“Terus terang saja, Mas Gavrielle bohong lagi? Mas bisa jalan? Terserah Mas Gavrielle mau apa!”Aku sangat muak dengan basa basi ini. Memang sudah mandarah daging barangkali. Suamiku hobi membuatku senam jantung. Mas Gavrielle mengambil sebuah map dengan langkah pelan dan sedikit kesakitan. Ia memegang map itu dan menyodorkan padaku.“See.” Kuraih map itu. Kedai R & G Cabang Bogor? Aku nggak berekspektasi banyak tentang hal ini. Spechless? No, suamiku sering menyembunyikan banyak hal dan aku sangat kurang suka dengan ketidakterus terangannya.“Aku mau pulang Mas, anak-anak kelamaan sama Eyang.”Mas Gavrielle mengungkung tubuhku. Meskipun sakit nyatanya tenaganya cukup besar. Mau ku injak kakinya, aku takut nanti malah jatuh.“Lepasin, aku mau pulang.”“Kalau begitu kita pulang sekarang, Ren.”“Pulang saja sendiri.” Ku sikut lengannya sampai akhirnya suamiku lengah dan aku bisa menghindar dari tubuhnya.Mas Gavrielle mengambil remote sensor akhirnya pintu terbuka. Di luar para bodygua
“Aku nggak bisa hidup tanpa kamu Ren.” Kemeja suamiku basah jadinya. Peduli amat kalau hidungku memerah dan mataku bengkak. Salah siapa juga bikin mewek.“Aku nggak ingin digombali.” Protesku. Masih saja ngeles dan gombal suamiku. Kutunggu ia tertawa tapi ternyata nggak ada candaan garing darinya.Akhirnya aku menengadah melihat wajahnya. Kulihat mata suamiku memerah.“Kalau kamu tahu banyak hal, kamu kadang ceroboh Ren. Kamu pikir aku nggak lihat waktu kamu menyelinap mengambil glock dan menyelipkan ke rokmu?”Mas Gavrielle menghapus air mataku.“Aku nggak mau kehilangan kamu. Waktu kamu kecelakaan di Singapura, aku mengunjungimu waktu kamu koma.”Memang betul Mas Gavrielle belum bercerita saat aku koma juga masa-masa buruk itu. Yang kami bicarakan masalah Meira juga Dito dan keluarga Baskoro setelah kepergianku.“Aku bisa jalan, hanya saja masih ngilu sekali.
Serpihan kaca berserakan. Kuambil sandal rumah dan aku turun dari ranjang. Saat aku keluar dari kamar. Kulihat Mas Gavrielle sedang ceramah panjang lebar pada empat bodyguard. Bodyguard papa sesekali mengangguk. Kupikir suamiku marah-marah. Tidak tahunya mereka sedang ngobrol.“Ada yang kulewatkan?”“Kami permisi, Tuan.”Seketika pasukan bodyguard papa bubar semua. Satu diantara mereka ada yang menggaruk kepalanya, ada yang berjalan sambil meminum softdrink dan ada yang sedang menggigit roti sembari berjalan.“Kita pulang sekarang Ren!”“Ta-pi kamarnya Mas. Apa nggak nunggu tukang renov dulu. Ada maling atau ada penyusup sih Mas. Aku khawatir banget.”Kupikir aku akan diberi kesempatan berkemas ternyata tidak sama sekali. Tidak tahunya tanganku di genggam erat. Dua koper sudah ada di depan. Ada Mang Ujang dan juga isterinya.“Punten
Perjalanan kami menuju rumah terbilang sangat lancar. Karena kegaduhan yang diakibatkan oleh keponakan Mang Ujang otomatis kami melewatkan sarapan pagi."Crucuk crucuk crucuk."Suara dari perut Mas Gavrielle sangat nyaring. Ia menoleh ke arahku.“Ke tempatnya Mbah Mo, yuk Ren.” Tiba-tiba saja suamiku putar balik ke arah jalan menuju warung Mbah Mo.Sampai di dekat warung kulihat banyak sekali mobil berjejer. Warung memang selalu laris. Dari pejabat, pegawai banyak yang singgah untuk sarapan. Nggak kaget kan mobil mentereng merk apapun ada di areal parkir. Tapi pagi ini banyak sekali. Sungguh mengejutkan.Perasaanku semakin tak karuan saat melihat ternyata satu persatu mobil justru keluar dari areal parkiran.“Mas?” Tanyaku. Mas Gavrielle menggendikkan bahunya.“I don’t know. Ayo kita masuk.” Mas Gavrielle memarkirkan mobil agak jauh dari warung.Sadar dengan keada
Jalan menuju rumah dari jarak 100 m terlihat jelas begitu juga pos security. Halaman depan hari ini di penuhi oleh beberapa mobil. Mas Gavrielle terlihat lelah. Satu mobil bodyguard masih setia berada di belakang mobil yang di kemudikan suamiku.Tiba di depan pos, security membuka pintu dan mobil kami melaju dengan pelan, berhenti tepat di depan pintu depan rumah.“Vriel.” Sapa papa.Papa terlihat sumringah begitupula mama mertuaku. Mereka menggendong anak-anakku. Sementara itu, eyang putri sedang duduk menyeruput teh.Aku rindu sekali dengan anak-anakku. Kembali ke Jakarta berarti kembali dengan realita dan dunia nyata.“Wellcome back Nyonya Renata Baskoro.” Ucap Mas Gavrielle seraya meraih tanganku lalu mengecupnya perlahan.Mama mertuaku mengekor kami. Ia meletakkan Ansel di stroller. “Ren, maaf Mama lancang. Tapi dokter Pambudi telfon. Katany
Eyang diam tak berkutik. Lalu beliau justru meninggalkan kamarku dengan berlinang air mata. Eyang berpapasan dengan Mas Gavriel saat suamiku hendak masuk ke kamar.“Ren ada apa? Kenapa Eyang sampai menangis begitu. Kamu cerita masalah Mang Ujang ya?”Mas Gavrielle menyodorkan tangannya, lalu kubantu dia melepas jasnya. Setelahnya ia duduk dan melepas sepatunya.“Mas Aku dicecar sama eyang tentang asal Dara Bacem Bakar itu. Kalau Eyang nggak pakai acara menangis aku nggak akan penasaran banget. Tapi eyang menyentakku. Mas tahu sendiri, eyang jarang kasar to?”Mas Gavrielle beranjak ke kamar mandi. Kudengar bunyi suara shower beberapa waktu. Ku ambil Anselia lalu kugendong. Pintu kamar penghubung dengan ruang tengah terbuka, artinya Arsen ada di dalam. Benar ternyata ada Mia dan Ratmi di dalam.“Den Arsen sudah tidur, kami permisi dulu ya Nyah. Asi dan stok makanan buat si kembar
Mataku membelalak waktu kudekati kedua sosok yang sedang beradu mulut itu. Mas Badrun berusaha melerai keduanya, bahkan dua orang pegawai warung berusaha memegang tubuh eyang dan sosok wanita yang belum kulihat wajahnya itu.Semakin menggelegar suaranya, semakin ku yakin kalau itu suara istri Mbah Mo. Beliau seumuran dengan eyang putri atau mungkin terpaut beberapa tahun lebih tua.“Eyang.”Keduanya menoleh, begitu juga Mas Badrun dan para karyawan kedai. Apa keduanya tidak malu jadi bahan tontonan pengunjung kedai. Yang pasti masih suasana berduka, tapi kenapa eyangku juga istri Mbah Mo nggak punya empati sama sekali untuk hal ini.“Kinarsih, berani kamu menginjakkan kaki di tanah ini!” Hardik isteri Mbah Mo sambil menuding ke arah wajah eyang.Eyang tak tinggal diam, ia balik mendorong tubuh istri Mbah Mo.“Badrun kenapa kamu diam saja. Harusnya kamu bawa nenek tua ini keluar dari warung in
Eyang Kinarsih meninggalkan kami. Ia masuk ke mobil lalu mobil Papa Syaron meninggalkan halaman parkir Warung Mbah Mo.“Ini sudah malam Ren. Sebaiknya kita pulang.” Ajak Mas Gavrielle. Ia meraih tanganku.“Mas apa sedemikian buruk Riwayat keluargaku?” Pertanyaanku membuatnya menoleh. Ia membuka pintu mobil untukku.“Kita bahas lain kali Ren. Hari yang melelahkan.” Kata suamiku sembari meraih kepalaku dengan tangan kirinya. Kami meninggalkan warung.Pengunjung masih ramai. Meski begitu aku tidak ingin berlama-lama untuk tinggal di warung. Aku ingin tahu dimana benang merah antara kepemilikan tanah eyangku, warung yang dialihnamakan kepadaku dan juga sikap eyangku yang sangat misterius terkait keberadaan eyang kakungku.“Mas dulu kita punya kenangan yang indah di warung ini. Sekarang justru jadi milik kita.” Mas Gavrielle tak menggubrisku. Ia menyetir dengan kecepatan sedang sampai akhirny