“Darimana, kalian?” Tanya Kak Ayza yang melihatku baru sampai bersama Andi.
“Oh, ini Kak, aku sama Andi baru pulang dari Mas Aji.” Ucapku.
“Wahh, bawa martabak dong. Mana punya kakak?” Ucap Kak Ayza sembari mengambil martabak yang aku bawa.
“Ihhh! Nanti dulu!” Ucapku sambil merebut kembali martabaknya, “Nanti aku bawain deh. Aku juga beli kok, buat kakak sama Ayah, Bunda. Sekaligus aku bawain ice choco buat kakak!”
“Wah, tumben nih baik. Ada maunya nih pasti?”
“Gak, lah! Udah, deh. Ayo, Ndi, kita ke atas. Kasihan Fito udah lama sendiri.” Ucapku sambil berlalu meninggalkan Kak Ayza, yang masih saja ngomel.
“Yeuu, lo, mah, ngeledek Cha. Udah tau Fito emang jomblo!” Balas Andi.
“Hehe, gimana, ya. Kasihan juga lama-lama gue ngeliat dia sendiri terus. Apa, kita cariin pacar aja gitu ya?” Tanyaku sambil meletakkan martabak tadi ke piring, “KAK! INI YA, MARTABAKNYA AKU SIMPEN DI MEJA MAKAN!” Teriakku.
“IYA, SIMPEN AJA!” Balas Kak Ayza.
“Duh, buset. Gila ya, adek kakak sama aja, teriakannya itu lohh. Lama-lama kalo gue tinggal disini terus, bisa budeg nih telinga.” Ucap Andi sambil memegangi telinganya.
“Hehe, maaf ya. Gue emang biasa kayak gitu sama Kak Ayza. Udah, yuk! Kita ke atas. Bawain minumannya ya, tolong.” Ucapku sambil menuju ke arah tangga.
“Eh, ngomong-ngomong, Cha. Kenapa tiba-tiba lo ngajakin buat nyari pacar untuk Fito? Bukannya, dia ngomong sendiri ya, dia gak bakalan punya pacar sebelum lo punya pacar?”
“Yaa, gue kasihan aja si. Lagian, kalo nungguin gue punya pacar mah, wah kapan deh. Gatau gue juga.” Jawabku, karena aku tidak ingin Fito terlalu bergantung kepada kapan aku punya pendamping lagi.
“Eh, jangan ngomong gitu! Bisa jadi ya, kan, besok lusa lo udah dapet pacar. Atau mungkin, calon suami? Wah, gila, si, Icha udah punya calon suami.” Celoteh Andi.
“Lo, ngomong apaan si? Dari tadi ngelantur mulu perasaan!”
“Ngomong apa? Lagi ngomongin apa? Nge-ghibahin gue ya?” Tanya Fito ketika melihat aku dan Andi sudah tiba di rooftop rumahku.
“Ge’er, lo!” Balas Andi sambil menyimpan minuman yang tadi kami beli.
“Kok lama banget si, Cha? Tau gitu, tadi gue aja yang nganterin lo beli makanan.” Ucap Fito.
“Lama apanya? Ngga juga.” Ucapku langsung duduk di samping Andi dan Fito.
“Ya, gue bosen aja si. Eh, iya Cha. Tadi, gue ngeliat ada cowo yang berhenti disamping rumah lo. Bukannya, lo pernah bilang, lo punya temen kecil, ya? Dia bukan si?” Tanya Fito.
“Rumah yang mana si?” Tanya Andi.
“Yang itu, sebelahnya rumah Icha, lah. Yang warna Orange.” Balas Fito sambil menunjuk ke arah rumah Mbak Risa.
“Hah? Cowoknya, pake baju apa? Terus, lo lihatnya kapan, Fit?” Tanyaku.
“Tadi, pokoknya pas lo nyampe, gak lama dia juga nyampe gitu. Cuman dia kayaknya buru-buru deh langsung masuk kerumahnya. Dia pake hoodie item, masker item juga.” Jelas Fito.
“Lah, itu mah bukannya yang tadi ya, Cha? Yang gak sengaja kesenggol sama lo?” Tanya Andi.
“Iya juga, ya. Iya, kali. Lagian, gue udah lama banget gak ketemu dia. Terakhir ngeliat itu, pas tahun kemarin deh. Itu pun, samar-samar gitu. Gak tau lah, lupa gue.” Jawabku.
“Siapa namanya, Cha?”
“Gio.”
“Eh, sumpah deh. Gue tuh, kayak kenal sama nama itu. Tapi, dimana ya? Yaampun, kok lupa banget si.” Ucap Andi sambil memukul pelan kepalanya.
“Udahlah, gue tau kapasitas otak lo tuh, sedeng. Kasihan, lah, jangan terlalu dipaksain mikir gitu. Gak baik.” Ucap Fito dengan nada pura-pura seriusnya.
“Bodoamat, ya! Untung aja, gue lagi makan nih, martabak enaknya. Jadi, gue gaada selera buat ngedebat lo! Lagian, kan gue anak baik. Ya kan, Cha?” Balas Andi.
“Nah, gitu, dong! Baru anak baik.” Jawabku.
“Ih, Ichaa. Kok, lo jadi belain dia, si? Jahat Icha, mah.” Ucap Fito dengan nada lebaynya.
“Apaan, si! Udah ah, lo makan lagi tuh, martabaknya.”
Aku, Andi dan Fitopun menghabiskan waktu di rooftop rumahku ini. Kami bercerita tentang bagaimana kehidupan dikampus nanti. Aku, Andi dan Fito memang memasuki kampus yang sama. Ya, karena, jujur saja sepertinya berat untuk benar-benar berpisah dengan mereka.
Tak terasa, senjapun sudah mulai muncul. Disini, bisa terlihat dengan cantik langit sore hari. Akupun mengambil ponselku, dan mulai mengambil gambar sang senja. Ya, aku memang menyukai senja, dan juga dia. Aduh, gimana si, Alisha? Katanya mau move on?
“Pasti dimasukin story i*, tuh.” Ucap Andi ketika melihat aku mengambil potret senja.
“Sirik aja lo,” ucapku sambil terus fokus mengambil gambar, “Eh, potoin gue dong!”
“Sini, gue potoin.” Ucap Fito seraya mengambil ponselku.
Akupun mulai memposisikan diri, aku selalu suka mengambil gambar bersama senja. Dulu, aku selalu melakukan hal yang sama dengan Tristan.
“Nih, udah,” Ucap Fito sambil memperlihatkan hasilnya.
“Wah! Cakep banget, emang. Nice, photographer gue emang lo tuh!” Ucapku memuji hasil tangkapan gambar Fito.
Memang, diantara kami, Fitolah yang sangat mahir dalam mengambil gambar, bukan aku.
“Gue, dong! Gue juga mau kali dipotoin Andi Gunawan.” Ucap Fito sambil mendekati Fito.
“Yeuu, tadi aja, lo ngejek Icha. Cepet mana hp-nya?”
Aku hanya memandangi poto senja dan potoku tadi. Akupun mulai mengedit dan memasukkannya kedalam cerita instagramku, “Ok, Nice! Eh, gue mau lagi dong—,“ belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, terdengar notifikasi dari ponselku.
Ternyata, ada seseorang yang membalas ceritaku tadi. Dan itu, Tristan.
@tristanlataass__
Cantik yaa,,
Hehe, iya nih.
Langitnya lagi cantik sore ini.
Kamu juga cantik.
Selalu cantik, kayak senjanya.
Aku tersenyum membaca balasan Tristan tadi, “Eh! Apaan si, Jangan baper, Alisha!”
Hehe, thanks.
Setelah itu, akupun menyimpan ponselku dan beranjak menuju Andi dan Fito. Aku tidak ingin terlalu ge’er, atau baper terhadap balasan Tristan tadi. Aku harus ingat tujuan pertamaku.
“Sini, Cha! Katanya mau dipotoin lagi? Kayaknya, bentar lagi gue sama Andi pulang deh.” Ucap Fito.
“Yahh, sedih gue.” Ucapku sambil berjalan menuju tempat yang ditunjukkan Fito.
Setelah cukup berpoto bersama Andi dan Fito, akhirnya merekapun mulai berpamitan pulang. Aku mengantar mereka menuju halaman rumahku, rasanya aku tidak ingin mereka pulang.
“Hati-hati, ya! Jangan ngebut-ngebut! Makasih udah nemenin gue seharian ini.” Ucapku.
“Iya, thanks juga, Cha! Lo jaga diri ya! Kalo ada apa-apa langsung kabarin kita. Ntar, kalo udah mulai ngampus, kalo mau bareng bilang aja. Katanya Andi udah siap jadi ojek pribadi lo.” Ucap Fito.
“Kok, gue?” Tanya Andi heran.
“Kenapa? Lo gamau? Yaudah gue aja deh, Cha. Dia mah gamau katanya.”
“Nggak gitu, Cha. Lo mah, bisanya kompor mulu. Raga cowok, mulut cewek!” Balas Andi.
“Ihhh, udah-udah ah. Iya, nanti kalo ada apa-apa gue pasti kabarin kalian. Udah deh, jangan berantem mulu. Gue jadi khawatir ninggalin kalian berdua.” Ucapku.
“Dih, emang lo kira, kita bakalan ngapain. Males banget.” Sanggah Andi.
“Ini anak, daritadi sensian mulu ya, Cha. Kenapa ya?” Tanya Fito.
“Kangen mantan kali?”
“Lo itu mah Cha! Udahlah, kita pulang dulu ya, Cha. Hati-hati disini, kalo udah punya temen baru, jangan lupa sama kita.” Ucap Fito.
“Iya, hati-hati, ya! Sekali lagi, makasih.”
“Yaudah, Cha, gue sama Andi pulang dulu ya. Bye, Cha!”
“Byeee!”
Setelah melihat mobil Andi dan Fito sudah beranjak jauh, akupun memasuki rumahku lagi. Aku langsung memasuki kamarku, dan membuka jendela kamarku. Disana, bisa ku lihat rumah Mbak Risa. Kebetulan juga, kamarku ini berhadapan dengan kamar dirumah Mbak Risa.
“Eh, itu kan?” Ucapku ketika melihat seorang lelaki, yang juga membuka jendela kamarnya.
“Hai!” Ucapnya.
Aku tidak langsung menjawab, “Hah? Dia, nyapa aku?” Tanyaku pada diri sendiri. Ah, atau mungkin dia, Gio?
“Iya, gue nyapa lo.” Ucapnya, wah ternyata suaraku terdengar, malu serius.
“Ah, hmm, h-hai! Kkk-kamu?” Ucapku dengan terbata-bata, karena jujur aku masih canggung dengan situasi ini.
“Iya, gue Gio. Gue juga yang tadi gak sengaja lo senggol.”
Bertemu lagi. Kurasa, ini bukan kebetulan biasa, ini takdir ya?“Iya, gue Gio. Gue juga yang tadi gak sengaja lo senggol.”Aku terdiam sejenak. Pantas saja, ketika melihat dia tadi, seperti bukan pertama kalinya aku bertemu dia. Ah, dia berubah banyak. Aku sampai sempat tidak mengenalinya, padahal dia teman kecilku dulu. “Hm, Gio. Kita, pernah kenal ya?” Tanyaku, hanya memastikan saja. Karena aku takut jika aku yang duluan memulai menyapanya, aku takut terkesan so’ akrab dengan dia. “Ck, lo tuh, amnesia atau gimana? Masa lupa si? Ya, kan kita dulu temenan, Sha. Perasaan lo belum terlalu tua kan? Kan beda umur kita cuman 3 tahun.” Jawab Gio. “Iya iya, aku juga tau, kok. Cuman takut salah aja.” Jawabku. Namun tak lama
Gaada yang namanya kebetulan, semua udah ditentuin. Semua ini, Takdir. “Heh! Ngomel mulu, lo!” “Ggg-Gio?” Itu, Gio. Sejak kapan dia ada disini? Serem banget si, tiba-tiba muncul. Bikin kaget aja. “Iya, kenapa?” Tanya Gio mengejutkan lamunanku. “K-kok, ada disini?” “Ya emang ini bukan tempat umum?” Ucapnya sambil duduk di kursi sebelahku. “Kenapa, si? Tadi ngomel-ngomel gak jelas, sekarang ngelamun gitu.” “Hm? Gapapa. Btw, dari kafe juga? Kok, gak lihat?”&nbs
Kadang, apa yang kita takutin hari ini, itu yang akan kita hadapi besok. Kini, Alisha, Ayza, Alwi (Ayah Alisha) dan Dewi (Bunda Alisha) sedang berada dimeja makan untuk makan malam. “Oh iya, Cha, besok kamu ada dirumah aja ‘kan? Maksudnya kamu gaada acara keluar rumah?” Tanya Dewi tiba-tiba. Alisha yang sedang mengunyah makanannya berhenti sejenak, “Iya, Bund. Aku besok gaakan kemana-mana kok. Ada apa emangnya?” Tanya balik Alisha. “Besok Ayah sama Bunda mau ngajakin kamu sama Ayza buat ke restoran yang dulu biasa kita kunjungin, udah lama juga kan ya, gak kesana. Ada yang mau Ayah dan Bunda omongin juga sama kamu dan Ayza.” Jelas Dewi 
Aku melangkahkan kakiku dengan semangat. Hari ini, hari Senin, hari kelulusan SMA-ku. Aku berangkat dengan Kak Ayza, dia kakakku, biasa aku panggil Kak Za. Karena orangtuaku sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaannya, jadi, Kak Za yang mendampingiku. “Kak ayo! Aku udah siap nih.” Ucapku sambil menuruni anak tangga. “Eh, Cha, Kakak udah cakep belum?” Tanyanya tiba-tiba. “Aish, apaan sih, udahlah, ayo berangkat! Nanti kita terlambat!” Ucapku sambil memakai kacamata kesayanganku. “Eh, serius, lohh, kan Kakak mau nemenin kamu. Ini acara Graduation loh, masa iya, dandanan Kakak
Indah semua cerita ketika kita bersama. Sampai membuatku lupa, bahwa semua yang indah, tak akan pernah bertahan selamanya. “Eh, nanti aja deh, Cha! Itu liat, udah mau mulai acaranya,” ucap Fito ketika melihat pembawa acara sudah memulai acara. “Lo, udah deh! Gapapa, for the last inget.” Sanggah Andi. “Gapapa, Ndi. Emang udah mau mulai juga acaranya,” ucapku “Nanti ya, Tan. Beres acara, kita bicara. Aku tunggu ditaman.” Lanjutku sambil menatap Tristan. “Yaudah, Sha. Fit, Ndi, Kak, gue kesana dulu ya.” Pamit Tristan. “Iya, hati-hati lo, nanti nabrak orang!” Ucap Fito ke
Mungkin, memang seharusnya dari awal kita berpisah, kita memang benar-benar berpisah.Ini menyakitkan hanya untuk sekedar melihatmu dengan temanku. “Eh, Sha, kamu udah nyampe? Maaf ya lama.” Aku menoleh kesebelahku, ternyata Tristan sudah duduk disebelahku, aku mulai menguatkan hatiku untuk mengakhiri semuanya. “Nggak kok, aku baru nyampe juga. To the point aja ya Tan, sebenernya, ada yang mau aku omongin juga sama kamu,” ucapku langsung pada intinya. “Oh, gitu, yaudah kamu duluan Sha.” Aku mengambil kotak yang tadi aku bawa dan langsung memberikannya kepada Tristan, “Ini, aku mau ngasih ini dulu, d
Aku memasuki rumahku, dan ternyata, Kak Ayza masih belum pulang. Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamarku. Aku memandang buket bunga dan sebuah kotak pemberian Tristan. Aku menyimpan terlebih dahulu buket bunga, dan beranjak membuka kotak. Kotak berwarna abu dan biru, yang merupakan warna kesukaanku dan juga Tristan. Didalamnya, berisikan sebuah potoku bersama Tristan, dan juga satu potoku dengan berlatar senja, dibawahnya terdapat tulisan, lihat kebelakang ya!. Ah, ternyata ada kata-kata.Hallo senja!Mungkin kamu pertama baca ini ya, hehe maaf kalo salah.First of all, I will say thank you for you, Alisha Ri
Kebahagiaan mu, tidak selamanya tentang pasangan. Coba lihat sekitarmu, ada sahabat yang selalu peduli padamu. Jangan merasa sendiri ya, ingat sahabatmu selalu ada untukmu. “ICHAAAAA! SINI DONG, KITA UDAH NYAMPE NIH!” Teriak seseorang diruang tamu. Ya, aku sudah tahu, itu pasti Andi. Kemarin aku mengundang Andi dan Fito untuk kerumah. “Ck, lo tuh, ya! Pelan-pelan, liat noh, gak sopan ada Bunda sama Ayah!” Ucap Fito. “Dih, biasanya juga lo yang kayak gitu! Dasar pencitraan!” Akupun bergegas keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang tamu. “Hallo, teman-teman! Apa kabar hari ini?” Ucapku. 
Kadang, apa yang kita takutin hari ini, itu yang akan kita hadapi besok. Kini, Alisha, Ayza, Alwi (Ayah Alisha) dan Dewi (Bunda Alisha) sedang berada dimeja makan untuk makan malam. “Oh iya, Cha, besok kamu ada dirumah aja ‘kan? Maksudnya kamu gaada acara keluar rumah?” Tanya Dewi tiba-tiba. Alisha yang sedang mengunyah makanannya berhenti sejenak, “Iya, Bund. Aku besok gaakan kemana-mana kok. Ada apa emangnya?” Tanya balik Alisha. “Besok Ayah sama Bunda mau ngajakin kamu sama Ayza buat ke restoran yang dulu biasa kita kunjungin, udah lama juga kan ya, gak kesana. Ada yang mau Ayah dan Bunda omongin juga sama kamu dan Ayza.” Jelas Dewi 
Gaada yang namanya kebetulan, semua udah ditentuin. Semua ini, Takdir. “Heh! Ngomel mulu, lo!” “Ggg-Gio?” Itu, Gio. Sejak kapan dia ada disini? Serem banget si, tiba-tiba muncul. Bikin kaget aja. “Iya, kenapa?” Tanya Gio mengejutkan lamunanku. “K-kok, ada disini?” “Ya emang ini bukan tempat umum?” Ucapnya sambil duduk di kursi sebelahku. “Kenapa, si? Tadi ngomel-ngomel gak jelas, sekarang ngelamun gitu.” “Hm? Gapapa. Btw, dari kafe juga? Kok, gak lihat?”&nbs
Bertemu lagi. Kurasa, ini bukan kebetulan biasa, ini takdir ya?“Iya, gue Gio. Gue juga yang tadi gak sengaja lo senggol.”Aku terdiam sejenak. Pantas saja, ketika melihat dia tadi, seperti bukan pertama kalinya aku bertemu dia. Ah, dia berubah banyak. Aku sampai sempat tidak mengenalinya, padahal dia teman kecilku dulu. “Hm, Gio. Kita, pernah kenal ya?” Tanyaku, hanya memastikan saja. Karena aku takut jika aku yang duluan memulai menyapanya, aku takut terkesan so’ akrab dengan dia. “Ck, lo tuh, amnesia atau gimana? Masa lupa si? Ya, kan kita dulu temenan, Sha. Perasaan lo belum terlalu tua kan? Kan beda umur kita cuman 3 tahun.” Jawab Gio. “Iya iya, aku juga tau, kok. Cuman takut salah aja.” Jawabku. Namun tak lama
“Darimana, kalian?” Tanya Kak Ayza yang melihatku baru sampai bersama Andi. “Oh, ini Kak, aku sama Andi baru pulang dari Mas Aji.” Ucapku. “Wahh, bawa martabak dong. Mana punya kakak?” Ucap Kak Ayza sembari mengambil martabak yang aku bawa. “Ihhh! Nanti dulu!” Ucapku sambil merebut kembali martabaknya, “Nanti aku bawain deh. Aku juga beli kok, buat kakak sama Ayah, Bunda. Sekaligus aku bawain ice choco buat kakak!” “Wah, tumben nih baik. Ada maunya nih pasti?” “Gak, lah! Udah, deh. Ayo, Ndi, kita ke atas. Kasihan Fito udah lama sendiri.” Ucap
Kadang, kehilangan seorang sahabat lebih menyakitkan daripada harus berpisah dengan kekasih. Kini, aku, Fito dan Andi sedang berada didalam mobil dalam perjalanan menuju rumah baruku. “Eh, Ndi, Fit gue mau nanya deh.” Ucapku tiba-tiba ketika teringat suatu hal. “Apaan?” Timpal Fito yang kini duduk disebelahku. “Hmm, gatau ya sebenernya gue gak bermaksud apapun si, cuman pengen aja gitu nanya gini. Kalo nanti nih, kalian udah punya pacar masing-masing, apa kalian bakalan masih ada buat gue? I mean, buat sekedar dengerin curhatan gue gitu, ya meskipun gue sadar kalo kalian udah punya pacar pasti ada seorang wanita lagi yang harus diperhatiinkan? Yang jadi prioritas kalian,” tanyaku.
Hari ini, hari dimana aku meninggalkan rumah ini. Sudah banyak sekali kenangan yang terjadi. Biarlah tersimpan dengan baik dirumah ini. Aku sudah siap dengan semua barangku, kini aku sedang memakai make up, tipis-tipis saja biar tidak terlalu pucat. Hari ini aku juga memakai hoodie pemberian Tristan. Jika kamu berfikir aku masih memikirkannya, iya, pasti. Karena, tidak semudah itu melupakan seseorang. Namun, jika berfikir lagi aku memakai hoodie ini karena itu, itu salah. Aku hanya menghargai pemberian seseorang. Tidak apa, aku harus dewasa dalam menghadapi masalah ini. Aku tidak boleh lagi bersikap kekanak-kanakan, hanya karena memakai hoodie ini aku tak boleh goyah dengan pendirianku, untuk melupakan dia.&n
Kebahagiaan mu, tidak selamanya tentang pasangan. Coba lihat sekitarmu, ada sahabat yang selalu peduli padamu. Jangan merasa sendiri ya, ingat sahabatmu selalu ada untukmu. “ICHAAAAA! SINI DONG, KITA UDAH NYAMPE NIH!” Teriak seseorang diruang tamu. Ya, aku sudah tahu, itu pasti Andi. Kemarin aku mengundang Andi dan Fito untuk kerumah. “Ck, lo tuh, ya! Pelan-pelan, liat noh, gak sopan ada Bunda sama Ayah!” Ucap Fito. “Dih, biasanya juga lo yang kayak gitu! Dasar pencitraan!” Akupun bergegas keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang tamu. “Hallo, teman-teman! Apa kabar hari ini?” Ucapku. 
Aku memasuki rumahku, dan ternyata, Kak Ayza masih belum pulang. Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamarku. Aku memandang buket bunga dan sebuah kotak pemberian Tristan. Aku menyimpan terlebih dahulu buket bunga, dan beranjak membuka kotak. Kotak berwarna abu dan biru, yang merupakan warna kesukaanku dan juga Tristan. Didalamnya, berisikan sebuah potoku bersama Tristan, dan juga satu potoku dengan berlatar senja, dibawahnya terdapat tulisan, lihat kebelakang ya!. Ah, ternyata ada kata-kata.Hallo senja!Mungkin kamu pertama baca ini ya, hehe maaf kalo salah.First of all, I will say thank you for you, Alisha Ri
Mungkin, memang seharusnya dari awal kita berpisah, kita memang benar-benar berpisah.Ini menyakitkan hanya untuk sekedar melihatmu dengan temanku. “Eh, Sha, kamu udah nyampe? Maaf ya lama.” Aku menoleh kesebelahku, ternyata Tristan sudah duduk disebelahku, aku mulai menguatkan hatiku untuk mengakhiri semuanya. “Nggak kok, aku baru nyampe juga. To the point aja ya Tan, sebenernya, ada yang mau aku omongin juga sama kamu,” ucapku langsung pada intinya. “Oh, gitu, yaudah kamu duluan Sha.” Aku mengambil kotak yang tadi aku bawa dan langsung memberikannya kepada Tristan, “Ini, aku mau ngasih ini dulu, d