“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil.
“Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel
“Baiklah, nanti kutunggu di teras.”
Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku.
Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja.
...
“Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman.
“Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu.
Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulang.
Kemudian aku berlari menuju rumah yang diberikan atasanku. Tapi saat di tengah perjalanan ...
“Tidaaaakkk ...!” teriakku
Brak ...
Ha ha ha
“Untung cuman mimpi,” gumamku sambil mengatur napasku.
Lalu aku meraih segelas air minum yang ada di atas meja Dan segera meneguknya.
“Jam berapa ini?” Aku melirik ke arah jam yang ada di atas meja samping ranjangku.
Masih jam lima, berarti tadi aku tidur jam berapa? Batinku sembari turun dari atas ranjang dan langsung menuju ke dapur, karena perutku sudah keroncongan, harus diisi segera.
...
Setelah mengisi perutku, aku segera pergi mandi untuk membersihkan tubuhku, lalu membersihkan rumah, setelah itu langsung pergi ke kantor sebelum pergi ke gudang. Tapi hari ini rencanaku ingin ke kantor gagal. Adel lebih dulu datang untuk menagih janjiku. Akhirnya aku memutuskan untuk libur sehari.
“Bentar ya, Del. Aku mau mengembalikan mobil ini ke tempatnya, soalnya Minggu lalu saya sewa mobil ini untuk beberapa hari.” Aku langsung berdiri dari tempat dudukku, lalu di susul dengan Adel yang ikut berdiri juga.
“Nanti kita bicarakan lagi!” sahut Adel, kemudian pergi tanpa pamit.
Sebelum hari ulang tahunku tiba, aku sengaja sewa mobil untuk pergi ke kantor. Namun, setelah dipikir lebih matang, lebih murah naik ojek pangkalan daripada naik mobil sewa. Belum lagi isi bensin kendaraannya.
Waktunya mengembalikan mobil ini, sudah satu Minggu. Nanti makin membengkak biayanya. Batinku sambil masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas pribadiku dan kunci mobil, lalu bergegas keluar rumah, tak lupa juga untuk mengunci pintunya.
Saat tiba dirental mobil, tanpa sengaja aku melihat pak Alex sedang berbincang dengan pemilik mobil.
“Wah ada Bu Azkia di sini. Sedang apa ya, Bu?” sapanya sambil beranjak dari tempat duduk untuk mendekatiku.
“Mengembalikan mobil,” sahutku cuek dengan muka datar, seakan jijik melihat wajahnya.
Pak Alex semakin menunjukkan senyum lebarnya. “Oh begitu ya, Bu. Begini saja, kalau Bu Azkia butuh kendaraan, datang saja ke gereja, nanti Bapak rohani yang pinjamkan.” Ia menawarkan kendaraan padaku. Jangankan sudi meminjam kendaraan, datang ke gereja itu lagi pun aku tidak akan Sudi.
“Tidak, terima kasih!”
Aku langsung meninggalkannya tanpa pamit, untuk segera menyelesaikan proses pengembalian mobil.
Sepanjang perjalanan pulang, suasana hatiku belum lekas membaik. Akan sulit untuk melakukan pekerjaan lainnya dengan suasana hati yang buruk ini. Setelah lama berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke sebuah kafe cokelat, di mana kafe itu banyak menu pilihan dengan bahan utama cokelat. Eits, bukan cokelat saja, ada banyak bahan utama lainnya, namun kebanyakan itu menu yang menggunakan coklat.
Suasana hatiku selalu membaik dikala ada secangkir coklat hangat di mejaku. Namun aku lupa untuk membeli persediaan minuman cokelat di rumah. Meskipun begitu, aku selalu menggunakan cara lain untuk mengembalikan suasana hatiku.
“Saya mau pesan secangkir cokelat hangat,” ucapku sambil duduk berhadapan dengan kasir.
Kafe ini didesain serba kayu. Pengunjung tertentu bisa akrab dengan pemilik kafe, saat duduk berhadapan dengan kasirnya. Karena di hadapan kasir terdapat kursi untuk konsumen, seperti tempat bar di club malam.
“Putus cinta ya, Az?” tanya pemilik kafe sambil mengantarkan pesananku.
Pemilik kafe tahu betul dengan suasana hatiku, karena bisa dibilang aku ini pelanggan setianya.
“Tidak, Paman. Aku tadi tanpa sengaja bertemu dengan orang yang menjengkelkan,” jawabku sambil meraih cangkir berisi dengan cokelat hangat, lalu meneguknya perlahan.
“Oh, sudah biasa sih bertemu dengan orang seperti itu. Malahan Paman dulu sering bertemu dengan orang seperti itu. Karena dunia ini luas.”
Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. “Iya benar, Paman. Tapi, waktunya kurang tepat!” jelasku singkat.
“Sabar ya! Baik kalau gitu, aku mau menemani kasir baru sekaligus mengajarinya.” Lalu paman pergi.
Saat kulihat jam yang ada di ponselku, aku buru-buru untuk menghabiskan cokelat hangatku, kemudian berkata. “Uangnya ada di bawah cangkir, Paman.”
Kling!
Bunyi lonceng pintu kafe, saat ada orang masuk atau keluar kafe.
Saat aku tiba di rumah, semua pintu terbuka dengan lebar, padahal sudah kukunci. Kemudian aku masuk, tampak sangat berantakan. Kertas di mana-mana. Kursi dan meja kayu berantakan. Semua barang berserakan di atas lantai. Tanpa sengaja, aku melihat kamarku terdapat tulisan merah di temboknya. Tulisan tembok itu mengatakan,
“KORBANKAN SATU NYAWA AGAR KAU SELAMAT!”
Seperti sebuah ancaman yang tersurat. Sudah bisa ditebak. Pelakunya adalah tetangga sebelah rumahku.
Aku disuruh membunuh orang yang tak kukenal? Bukankah menyakiti sesamanya bakalan masuk neraka? Pertanyaan demi pertanyaan terpikirkan sendiri di otakku. Aku diancam begitu saja.
Haii🌻
Maaf author baru muncul sekarang 🙏.
Tapi tidak apa-apa, kalian pasti bisa mengerti.
Terima kasih sebelumnya.
Selamat membaca ya! Jangan lupa mampir ke anak baru author yang berjudul : RECLAIM ❤️
Selamat membaca sayangku. 🥰
Semoga harimu selaku menyenangkan
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Kapan bunuh seseorang, Az?” tanya Adel saat kakiku baru saja menginjak tanah, turun dari mobil. “Bentar ya, nanti dulu. Aku capek banget!” Aku berhasil menemukan alasan untuk menghindar dari Adel “Baiklah, nanti kutunggu di teras.” Harus buat alasan apalagi nanti aku ini? Ah, sudahlah. Lupakan saja semua. Aku butuh istirahat sebentar. Aku berjalan masuk rumah tanpa mengabaikan Adel yang menyapaku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas ranjang saat tiba di kamar. Aku mencoba untuk memejamkan kedua mataku, akhirnya terlelap begitu saja. ... “Pulang, Nak!” teriak Mama di depan pintu rumah yang ada di kampung halaman. “Tidak, Mah. Aku tidak akan pulang sebelum Mama dan Papa meninggalkan ajaran sesat itu!” sahutku, lalu meninggalkan rumah itu. Aku tahu kalau keluargaku mengikuti ajaran sesat dan aku juga punya rencana untuk menyelamatkan mereka, namun perlakuan yang buruk menimpa dalam hidupku, menjadi enggan untuk pulan
“ADA APA LAGI? MASAK KALIAN TIDAK BISA MENGHANDLE SEMUA?” bentakku ketika sampai di kantor. Semua tampak tertunduk. “APA KALIAN HARUS DIBIMBING LAGI?” bentakku sekali lagi. “Ta–tapi Bu ...?” sahut Dara gugup “APA?” “Selamat ulang tahun Bu Azkia ...,” ucap serentak. Lalu aku berbalik badan saat mendengar suara langkah kaki seseorang. “Selamat ulang tahun ya ...,” seru seorang pria sambil membawa kue untukku. “Terima kasih semua. Oh ya, kamu siapa?” sahutku sambil bertanya saat wajah pria itu asing bagiku. “Saya pengantar kue, Bu. Kue ini sudah di pesan sama karyawan Ibu.” Pria itu menyerahkan kuenya padaku, lalu pamit pulang. Aku merasa bersalah pada Dani dan Dara. Padahal aku belum mengetahui apa masalahnya, tiba-tiba langsung memarahinya. “Ayo Bu, ditiup lilinnya. Jangan lupa harapannya, Bu.” Dara menghampiriku lalu membantu untuk memegang kan kue, sedangkan aku sudah siap untuk meniup lilin. Fyuhh ...
“Aku mau ... Kamu menebus dosamu dengan menumpahkan darah!” seru Adel, lalu tubuhnya mulai menjauh dariku. Aku berbalik badan. “Apa? Menumpahkan darah dengan pisau itu maksudmu?” sahutku terkejut dengan sedikit emosi yang meluap. “Iya.” “Ta–tapi siapa yang akan kubunuh ...?” tanyaku dengan tangan gemetar dan mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhku. “Seseorang yang menurutmu baik!” seru Adel sambil melotot dengan bola matanya yang besar. “Ke–kenapa ... harus yang baik?” tanyaku lagi. Jujur, aku bingung dengan orang yang rata-rata jadi pengikutnya. Kalau dipikir-pikir, perilaku penganut gereja itu sama seperti keluargaku, suka membunuh, menyiksa bahkan pelecehan terhadap siapa pun. “Biar mereka sadar, hidup bahagia setelah meninggal itu butuh perjuangan di dunia ini. Kita harus menyerahkan tubuh kita kepada Yang Kuasa dengan sepenuhnya dan rela untuk menumpahkan darah sebagai ganti dosa kita.” Adel bersandar pada tembok yan
Aku tidak menemukan kursi atau pun apa, hanya ada mimbar kecil dan karpet atau alas lantai yang berwarna hijau. Yang kutahu, kapel itu biasanya berisi banyak kursi yang tersusun rapi. Memang ada sih beberapa karpet, namun cuman dipakai saat ada acara, itu pun tergantung sama pembawa acaranya. Setiap mimbar pasti ada di ruang yang selalu dipakai untuk ibadah, tapi ukurannya berbeda-beda. Kulihat Bu Maria sedang berlutut di bawah mimbar kecil itu dengan simbol yang tak asing bagiku, tapi simbol apa? Aku pernah lihat simbol ini, tapi di mana? Batinku, lalu ikut berlutut sambil berdoa Bapa kami. ... Lima menit kemudian ... Aku dibangunkan secara paksa setelah larut dalam doa-doaku. Setahuku orang berdoa tidak boleh diganggu. “Azkia ... Ayo bangun! Ibadahnya akan segera dimulai,” suara serak basah itu menemani pita suara Bu Maria selama ini. Mau tidak mau, aku harus bangun dan mengikuti apa kata Bu Maria. Tanganku digandeng dan lang
Hari telah cepat berlalu, kini tiba saatnya aku dan Adel siap pergi ke gereja yang dikatakan oleh Ado sebelumnya. Aku dan Adel sedang menunggu mobil yang akan menjemput kami di depan gang, karena baru pertama kali aku ikut dengan Adel, jadi belum tahu mobil apa yang akan menjemput kami di sini. “Del, memangnya siapa yang akan datang ke sini?” tanyaku sembari mencari sesuatu pada pandanganku. “Nanti kamu juga tahu!” tegas Adel dengan melipat kedua tangannya di dada. Tampak sangat sombong, tapi orangnya baik. *** ‘Tin tin’ Sebuah mobil Luxio berwarna putih berhenti tepat di depan kami. Lalu kaca mobil itu perlahan terbuka. “Selamat pagi semua,” sapanya dari dalam mobil. Seorang pria yang berpenampilan rapi, bersih, dengan memakai jas hitam itu, duduk di samping sopir. Pria itu sering di sapa dengan sebutan Alex (Adel menceritakan sebelumnya). “Selamat pagi juga, Pak Alex,” sahut Adel dengan senyum ramahnya.
Setelah menunggu berminggu-minggu akhirnya aku, yang sering disapa Azkia itu diizinkan untuk pindah tempat kerja. Di mana aku sudah mendambakan kerja di kota kecil yang tidak jauh dengan desa-desa yang kenal dengan tradisi tertentu. Ya, aku dipindahkan di Majalengka Kulon, lebih tepatnya masuk gang dekat dengan SMA Negeri 1 Majalengka Saat hari pertamaku di Majalengka, aku disambut dengan sangat baik oleh tetangga setempat. Banyak tetangga yang datang hanya untuk menyapaku sambil membawakan makanan enak secara gratis. Setelah melewati hari-hari tanpa curiga, tak sengaja aku melihat tetangga sebelahku dari jendela rumah, yang bersifat aneh. Wanita itu jarang menyalakan lampu dan sering menggunakan lilin untuk penerangan di rumahnya. Namun saat aku sedang menatap wanita itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi bertuliskan “Mama” “Pulang, Nak. Mama mau kenalkan pada bapak Rohani, di gereja Mama,” ucap mama dari balik ponsel. “Sudah berapa kal