Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya.
Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini.
“Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku.
“Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada.
Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik.
***
‘Tin tin’
Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka.
“Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya).
“Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Kemudian pintu samping kiri bagian belakang perlahan terbuka dan dibarengi seseorang yang tersenyum manis.
“Pagi, Bu Adel" seru seorang wanita yang tersenyum sejak pertama kali pintu terbuka.
Seperti yang kudengar dan kulihat, Adel menjawab sapaan itu dengan senyum ramah. Aku juga ikut senyum walaupun bukan aku yang di sapa.
“Siapa wanita yang Bu Adel bawa?” tanya wanita itu dengan tetap tersenyum.
“Ah, ini ... Tetangga baruku, namanya Azkia.” Terlihat sangat sopan, bahkan sedikit membungkukkan badannya. “Azkia, ini Bu Maria.” Adel memperkenalkan diriku pada mereka yang sedang menunggu di dalam mobil.
“Hai, Azkia ... Kamu terlihat sangat muda ya. Ayo masuk semua, kita akan terlambat ibadah pagi!” sapanya sembari menggeser tubuhnya agar lebih mendekat pada pintu sebelah kanannya.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil setelah Adel sudah masuk ke dalam dan duduk di bagian belakang.
“Apakah semua sudah masuk?” tanya sang sopir pada setiap orang yang ada di dalam mobil.
Pita suaraku tergerak untuk menjawab pertanyaannya. “Iya, Pak. Sudah masuk semua!”
Akhirnya mobil segera melaju dengan santai. Perkenalkanku dengan Bu Maria dan orang yang belum kukenal di mobil, berlangsung begitu baik.
Semua terlihat sangat baik, tidak ada yang perlu dicurigakan lagi. Pasti gereja ini berjalan dengan semestinya. Batinku sambil menatap pepohonan yang rindang dipinggir jalan.
***
Kedatanganku disambut baik oleh Bapak Rohani di sini (Pemimpin atau pendeta yang mengurus gereja). Adel juga terlihat sangat bahagia.
“Bu Maria ... Tolong dibimbing ya, saya masih ada perlu,” ucap bapak rohani saat berhadapan langsung dengan Bu Maria.
“Baik.” Bu Maria tersenyum, lalu menghadap ke arahku. “Mari, saya antar ke ruang kapel terlebih dahulu, sebelum ke ruang ibadah!”
Kemudian aku mengikuti langkah Bu Maria dari belakang sambil mengingat setiap jalan yang kulalui. Namun tidak ada yang harus dicurigai sedikit pun. Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil.
“Maaf, Bu Maria. Bisa tolong tunjukkan toiletnya di mana?” tanya dengan senyum semu.
“Oh toilet ... Azkia berjalan lurus saja, nanti ada pertigaan baru ke kiri ya! Kalau begitu, saya tunggu di depan,” sahut Bu Maria. Lalu pergi meninggalkanku.
Aku berjalan sambil mengikuti arahan dari Bu Maria. Aku punya pikiran kalau tempat ini tak beres. Soalnya saat pertama kali aku datang kemari, bangunan ini tampak aneh, seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Langkahku terus saja maju, namun seketika aku menghentikan langkah itu saat mendengar sebuah teriakan dari sebuah ruangan. Rasa ingin buang air kecil pun hilang, kini tergantikan dengan rasa penasaranku yang cukup kuat.
Tangan kananku mulai menyentuh daun pintu dan hendak kudorong.
Ceklek ––
Pojok dinding yang terlihat jelas oleh mataku. Tangan kananku juga tak pernah berhenti mendorong daun pintu dengan perlahan.
“Nona Azkia ....” Suara itu seperti suara yang tak asing lagi bagiku. Siapa?
“Ah ... Pak Alex. Tadi saya mendengar suara teriakan di sini, jadi saya mampir ke sini. Rencana awal sih, tadi mau ke toilet. Ya sudah kalau begitu, Pak. Saya permisi,” sahutku dengan suara yang tak mencurigakan sama sekali.
Namun saat aku hendak pergi ke toilet, tubuhku malah terpojok karena ulah Pak Alex yang menahanku.
“A–ada apa Pak?” tanyaku dengan gugup karena takut. Bagaimana enggak takut, wajahnya terlihat sangat licik dan susah ditebak.
Wajahnya mulai mendekati wajahku, bahkan aku mulai mendengar suara napasnya ditelingaku. Rasanya ingin menjauh, namun diriku terpojok. Hampir saja bibir kami bertemu, namun karena Pak Alex tidak melanjutkan, aku mulai sedikit tenang.
“Ah, itu banyak orang yang berdoa sungguh-sungguh di dalam sana!” serunya sambil berbisik di telingaku.
“Baiklah, kamu boleh pergi.” Tubuh Pak Alex mulai menjauh dari tubuhku dan wajahnya pun berpaling dariku.
Dengan cepat aku berlari meninggalkan pria brengsek itu sambil menetralkan detak jantungku yang sedari tadi memburu.
Dasar pria gila! Beraninya memojokkanku. Awas saja ya. Batinku sambil mencari letak toilet yang kucari sedari tadi.
“Sebentar, tadi di suruh belok kiri ya? Lah aku tadi belok ke mana?” gumamku sambil mengingat jalan yang kutempuh.
“Jangan bilang kalau aku tersesat?” gumamku lagi sambil lihat ke sana kemari. Berharap ada seseorang yang lewat untuk kumintai tolong.
Sambil menunggu seseorang, aku kembali ke jalan awal dan mencoba untuk mengulangi langkah yang kupilih tadi, karena tempat ini terlalu banyak cabang jalan.
“Ya Tuhan. Ini dia toiletnya!” seruku sambil menepuk jidat.
Saat sekian lama tidak kutemukan, akhirnya bertemu di sini.
“Sudah ke toiletnya Az?” tanya seseorang yang mengagetkanku.
“Bu Maria ... Belum nih, baru menemukan toiletnya. Dari tadi keliling saja, sampai capek,” sahutku.
“Oh, jadi tadi Azkia tersesat? Padahal saya sudah menunggu lama di balik pintu itu.” Jari telunjuknya menunjuk ke arah pintu kaca yang buram.
“Iya, tadi tersesat, Bu. Soalnya tadi ketemu dengan Pak Alex di dekat loker tua.” Aku berusaha mengingat kejadian yang kualami tadi.
“Ya sudah. Tadi saya ke sini karena ingin buang air kecil juga. Siapa yang keluar duluan, nanti tunggu di balik pintu itu ya!” ucap Bu Maria sambil menunjuk pintu kaca itu lagi, lalu pergi meninggalkanku.
Aku juga masuk ke toilet, daripada nanti saling tunggu, mending keluar bersamaan.
**
Akhirnya kami keluar bersama, dan melanjutkan tujuan kami.
Sebuah ruangan yang bertuliskan "KAPEL" di atas pintu yang terbuat dari kayu.
Saat aku melihat setengah dari ruangan itu, kedua mataku tak berhenti untuk menatapnya terus.
...
PENASARAN YA? YUK IKUTIN TERUS KISAHNYA!!!
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal