“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku.
Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap.
“Iya.”
“Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku.
“Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar.
“Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun.
“Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yang ada di samping meja makan, sambil makan apel sedikit demi sedikit.
“Tapi aku belum bisa, Del. Aku masih butuh waktu!” seruku sembari meletakkan sebilah pisau itu di atas meja dekat kompor.
“Baiklah, tidak masalah. Aku pergi dulu.” Adel berjalan tergesa-gesa menuju pintu belakang, lalu hilang tanpa jejak dan pintu belakang tidak ditutup olehnya.
“Kebiasaan anak itu. Ah sudahlah! Mending aku menyelesaikan tugasku sebelum fajar menyingsing,” gumamku sambil menutup pintu, lalu berjalan mendekati meja makan untuk menyelesaikan tugasku sambil menyantap mie yang sudah dingin.
Kretek kretek
Suara jari-jari dan punggung saat aku mulai meregangkan otot-ototku. “Tinggal sedikit lagi, pasti cepat selesai!” gumamku sembari mulai mengetik.
... ...
Kukuruyuk ...
Sinar mentari mulai mengintip dibalik jendela. Ruang tamu tampak sangat terang bahkan lebih terang dari lampu, karena ulah sinarnya yang mengenai bagian tertentu saja.
Kulirik jam dinding yang menempel di tembok sebelah bingkai foto. 05:30. “Eh, sudah pagi. Harus ke kantor, nanti siang lanjut ke gudang!” seruku sambil merapikan meja makan, lalu meletakkan laptop di dalam kamar.
Dari kamar, aku lanjut pergi ke kamar mandi dengan sedikit mengantuk karena begadang semalaman.
Rasanya hari ini ingin cuti sehari saja, tapi kebutuhan hidup yang menuntutku untuk terus semangat menjalani hari-hari di kantor dan gudang. Setiap hari aku selalu cek stok barang di gudang dan menghitung ulang di kantor agar mengurangi kesalahan tertentu.
“Az ...!” seru salah satu rekan kerjaku yang tiap hari berada di gudang.
“Hah? Ada apa?” sahutku sedikit panik.
Thania namanya. “Jangan melamun terus, entar kesambet arwah jahat loh ...,” godanya sambil sedikit berbisik.
“Siang-siang begini mana ada hantu? Coba tunjukin ...!”
Thania cengengesan saat tak bisa membuktikan apa pun padaku. Lalu ia pergi entah ke mana, karena tidak izin, biasanya izin terlebih dahulu sebelum pergi.
Hi hi hi ...
Suara wanita dengan tawa menyeringai, sempat membuat bulu kudukku berdiri. “Jangan ketawa terus Tha!” seruku sembari menatap sinis.
“Gila kamu ya AZ? Jelas-jelas aku diam begini, dikira ketawa!” sahut Thania ketus.
Kalau bukan Thania, lalu siapa? Ini siang loh, bukan malam! Masak ada hantu di siang bolong begini?
“Ta–tapi ... Tadi aku dengar suara orang ketawa ...,” jelasku sembari menatap aneh ke arah Thania. Aku melihat ada sedikit perubahan di wajah Thania dari sebelumnya.
...
“Az ...?” seru Thania. Terdengar agak jauh dariku.
Seketika aku langsung menoleh ke arah suara Thania. “Loh ... Kok kamu ada di situ Than? Bukannya kamu di sampingku barusan?” tanyaku. Aku kaget bukan kepalang ketika melihat jarak diantar kita.
“Ngaco kamu ah ... Orang tadi aku ke kamar mandi, mau cuci wajahku,” sahutnya sambil mendekatiku.
“Sumpah Thaniaaa ... Kamu barusan ada di sini bareng aku. Baru saja aku bicarakan tentang tawanya seseorang, sekarang kemunculanmu yang aneh–“
Thania langsung belok sebelum sampai di sampingku. Kupikir dia mau duduk di sampingku. “Sudahlah Az, aku masih sibuk!” serunya tanpa menatapku.
Baiklah, ada yang aneh di tempat ini. Sejujurnya aku tidak terlalu percaya tentang hal gaib atau kisah-kisah tentang roh jahat. Baru kali ini aku dibuat sedikit kebingungan.
Aku mulai merenungkan kejadian yang kualami dari pagi hingga sekarang, ada banyak kejanggalan. Bukan kejanggalan sih, lebih tepatnya misteri.
“Bu Azkia? Maaf mengganggu ....”
Sret ...
Aku langsung memutar kursi yang kududuki, lebih tepatnya kursi kantor yang mudah berputar. “Ah, kamu ini mengagetkanku saja. Ada apa?” tanyaku sembari menenangkan detak jantungku.
“Maaf, Bu. Di kantor sedang terjadi masalah. Ibu bisa datang ke sana hari ini?” sahutnya sambil menunduk.
“Baiklah, nanti aku menyusul. Oh ya Dan, nanti setelah saya ke sana, kamu bisa ikut dengan saya? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.” Aku berdiri dari tempat duduk.
“Baik, Bu. Saya permisi dulu.” Dani pergi begitu saja setelah pamit padaku.
Masalah apa lagi kali ini? Padahal yang dikantor hanya ada aku, Dani, dan Dara. “Apa yang mereka lakukan tanpaku?” gumamku sambil membereskan berkas-berkas penting, lalu menyimpannya dengan aman.
Hai, apa kabar sobatku?
Bagaimana hari kalian? Semoga selalu menyangkan ya sobat!
Terimakasih sudah mampir ke cerita ini❤️
Jangan lupa tinggalkan jejaknya 🙏🙏🙏
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal