“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk.
“APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi.
“Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup
“APA?”
“Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang.
“Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku.
“Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku.
“Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang.
Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya.
“Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin.
Fyuhh ...
Api di atas lilin pun padam bersamaan dengan doa dan harapanku ditahun ini.
“Maaf buat kejadian yang tadi ya. Saya enggak bermaksud,” ucapku sambil memeluk tubuh Dara.
“Iya enggak apa-apa, Bu. Maaf juga tadi, karena kita Ibu jadi marah-marah,” sahut Dara sembari membalas pelukanku.
Aku melepaskan pelukanku. “Ya sudah, hari ini libur kerja, karena saya mau kalian menemaniku, pastinya ada traktiran dong!” seruku dengan senyum seringai.
“Oke, siap Bu!” sahut mereka serentak.
...
Akhirnya aku, Dara, dan Dani bersiap-siap pergi ke sebuah kafe yang cukup terkenal di daerah Majalengka, dekat kota.
Saat di perjalanan, aku menghentikan laju mobil ketika melihat seorang wanita tua mencari botol bekas di tempat sampah dengan jalan yang sudah tak berdaya.
Aku menghampirinya. “Ayo, ikut aku, Nek! Puji Tuhan hari ada berkat lebih, kita makan bareng.” Lenganku merangkul pundak wanita tua itu.
“Ma–maaf, Nak. Bukannya tidak mau ikut denganmu, ta–tapi badanku kotor sekali, tidak cocok denganmu,” sahut wanita tua itu sambil meremas baju bagian bawahnya.
“Jangan pikirkan masalah itu, Nek. Mari ikut denganku!” Aku terus saja membujuknya.
Hingga akhirnya nenek itu mau kuajak pergi bersama.
“Dani, minta tolong jalankan mobilnya ya, biar saya duduk di belakang bareng nenek!” seruku saat tiba di depan pintu mobil bagian belakang kemudi.
Dani tersenyum. “Siap, Bu.” Lalu keluar dari tempat duduknya dan mengikuti apa yang kupinta.
Akhirnya kami sampai di restoran mewah itu. Aku menuntun nenek dengan sangat hati-hati. Semua mata memandang ke arahku dan terdengar suara bisikan yang tak jelas. Pasti mereka sedang menjelek-jelekkanku. “Biarkan saja!” batinku.
Aku memilih tempat yang nyaman untuk makan bersama tanpa ada rasa gangguan.
“Nenek mau pesan apa?” tanyaku saat selesai membantu nenek duduk di kursi.
“Apa saja, Nak. Yang terpenting ada nasinya!” sahutnya pelan, bahkan hampir tak terdengar.
“Oke. Buat kalian, pesan sepuas kalian ya! Nanti biar aku yang bayar.”
“Bener ya, Bu?” sahut Dara. Sepertinya mereka meragukanku.
“Iya, benar.” Aku melambaikan tanganku ke atas untuk memanggil pelayan resto.
“Ada yang bisa saya bantu Ibu?” tanya karyawan yang mendekati mejaku.
“Buatkan dua porsi makanan terenak dan terfavorit di restoran ini. Minumannya juga,” jelasku lalu tersenyum pada nenek.
Setelah selesai mencatat pesananku, Dara dan Dani memesan makanan yang berbeda sesuai selera mereka.
“Baiklah, tunggu sebentar ya. Nanti akan segera diantarkan.” Karyawan itu pun pergi dengan membawa catatan penting.
Tak lama kemudian, pesanan datang secara bergantian, mulai dari minuman dulu baru makanannya.
“Dimakan ya, Nek!” seruku sambil mengaduk minumanku agar manisnya terasa.
Aku bahagia ketika melihat nenek yang kutemui di pinggir jalan, makan dengan lahapnya. Bahkan wajahnya masih terlihat cantik meskipun sudah tua, mungkin mudanya nenek ini tergolong wanita paling cantik.
Aku terkejut saat melihat nenek. “Kenapa nenek menangis?” tanyaku disela kenikmatan menyantap makanan.
“Terima kasih ya, Nak. Terima kasih banyak,” sahut nenek ini sambil mencium kedua tanganku.
“Eh, tidak usah seperti ini, Nek. Saya ikhlas membantu nenek. Sudah ya, Nek. Jangan mencium tanganku lagi.” Aku menjauhkan kedua tanganku dari nenek. Karena dilihat sudah tidak enak, masak iya yang tua mencium tangan yang muda. Itu tidak pantas. “Ya sudah, dilanjut saja ya, Nek!”
Akhirnya setelah melakukan adegan seperti film-film di televisi, semua selesai makan termasuk aku. Lalu aku mengantar nenek pulang, sedangkan semua karyawanku menunggu di kafe sebentar.
Saat di perjalanan, aku sering kali melihat nenek terdiam, lebih tepatnya melamun. Aku tahu apa susahnya hidup, bagaimana kita harus berjuang lagi. Meskipun aku tak tahu apa masalah nenek, tapi hatiku tergerak untuk membantunya. Ingin kubawa pulang, tapi rumahku sempit, apalagi itu bukan rumahku seutuhnya.
“Nek? Mau tinggal di rumahku?” tawarku ketika tak tega melihat nenek semakin larut dalam lamunannya.
“Tidak, Nak! Nenek harus membiayai cucu nenek di rumah.” Nenek menatapku dengan tatapan nanar.
“Cucu, Nek? Ke mana anaknya nenek?” tanyaku penasaran.
“Mereka pergi meninggalkan anaknya padaku. Mau tidak mau aku harus membiayai mereka semua,” jawabnya dengan tertunduk.
“Mereka? Ada berapa banyak, Nek?” tanyaku lagi.
“Tiga, Nak.”
Tiga? Itu jumlah yang tidak sedikit bagi nenek diusia tuanya. Aku saja yang tinggal sendiri kadang merasa kekurangan.
Akhirnya ketemu juga dengan rumah yang sudah lama ditinggali nenek dan cucunya, setelah mencari alamat nenek dengan berulang kali nyasar, karena nenek mengidap lupa ingatan ringan.
Aku melihat tiga seorang anak yang duduk di teras rumah. “Itu cucu nenek semua?” tanyaku sambil membuka kaca pintu mobil.
“I–iya, itu cucu nenek. Maaf ya, Nak. Sudah merepotkan kamu. Hati-hati di jalan ya, Nak!” jawab nenek sambil berusaha membuka pintu mobil.
Oh iya, belum kubuka kuncinya. Batinku sambil menekan tombol kunci yang ada di sampingku.
“Maaf, Nak. Nenek belum pernah naik mobil, jadi agak susah.” Sopan banget nenek ini. Belum tentu aku sesopan beliau.
“Tidak, Nek. Tadi belum kubuka kunci pintu mobilnya.”
Nenek menatapku sambil tersenyum lalu keluar meninggalkanku.
Simpati dan empatiku muncul dengan kuat. Aku meraih beberapa lembar uang yang ada di tasku. Lalu menyusul langkah kaki nenek cantik.
“Maaf, Nek. Ada barang Nenek yang ketinggalan.” Aku meraih tanganku dan memberikan beberapa lembar uang ditangannya.
“Tapi, Nak. I–“
Aku langsung menerobos kalimatnya. “Tidak apa-apa, Nek. Aku pulang dulu!”
“Terima kasih, Nak.”
*** ***
Hai sobatku, terima kasih sudah mampir di kisah ini.
Jangan bosan-bosan untuk mampir ke sini.
Mohon maaf jika cerita ini kurang menarik🙏 karena semua manusia tidak luput dari kesalahan.
Oh ya, satu lagi. Jaga kesehatan selalu ya, dan jangan lupa jaga jarak, patuhi protokol kesehatan.
Salam sayang dari Author cantik dan gemesin ini ❤️❤️
*** ***
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal