Share

TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG
TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG
Penulis: Rini Kristina

BAB 01

Penulis: Rini Kristina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

   “Genderuwo ucul...! Ya Allah, apa itu?!” Darsih yang baru keluar kamar mandi berseru kaget. Sekilas melihat kelebat sosok hitam gempal dari arah dapur menuju gudang. Dan darahnya terkesiap begitu mendapati pintu dapur terbuka separoh.

    “Tadi sudah kukunci. Masak Bu Lika yang membukanya? Buuu Likaaa...!”

    Darsih mendekati pintu. Tanpa ia sadari, sosok hitam bermasker yang sembunyi di balik kulkas berjingkat mendekatinya.  Dengan mudahnya menyergap Darsih dari belakang. Membungkam mulutnya kuat-kuat hingga Darsih merasakan ngilu dan sakit di area bibir. 

Reflek Darsih meronta-ronta.

    “Sekali teriak, hancur kepalamu!” bentaknya sadis.

    Darsih melihat bayangan pistol yang diletakkan ke dahinya. Dingin. Asisten rumah tangga itu langsung mengkeret.

Suara berisik itu membangunkan sang majikan yang tidur di kamar depan.

    “Ada apa Mbak Sih?” seru Malika membuka pintu kamarnya. Menatap nanar ke arah dapur yang gelap. Wanita yang sudah terlelap sejak dua jam lalu itu tidak menyadari kedatangan pria berpakaian hitam yang muncul dari ruang tamu. 

    Sementara di lantai atas terdengar suara gaduh. PRANG. GROBYAK. TAP.

    “Sontoloyo… Ngompol. Sana ganti baju. Lima menit. Kalau nggak, kubakar rumah ini.” lengkingan marah dari dapur membuat Malika terjengit. Dalam waktu bersamaan ia melihat di lantai, sebuah bayangan tinggi di belakangnya. Kedua tangan itu menjulur ke arahnya.

    Terlambat. Malika yang hendak kembali ke kamar berhasil disergap dari belakang.

    “Toloongg. Tooloonngg. Augh!” Malika sempat menjerit sebelum tangan kekar dan keras itu membekap mulutnya.  

Sosok hitam satu lagi turun dari lantai atas. Menenteng tas besar yang berat dan penuh isi.

“Tinggal kamar ini,” ujar si Pria saat melewati temannya yang mengunci tubuh Malika. Malika berontak, tidak terima kamarnya diobrak-abrik.

“Diam, Bu cantik!” bentak si preman mengencangkan pelukannya.

Bau bensin tiba-tiba merebak. Malika terkesiap.      “Apakah mereka akan membakar rumah ini? Kalau gitu, aku harus keluar dari sini.”

    Terdengar bunyi telpon dari  dalam kamar. Sesaat kemudian Preman yang mengacak-acak kamar Malika keluar dengan ponsel di tangan. “Si bos nyuruh cepetan. Aku mau periksa kamar anaknya dulu.”

    Saat itu malika merasakan cengkeraman si preman melonggar. “Bismillah Ya Allah.

Secepat kilat Malika memutar tubuh menghadap preman. Dengan sekuat tenaga mendaratkan lutut ke arah organ intim pria itu. BUAG.

    “Aauuwww…”  Si Preman melolong kesakitan. Melepaskan pelukannya dan berlutut menangisi adik kecilnya yang malang. Malika melompat masuk kamar dan menguncinya dari dalam.Preman yang mengawal Darsih berlari ke arah temannya yang kesakitan.

    PET. Lampu tiba-tiba padam. Seluruh ruangan rumah menjadi gelap gulita. Saat itu, Darsih sudah selesai ganti baju. Ia kabur lewat pintu dapur. Sempat menyambar tas belanja yang nyantol dekat pintu. 

     Bersamaan dengan Darsih tiba di luar, Malika juga muncul dari jendela kamarnya. Kedua wanita malang itu pun kabur menyelamatkan diri. Menerobos dinginnya malam. 

Stasiun Bangil-Pasuruan. Pukul 02.10 WIB.

     Malika menaiki teras ruang tunggu dan menjatuhkan tubuhnya yang lelah di kursi biru. Taksi yang disewanya segera meninggalkan stasiun setelah mendapat bayaran.

    Wanita berusia 41 tahun itu duduk meringkuk memeluk tas lap top erat-erat. Satu-satunya barang berharga yang berhasil ia bawa dari rumahnya. 

    Paras bulat telur yang tersembunyi di balik jilbab krem tertunduk sendu dan murung. Tatapannya kosong dan sayu. Lelah, ngantuk dan nyeri di bagian kaki berbaur menjadi satu.

   Jaket tipis yang dikenakan tak mampu menahan tubuhnya dari terpaan angin malam yang bertiup cukup kencang.

    “Lupa tadi mengambil jaket tebal di gantungan pintu. Di dalamnya ada ATM pula. Brrr…!” Malika menggigil kedinginan di antara keluh kesahnya. Sedikit memperbaiki jilbab model pashmina yang tertiup angin. 

     Sementara itu, Asisten Rumah Tangganya yang bernama Darsih langsung menuju  loket peron untuk membeli tiket kereta api jurusan Banyuwangi.

   Suasana sangat lengang. Selain dirinya, hanya ada 3 orang penumpang duduk di dalam ruang tunggu. 

    RHEENNGGG… CIEETT.

Sebuah motor Kawasaki Ninja warna hitam garis merah memasuki halaman dan berhenti di depan teras stasiun.     

    Seorang pemuda jangkung melompat dari atas motor dan bergegas memasuki ruang tunggu. Tangannya cekatan melepas helm dari kepala dan menaruhnya begitu saja di kursi.

    “Mba Likaaa…!” lengkingnya parau sembari menghambur ke arah Malika. 

    Yang dipanggil menoleh dan sontak berdiri melihat siapa yang datang. Belum sempat Malika membuka mulut, Mario telah meraih kepala Malika dan menyusupkan ke dadanya.

     Pemilik tinggi 158 cm itu merasa kesulitan bernafas dalam rengkuhan adiknya. Namun ia tak mampu melepaskan diri dari pelukan pemuda yang memiliki lengan begitu kokoh. 

     Bibir Malika mengulas senyuman dan menyandarkan kepala dalam dada Mario yang bidang. Ia  merasakan tonjolan otot pada dada dan lengan adiknya. Juga nafasnya yang tersengal-sengal.

    Wajah belia perpaduan Jawa-Cina-India itu mengeras. Kulit kuningnya memerah. Kaget dan marah dengan kejadian buruk yang menimpa kakak tercintanya. 

    “Ooh, pengecut sekali mereka. Bedebah! Pantasnya pakai rok. Masak beraninya sama emak-emak lemah kayak gini,” geramnya dengan nafas tersengal. 

    “Mario adikku… Mbak baik-baik saja. Jangan khawatir,” sendat Malika sedikit menarik wajahnya agar leluasa menghirup udara. “Kamu, tahu darimana Mbak ada di sini?”

     “Mbak Darsih nelpon,” bisiknya.

     “Preman-preman itu pastinya sudah lama mengintai rumah kita, mbak. Mereka tahu kepergianku, papa dan Mas Pram. Begitu sepi, mereka langsung menyerang ke rumah,” Mario nyerocos menumpahkan kesal.

     Sempat terkejut dengan kedatangan adiknya yang tiba-tiba, kini Malika merasa senang dan nyaman. Matanya terpejam.   

   Jemari Malika membelai lembut rambut belah tengah adiknya ala Lee Min Ho. Selanjutnya turun ke punggung.

     Sikap lembut Malika membuat Mario begitu emosional. Diraihnya dagu Malika dan menarik kepalanya sendiri ke bawah. Kemudian tanpa ragu diciumnya dahi dan pipi Malika  yang cemong-cemong.

    Di rumahnya, Mario kerap melakukan ini pada Malika sebagai ungkapan terima kasih. Atau jika merasa gemas dengan tingkah kakaknya.

    “Mario, ini di tempat umum.” Malika risih dan menarik kepalanya menjauh. Mario tak peduli, ia menahan Kepala Malika. Air mata menggenang di pelupuk matanya yang merah. 

    Puas mencium, pemuda itu lantas menatap lekat ke manik mata Malika, seolah ingin memastikan kedalaman perasaan wanita itu.

    Kakak beradik beda usia 18 tahun itu saling bersitatap cukup lama. Orang sering mengiranya hubungan mereka sebagai ibu dan anak. Atau keponakan dan tante.

     Malika dan Mario tidak menyadari kedatangan Darsih. Kaki telanjangnya menapaki lantai tanpa suara dan berhenti 3 meter dari posisi berdiri mereka. Dua lembar karcis kereta terselip di antara jari tangannya. 

     Perempuan bertubuh agak bulat dengan paras Njawani (khas Jawa) itu terhenti dan menatap Mario lekat. Ada keryit keheranan mengukir di dahinya melihat keberadaan pemuda berusia 23 tahun itu.

"Lho, Mas Mario? Cepat sekali sampai?!” seru Darsih tertahan.

     "Baru sepuluh menit kutelpon, sekarang sudah di sini. Dari Sidoarjo ke sini paling tidak butuh waktu empat puluh menit !” 

     Darsih menatap aneh dan bingung keintiman kedua majikannya itu. Dua pasang mata saling bertaut. Masing-masing memancarkan kasih sayang yang besar. 

     “Ck ck ck… Mirip adegan film India. Oohh, semoga aja nggak ada yang memulai menggoyang pinggulnya. Ginal-ginul sambil geleng-geleng kepala,” seloroh Darsih pada dirinya sendiri. Justru kini kepalanya sendiri yang bergeleng-geleng lucu

     Selanjutnya Darsih memutar bola mata ke samping dengan wajah jengah, memandangi warung kopi di pojok halaman yang dikerubuti bapak-bapak. Dahinya masih mengeryit memikirkan sesuatu.

     "Bu Lika dan Mas Mario biasa seperti itu. Tapi sekarang aku lihatnya kok aneh ya? Apa karena di tempat umum gini?" batin Darsih melirik ke arah keduanya.

    Mario menarik nafas panjang. Ia melihat kedatangan Darsih yang berhenti di sampingnya. Tepat di belakang Malika. Mario hanya melirik sekilas. Ia masih sibuk menenangkan perasaan Malika dan ingin menunjukkan kepedulianya.

    “Mbak ingin pergi jauh dari sini. Mungkin ke Banyuwangi ikut Mbak Darsih. Mbak ingin menenangkan diri,” desis Malika perih setelah beberapa saat saling berdiam diri.

     “Ke rumah Sidoarjo aja, Mbak.” 

     “Papa aja mengungsi dari sana. Jika pelaku yang menyuruh preman-preman itu terkait dengan urusan kerjaan, pastinya akan mencariku ke sana juga.”

     Mario mengangguk getir. Kali ini menoleh ke arah Darsih yang sekarang berjalan menghampirinya. Pemuda itu menganggukkan kepala disertai senyuman kikuk.

     Mario menarik nafas panjang ketika tatapannya bertumpu pada kaki telanjang Darsih yang memar dan lecet-lecet. 

    “Mbak Sih, maaf ya,” ujarnya dipenuhi perasaan bersalah. “Mbak Sih ikutan terkena imbasnya.”

    “Nggak pa-pa, Mas. Masa senangnya saja ikut. Sesekali bermasalah sama preman perlu juga. Tambah pengalaman. Seru. Biar nanti ada bahan cerita ke anak cucu, he he…” jawab Darsih enteng, dibarengi tawa tipis. 

     Mario ikut tertawa. Sumbang. “Mbak Sih ini masih bisa guyon, padahal dalam kondisi bertaruh nyawa.” 

     Mario tahu dari sorot matanya, Darsih menyimpan keheranan dan banyak pertanyaan dengan peristiwa yang baru saja dialaminya, namun tidak berani mengungkapkan. 

     Sama seperti Malika, Darsih juga shock dan takut dengan peristiwa yang tak pernah disangka akan mengalaminya. Apalagi salah satu preman sempat menodongkan pistol ke kepalanya.

     Meskipun sekarang sudah tenang, tapi rasa dingin dan kerasnya ujung pelatuk pistol serasa masih menempel di dahinya. 

     Konyolnya, Darsih tidak sadar telah memakai daster dengan kondisi terbalik setelah menukar bajunya yang terkena air kencingnya sendiri.

    Preman yang menodongkan pistol berbaik hati memberi waktu 5 menit Darsih untuk ganti baju. Tentu saja Darsih panik dan tergesa-gesa. Menyambar baju seadanya.

     Suasana gelap cukup menguntungkan bagi Malika dan Darsih. Keduanya menggunakan kesempatan itu untuk kabur dari rumah. 

    “Eh, Bu Lika. Siapa tadi yang matiin sekring listrik?” cetus Darsih tiba-tiba.

    “Tentu saja dhanyange rumah. Jin penunggu…” jawab Malika asal. 

     “Serius nih, Bu…” protes Darsih. 

 Malika bercerita sedikit tentang upayanya meloloskan diri.

     “Apaa…? Preman-preman itu berani menyentuh Mbak Lika?” sentak Mario gusar.

     “Ya, kayak gini nih posisinya,” jawab Malika apa adanya, telunjuknya menunjuk dada Mario dan dirinya.

     Wajah Mario yang sempat luruh dan tenang kembali mengeras. Kedua tanganya mengepal geram, “Nggak ada yang boleh menyentuh kakakku.” 

     Disaat Mario tengah diamuk kesal. Darsih malah bersorak sambil mengacungkan jempol kanannya, “Wooww… Bu Lika hebat juga. Gesit banget. Kok nggak bilang-bilang kalo pintar silat. Kan bisa ngajarin saya…”  

     “Nanti di Banyuwangi kuajari. Biar kalau ketemu preman lagi bisa melawan..."

     “Sudah telat, Bu. Sumpah. Saya nggak berharap ketemu sama preman lagi. Ngeriiii..." 

     Mario yang menyimak obrolan kedua wanita itu akhirnya menyela. “Ada sekring juga di kamar Mbak Lika? Baru tahu aku…”

     “Iya, ada. Terhubung sama sekring yang ada di luar. Belum lama di pasang. Mas Pram yang punya ide memasang. Buat jaga-jaga kalau ada apa-apa. Ternyata benar juga insting Mas Pram. Jika saja listrik nggak mati, mungkin aku masih terkurung di rumah. Nggak bisa kabur.”

     Mario manggut-manggut. Tatapannya kosong jauh ke depan. Seolah ada yang mengganggu pikirannya.

     “Mario, tolong jaga Papa,” ucapan Malika memaksa Mario kembali berpaling ke wajah keibuan yang kelabu dalam rengkuhannya.

    “Ya Mbak. InsyaAllah Papa aman sama aku,” bisik Mario lembut.

     Tangannya merogoh saku jaket dan mengeluarkan Iphone model terbaru. 

     Mario memperlihatkan video seorang lelaki tua tengah duduk santai di sebuah ruangan sederhana. Tatapannya tertuju ke arah televise.

    Gambar kemudian beralih ke dapur, di mana seorang perempuan paroh baya bertubuh semampai dan masih gesit sedang menyeduh kopi. Sesekali ibu     

     Mario tersenyum kea rah kamera. 

Video berakhir saat ibu Mario memberikan kopi kepada Pak Atmo dan keduanya saling menatap dengan senyuman manis.

    “Video ini kuambil dua hari lalu. Lihatlah, Papa begitu sehat dan bersemangat.” 

    “Papa, syukurlah. Ibumu juga sehat dan ceria…” bisik Malika lega melihat ayahnya nampak tenang dan sumringah.

     Senyum sumringah ayahnya mampu mengikis beban dan kesedihan Malika. Apalagi mengingat kedua anaknya juga aman di pondok pesantren.   

    Sedangkan Pramono suaminya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya. Pramono adalah laki-laki dewasa dan matang. InsyaAllah baik-baik saja. 

     Ting tong ting tung. Ting tong ting tung. Mohon perhatian. Kepada para penumpang Kereta api Sri Tanjung jurusan Banyuwangi…

     Suara khas yang membahana seantero stasiun itu menyentakkan Mario, seketika ia menarik ponselnya dari hadapan Malika. Pemuda itu mulai panik.

    Kini perhatian Mario beralih pada Darsih. Ia menyalami wanita berkulit hitam manis itu dan menatap lekat bola matanya. Berdampingan dengan Mario seperti ini, pemilik tinggi 150 cm itu terlihat begitu mungil. 

    “Maafin aku Mbak Sih, nggak bisa mendampingi kalian melewati ini. Aku harus menjaga papa. Makasih udah menemani Mbak Lika.”

    “Santai aja Mas. Apapun akan kulakukan untuk membalas budi baik Bu Lika. Dia orang baik. Tidak seharusnya mendapat perlakuan buruk seperti ini,” sahut Darsih menandaskan.  

    Mario sedikit terperangah mendengar ucapan itu. Apalagi sorot mata Darsih yang langsung menghujam ke matanya. Seketika perasaan Mario bagai tersentil. Ia seolah tahu kemana arah ucapan Darsih.

     “Maafin aku Mbak. Jika saja Papa tidak dalam kondisi terancam, sudah kuantar kalian ke Banyuwangi atau kemanapun kalian mau pergi. Bukannya aku lepas tanggung jawab,” kilah Mario agak ketus dengan wajah memerah.

     Gantian kini Darsih yang terperangah. Sontak menatap Malika. Bingung juga kenapa Mario tiba-tiba menjadi kesal. 

     “Ma-maaf Mas. Orang-orang itu yang kumaksud. Mereka tidak tahu betapa baiknya Bu Lika,” Darsih segera meralat, disambung dengan keluhan, “Saya masih nggak percaya mengalami lakon seperti ini. Apalagi hampir pecah kepalaku terkena dor …”

     “Mbak Darsih, Mario, sudahlah…” Malika segera melerai melihat keduanya berdebat dan masing-masing mulai menunjukkan ekspresi tegang.

    Mario yang masih belia kurang mampu menguasai emosi. Jiwanya masih labil. Sementara Darsih ceplas-ceplos apa adanya. Terkadang bicaranya asal tidak dipikir akibatnya bagi orang lain.

     “Mbak Darsih, mungkin Mario merasa bersalah karena nggak bisa melindungi kita,” bisik Malika pada Darsih.

    Berkata begitu sambil mendongakkan kepala menatap wajah Mario lembut. Ia tidak mau Mario emosi yang bisa memunculkan masalah baru di atas masalah yang telah terjadi. 

     Malika memerlukan Mario dan Darsih untuk membantunya mencari jalan keluar dari masalah ini.  

     Darsih manggut diiringi senyuman getir. Mengabaikan Mario yang masih memperhatikannya dengan perasaan bersalah. Perasaan bingung dan campur aduk membuat Darsih tak bisa berpikir jernih.

    Ia duduk di kursi dan memeluk tas kecil. Menekuri lantai sambil terkantuk-kantuk.  

     Seruan petugas melalui pengeras suara kembali terdengar. Disusul bunyi lengkingan kereta api yang datang dari jauh. Dari arah Surabaya.

     Darsih menatap Mario sekilas dan menganggukkan kepala tanda pamit. Ia berjalan terlebih dulu ke arah petugas untuk menyerahkan tiket. 

     Langkah Darsih sedikit pincang. Kedua telapak kakinya sakit berdarah usai dipaksa berlari melewati semak belukar dan bebatuan sepanjang 500 meter. Lupa mengenakan sandal. 

     “Mbak pergi dulu, Dik. Assalamualaikum,” bisik Malika sambil mengusap bahu adiknya lembut. Mario tergagap.

    Malika segera membuntuti langkah Darsih yang menunggu di depan pintu masuk keberangkatan.    

     Mario tiba-tiba terkesiap kaget ketika Malika mengulurkan tiket. Ia melihat telapak tangan Malika memar dan berdarah.

      Reflek tatapan Mario turun ke bawah, kaki Malika yang telanjang juga dipenuhi luka memar dan goresan.

     Mario menatap sendu kakaknya hingga sosoknya memasuki gerbong kereta. 

     Malam itu pukul 02.30 dini hari, kereta api yang ditumpangi Malika dan Darsih bertolak ke Banyuwangi.  

      Malika memilih pergi ke Banyuwangi bukannya tanpa sebab. Di sana ada bibinya. Cocok untuk menenangkan diri.

     Namun, ada yang lebih penting dari itu semua. Ia ingin mengorek keterangan dari Darsih tentang peristiwa yang baru saja dialami.

     Tentang 3 preman yang menyerang rumahnya. Malika merasa yakin, Darsih mengetahuinya. 

    ***

itu.

     ***

Bab terkait

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 02

    Setelah menempuh perjalanan kereta api selama 5 jam, ditambah naik taksi dua jam, Malika dan Darsih tiba di tempat yang dituju. Kampung halaman ayahnya. Pukul 10 pagi. Malika langsung ke rumah neneknya yang sekarang dihuni Bik Atmi, adik bungsu papanya. Tanpa mandi terlebih dahulu Malika langsung tidur hingga tengah hari. “Nduk, bangun dulu. sudah jam dua siang. Kamu belum makan sama salat Dhuhur.” Dengan malas Malika membuka mata. Menyapukan sekeliling bangunan yang luas tanpa sekat. Rumah kuno terbuat dari kayu jati dengan lantai ubin. Semilir angin masuk dari jendela yang terbuka lebar di samping ranjang, Langsung menghadap kebun pisang dan persawahan. “Nduk, kamu kenapa tho kayak gini modelnya?” Bik Atmi yang sejak tadi penasaran langsung bertanya begitu Malika membuka mata. Wajah lelah dan murung, baju yang dikenakan ala kadarnya, seperti daster rumahan, tapi sedikit lebih modis. Tangan dan kakinya memar-memar. Jilbab yang dikenakan tadi tak kar

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 03

    Ini hari ketiga Malika berada di Banyuwangi. Rasa sakit dan pegal-pegal di tubuhnya mulai berkurang. Luka gores di kaki dan tersandung bebatuan saat berlari menyisakan sedikit nyeri. Namun, pikiran Malika masih kacau, ditambah lagi kepikiran pada sosok yang mengintipnya kemarin. Malika benar-benar susah. Gelisah tak menentu. "Siapa orang itu? Jika benar ia memotretku diam-diam tanpa baju, bisa gila aku. Duh, Ya Allah. Apa dosa dan salahku hingga mengalami nasib apes seperti ini?!" Niatnya ke Banyuwangi untuk menenangkan diri, justru hak buruk dan ketakutan yang didapat. Malika tidak mau bercerita pada Bik Atmi. Baginya ini aib yang harus disimpannya rapat-rapat. Malika menghampiri Bik Atmi yang sibuk menimbang buah naga di teras. Kesibukan yang dipilih Bik Atmi untuk mengisi waktu luang sejak 5 tahun lalu. “Bulek, saya mau ke rumah Darsih dulu. “ Bik Atmi sontak menghentikan sejenak kesibukannya, mencatat harga yang harus dibayar ke petani buah naga.

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 04

    Malika sudah tiga hari ini berada di Bali. Tepatnya di Kintamani. Daerah pegunungan berhawa sangat dingin. Sebagian besar warganya menanan buah jeruk dan kopi.Panorama yang sangat indah menjadikannya tujuan wisata. Yang paling banyak dikunjungi adalah Danau Batur dengan 3 gunung yang berjajar mengellilingi danau. Ada gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung.Sore itu usai bersih-bersih rumah dan mandi, Malika menelpon Mario. Ia Ingin tahu keadaan ayah dan kedua anaknya.Mario menjawab santai dan enteng.“Jangan khawatir, Mbak. Papa baik-baik saja. Aman di rumah ibu. Pulang kantor ini aku akan pulang ke sana. Papa nitip rujak cingur langganan kita.”“Syukurlah kalo gitu. Dari dulu Papa jarang nelpon kalau nggak penting banget. Ditelpon juga jarang mau jawab,” keluh Malika. “Begitulah Papa. Apalagi sejak penyakit asam uratnya sering kambuh. Tapi sejak bersama ibu nggak pernah kumat. Ibu terus memperhatikan makanan Papa.”“Iya, Alhamdulillah. Mbak senang ada yang merawat papa dengan

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 05

    "Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar. Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu. “Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol. "Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja." Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan." Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya. "Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 06

    "Malikaaa… kebiasaan buruk. Apa susahnya bawa baju ganti ke kamar mandi. Nggak hanya pakai handuk begini. Kamu mau diperkosa orang?!” hardik Pramono geram melihat istrinya keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tubuhnya yang tertutupi dari batas dada hingga pertengahan paha. Persis bayi pakai grito. Saat itu Pramono benar-benar murka. Begitu Malika telah masuk kamar. Ia mendorong tubuh istrinya ke tembok, lalu menudingi muka Malika dengan wajah merah penuh emosi. Sementara tangan kirinya berkacak pinggang. “Di kamar kita ini sudah ada kamar mandi. Masih saja mandi dekat dapur. Kamu sengaja ya buat menggoda Heru sama Mario! Kamu ingin mancing nafsu mereka untuk memperkosamu. Kalau begitu, percuma kamu pakai gamis dan jilbab!” Malika benar-benar sangat takut. Ia sampai menangis tersedu-sedu. Sakit hati dan raga. Ucapan kasar dan pedas Pramono meruntuhkan kekerasan hati Malika. Seketika bakat ngeyelnya runtuh. Yang ada hanya rasa pilu dan terkoyak. Merasa sa

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 07

    Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas. “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desis Anton hampir tak terdengar. Ingatan Malika tentang si pemuda segera terajut.“Lho, kamu yang dulu ngekos dekat rumah Budhe Sun itu kan? Sekarang kok ada di sini?” seru Malika kembali teringat peristiwa enam bulan lalu. “Eh ibu. Iya Bu. Hanya sebulan. Sementara aja di sana. Sekarang kami tinggal kerja di sini,” jawab pemuda yang diperkirakan berusia 25-an tahun itu gugup. Malika hanya manggut-manggut, terpaku pada tahi lalat di dagunya. Semakin menambah manis saat ia tersenyum. Giginya berderet rapi dan putih. Sangat kontras dengan kulit tembaganya. “Le, Anton. Diajak masuk tamunya. Kasihan kedinginan di luar!” suara lelaki bernada berat terdengar dari dalam. “Inggih, Pak.” Anton mengiyakan. Dengan sigap kedua tangannya membuka leb

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 08

    Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel. Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang. “Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sam

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 09

    Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t

Bab terbaru

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 46

    Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 45

    Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 44

    Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 43

    Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 42

    Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 41

    Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 40

    Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 39

    Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 38

    “Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L

DMCA.com Protection Status