas Gavrielle mengikutiku.“Aku bukan mau kurang ajar Mas, apalagi meminta Mas selalu mendampingiku. Perasaanku ini was-was Mas. Aku khawatir sekali.”Mas Gavrielle justru pamer gigi sepagi ini. Aroma mouthwas yang segar membuat kedua tanganku reflek merangkum wajahnya.“Bagaimanapun hanya ada satu Gavrielle Baskoro yang tengil, aku nggak mau kehilangan kamu, Mas.”Mas Gavrielle mengambil sapu tangan dan membersihkan buliran air mataku.“Ya sudah, tapi kamu bicara baik-baik sama Sintia. Jangan lupa kasih sogokan biar nggak ngomel ke crew liput
Kami segera berangkat ke kantor setelah Mas Gavrielle mengganti bajunya di warung. Beruntung masih ada satu stel kemeja yang bisa digunakan oleh suamiku.Tante Deasy sudah menunggu di kantor bersama Bu Mira. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana reaksi Tante Deasy kalau tahu suamiku yang akan menjadi aspriku. Tapi ini pilihan yang paling terbaik.Setelah sampai di lobi kantor, Tante Deasy menyapa kami. Bu Mira menemani Tante Deasy di lobi.“Kenapa nggak nunggu kami di atas, Tan?”Mas Gavrielle menjabat tangan Tante Deasy. Ternyata beasty mama mertuaku sebelas dua belas dengan mama mertuaku glowingnya. Kurasa meski aku lebih muda, aku kalah soal perawatan tubuh.“Ini Renata ya? Aduh mantunya Rara, cantik kayak emak mertuanya, Dah punya cucu dua lagi. Kapan aku punya mantu ya.” Keluh Tante Deasy.Mas Gavrielle mengendikkan bahunya. Aku jadi geli sendiri melihat kehebohan besty mama mertua
“Kalian ini kayak ABG aja. Buruan sudah di tunggu sama Neil.”Tante Deasy menarik tanganku, di perbaikinya make-up ku dan rambutku yang sedikit berantakan. Lima menit sebelum pintu digedor-gedor Mas Gavrielle curi-curi kesempatan untuk bermanja padaku. Aku memang kagum pada Neil sekaligus takut. Aku merasa fotografer itu bukan pria sembarangan. Di lihat dari penampilan sportynya begitu perlente. Mungkin kalau berdiri di samping suamiku, ia cocok kalau di anggap adik Mas Gavrielle. Mirip meskipun sepintas namun pastilah beda karakter.“Setelah sesi ini. Tante sekalian pamit. Suami Tante sudah nunggu di lobi.”Kami keluar lobi berurutan. Jantungku tidak bisa kompromi dan keringat dingin terus keluar dari telapak tanganku. Mas Gavrielle mengambil sapu tangan untuk membersihkan keringatku.“Rileks, Ren.”Kami duduk di bawah Pohon Beringin. Set yang sudah di tata apik, pemotretan perdanaku untuk
“Mas apa-apaan sih ini? Malu lhoh dilihat semua orang. Besok bakal trending di medsos.”Mas Gavrielle tidak peduli, ia berjalan dengan cepat tanpa melihat ke kanan kiri. Ia tetap tidak menurunkan aku sampai CEO room.Di meja kerjanya, Bu Mira dan John melihat kami. Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang sudah biasa kalau suamiku kerap kali bertingkah absurd, tapi ini menggendongku dari set lokasi pemotretan dan syuting sampai ruangan kerja.“Trending di medsos ya? Biar saja. Bukannya nama kita lebih cepat di kenal oleh publik. Siapa produk kita juga penjualannya nanti juga meroket.” Kilah Mas Gavrielle, ia menurunkanku di sofa lalu melepas sepatuku.“Huftttt. Kakimu bengkak lagi. Sadar nggak?”Mungkin saking jengkelnya aku saat proses pemotretan tadi, aku sampai tidak menyadari kalau kakiku bengkak lagi. Aku hanya berpikir supaya pemotretan cepat selesai dan aku bisa segera pergi.“Permisi Tuan, di luar ada Mr. Matsuyama ingin bertemu.” John meletakkan beberapa berkas di meja k