Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang.
Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel.Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang.
“Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sampingnya. Ia sudah menunggu sejak tiga puluh menit yang lalu. “Santai saja Mas. Pertemuan dengan pejabat lebih penting dari apapun.” “Yuk, langsung berangkat saja, sudah sore. Oh iya, sori, aku selalu salah sebut namamu. Yang kuingat, waktu di SMU dulu kamu biasa dipanggil Dewi.” Pramono menelusuri wajah anggun di depannya.Tidak terlalu cantik. Kalah jauh dari istrinya, Malika. Tubuhnya juga cenderung kurus. Namun keanggunan dan kelembutan yang membias pada wajahnya, memedarkan pesona yang luar biasa.
Senyum dan tatapannya yang dijaga begitu luruh. “Sama saja, Mas. Boleh Dewi, boleh Nana,” sahut Nana . “Oh iya, nanti pulang dari beli sayur mampir dulu ke pasar ikan.” Pramono tergagap. Segera melepaskan tatapan dari wajah Nana. “Boleh. Kemanapun kamu mau, aku antar. Itu juga bagian dari kebutuhan proyek. Lagipula aku juga ikut makan di sana,” Pramono menjawab diplomatis, mulai beringsut dari lobi menuju tangga. Nana menarik nafas panjang. Ada yang desiran halus mengaliri darahnya melihat tatapan itu.Rasa ge-er yang disertai segudang harap membuat langkahnya tertegun-tegun menekuri lantai. Tidak terasa jalannya mencong ke kanan mendekati sofa, bukannya lurus menuju anak tangga menuju tempat parkir.
DUG. GEDEBRUK. Tanpa ampun, kaki Hana tersandung koper kecil namun cukup keras dan padat. Tubuhnya yang ringan tumbang menelungkup ke depan dan tersampir di pinggiran sofa.Beberapa orang yang lalu lalang di sekitar lobi tertawa melihat cara jatuhnya. Wanita itu cepat bangkit dan memutar tubuh melihat sekeliling. Wajahnya merah menahan malu.
“Seribu orang menertawaiku nggak masalah, asalkan jangan Mas Pram. Syukur, syukur dia tidak ada.” ***Tidak sengaja bertemu di lokasi proyek dua bulan lalu. Nana adalah adik kelas Pramono saat duduk di bangku SMU di daerah Tuban. Tidak terlalu akrab, hanya sesekali bertemu.
Nana mengaku hanya jalan-jalan, mengunjungi saudaranya. Seminggu kemudian mendatangi Pramono di proyek dan butuh pekerjaan. Ada tiga anak yang harus dipenuhi kebutuhannya. Mengaku telah bercerai dengan suaminya. Dan hanya memiliki ijasah SMU. Pramono sempat bingung mau memberi kerjaan apa, mandor proyek memberi usul menjadi tukang masak. Memasak untuk para pekerja biar nggak jauh-jauh beli.Pramono termangu. Tidak tega. Masak orang cantik, bersih dan seringkih ini hanya bekerja di dapur.
“Jangankan masak, mengepel lantai atau mencuci baju para kuli saya bersedia, Mas. Asalkan uang yang dapat itu halal dan dapat saya kirim ke desa,” tegas Nana penuh harap dan percaya diri. Tidak ada kesan malu atau minder. Melihat kekukuhan Nana, Pramono akhirnya menyetujui. Dua hari setelah ia melamar, Nana mulai bekerja sebagai tukang masak di mess. Uang makan pekerja sebanyak 20 orang dioper kepada Nana. Akan tetapi, Nana tidak ikut tidur di mess sementara yang dibangun dekat proyek. Sangat riskan dan tidak aman. Ia tinggal di kos-kosan yang berjarak 200 meter dari mess. Ternyata masakan Nana cukup enak, bersih dan bervariatif. Semua karyawan puas. “Padahal sayur asem ini sama bumbunya, kok lain ya rasanya sama yang dimasak istriku. Ada gurih-gurihnya gitu," puji Pramono. “Sotonya juga lezat. Soto kas Lamongan,” timpal Pak mandor yang penggemar soto. Yang dipuji hanya tersenyum malu. “Pake bumbu rahasia apa, Mbak?” tanya mandor pensaran. “Mungkin diawali dengan doa. Mohon sama Allah semoga makanan ini membawa manfaat dan berkah,” jawab Nana merendah. Pramono dan mandor bersitatap. "Istri wajib dikasih tahu nih." cetus Pramono yang diiyakan sama si mandor Pramono memperhatikan Nana. Ia begitu menjaga diri, kehormatannya. Meskipun berada di tengah banyak laki-laki. Bicara seperlunya. Kadang guyon, tapi ya sekedarnya. Tidak berlebihan. Tidak ada materi jorok apalagi sampai bersentuhan.Bajunya selalu rapi. Meskipun memakai daster yang dinobatkan sebagai juara baju terfaforit emak-emak se-Indonesia, tetap sopan, rapi dan ditutup jilbab.
Pramono mulai membandingkan dengan penampilan istrinya... Malika. Astigfirullah. Darah tingginya sering kumat melihat penampilan istrinya di rumah. Ya, meskipun di dalam rumah, tapi banyak laki-laki bersliweran.Ada Heru sopirnya, Tukang kebun, belum lagi anak buah Pramono yang terkadang datang untuk membahas proyek.
***Sore itu Pramono mau mengantar Nana belanja sayur ke pasar Batu. Selain harganya murah, sayurnya lebih segar. Mereka ke sana seminggu sekali, kadang dua kali.
Jika Pramono atau mandor lagi pulang ke rumah, Nana belanja di pasar kecil dekat proyek. Tapi jatuh harganya lebih mahal.
Setelah menempuh perjalanan 20 menit, mobil Pramono sampai di pasar sayur Batu. Saat mobil memasuki area parkir, ada telpon masuk. Telpon biasa, bukan aplikasi warna hijau. Pramono melihatnya sekilas. “Pak Nok... ada apa ini? Tumben nelpon." "Dik Nana belanja dulu ya. Nanti kalau sudah selesai, telpon aku.” Pramono memeberikan amplop berisi uang kepada Nana. “Gajimu sudah dikasih kan?” “Inggih Mas, sudah.” Setelah menerima uang, Nana keluar mobil.Wanita itu menarik nafas panjang. Berjalan memasuki area pasar sambil menggerak-geraknya kedua tangannya. Tubuhnya sakit semua, terutama lengan dan kaki. Setiap hari masak sendiri, dua kali sehari.“Baru sekarang ini aku bekerja berat seperti ini. Yah, demi anak-anakku. Ya Allah, terasa sekali susahnya mencari uang.”
Nana membuka amplop begitu tiba di depan penjual sayur langganannya. Dihitungnya sebentar. “Tiga juta. Alhamdulillah. Pak Pram selalu memberi lebih. Kali ini lebihnya satu juta."Nana membayangkan enaknya jadi istri Pramono. Orangnya baik, sabar, dermawan. Di usia 40 tahunnya terlihat begitu matang dan berwibawa. “Tapi tubuhnya agak kurusan, beda waktu ketemu di reuni tahun lalu. Beruntung sekali Malika punya suami seperti ini.” Selama dua bulan ini duduk di samping Pramono di dalam Pajero-nya, serasa diri sebagai nyonya. Dan ia tahu, sesekali Pramono melihatnya dari kaca depan. Hal itu membuat Nana menjadi malu dan kikuk.Sebenarnya ia lebih nyaman duduk di belakang, namun Pramono memaksanya duduk di depan.
“Nanti kalau ketahuan Mba Lika pasti muka saya ditumblek pake sambel...” seloroh Nana suatu hari. Pramono tergelak mendengar ucapan Nana. “Istriku bukan orang yang cemburuan,” tepis Pramono asal. Dan Pramono terus memaksa peremuan berusia 38 tahun itu duduk di kursi depan. Apalagi kalau hari Minggu tidak ada mandor atau karyawan proyek yang ditakutkan akan membawa kabar ini kepada istrinya Pramono. Akhirnya Nana luluh dan menurut. Ia duduk di samping Pramono dan berdoa dalam hati. “Semoga jok empuk mendut-mendut dan bersih ini terus nempel di pantatku. Aamiinn...”***
Pramono keluar mobil dan duduk di bawah pohon cemara di pojokan parkir. Setiap hari pasar sayur ini selalu ramai. Hilir mudik mobil para petani mengangkut sayuran. Juga pembeli yang rata-rata memborong sayur untuk dijual lagi. “Tumben Pak Bon nelpon. Ada yang penting sepertinya,” Pramono memencet nomor tukang kebun di rumahnya. “Emm... anu Pak. Ituuu...” “Maaf, bapak lagi butuh uang?” “Tiii-dak Pak. Bukan itu. Saya ituuuu... aduh. Itu, ijin tidak kerja. Mau keluar...” Pramono yang tidak sabar segera memotong ucapan Pak No, “Lho, kenapa bapak keluar? Terus bapak mau kerja apa? Di mana?” “Maksud saya... saya masih di Madura sejak seminggu yang lalu. Besuk belum bisa masuk kerja lagi. Gitu Pak. Mohon maaf.” “Ooohh... saya kira mau keluar dari pekerjaan. Iya Pak, tidak apa-apa. Njenengan nelpon langsung Bu Lika ya. Biar Bu Lika tahu dan tidak sewot nantinya." “Ing-giiihhh... Pak. Tapi, Bu Lika saya telpon tidak diangkat. Makanya sekarang saya hubungi Bapak, “ suara Pak Nok mulai lancar. “Ooohh... Baiklah kalau begitu. InsyaAllah nanti saya sampaikan sama Ibu.” “Terima kasih, Pak. Asaalamualaikum.”Pramono menjawab salam dengan geleng-geleng kepala. Batinnya begitu tersentuh.“Hanya gitu saja, Pak Nok sampai ketakutan seperti itu.”
Orang tua memang lebih tinggi tata kramanya. Lebih besar hormat dan pengabdiannya terhadap majikan dibandingkan dengan kebanyakan anak muda sekarang. Dan siapapun orangnya, pastilah senang dan terharu dirinya dihargai oleh orang lain. “Sudah Maaasss...! Apa lagi yang sampeyan mauuuu...? Tolong saya jangan diikut-ikutkan.” Suara yang bergaung dari ponselnya membuat Pramono tersentak. Suara Pak Nok masih terdengar sangat jelas. Merintih histeris bagai menyimpan ketakutan dan bingung. Reflek. Pramono mengangkat tangan yang menggenggam ponsel. Tatapannya yang sempat dialihkan menikmati pemandangan bukit berkabut di sampingnya kembali melihat layar. Ternyata ia belum mematikannya. “Tugas Bapak belum selesaiiii.” Sahut suara Pria tak dikenalnya. Terkesan angkuh dengan nada menekan. “ Aahh... sialan.” KLING. Telpon dimatikan. Rupanya si pria baru sadar jika telpon belum dimatikan. “Astogfirullah. Ada apa ini? Siapa orang itu? Kenapa begitu kasar kepada Pak Nok?" gumam Pramono diselimuti syak prasangka. Mendadak khawatir dengan keselamatan Pak Nok.Dengan wajah tegang dan tergesa Ia mencari nomor sang istri di ponselnya meskipun ia tahu tidak menyimpannya. Umm... Siapa tahu pernah ada pesan masuk dari istrinya, Mario atau ayah mertuanya.
“Kenapa juga kemarin ponsel satunya kutinggal di rumah. Jadi repot kalau ada masalah gini. Ya Allaaahhh... gimana ini?” keluh Pramono meruntuki dirinya sendiri. Jemarinya terus menscroll pesan dari atas ke bawah. Kemudian kembali ke atas. Ponsel yang sekarang ini dipegang khusus untuk urusan kerja. Baru dua bulan ia beli. Sebenarnya sudah ada rencana mau memasukkan nomor istri, ayah mertua, Darsih, Mario saudara di desa, tapi belum sempat.Kini Pramono menyesal telah menunda-nunda hal penting. Bagaimanapun ia tetap butuh mereka. Tetap ingin tahu dan memantau keadaan keluarganya, terutama anak dan istrinya yang kerap kali ia tinggal.
Khusus nomor Pak Nok. Pramono waktu beli ponsel baru ditemani tukang kebunnya itu sekalian membeli alat pemotong rumput.Nah, ketika di mobil itulah, Pramono langsung memasukkan nomor lelaki berusia 60 tahun tersebut.
***Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t
“Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka
Uai salat magrib Malika keluar rumah untuk membeli makan. Begitu membuka pintu, tatapan Malika segera menyapu ke halaman rumah. Kali pertama yang dituju adalah gerobak motor yang menjual kopi dan gorengan. Mangkal sebelum pintu masuk ke lorong, tepat di depan kantor perhutani. Jika pagi hari sampai sore mangkal di seberang jalan. Malamnya baru pindah ke sini. Tinggal mendorong gerobaknya. Bapak penjual kopi sibuk melayani pembeli yang berjubel, dibantu putri cantiknya yang menjadi daya pikat tersendiri bagi pembeli. Namun jika malam begini sang anak jarang ikut. Istrinya yang sering membantu. Tepat di sebelahnya ada penjual jagung bakar dan kacang rebus. Beberapa lelaki berselimut sarung duduk menikmati kopi dan jajanan. Mereka duduk lesehan di atas karpet yang digelar tidak jauh dari teras kantor perhutani. Penjual kopi yang menyediakan karpet itu. Seperti biasa dibarengi obrolan seru. Canda tawa sesekali terdengar membahana. Logat Surabaya dan Madura te
Sementara itu di dalam rumah, Malika yang ketakutan langsung mengecek semua pintu dan jendela. Memastikan semua sudah terkunci rapat. Selesai di lantai bawah, Malika pun ke lantai atas. Mengintip keluar lewat celah kelambu. "Takutnya lelaki itu bersembunyi di balkon atas. Oohh, syukurlah..." Malika bernafas lega melihat kondisi balkon kosong dan sunyi. Dirasa telah aman, Malika berbalik untuk kembali ke bawah. Namun, langkahnya mendadak terhenti di depan kamar satu-satunya di lantai atas ini. Pijar lampu neon 20 watt terlihat di bawah pintu. Lampu kamar itu sengaja dibiarkan terus menyala untuk mengurangi kesuraman dan aroma seram rumah ini. Tahu sendiri jika rumah lama dibiarkan kosong. Makluk halus dengan senang hati akan menempatinya. Hanya sekali Malika masuk ke dalam kamar untuk membersihkannya. Ruangan yang cukup luas berukuran 4x5 meter dilengkapi kamar mandi dalam dan shower air panas. Ada kompor listrik dan alat-alat makan lainnya. Tidak
“Ya Allah, gimana jika orang itu hendak mencelakaiku? Bisa-bisanya menyelibap masuk ke rumah orang jika tidak ada maksud jahat ? “ Malika mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali tangannya memegang gagang pintu, lantas dilepaskan kembali. Batinnya berkecamuk. "Jika panggilan telpon itu berasal dari putraku Rona, alangkah menyesal aku nanti." Malika tidak ingin kehilangan moment mengobrol dengan Rona yang hanya seminggu sekali mendapat jatah nelpon dari pondok. Dan biasanya ada aja pengumuman penting yang akan disampaikan oleh putra bungsunya itu. Berpikir ke arah sana, Malika menarik nafas panjang dan menegakkan bahunya yang terkulai. Harus berani. Ia pun membuka pintu dan terbirit-birit berlari ke ruang tamu. Mengambil ponsel yang terus berisik dan berdiri dekat jendela di samping pintu depan. Tangan kanannya reflek memegang gagang pintu. Tahu kan maksudnya. Jika nanti muncul orang jahat dari dalam rumah, dirinya bisa langsung kabur keluar. Jujur
" Sesungguhnya, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Sesudah gelap malam pasti terbit cahaya mentari" Sepenggal kata mutiara dari ponsel mengalun merdu, menemani kesendirian Malika. Pagi itu ia berdiri di balik jendela lantai atas, menghadap ke timur. Sinar matahari mulai memancar redup. Menyentuh wajah Malika yang mulai terlihat tirus. Ekor matanya tidak lepas dari kamar yang pintunya tertutup rapat. Tidak terdengar suara orang atau aktivitas yang mencurigakan. Sepi dan tenang seperti biasa. Meskipun begitu, untuk berjaga-jaga dan melindungi diri, tangan kanan Malika telah menggenggam sebilah belati. “Benar. Sesudah gelap malam pasti akan terbit matahari. Namun tidak semudah itu menjalaninya. Seperti yang kurasakan saat ini,” keluh Malika dalam. Kali ini fokus perhatian Malika tertuju ke arah depan dan kiri. Pandanganya tidak leluasa, terhalang pilar balkon dan pagar kayu sebatas perut orang dewasa. Namun, udara dingin membuatnya malas keluar. Yah, m
"Penyakit para sopir. Kencing sembarangan!” keluh Adam. Dari sudut matanya, Adam tahu Malika yang baru muncul dari dalam rumahnya turut memperhatikan si Jabrik. Seperti halnya ia, Malika buru-buru memalingkan muka melihat si Jabrik mulai ancang-ancang membuka celana. Kaum lelaki aja jengah melihat pemandangan itu, apalagi kaum Hawa. “Mbok sesekali digigit semut atau dipatuk burung gitu, biar kapok,” runtuk Adam sebal. Menatap Malika yang berjalan ke arahnya. Membawa kripik pisang dan tempe masing-masing dua bungkus. "Boleh dihabiskan kok" kata Malika sembari menaruh kripik di samping nampan. Adam dan kawan-kawan sudah berkumpul dan menikmati kopinya masing-masing. "Ibu tahu aja kesukaan kita," clemong Arul. Tanpa disuruh kedua kali, anak-anak muda itu berebut mengambil kripik. Malika hanya tersenyum. Mengambil ketela dan duduk di samping Adam. Kepalanya menunduk, sibuk mengupas kulit ketela. Sesekali menatap ketiga teman Adam yang tak ada habisnya bercerit
Begitu tiba di rumah, Malika langsung mengecek lagi ponselnya. Siapa tahu ada pesan masuk dari Darsih. Tetap saja masih centang satu. Didorong rasa penasaran, Malika masuk kamar dan meraih tas slempang warna coklat di atas meja. Selama ini, tas kulit sebesar buku tulis itu biasa dibawa sama Malika dan Darsih belanja ke pasar atau warung. Setiap harinya nyantol di belakang pintu dapur. Siapa saja bisa membukanya. Tidak ada barang berharga, selain nota belanja dan uang receh sisa belanja sehari-hari. “Aku punya hutang sama Darsih. Ah, anak itu makin keblinger saja. Yang ada selama ini dia yang sering kas bon. Apalagi kalau malam hari, Darsih ini sering menjelma jadi tuyul yang mengambil uang receh di dalam tas slempang. Buat jajan bakso atau siomay kesukaannya.” Tidak sabar Malika mengeluarkan semua isi tas. Siapa tahu menemukan harta karun yang lebih berharga. Uang yang tersimpan di dalamnya tidak banyak. Itu pun kebanyakan receh. Tapi lumayan juga, jumlahnya
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L