Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
“Genderuwo ucul...! Ya Allah, apa itu?!” Darsih yang baru keluar kamar mandi berseru kaget. Sekilas melihat kelebat sosok hitam gempal dari arah dapur menuju gudang. Dan darahnya terkesiap begitu mendapati pintu dapur terbuka separoh. “Tadi sudah kukunci. Masak Bu Lika yang membukanya? Buuu Likaaa...!” Darsih mendekati pintu. Tanpa ia sadari, sosok hitam bermasker yang sembunyi di balik kulkas berjingkat mendekatinya. Dengan mudahnya menyergap Darsih dari belakang. Membungkam mulutnya kuat-kuat hingga Darsih merasakan ngilu dan sakit di area bibir. Reflek Darsih meronta-ronta. “Sekali teriak, hancur kepalamu!” bentaknya sadis. Darsih melihat bayangan pistol yang diletakkan ke dahinya. Dingin. Asisten rumah tangga itu langsung mengkeret.Suara berisik itu membangunkan sang majikan yang tidur di kamar depan. “Ada apa Mbak Sih?” seru Malika membuka pintu kamarnya. Menatap nanar ke arah dapur yang gelap. Wanita yang sudah terlelap sejak dua jam lalu itu tidak menyadar
Setelah menempuh perjalanan kereta api selama 5 jam, ditambah naik taksi dua jam, Malika dan Darsih tiba di tempat yang dituju. Kampung halaman ayahnya. Pukul 10 pagi. Malika langsung ke rumah neneknya yang sekarang dihuni Bik Atmi, adik bungsu papanya. Tanpa mandi terlebih dahulu Malika langsung tidur hingga tengah hari. “Nduk, bangun dulu. sudah jam dua siang. Kamu belum makan sama salat Dhuhur.” Dengan malas Malika membuka mata. Menyapukan sekeliling bangunan yang luas tanpa sekat. Rumah kuno terbuat dari kayu jati dengan lantai ubin. Semilir angin masuk dari jendela yang terbuka lebar di samping ranjang, Langsung menghadap kebun pisang dan persawahan. “Nduk, kamu kenapa tho kayak gini modelnya?” Bik Atmi yang sejak tadi penasaran langsung bertanya begitu Malika membuka mata. Wajah lelah dan murung, baju yang dikenakan ala kadarnya, seperti daster rumahan, tapi sedikit lebih modis. Tangan dan kakinya memar-memar. Jilbab yang dikenakan tadi tak kar
Ini hari ketiga Malika berada di Banyuwangi. Rasa sakit dan pegal-pegal di tubuhnya mulai berkurang. Luka gores di kaki dan tersandung bebatuan saat berlari menyisakan sedikit nyeri. Namun, pikiran Malika masih kacau, ditambah lagi kepikiran pada sosok yang mengintipnya kemarin. Malika benar-benar susah. Gelisah tak menentu. "Siapa orang itu? Jika benar ia memotretku diam-diam tanpa baju, bisa gila aku. Duh, Ya Allah. Apa dosa dan salahku hingga mengalami nasib apes seperti ini?!" Niatnya ke Banyuwangi untuk menenangkan diri, justru hak buruk dan ketakutan yang didapat. Malika tidak mau bercerita pada Bik Atmi. Baginya ini aib yang harus disimpannya rapat-rapat. Malika menghampiri Bik Atmi yang sibuk menimbang buah naga di teras. Kesibukan yang dipilih Bik Atmi untuk mengisi waktu luang sejak 5 tahun lalu. “Bulek, saya mau ke rumah Darsih dulu. “ Bik Atmi sontak menghentikan sejenak kesibukannya, mencatat harga yang harus dibayar ke petani buah naga.
Malika sudah tiga hari ini berada di Bali. Tepatnya di Kintamani. Daerah pegunungan berhawa sangat dingin. Sebagian besar warganya menanan buah jeruk dan kopi.Panorama yang sangat indah menjadikannya tujuan wisata. Yang paling banyak dikunjungi adalah Danau Batur dengan 3 gunung yang berjajar mengellilingi danau. Ada gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung.Sore itu usai bersih-bersih rumah dan mandi, Malika menelpon Mario. Ia Ingin tahu keadaan ayah dan kedua anaknya.Mario menjawab santai dan enteng.“Jangan khawatir, Mbak. Papa baik-baik saja. Aman di rumah ibu. Pulang kantor ini aku akan pulang ke sana. Papa nitip rujak cingur langganan kita.”“Syukurlah kalo gitu. Dari dulu Papa jarang nelpon kalau nggak penting banget. Ditelpon juga jarang mau jawab,” keluh Malika. “Begitulah Papa. Apalagi sejak penyakit asam uratnya sering kambuh. Tapi sejak bersama ibu nggak pernah kumat. Ibu terus memperhatikan makanan Papa.”“Iya, Alhamdulillah. Mbak senang ada yang merawat papa dengan
"Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar. Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu. “Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol. "Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja." Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan." Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya. "Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L