Setelah menempuh perjalanan kereta api selama 5 jam, ditambah naik taksi dua jam, Malika dan Darsih tiba di tempat yang dituju. Kampung halaman ayahnya. Pukul 10 pagi.
Malika langsung ke rumah neneknya yang sekarang dihuni Bik Atmi, adik bungsu papanya. Tanpa mandi terlebih dahulu Malika langsung tidur hingga tengah hari.
“Nduk, bangun dulu. sudah jam dua siang. Kamu belum makan sama salat Dhuhur.”Dengan malas Malika membuka mata. Menyapukan sekeliling bangunan yang luas tanpa sekat. Rumah kuno terbuat dari kayu jati dengan lantai ubin.
Semilir angin masuk dari jendela yang terbuka lebar di samping ranjang, Langsung menghadap kebun pisang dan persawahan.
“Nduk, kamu kenapa tho kayak gini modelnya?” Bik Atmi yang sejak tadi penasaran langsung bertanya begitu Malika membuka mata.
Wajah lelah dan murung, baju yang dikenakan ala kadarnya, seperti daster rumahan, tapi sedikit lebih modis. Tangan dan kakinya memar-memar.
Jilbab yang dikenakan tadi tak karuwan bentuknya. Rambut apalagi, bentuknya yang bergelombang begitu berantakan seperti sarang burung onta.
“Nggak biasanya kayak ondel-ondel gini,” gumamnya lagi berusaha mencairkan suasana yang kaku.
“Salah Bulek. Kayak ogoh-ogoh. Tinggal diarak pas malem Nyepi nanti,” clemong Malika sambil menggoyang-goyangkan tangan dan kepalanya. Menirukan gerakan ogoh-ogoh.
"Bocah sinting!" Bik Atmi langsung tergelak, tidak lupa memukul bahu ponakannya gemas. Jarak usia keduanya hanya 8 tahun membuat hubungan mereka seperti kakak dan adik saja.
Melihat Malika lebih banyak diam dan tercenung dengan tatapan kosong, Bik Atmi tidak tega bertanya macam-macam. Jelas ia sedang diterpa masalah yang cukup gawat.
Bik Atmi beranjak ke dapur mengambil nasi dan sayuran, lantas ditaruh di depan keponakan yang amat disayanginya itu.
Malika langsung melahap sayur nangka olahan Bik Atmi. Ditambah lauk tempe goreng dan pindang kecil kesukaannya.“Maaf Bulek, makanku banyak kali ini. Laper banget sih.”
“Bulek malah senang. Ayo ambil lagi sayurnya. Kemarin sore itu, tiba-tiba Bulek pingin masak sayur nangka banyak. Kayaknya ada filing mau kedatangan tamu. Eh, ternyata kamu yang datang…”“Pas deh. Penggemar sayur nangka,” timpal Malika senang. “Kalo papa yang datang, mubazir dong sayurnya.”
Bik Atmi tersenyum mengiyakan. Kembali ke dapur lagi untuk mengambil air minum buat Malika.
Wanita paroh baya berambut agak kriwul seperti abangnya itu sudah menjanda 10 tahun. KDRT yang dialami dalam rumah tangganya membuat Bik Atmi trauma menikah lagi. Nasib pernikahannya hampir mirip dengan Darsih.Lha memang, mantan suami Bik Atmi itu juga mantan suaminya Darsih. Belum satu tahun bercerai dengan Bik Atmi, si Bambang menikah sama Darsih.
Namun, pernikahan Darsih dan Bambang tidak menghasilkan anak. Sedangkan sama Bik Atmi punya satu anak laki. Sekarang menjadi ABRI dan bertugas di Kalimantan.
Kebiasaan si Bambang main pukul atau KDRT juga diturunkan pada si Darsih. Siapa perempuan yang kuat dan tahan dijadikan boneka tinju, setiap hari dipukuli. Setelah melaporkan si Bambang ke polisi, Darsih pun mengurus cerai.
Bik Atmi muncul dari dapur membawa kendi dan sebuah cangkir seng kembang-kembang hijau. Perabot kuno kesukaan Malika.
Bik Atmi menuang air ke dalam cangkir lantas diulurkan pada Malika. Sedangkan kendinya ditaruh di meja samping ranjang. "Makasih Bulek. Maaf merepotkan."
"Halah, gini aja kok. Bulek seneng banget kamu datang. Sudah setahun kan nggak ke sini?"
Malika manggut. "Maaf Bulek. Kami sibuk banget."
“Bapakmu sehat kan, nduk? Sudah ada delapan bulan nggak pulang sini. Biasanya jedal-jedul. Tiga atau empat bulan sekali datang."
Bik Atmi duduk di samping Malika dan memperlihatkan 3 potong daster yang diambil dari dalam lemari. Daster milik Malika yang tersimpan sejak 5 tahun lalu. Malika menggunakan jika pulang kampung saja.
“Alhamdulillah sehat, Bulek. Papa sekarang jarang tinggal di Mojokerto. Paling dua minggu sekali datang.”
“Tinggal di rumah Sidoarjo pastinya. Biar dekat sama kantor.”
“Tidak juga, Bulek. Papa lebih sering di tempatnya Buk Ratna…”
“Ratnawati? Yang diaku sebagai istri mudanya itu?” potong Bik Atmi jengah. Bibirnya yang membentuk huruf M itu menjap-menjep sinis.
“Heran aku sama Mas Atmo itu, bisa-bisanya menyimpan rahasia busuk sampai puluhan tahun,” omelnya gusar.
“Gitu kok sering nasehatin aku. Jadi istri yang penurut ya, setia. Eeh, dia sendiri gitu. PREETT…” Bik Atmi menyebikkan bibirnya.Saking kesalnya, tanpa sadar daster dalam pegangannya dihempaskan ke ranjang. Apes. Bagian leher daster nyemplung ke dalam kuah sayur nangka.
Malika hanya terlongong melihat ekspresi konyol Bik Atmi yang menumpahkan kekesalannya. Namun seketika berubah panik melihat dasternya telah ternoda.
“Buleekk. Daster ini nggak salah lho. Kasihan nih, kepedesan!” pekik Malika sewot. Sontak menarik ke atas daster kembang-kembang warna hijau itu.
Dari ketiga daster yang diperlihatkan Bik Atmi, Malika paling menyukai yang warna hijau ini. Kainnya paling lembut dan adem. Yang lebih penting lagi masih utuh alias tidak bolong seperti dua rekannya.
“Ya Allah, orang emosi selalu saja merugikan orang lain,” keluh Malika menatap bibinya dengan wajah masam.
“He he he… maaf ya daster.” Bik Atmi terkekeh. Memandang daster yang kotor dengan perasaan bersalah. “Pake yang warna merah aja. Dijamin lebih adem dan semriwing.”
“Lha iya, banyak jendelanya. Di bagian ketiak, perut. Sama di bokong juga. Bulek sih nggak mau ngasih makan Mbak Siti. Saking laparnya sampai makan baju.”
Jawaban Malika membuat Bik Atmi terpingkal-pingkal sampai memegang perutnya yang kaku. Memang tobat bicara sama Malika.
“Bulek, insyaAllah nanti saya cerita kalo udah selesai mandi,” pungkas Malika menepuk bahu Bik Atmi yang masih terguncang oleh tawa. Mengusap juga mukanya seperti gaya Mbah dukun mengobati pasien yang kesurupan.
“Haduh. Mbak Siti kesukaan si meong,“ Bik Atmi kemudian menarik nafas panjang dua kali untuk menghentikan tawanya.
“Tentu saja kamu harus cerita, Nduk. Siapa tahu Bulek bisa bantu. Nah, sekarang mandilah dulu biar segar. Nanti Bulek obatin lukamu.” Wanita penggemar film komedi horor itu menyentuh pelan kulit tangan Malika yang memar-memar.Satu pertanyaan yang hendak terlontar keluar kembali ditahan begitu melihat Malika bangkit dengan tergesa-gesa.
“Kebelet kencing, Bulek. Maaf ya, belum bisa bantu beres-beres rumah.”
Tanpa menunggu jawaban bibinya, Malika menyambar handuk di tepi ranjang dan berjalan tergesa menuju kamar mandi yang berada di luar rumah, tepatnya di samping dapur.
Kamar mandi model kuno tanpa atap. Dindingnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Begitu pula dengan pintunya.
Sebuah gentong besar dari tanah liat menjadi penampung air. Air itu dialirkan dari sumur yang ditarik dengan mesin sanyo.
Hmm… suasana tempo dulu ini sangat menyejukkan hati. Malika bagai kembali ke masa anak-anak dan remajanya dahulu.
“Lhah, kok mandi situ. Di dalam kan ada kamar mandi tho Nduk…!” teriakan bernada khawatir melengking dari arah dapur. Menghentikan langkah Malika yang telah tiba di depan pintu jeding.
Bik Atmi berdiri di depan pintu dengan kedua mata membeliak.
Malika tersenyum mengangkat kedua bahu. Di dalam rumah telah tersedia kamar mandi bergaya modern bak di hotel yang dibangun papanya, tapi Malika lebih memilih di sini.
“Pingin yang alami-alami, Bulek. Menyatu dengan alam. Biar pikiran seger. Nggak ada ular kan?” jawab Malika enteng.
“Nggak ada sih, tapi yo hati-hati aja. Takutnya nanti ada ular berkepala manusia. Wong dindingnya kayak gitu. Bulek mau ke warung dulu, cari param kocok buat mijit tubuhmu.”
“Inggih Bulek.” Malika segera memasuki jeding seluas 2x2 meter itu dan menutup pintunya. Ketinggiannya hanya sebatas telinga Malika.
Setelah melucuti semua bajunya, Malika duduk di atas batu besar dan mulai mengguyurkan air dari dalam gentong. Kaki dan tangannya yang penuh luka gores terasa perih ketika tersapu dinginnya air.
"Eh, apa itu tadi?" seru Malika tertahan. Sontak berhenti mengguyurkan air ke tubuhnya. Ia merasa ada kilatan cahaya masuk dan menimpa tubuhnya lewat celah dinding, di bagian samping.
Wanita itu tertegun. Dengan nanar memperhatikan celah anyaman daun kelapa. Di sekeliling jeding tradisional ini ditumbuhi pohon kelapa dan rimbunan pohon pisang besar-besar membuat suasana sekitar jeding menjadi agak gelap.
Malika mendongakkan kepala ke atas, sinar matahari dari arah barat memantul. Pijarnya menerpa tubuh Malika.
“Hah, kukira kilatan blits kamera. Emm...Lagipula di zaman modern gini mana ada orang ngintip. Wanita seksi dan bugil banyak di internet. Kalo pingin lihat, tinggal buka gambar atau linknya,” batin Malika bergumam konyol, mengenyahkan pikiran buruknya.Segarnya air yang menyesap masuk ke dalam pori-pori kepala seolah membuka pikiran Malika tentang sesuatu.
“MBak Darsih. Aku harus segera ke rumahnya untuk mengambil tas belanjaku. Di dalam tas itu ada ponsel dan uang. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tapi lumayan buat makan sehari-hari.
Ponselnya itu yang penting. Malika sudah tak sabar ingin menelpon suaminya, Pramono. Begitu teringat sama ponsel dan tasnya, Malika segera mengakhiri mandinya. Setelah meremas-remas rambutnya yang basah, Malika bangkit untuk meraih handuk yang tersampir di atas papan pintu. “Ya Allah…!” lengking Malika kaget. Tepat di celah pintu daun kelapa, ada sepasang mata menghujam ke arah tubuhnya. Tak lama setelah dirinya menjerit, benda berwarna gelap itu segera bergeser ke samping.Telinga Malika masih sempat mendengar hembusan nafasnya yang berat, disusul suara langkah kaki menjauh dengan buru-buru.
Malika terkesiap. Kedua matanya nanar memperhatikan keluar pintu.“Pria baju hitam. Astogfirullah…” Jantung Malika seketika berdebar sangat kencang dan kakinya gemetaran. Ia tak sanggup membayangkan pria itu telah melihat dirinya dalam kondisi tak pakai baju.Takut akan terjadi hal yang tak dinginkan, Malika segera membalut tubuhnya dengan handuk dan berlari masuk rumah.
Malika bersumpah. Ini kali terakhir dirinya mandi di kamar mandi belakang rumah. “Naudzubillah. Nggak usah nunggu sampai diapa-apain, hiii…”
*** Usai salat Asar Malika ke rumah Darsih. Jaraknya hanya 100 meter dari rumah Bik Atmi. Antara Malika dan Darsih tidak ada hubungan darah sama sekali.Di waktu lampau, setiap kali pulang ke kampung halaman ayahnya itu, Malika sering bermain dengan Darsih dan anak-anak desa lainnya.
Yang paling terkesan adalah naik kerbau milik kakeknya Malika. Menuju sungai yang jauhnya 200 meter dari rumah. Satu kerbau bisa dinaiki tiga sampai empat anak. Lantas mandi bareng-bareng campur sama kerbau.
“Darsih sedang keluar, Nduk. Belum ada setengah jam. Tadi ditelpon temannya, diajak ketemuan. Dengarnya di depan balai desa sana,” jelas emaknya Darsih setelah keduanya bersalaman dan tukar kabar.
Tadi pagi Malika belum sempat ke sini. Langsung ke rumahnya masing-masing.
“Teman lamanya Darsih ya budhe?” “Kurang tahu ya. Suara laki-laki. Logatnya seperti wong Suroboyo.” “Oh, begitu. Iya sih, temannya Darsih dari sini banyak yang kerja di Surabaya dan Sidoarjo. Bahkan banyak yang sudah menetao di sana,” timpal Malika tidak ada pikiran buruk.Malika memperhatikan sekeliling rumah yang sepi. Bentuk rumah Darsih tidak jauh beda dengan rumah Bik Atmi. Rumah kuno yang dibangun tahun 1950-an. Hanya saja yang ini sudah dikeramik warna coklat muda.
Penampilan emaknya Darsih menambah aura tempo dulu semakin kental. Sebuah jarit kembang-kembang coklat dipadu dengan kebaya krem membalit tubuhnya yang pada berisi.
Malika serasa masuk dalam kehidupan tahun 1970 sampai 80-an. Begitu eksotik dan teduh.
“Monggo Nduk, eh Bu Lika… masuk dulu!” perempuan seumuran dengan Pak Atmo ini nampak gugup dan bingung. Emaknya Darsih sudah menganggap Malika seperti anaknya sendiri.
Namun, posisinya sebagai majikan dari anaknya membuat Emak Darsih bingung harus memanggil dengan sebutan apa.
"Seperti biasa saja, Budhe. Panggil Nduk."
Emaknya Darsih tersenyum simpul.
“ASsalamualaikum,” Malika masuk rumah dengan santun.
“Waalaikumsalam warohmah,” Emaknya Darsih menjawab salam, lantas masuk ke dalam. Tidak lama kemudian keluar lagi membawa kresek dan menyerahkannya pada Malika. “Darsih nitip ini buat Bu Lika…” “Ooh inggih. Makasih Budhe.” “Mau teh apa kopi? Atau coklat?” “Waaah, ada coklat tho? Kalau begitu coklat aja, Bulek.” “Iya. Bikinan sendiri. Panen dikit di kebun. Tunggu dulu ya?” Sepeninggalan emaknya Darsih, Malika langsung menelpon Darsih. Meskipun sudah berkali-kali dipanggil tetap tak ada jawaban. Ponselnya Darsih aktif dua jam lalu. Malika menghembuskan nafas kecewa.“Minta tolong, Budhe. Kalau Darsih sudah pulang, suruh ke rumah Bik Atmi nggih.”
“Iya, Nduk. Eh, Bu Lika,” jawab emak Darsih belepotan. Kemudian nyengir sambil menepukkan tangan ke mulutnya sendiri. Malika tersenyum geli melihat ekspresi lucu emaknya Darsih. Usai menghabiskan coklat panas dan ngincipi kripik pisang, Malika pamit pulang.Begitu tiba di rumah, Malika langsung menelpon suaminya. Tidak ada jawaban meski sudah berulangkali ditelpon. Gagal menghubungi Darsih dan Pramono membuat Malika sangat kesal.
“Keterlaluan sekali kamu Mas. Lima hari nggak pernah nelpon. Sekarang ditelpon malah nggak nyambung.” BUG. Malika melempar ponselnya di sudut ranjang. Mukanya cemberut dengan nafas sedikit tersengal.
Wanita itu lantas menjatuhkan tubuhnya yang masih pegal-pegal di atas kasur. Tengkurap memeluk guling. Kaku.
Bik Atmi yang sudah duduk di tepi ranjang manggut-manggut maklum. Geli juga melihat wajah 41 tahun itu ngambek. Persis gadis ABG yang dilarang sang ayah menemui kekasihnya.
“Ooohh… lagi perang sama suami tho, ceritanya ini. Perang dingin atau…”
“Perang Dunia kelima, Bulek,” sahut Malika sekenanya. “Wah, lumayan seru kalo gitu,” timpal Bik Atmi terkekeh. “Nggak usah teriak lho ya. Bulek akan mengurutmu pelan-pelan.”Candaan dan sikap Bik Atmi yang santai selalu mampu membuat hati Malika luluh. Malika tersenyum dan menaikkan rambutnya ke atas.
Teringat pada kebiasaannya saat kecil, kalau diurut selalu berteriak-teriak histeris membuat sakit telinga yang memijatnya. Sakit bercampur geli.
“Ayo dibalik tubuhnya. Terlentang dulu!”
Malika menurut, membetulkan posisi tubuhnya senyaman mungkin. Jari-jari Bik Atmi menyingkap rok Malika ke atas, kemudian dengan lembut dan pelan-pelan membalurkan param kocok ke sekujur paha.Malika pasrah, memejamkan mata. Semilir angin sore masuk lewat jendela yang terbuka lebar.
Tanpa disadari oleh kedua perempuan itu, Kira-kira 5 meter dari jendela, sepasang mata mengintai dari balik pohon pisang, Menghujam tanpa sekat pada sosok Malika yang tergolek di atas kasur. Terlentang menantang dengan tubuh nyaris tanpa busana.
Ekspresi Malika yang berkedip-kedip sayu dan sesekali merintih sakit menikmati pijatan wanita paroh baya di sampingnya membuat darah lelakinya meluap-luap.
“Aku harus bisa memilikimu. Apapun caranya,” desisnya di antara sengal nafasnya yang terus memburu dan jantung berdebar kencang. Hawa panas menguasai sekitar area intimnya hingga kemudian celananya terasa sempit.
Lelaki berkaos hitam itu melenguh panjang, menikmati sensasi yang sangat menyenangkan.
“Malikaaa… Ugghh.”***
Ini hari ketiga Malika berada di Banyuwangi. Rasa sakit dan pegal-pegal di tubuhnya mulai berkurang. Luka gores di kaki dan tersandung bebatuan saat berlari menyisakan sedikit nyeri. Namun, pikiran Malika masih kacau, ditambah lagi kepikiran pada sosok yang mengintipnya kemarin. Malika benar-benar susah. Gelisah tak menentu. "Siapa orang itu? Jika benar ia memotretku diam-diam tanpa baju, bisa gila aku. Duh, Ya Allah. Apa dosa dan salahku hingga mengalami nasib apes seperti ini?!" Niatnya ke Banyuwangi untuk menenangkan diri, justru hak buruk dan ketakutan yang didapat. Malika tidak mau bercerita pada Bik Atmi. Baginya ini aib yang harus disimpannya rapat-rapat. Malika menghampiri Bik Atmi yang sibuk menimbang buah naga di teras. Kesibukan yang dipilih Bik Atmi untuk mengisi waktu luang sejak 5 tahun lalu. “Bulek, saya mau ke rumah Darsih dulu. “ Bik Atmi sontak menghentikan sejenak kesibukannya, mencatat harga yang harus dibayar ke petani buah naga.
Malika sudah tiga hari ini berada di Bali. Tepatnya di Kintamani. Daerah pegunungan berhawa sangat dingin. Sebagian besar warganya menanan buah jeruk dan kopi.Panorama yang sangat indah menjadikannya tujuan wisata. Yang paling banyak dikunjungi adalah Danau Batur dengan 3 gunung yang berjajar mengellilingi danau. Ada gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung.Sore itu usai bersih-bersih rumah dan mandi, Malika menelpon Mario. Ia Ingin tahu keadaan ayah dan kedua anaknya.Mario menjawab santai dan enteng.“Jangan khawatir, Mbak. Papa baik-baik saja. Aman di rumah ibu. Pulang kantor ini aku akan pulang ke sana. Papa nitip rujak cingur langganan kita.”“Syukurlah kalo gitu. Dari dulu Papa jarang nelpon kalau nggak penting banget. Ditelpon juga jarang mau jawab,” keluh Malika. “Begitulah Papa. Apalagi sejak penyakit asam uratnya sering kambuh. Tapi sejak bersama ibu nggak pernah kumat. Ibu terus memperhatikan makanan Papa.”“Iya, Alhamdulillah. Mbak senang ada yang merawat papa dengan
"Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar. Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu. “Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol. "Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja." Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan." Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya. "Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni
"Malikaaa… kebiasaan buruk. Apa susahnya bawa baju ganti ke kamar mandi. Nggak hanya pakai handuk begini. Kamu mau diperkosa orang?!” hardik Pramono geram melihat istrinya keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tubuhnya yang tertutupi dari batas dada hingga pertengahan paha. Persis bayi pakai grito. Saat itu Pramono benar-benar murka. Begitu Malika telah masuk kamar. Ia mendorong tubuh istrinya ke tembok, lalu menudingi muka Malika dengan wajah merah penuh emosi. Sementara tangan kirinya berkacak pinggang. “Di kamar kita ini sudah ada kamar mandi. Masih saja mandi dekat dapur. Kamu sengaja ya buat menggoda Heru sama Mario! Kamu ingin mancing nafsu mereka untuk memperkosamu. Kalau begitu, percuma kamu pakai gamis dan jilbab!” Malika benar-benar sangat takut. Ia sampai menangis tersedu-sedu. Sakit hati dan raga. Ucapan kasar dan pedas Pramono meruntuhkan kekerasan hati Malika. Seketika bakat ngeyelnya runtuh. Yang ada hanya rasa pilu dan terkoyak. Merasa sa
Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas. “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desis Anton hampir tak terdengar. Ingatan Malika tentang si pemuda segera terajut.“Lho, kamu yang dulu ngekos dekat rumah Budhe Sun itu kan? Sekarang kok ada di sini?” seru Malika kembali teringat peristiwa enam bulan lalu. “Eh ibu. Iya Bu. Hanya sebulan. Sementara aja di sana. Sekarang kami tinggal kerja di sini,” jawab pemuda yang diperkirakan berusia 25-an tahun itu gugup. Malika hanya manggut-manggut, terpaku pada tahi lalat di dagunya. Semakin menambah manis saat ia tersenyum. Giginya berderet rapi dan putih. Sangat kontras dengan kulit tembaganya. “Le, Anton. Diajak masuk tamunya. Kasihan kedinginan di luar!” suara lelaki bernada berat terdengar dari dalam. “Inggih, Pak.” Anton mengiyakan. Dengan sigap kedua tangannya membuka leb
Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel. Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang. “Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sam
Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t
“Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L