"Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar.
Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu.
“Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol.
"Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja."
Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan."
Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya.
"Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni apa yang telah menjadi ketetapanmu. Jalan yang telah engkau gariskan. Saya hanya minta kesabaran dan kekuatan iman untuk menjalaninya."
Malika mengakhiri keluh kesahnya dengan doa "Laa haula walaaquwwata illaa billah... Tiada daya dan kekuatan selain dari Allah. Aamiin."
Malika menghembuskan nafas panjang. Perasaannya berangsur tenang. "Kalo gitu aku mandi dulu aja. Nurunin hawa panas di kepala," Malika menaruh ponselnya di atas meja, lantas bergegas ke kamar mandi.
Di daerah berhawa dingin ini Malika memilih mandi tengah hari. Jam 11 siang atau satu jam sebelum tiba waktu dhuhur. Sekalian wudhu untuk melaksanakan salat Dhuha, dilanjut dengan salat Dhuhur.
Meskipun shower listrik untuk menghangatkan air, Malika lebih memilih mandi dengan air dingin. Disamping lebih segar, air dingin juga baik untuk kesehatan.
Baru saja Malika menuang sampo pada kepalanya, terdengar bunyi ring tone lagu Dahlia Hitam dari ponselnya. “Pasti Mario. Sabaarr. Sabaaarrr…!”
Gebyur. Gebyur. Malika mengguyur tubuhnya dengan tergesa. Tidak perlu terlalu bersih. Handuk dililitkan ala kadar ke tubuhnya, kemudian melesat keluar kamar mandi.
Malika langsung menyambar ponsel dan melihat history panggilan. Seketika binar mata Malika meredup. Ah, bukan Mario. “Nomor baru. Siapa yaa?”
Daripada penasaran, Malika langsung menelpon balik nomor tersebut. Meski sudah tiga kali dipanggil, tapi belum tersambung juga.
Sebelum menaruh kembali ponselnya ke meja lagi, Malika melihat ke profil Mario. Tetap seperti tadi. Chatnya yang dikirim masih centang satu.
Dengan menahan kecewa Malika masuk kamar. Tiba di kamar, Malika tidak segera mengambil baju ganti. Ia justru berdiri di depan cermin, mematut tubuhnya. Hal yang jarang dilakukan. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai.
Sesekali Malika berputar melihat bodi bagian samping dan belakang sembari mengeringkan rambut sebahunya dengan handuk yang lebih kecil.
Yakin deh, semua wanita pasti hobi melakukan ini.
Tubuhnya hanya dililit handuk setinggi lutut. Tubuh sintal berbalut kulit kuning sawo matang. Masih singset, halus dan bersinar. Alami tanpa sutik botox atau pemutih.
Buah dadanya masih montok meskipun telah menyusui 2 orang anak. Tentu saja ada perubahan seiring bertambahnya usia. Namun tidak terlalu kentara.
“Eemm… nggak kalah sama yang usia tiga puluh tahunan,” Malika tersenyum puas.***“IIiihh… Mbak Darsih, segitunya lihat aku,” seru Malika risih.
Lewat pantulan cermin di kamarnya, Malika bisa melihat Darsih tak berkedip memperhatikannya.Wanita yang sudah 5 tahun bekerja di rumah Malika menyandarkan punggung pada daun pintu yang sedikit terbuka.
Dari mulai Malika memakai be-ha, celana dalam hingga memakai gamis biru laut yang baru dibawakan Darsih. Tentu saja masih dalam balutan handuk.
Setelah tubuhnya tertutup sempurna oleh gamis, barulah ia melepaskan handuk lewat bawah.
“Nanti ngiler lho, Mbak,” cetus Malika lagi sambil mengaitkan kancing depan gamisnya.Darsih tertawa penuh arti. "Tidaklah Bu, saya masih normal kok. Penggemar pisang juga... seperti ibu he he..."
"Ha ha ha... mbak Sih, sore-sore gini bikin bulu kuduk merinding," Malika mengerling manis. "Mana Pak Suami lagi dapat proyek di luar kota."
Darsih ikut tertawa.
Kedatangannya ke kamar Malika untuk membawakan gamis yang baru disetrikanya. Hari ini Malika akan pergi ke tempat hajatan salah seorang temannya.
“Tapi merinding juga lihat bodi Bu Lika. Apalagi dua benda bulat itu,” selorohnya tak bisa menutupi rasa kagum.
“Punyamu juga besar, Mbak Sih. Apalagi masih utuh, belum pernah kasih asi sama anak,” tukas Malika begitu melihat sorot iri pada mata Darsih.
Malika duduk di kursi rias. Menyisir rambut legamnya yang mengurai di bawah bahu, lantas diikat menjadi satu.
Selanjutnya ia meraih alas bedak. Meskipun Malika seorang wanita pengusaha dan berduit, alat-alat kecantikan yang dimiliki Malika harganya standar saja. Semua hasil produksi dalam negeri.
Beberapa kali Malika pernah ikutan beli produk kosmetik import yang harganya jutaan, tapi tidak cocok sama kulitnya.
“Tapi punya bu Lika kuning, mulus dan kinclong..."
"Mba Sih kan tahu sendiri. Buat menjaga kulit tetap sehat dan kinclong, aku lebih banyak mengonsumsi buah, sayur dan minum air putih yang banyak. Ditambah asupan suplemen vitamin E dan C."
Darsih manggut-manggut karena memang dirinya yang belanja buah dan sayur untuk keluarga Malika.
"Eh, meskipun sudah ditutup pakai gamis dan jilbab besar, Bu Lika masih kelihatan seksi dan menggoda. Apalagi kalo pake daster belahan dada rendah itu. Nggak heran kalau Mas Heru tergila-gila sama Bu Lika…”
“Mas Heru…?!” gumam Malika tercekat.
Malika yang mulai menyapukan alas bedak ke wajahnya seketika tercekat. Untuk beberapa saat ia terdiam. Teringat pada sopir pribadinya Pramono yang belum lama ini mengundurkan diri setelah bekerja di rumahnya selama 3 tahun.“Oh ya, saya heran Bu. Kayaknya ada yang janggal dari keluarnya Mas Heru.”
“Emm… apa yang kamu tahu?” pancing Malika penasaran. Tidak puas hanya lewat cermin, Malika memutar tubuhnya langsung menghadap Darsih.
ARTnya ini seperti paranormal saja. Tahu aja masalah banyak orang. Maklumlah, sering ngrumpi di pasar atau warung ketika belanja.
“Mas Heru itu sering bilang sama saya, betah sekali kerja di sini. Punya majikan yang baik, ramah dan tidak pelit. Waktu Bu Lika memberi uang tiga juta untuk biaya sekolah anaknya, Mas Heru langsung menemui saya sambil nangis. Eehh… dua hari kemudian malah keluar. Mendadak pula,” Darsih mengisahkan panjang lebar. Mimik penasaran dan prihatin menggayuti wajahnya.
“Lha, waktu Mbak Sih ke rumahnya buat ngantar uang pesangon, sempat tanya nggak, apa alasannya dia keluar?”
“Iya sih Bu, Mas Heru bilang mau bikin usaha gitu. Jualan buah atau martabak. Tapi kok raut mukanya kayak sedih sama menahan kesal” Darsih menirukan ekspresi wajah lelaki yang pernah menjadi teman curhatnya itu.
Malika menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.
“Eemm... mbak Sih. Sebenarnya Mas Pram tahu aku memberi uang sama Heru. Dia cemburu. Padahal aku sama sekali nggak menaruh hati sama dia. Hanya kasihan. Bahkan aku risih dan takut dengan tatapannya. Aku rasa, Mas Pramono yang menyuruh Heru keluar. Istilah kasarnya diusir gitu…”“Saya juga sempat berpikir begitu, Bu. Tapi takut ngomong sama Ibu,” timpal Darsih cengar-cengir.
Sehari setelah Heru mengundurkan diri, Malika menyuruh Darsih memberikan pesangon sebanyak 5 juta. Malika tahu suaminya sudah memberikan pesangon sebanyak 3 kali gaji. Malika yang dasarnya dermawan dan kasihan juga memberinya.
Malika berharap, uang itu bisa dipakai modal usaha dan memenuhi hidup selama enam bulan ke depan.
Bayangan Darsih perlahan menghilang berganti sosok Heru, pria 2 putra berusia hampir kepala empat. Malika yang teringat rumahnya diobrak-abrik preman lantas mengaitkannya dengan pemecatan Heru oleh Pramono.
“Bisa jadi Heru sakit hati dan menyuruh preman menyerang rumahku.”
Sesaat kemudian Malika menepis dugaannya. "Ah, tapi Heru nggak punya banyak uang untuk membayar tiga preman sekaligus."Tak lama kemudian Malika kembali berasumsi. "Namun, seseorang bisa berbuat nekat dan melakukan apa saja untuk melampiaskan dendamnya. Bisa jadi uang pesangon yang jumlah totalnya dua belas juta dipakai Heru untuk membayar tiga preman itu."
Seperti peristiwa yang banyak diulas di koran atau televisi. Di mana ada pembunuh bayaran yang rela dibayar dua juta untuk menghilangkan nyawa orang lain. Bahkan ada pula yang hanya dibayar satu juta atau lima ratus ribu ribu saja.".
"Astogfirullohaladziem. Jika sudah kepepet ekonomi, manusia bisa melakukan apa saja untuk bisa bertahan hidup.”
Jadi tidak mustahil, Heru bisa melakukan hal yang sama untuk melampiaskan kekecewaan dan sakit hatinya terhadap keluarganya.
***"Malikaaa… kebiasaan buruk. Apa susahnya bawa baju ganti ke kamar mandi. Nggak hanya pakai handuk begini. Kamu mau diperkosa orang?!” hardik Pramono geram melihat istrinya keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tubuhnya yang tertutupi dari batas dada hingga pertengahan paha. Persis bayi pakai grito. Saat itu Pramono benar-benar murka. Begitu Malika telah masuk kamar. Ia mendorong tubuh istrinya ke tembok, lalu menudingi muka Malika dengan wajah merah penuh emosi. Sementara tangan kirinya berkacak pinggang. “Di kamar kita ini sudah ada kamar mandi. Masih saja mandi dekat dapur. Kamu sengaja ya buat menggoda Heru sama Mario! Kamu ingin mancing nafsu mereka untuk memperkosamu. Kalau begitu, percuma kamu pakai gamis dan jilbab!” Malika benar-benar sangat takut. Ia sampai menangis tersedu-sedu. Sakit hati dan raga. Ucapan kasar dan pedas Pramono meruntuhkan kekerasan hati Malika. Seketika bakat ngeyelnya runtuh. Yang ada hanya rasa pilu dan terkoyak. Merasa sa
Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas. “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desis Anton hampir tak terdengar. Ingatan Malika tentang si pemuda segera terajut.“Lho, kamu yang dulu ngekos dekat rumah Budhe Sun itu kan? Sekarang kok ada di sini?” seru Malika kembali teringat peristiwa enam bulan lalu. “Eh ibu. Iya Bu. Hanya sebulan. Sementara aja di sana. Sekarang kami tinggal kerja di sini,” jawab pemuda yang diperkirakan berusia 25-an tahun itu gugup. Malika hanya manggut-manggut, terpaku pada tahi lalat di dagunya. Semakin menambah manis saat ia tersenyum. Giginya berderet rapi dan putih. Sangat kontras dengan kulit tembaganya. “Le, Anton. Diajak masuk tamunya. Kasihan kedinginan di luar!” suara lelaki bernada berat terdengar dari dalam. “Inggih, Pak.” Anton mengiyakan. Dengan sigap kedua tangannya membuka leb
Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel. Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang. “Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sam
Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t
“Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka
Uai salat magrib Malika keluar rumah untuk membeli makan. Begitu membuka pintu, tatapan Malika segera menyapu ke halaman rumah. Kali pertama yang dituju adalah gerobak motor yang menjual kopi dan gorengan. Mangkal sebelum pintu masuk ke lorong, tepat di depan kantor perhutani. Jika pagi hari sampai sore mangkal di seberang jalan. Malamnya baru pindah ke sini. Tinggal mendorong gerobaknya. Bapak penjual kopi sibuk melayani pembeli yang berjubel, dibantu putri cantiknya yang menjadi daya pikat tersendiri bagi pembeli. Namun jika malam begini sang anak jarang ikut. Istrinya yang sering membantu. Tepat di sebelahnya ada penjual jagung bakar dan kacang rebus. Beberapa lelaki berselimut sarung duduk menikmati kopi dan jajanan. Mereka duduk lesehan di atas karpet yang digelar tidak jauh dari teras kantor perhutani. Penjual kopi yang menyediakan karpet itu. Seperti biasa dibarengi obrolan seru. Canda tawa sesekali terdengar membahana. Logat Surabaya dan Madura te
Sementara itu di dalam rumah, Malika yang ketakutan langsung mengecek semua pintu dan jendela. Memastikan semua sudah terkunci rapat. Selesai di lantai bawah, Malika pun ke lantai atas. Mengintip keluar lewat celah kelambu. "Takutnya lelaki itu bersembunyi di balkon atas. Oohh, syukurlah..." Malika bernafas lega melihat kondisi balkon kosong dan sunyi. Dirasa telah aman, Malika berbalik untuk kembali ke bawah. Namun, langkahnya mendadak terhenti di depan kamar satu-satunya di lantai atas ini. Pijar lampu neon 20 watt terlihat di bawah pintu. Lampu kamar itu sengaja dibiarkan terus menyala untuk mengurangi kesuraman dan aroma seram rumah ini. Tahu sendiri jika rumah lama dibiarkan kosong. Makluk halus dengan senang hati akan menempatinya. Hanya sekali Malika masuk ke dalam kamar untuk membersihkannya. Ruangan yang cukup luas berukuran 4x5 meter dilengkapi kamar mandi dalam dan shower air panas. Ada kompor listrik dan alat-alat makan lainnya. Tidak
“Ya Allah, gimana jika orang itu hendak mencelakaiku? Bisa-bisanya menyelibap masuk ke rumah orang jika tidak ada maksud jahat ? “ Malika mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali tangannya memegang gagang pintu, lantas dilepaskan kembali. Batinnya berkecamuk. "Jika panggilan telpon itu berasal dari putraku Rona, alangkah menyesal aku nanti." Malika tidak ingin kehilangan moment mengobrol dengan Rona yang hanya seminggu sekali mendapat jatah nelpon dari pondok. Dan biasanya ada aja pengumuman penting yang akan disampaikan oleh putra bungsunya itu. Berpikir ke arah sana, Malika menarik nafas panjang dan menegakkan bahunya yang terkulai. Harus berani. Ia pun membuka pintu dan terbirit-birit berlari ke ruang tamu. Mengambil ponsel yang terus berisik dan berdiri dekat jendela di samping pintu depan. Tangan kanannya reflek memegang gagang pintu. Tahu kan maksudnya. Jika nanti muncul orang jahat dari dalam rumah, dirinya bisa langsung kabur keluar. Jujur
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L