Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka
Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama”
“Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel.
“Sudah berapa kali aku memperingatkan pada Mama? Aku tidak akan pulang sampai Mama meninggal!” sahutku dengan sedikit membentak.
“Tapi, Za–“
Panggilan telepon sudah tak terhubung lagi karena ulahku.
Lalu aku melanjutkan pandanganku lagi, namun rumah di samping terlihat sangat gelap. Merasa sedikit merinding, aku langsung lari menuju kamarku, lalu menutup seluruh tubuhku dengan selimut.
“Apa dia tahu kalau aku sedang mengintip? Kalau dia ke sini bagaimana? Ah, sialan ...!” gumamku sambil duduk melingkup (dagu menempel pada dengkul). Kedua tanganku memegang ujung jari kaki dengan sedikit bergetar.
Tok tok tok
“Siapa sih pagi-pagi sudah ketuk pintu?” gumamku sambil menggeliat di atas ranjang, seperti cacing kepanasan. Kemudian aku membuka selimut yang membalut tubuhku. Kaki kiriku mulai turun lebih dulu dan diikuti dengan kaki kanan.
Lalu aku berjalan keluar kamar menuju pintu depan sambil mengikat asal rambutku. Sebelum membuka pintu, aku mengintip dari balik tirai. Terlihat sedikit gelap dan tidak ada siapa pun di luar sana.
“Ini jam berapa?” gumamku sembari menoleh ke arah jam dinding yang ada di tembok sebelah kiri.
Aku terkejut bukan main. “Apa enggak salah mataku ini? Ini masih jam dua pagi, kenapa ada orang iseng sih?” omelku dengan wajah kesal. Kenapa harus menuruti orang iseng, mending balik ke kamar dan tidur lagi.
Saat tubuhku mulai berbaring di atas ranjang dengan nyaman, bahkan tidak mau pindah tempat lagi. Namun yang namanya orang usil ya tetap usil.
Tok tok tok
Pintu depan diketuk lagi dan lagi, bahkan kali ini lebih keras dari yang pertama.
“Mending aku tidur daripada meladeni orang jail!” gumamku lagi, lalu mulai memejamkan kedua mataku. Tapi nyatanya gagal.
Mau enggak mau, aku harus keluar rumah dan menemui orang yang telah berulang kali mengetuk pintuku.
Kriet
Pintu pun terbuka dengan lebar, tapi aku tak menemukan seorang pun di hadapanku bahkan di sekelilingku tidak ada siapa-siapa. Namun saat aku mulai membalikkan badanku, ada yang menahanku dengan memegang pundak kiriku. Spontan aku langsung menoleh dan ternyata ...
“Hai, maaf mengganggu ya, tadi sore aku belum sempat ke rumahmu untuk menyambutmu. Perkenalkan nama saya Fidelya, panggil saja Adel,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya.
Rasa takutku pun mulai menghilang ketika melihat senyumnya, terutama saat mengetahui bahwa orang iseng itu terlihat sangat baik. Lalu aku mulai menerima uluran tangannya dan menjawab. “Bukannya kamu tetangga sebelahku? Ini kan rumahmu?” Aku menunjuk rumahnya dengan jari telunjukku. Dugaanku benar, orang ini memang aneh. “Hai Adel, namaku Azkia. Oh ya jangan terlalu formal denganku. Yuk masuk ke rumah, enggak enak ngobrol di luar begini, apalagi masih gelap,” imbuhku sambil menggandeng tangannya untuk kubawa masuk.
Tapi Adel menolak terlebih dahulu. Dia memilih pergi meninggalkanku tanpa pamit.
“Ah, dasar orang jahil!” gumamku sembari masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu. Tak lupa juga aku menguncinya.
Klik Klik
Bahkan sampai dua kali penguncian, karena katanya di sini banyak sekali perampok, jadi harus ekstra hati-hati atau berjaga-jaga.
Kemudian aku masuk lagi ke dalam kamarku lalu merebahkan tubuhku dengan nyaman. Kedua mata pun mulai terlelap.
*** *** ***
Cuit cuit kukuruyuk ...
Suara burung dan ayam pun mulai terdengar bersahut-sahutan, itu tandanya matahari mulai semangat naik ke atas dan makin semangat lagi.
Sinarnya mulai menembus jendela kamarku dan mengenai kedua kelopak mataku dan juga dahiku. Mau tidak mau aku harus bangun, apalagi hari ini jadwalku sangat sibuk, bahkan lebih sibuk dari sebelumnya, karena dipindahkan ke kota kecil bukan mengurangi beban, tapi malah menambah beban. Di mana karyawannya hanya sedikit dan pengurusnya juga sedikit, jadi harus ekstra tenaga.
***
Aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke kantor, tapi sesudah mandi, bukannya pakai make up, aku malah sibuk membereskan kamarku, karena kebersihan rumah lebih penting dibandingkan kecantikan wajah.
Waktu terus berjalan, tanpa terasa waktuku untuk pergi ke kantor tinggal sepuluh menit, aku langsung mengambil tas dan berkas-berkas penting, lalu berlari tanpa memikirkan yang lainnya. Pikiranku hanya tertuju pada “sampai kantor tepat waktu”.
Aku tak peduli dengan apa yang kutumpangi saat ini, intinya harus sampai tepat waktu.
“Pak, makasih ya, ini ongkosnya!” Aku menyerahkan beberapa lembar uang untuk ojek yang kutemui di pinggir jalan. Lalu aku langsung masuk ke kamar tanpa memedulikan sesuatu.
Saat tiba di dalam kantor, banyak mata yang memandang ke arahku. Mungkin karena aku telat di hari pertama kerja setelah dipindahkan. “Maaf ya, aku telat banyak,” ucapku sambil dengan sedikit memohon.
“Maaf, Bu. Ta–tapi ...,” ucap salah satu karyawan sambil menahan tawa.
“Ada ap–“
“Maaf, Bu. Helm saya?” Sopir ojek itu mengagetkanku dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Oh iya ....” Aku langsung melepaskan helm dan pergi begitu saja karena tak sanggup menahan malu.
***
Jam kerja pun berakhir, kini waktunya aku pulang. Sebelum pulang, aku mampir ke penjual makanan, karena belum menimbun bahan masak di rumah. Tak lupa juga aku mampir ke minimarket yang tak jauh dari depan gang.
Setibanya di depan rumah, aku terkejut dengan apa yang kulihat. “Siapa yang masuk?” ucapku, lalu berlari ke dalam tanpa memperhatikan siapa pun, intinya aku ingin tahu barang apa yang bakalan di ambil. Tapi anehnya, tidak ada satu pun barang yang hilang.
Namun saat aku balik ke ruang tamu, kedua bola mataku hampir copot. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Hari Minggu ikut aku ke gerejaku ya? Di sana banyak mukjizat,” sahut Adel sambil memegang buah apel di tangan kanannya.
INGIN TAHU KISAH SELANJUTNYA, YUK PANTENGIN TERUS!!!
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal