Share

BAB 06

Penulis: Rini Kristina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

     "Malikaaa… kebiasaan buruk. Apa susahnya bawa baju ganti ke kamar mandi. Nggak hanya pakai handuk begini. Kamu mau diperkosa orang?!” hardik Pramono geram melihat istrinya keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tubuhnya yang tertutupi dari batas dada hingga pertengahan paha. Persis bayi pakai grito.

     Saat itu Pramono benar-benar murka. Begitu Malika telah masuk kamar. Ia mendorong tubuh istrinya ke tembok, lalu menudingi muka Malika dengan wajah merah penuh emosi. Sementara tangan kirinya berkacak pinggang.

     “Di kamar kita ini sudah ada kamar mandi. Masih saja mandi dekat dapur. Kamu sengaja ya buat menggoda Heru sama Mario! Kamu ingin mancing nafsu mereka untuk memperkosamu. Kalau begitu, percuma kamu pakai gamis dan jilbab!” 

     Malika benar-benar sangat takut. Ia sampai menangis tersedu-sedu. Sakit hati dan raga. Ucapan kasar dan pedas Pramono meruntuhkan kekerasan hati Malika. Seketika bakat ngeyelnya runtuh.   

   Yang ada hanya rasa pilu dan terkoyak. Merasa sangat terhina dan rendah mendengar semburan kata-kata pedas suaminya. 

    Malika menyadari itu salahnya sendiri.  Sudah tahu banyak mata lelaki di rumahnya, tetap saja ia mengenakan baju terbuka. 

    “Bukannya apa aku suka kamar mandi luar. Ruangannya luas, dinding dan lantainya terbuat dari batu alam. Pancuran bambunya bikin kembali ke masa lampau. Duuh…, Mas Pram aja yang berlebihan banget.” 

     Saking takutnya sama suami. Mulai saat itu Malika terpaksa mandi di dalam kamar. Mewah dan modern memang, tapi sempit. Malika merasa pengap berada di dalamnya. 

    Malika juga mulai mengenakan daster yang agak panjang dan sopan. Intinya tidak menonjolkan paha dan buah dada. 

    Tapi bukan Malika kalau tidak ngeyel. Apabila Pramono pamit menginap di luar kota, Malika curi-curi kesempatan mengenakan daster kesayangannya yang ia titipkan di lemarinya Darsih.

    Habis kangen sih. Gerah lagi di rumah. Padahal waktu itu Malika mengaku kapok setengah mati. Dasar Malika ndableg.

     “Sekali lagi kamu begini. Kutelanjangin sekalian di depan mereka!”

     Kali ini Malika terperangah. Kaget setengah mati. Suara suaminya tiba-tiba kembali terngiang. Tajam dan  menusuk bagai hunusan pedang yang merobek telinga dan tembus hingga ke jantungnya. 

     Malika tersipu menatap cermin. Menyadari dirinya masih berdiri di depan cermin seperti kue lemper. Apalagi jendela kamar yang menghadap jalan setapak terbuka lebar. Begitu pula dengan pintu kamar yang tidak ditutup. 

    “Kalau ada Mas Pram bisa digantung aku. Hiih,” Malika tergidik. Tergesa-gesa ia mengenakan baju. Setelah itu mengerjakan salat Dhuha enam rokaat dilanjut dengan salat Dhuhur.

    Hingga selesai salat dhuhur, balasan dari Mario belum juga ada. Malika pun mengisi waktu dengan mengaji Al Quran

    Semenjak kedua anaknya sekolah di pesantren, Malika ikut mengimbangi dengan lebih rajin beribadah. Jika dahulu hanya mengerjakan ibadah wajib saja, sekarang hampir semua ibadah sunah anjuran Rosulullah Muhammad ia kerjakan.

     Dari salat sunah yang mengiringi salat wajib, salat Dhuha, mengaji AlQur-an, terkadang puasa Senin-Kamis juga. 

     Pramono juga melakukan hal yang sama, meskipun tidak serajin istrinya. Alhamdulillah, perasaanya lebih tenang.

    Ketika membuka AlQuran pada lembar ketiga, Malika dikejutkan bunyi ring tone lagu Dahlia Hitam dari ponselnya. Tertera nama Mak Kriwul, panggilan lain Malika untuk Bik Atmi.

     “Assalamualaikum. Bulek!” 

     “Waalaikum salam. Nduk, kemarin sore Darsih ke rumahku…”

     “Oh iya? Mbak Darsih bilang apa saja, Bulek? Apakah dia baik-baik saja? Sehat?” tanpa basa-basi Malika melontarkan banyak pertanyaan.

     “Dia minta nomormu? Sama bilang kalau mau nyusul kamu ke Bali. Katanya hari ini  berangkatnya…”

     “Benarkah itu, Bulek? Bulek nggak bohong kan?” sahut Malika tercengang.

     “Ngapain Bulek bohong, Malika? Sudah dosa, nggak ada manfaatnya juga!” ketus Bik Atmi dengan nada kesal. 

     “He he… maaf Bulek. Alhamdulillah, syukur kalo Mbak Darsih sudah insyaf. Nggak main kucing-kucingan lagi,” gumam Malika lirih diiringi tawa kecil.     

    Malika sangat senang mendengarnya, tapi masih belum mempercayai kabar itu sepenuhnya.

     “Dia belum nelpon sama kamu?”

     “Belum, Bulek. Eh… tadi ada orang tak dikenal nelpon. Apa itu Mbak Darsih.”

     “Iya, pasti itu Darsih. Oh, iya kemarin dia ke rumah sama Heru…”

     “Ha-ah. Sama Heruuu… !” Malika memotong kaget. Pikiran buruk seketika melintas di otaknya.

     “Ke-kenapa sama Heru? Kenapa Heru ada di Banyuwangi?” Setelah terdiam agak lama, terlontar pertanyaan konyol dari bibir Malika. 

     “Lho, kamu ini yang kenapa-kenapa? Aneh sekali pertanyaanmu. Istrinya Heru itu kan dari desa sini. Masih saudara jauh sama Darsih. Yang mencarikan Heru kerja di rumahmu kan Darsih juga.”

    Malika melongo. Sumpah ia tidak ingat hal itu. Banyaknya masalah yang timbul membuat otaknya benar-benar blank.   

    “Apakah Heru sudah lama di Banyuwangi, Bulek ?”

     “Katanya sih hampir sebulan. Dia sekarang bantu-bantu mertuanya mengurusi buah naga. Kemarin itu ke rumah mau menawarkan buah naga yang sebentar lagi panen.”

     Malika terduduk lemas di tepi ranjang. Matanya seketika berkunang-kunang. “Iya Bulek, makasih banyak infonya. “

     “Malika..., kamu kenapa tho? Kayak prajurit kalah perang. Tiba-tiba lemes gitu,” lengking Bik Atmi bingung campur khawatir. 

     “Iya, Bulek. Kalah perang… melawan hawa nafsu he he he…” celetuk Malika lesu. Begitulah, bakat humor Malika selalu muncul jika berhadapan dengan Bik Atmi, bahkan dalam suasana genting sekalipun. 

    “Bulek nggak usah cemas. Hanya sedikit pusing. Ini mau minum obat. Sudah dulu ya Bulek, terima kasih infonya. Assalamualaikum.” Malika menutup telpon dan menjatuhkan tubuhnya di kasur.

    Terlentang tak bergerak, menatap langit-langit rumah dengan nafas tersengal.

“Sekarang aku yakin, yang mengintip aku itu si Heru,” geram Malika mengepalkan kedua tangannya.

     Untuk beberapa saat ia larut dalam emosi. Siapapun orangnya, dalam hal ini adalah wanita yang baik-baik, pasti akan terkoyak harga dirinya apabila mengalami hal seperti itu. Kelakuan mengintip orang saat mandi itu sudah termasuk kategori pelecehan sexual.

     "Ya Allah, nggak ada gunanya terus meratapi diri atau menyalahkan orang lain. Aku juga salah. Mulai sekarang aku harus hati-hati kalo pake baju," pupus Malika jeri. Perlahan ia bangun dan mengambil ponsel yang terlempar di sudut ranjang.

     Malika mengirim pesan pada nomor baru yang diyakini milik Darsih. 

(Mbak, langsung ke rumah Budhe Sun aja kalo sudah di Bali. Smoga perjalananya lancar dan selamat sampai sini. Aamiin)

    KLING. Tak lama kemudian ada balasan masuk. 

( Inggih Buk. Aamiin. Ini dah sampai Negara. Sebentar lagi masuk  Singaraja )

    Malika sangat senang . Ternyata kabar dari Bik Atmi benar adanya. Ia kirim emot jempol dan love. “Kira-kira dua atau tiga jam lagi sampai. Alhamdulillah ya Kariim. Semoga saja Mbak Darsih membawa kabar baik.”

     Malika terdiam beberapa saat. Celingak-celinguk bingung mau menyiapkan apa untuk menyambut kedatangan Darsih.

    "Jika biasanya Mba Darsih yang melayani diriu, kali ini aku yang akan melayaninya."

     Darsih akan menjadi tamunya. Ia harus menyambut dengan baik dan menjamunya seperti yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad.

    “Ah, nanti saja kalau sudah sampai, kuajak makan di luar saja.”

     Malika melipat mukena dengan wajah sedikit berbinar.

     Ya, karena sebentar lagi pertanyaan yang sudah beberapa hari ini  mengendap di hatinya akan segera terjawab. Semoga saja. 

***

Nyari angle dari balkon rumah ini saja. Bagus. Pandangan luas dan merata. Kemarin sudah kucoba," suara serak-serak basah menyahut dari kejauhan.

     “Tapi danaunya terhalang pohon pinus itu. Kita kan butuh gambar danau yang utuh.” Yang lain tak mau kalah.

    Suara berisik anak muda terdengar samar dari luar kamar. Memecahkan konsentrasi Malika yang tengah menekuri novel online di ponselnya.

     Usai salat duhur tadi ia rebahan di atas tempat tidur, mencari inspirasi dengan membaca. Suara itu makin lama makin jelas. Saling bersahutan mengemukakan argumennya masing-masing.

    Malika melongok keluar jendela. Dari tiga kamar yang berada di lantai bawah, Malika memilih kamar paling depan. Jendelanya menghadap depan dan samping jalan setapak menuju hutan.  

   “Ini rumah terakhir. Di bawah sana hanya ada pondok dan kandang. Kalau malam pasti sepi sekali. Iih, menakutkan.”

Suara itu dibarengi dengan melintasnya empat pemuda di depan jendela samping kamar.

    Ada yang membawa kamera, tas dan tripod berukuran besar serta alat sooting lainnya. 

    Malika hanya bisa melihat muka dari samping. Meski begitu ia bisa menaksir usia mereka yang berkisar antara 22-25 tahun.

    Semuanya berambut gondrong. Bahkan ada yang panjangnya sampai pinggang. Dilihat dari belakang begini, persis anak gadis Pak Lurah he he…

     “Sepertinya mau soting film. Seru nih. Siapa tahu butuh pemeran emak-emak he he...”

    Malika menaruh ponselnya di atas ranjang. Ia menyambar jilbab dan dikenakan dengan buru-buru. Mengunci pintu ren, lantas berlari keluar mengikuti langkah anak-anak muda itu dari kejauhan.

    Meskipun matahari bersinar cukup terang, tapi udara di luar tetap dingin menusuk kulit.

    “Ooohh… itu Mas Edi. Syukurlah ada dia,” Malika bergumam lega melihat pemuda bertubuh tinggi kurus itu ada di antara mereka.

     Edi Purnomo sudah berusia 30 tahun, tapi belum menikah alias masih jomblo. Ia bekerja di kantor perhutani. Malika mengenalnya enam bulan lalu saat menginap di sini bersama keluarganya.

      Di saat rombongan pemuda itu menyusuri tebing jurang dan berhenti di tepi jurang menghadap danau Batur, Malika pilih berhenti. Tidak enak terus mengikuti mereka. Dikiranya nanti tante-tante lagi berburu brondong he he… 

    Malika tidak melihat seorang pun di kebun jeruk. Buah jeruk masih berwarna hijau dan sebagian menyemburat kuning, tapi ukurannya sudah besar. Diperkirakan sebulan lagi siap untuk dipanen.     

     “Tumben nggak ada orang di kebun. Ooh iya, sekarang kan bulan purnama sama Buda kliwon. Mungkin mereka sembahyang di Pura.”  

      Tanpa mendung tanpa angin, tiba-tiba hujan turun cukup deras.

     Malika yang berada di tengah area kebun jeruk berlari pontang-panting menuju bangunan memanjang seperti gudang. 

    Begitu tiba di depan pintu  gudang yan terbuka separoh, Malika menjulurkan kepala melongok ke dalam. 

     Di saat yang bersamaan, muncul seorang pemuda dengan langkah buru-buru keluar dari dalam gudang.

    Wajah Malika dan si pemuda hampir bersitumbuk. Keduanya sama-sama terkejut dan saling membelalakkan mata.

    “Ya Allah... Siapa iniii…?!” lengking Malika keras saking kagetnya. 

    Sedangkan si pemuda buru-buru menarik kepalanya ke belakang. Raut kaget dan tak percaya tergambar pada wajah manisnya.

    Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas.

    “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desisnya hampir tak terdengar. 

***

Bab terkait

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 07

    Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas. “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desis Anton hampir tak terdengar. Ingatan Malika tentang si pemuda segera terajut.“Lho, kamu yang dulu ngekos dekat rumah Budhe Sun itu kan? Sekarang kok ada di sini?” seru Malika kembali teringat peristiwa enam bulan lalu. “Eh ibu. Iya Bu. Hanya sebulan. Sementara aja di sana. Sekarang kami tinggal kerja di sini,” jawab pemuda yang diperkirakan berusia 25-an tahun itu gugup. Malika hanya manggut-manggut, terpaku pada tahi lalat di dagunya. Semakin menambah manis saat ia tersenyum. Giginya berderet rapi dan putih. Sangat kontras dengan kulit tembaganya. “Le, Anton. Diajak masuk tamunya. Kasihan kedinginan di luar!” suara lelaki bernada berat terdengar dari dalam. “Inggih, Pak.” Anton mengiyakan. Dengan sigap kedua tangannya membuka leb

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 08

    Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel. Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang. “Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sam

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 09

    Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 10

    “Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 11

    Uai salat magrib Malika keluar rumah untuk membeli makan. Begitu membuka pintu, tatapan Malika segera menyapu ke halaman rumah. Kali pertama yang dituju adalah gerobak motor yang menjual kopi dan gorengan. Mangkal sebelum pintu masuk ke lorong, tepat di depan kantor perhutani. Jika pagi hari sampai sore mangkal di seberang jalan. Malamnya baru pindah ke sini. Tinggal mendorong gerobaknya. Bapak penjual kopi sibuk melayani pembeli yang berjubel, dibantu putri cantiknya yang menjadi daya pikat tersendiri bagi pembeli. Namun jika malam begini sang anak jarang ikut. Istrinya yang sering membantu. Tepat di sebelahnya ada penjual jagung bakar dan kacang rebus. Beberapa lelaki berselimut sarung duduk menikmati kopi dan jajanan. Mereka duduk lesehan di atas karpet yang digelar tidak jauh dari teras kantor perhutani. Penjual kopi yang menyediakan karpet itu. Seperti biasa dibarengi obrolan seru. Canda tawa sesekali terdengar membahana. Logat Surabaya dan Madura te

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 12

    Sementara itu di dalam rumah, Malika yang ketakutan langsung mengecek semua pintu dan jendela. Memastikan semua sudah terkunci rapat. Selesai di lantai bawah, Malika pun ke lantai atas. Mengintip keluar lewat celah kelambu. "Takutnya lelaki itu bersembunyi di balkon atas. Oohh, syukurlah..." Malika bernafas lega melihat kondisi balkon kosong dan sunyi. Dirasa telah aman, Malika berbalik untuk kembali ke bawah. Namun, langkahnya mendadak terhenti di depan kamar satu-satunya di lantai atas ini. Pijar lampu neon 20 watt terlihat di bawah pintu. Lampu kamar itu sengaja dibiarkan terus menyala untuk mengurangi kesuraman dan aroma seram rumah ini. Tahu sendiri jika rumah lama dibiarkan kosong. Makluk halus dengan senang hati akan menempatinya. Hanya sekali Malika masuk ke dalam kamar untuk membersihkannya. Ruangan yang cukup luas berukuran 4x5 meter dilengkapi kamar mandi dalam dan shower air panas. Ada kompor listrik dan alat-alat makan lainnya. Tidak

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 13

    “Ya Allah, gimana jika orang itu hendak mencelakaiku? Bisa-bisanya menyelibap masuk ke rumah orang jika tidak ada maksud jahat ? “ Malika mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali tangannya memegang gagang pintu, lantas dilepaskan kembali. Batinnya berkecamuk. "Jika panggilan telpon itu berasal dari putraku Rona, alangkah menyesal aku nanti." Malika tidak ingin kehilangan moment mengobrol dengan Rona yang hanya seminggu sekali mendapat jatah nelpon dari pondok. Dan biasanya ada aja pengumuman penting yang akan disampaikan oleh putra bungsunya itu. Berpikir ke arah sana, Malika menarik nafas panjang dan menegakkan bahunya yang terkulai. Harus berani. Ia pun membuka pintu dan terbirit-birit berlari ke ruang tamu. Mengambil ponsel yang terus berisik dan berdiri dekat jendela di samping pintu depan. Tangan kanannya reflek memegang gagang pintu. Tahu kan maksudnya. Jika nanti muncul orang jahat dari dalam rumah, dirinya bisa langsung kabur keluar. Jujur

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   Bab 14

    " Sesungguhnya, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Sesudah gelap malam pasti terbit cahaya mentari" Sepenggal kata mutiara dari ponsel mengalun merdu, menemani kesendirian Malika. Pagi itu ia berdiri di balik jendela lantai atas, menghadap ke timur. Sinar matahari mulai memancar redup. Menyentuh wajah Malika yang mulai terlihat tirus. Ekor matanya tidak lepas dari kamar yang pintunya tertutup rapat. Tidak terdengar suara orang atau aktivitas yang mencurigakan. Sepi dan tenang seperti biasa. Meskipun begitu, untuk berjaga-jaga dan melindungi diri, tangan kanan Malika telah menggenggam sebilah belati. “Benar. Sesudah gelap malam pasti akan terbit matahari. Namun tidak semudah itu menjalaninya. Seperti yang kurasakan saat ini,” keluh Malika dalam. Kali ini fokus perhatian Malika tertuju ke arah depan dan kiri. Pandanganya tidak leluasa, terhalang pilar balkon dan pagar kayu sebatas perut orang dewasa. Namun, udara dingin membuatnya malas keluar. Yah, m

Bab terbaru

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 46

    Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 45

    Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 44

    Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 43

    Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 42

    Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 41

    Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 40

    Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 39

    Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 38

    “Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L

DMCA.com Protection Status