Mungkin, memang seharusnya dari awal kita berpisah, kita memang benar-benar berpisah.
Ini menyakitkan hanya untuk sekedar melihatmu dengan temanku.
“Eh, Sha, kamu udah nyampe? Maaf ya lama.”
Aku menoleh kesebelahku, ternyata Tristan sudah duduk disebelahku, aku mulai menguatkan hatiku untuk mengakhiri semuanya.
“Nggak kok, aku baru nyampe juga. To the point aja ya Tan, sebenernya, ada yang mau aku omongin juga sama kamu,” ucapku langsung pada intinya.
“Oh, gitu, yaudah kamu duluan Sha.”
Aku mengambil kotak yang tadi aku bawa dan langsung memberikannya kepada Tristan, “Ini, aku mau ngasih ini dulu, disitu juga ada suratnya, nanti kamu buka dan baca dirumah ya. Sama aku mau berterimakasih, jangan tanya buat apa ya, karena sulit buat jelasinnya.”
Tidak, aku berbohong, sebenarnya bisa saja aku menjelaskannya, namun aku malas jika harus ada air mata disini.
“Emmm, aku juga mau minta maaf sama kamu, mungkin selama ini aku selalu ganggu kamu, sampe kamu gak nyaman. Atau mungkin, sampe bikin Feli gak nyaman, aku minta maaf tentang itu. Aku juga sadar kok, kita ini udah gak jadi kita lagi kan? Iya, aku minta maaf sebelumnya belum sepenuhnya menyadari. Karena,”
Aku menarik nafas sejenak, berusaha menguatkan diri, namun sayang air mata ini sudah tak bisa ditahan lagi, “Karena ini terlalu berat untuk aku, Tristan. Seharusnya, dari dulu, aku gak usah menaruh harapan lebih kepada sesuatu yang belum 100% milikku. Ini berat tapi tidak apa, aku akan selalu mencoba untuk menghapus tentang kita dalam hidupku.”
Tristan menatapku lalu mengusap air mataku, “Sha, jangan nangis. Aku selalu sakit kalo kamu nangis, apalagi gara-gara aku.”
Aku menggeleng, lalu mengusap kasar air mataku “Nggak, ini bukan gara-gara kamu. Ini emang kesalahan aku sendiri. Aku yang masih terus berharap, padahal kita hanya teman biasa.”
“Gapapa, Sha, gaada yang bisa ngehalangin rasa seseorang. Aku juga disini salah, semua perlakuan aku ke kamu itu salah. Aku juga sadar, aku udah nyakitin kamu. Tapi, aku nunggu waktu yang pas buat bicarain semuanya,” jawab Tristan
“Udah deh, Tan, kita udah selesai. Maksud aku kesini juga mau mengakhir yang memang seharusnya sudah berakhir sejak lama.”
Aku memberanikan diri untuk menggenggam tangan Tristan “Maaf sebelumnya, tapi aku cuman mau bilang. Aku sayang kamu, sangat. Tapi ternyata semesta sangat tidak mendukung kita untuk bersama.”
Aku melepaskan kembali tangan Tristan, namun ternyata Tristan mengambil tanganku kembali, dan menggenggamnya kuat. Sekuat dia menggenggamku dulu.
“Sha, gaada yang tau takdir kita kedepannya seperti apa. Jangan bicara gitu. Mungkin, kita hari ini harus berpisah, tapi kita gak pernah tau kan nanti mungkin kita bakalan ketemu dan bareng lagi!”
“Ya itu cuman mungkin Tan, aku gamau terus-terusan ngebahagiain diri sendiri dengan harapan yang sangat tidak mungkin terjadi.” Leraiku.
“But you always say, that, nothing is impossible in this world. Anything can be happen, are you forget it?” Ucap Tristan dengan nada sangat pelan.
“But we can’t, Tristan. It’s too hurt for me,” ucapku sambil menundukkan kepala dengan air mata yang terus mengalir.
Tristan tampak gusar, mengusap kepalanya, lalu mengangkat pelan kepalaku “Hei, jangan nangis terus. Nanti cantiknya ilang, kamu cantik banget hari ini.” Ucap Tristan berusaha mengalihkan pembicaraan sejenak.
“Ngomong-ngomong soal Feli, sebelumnya aku minta maaf ya. Mungkin aku udah ngerusak pertemanan kamu sama Feli. Aku gak bermaksud, tapi, kamu tau kan hati gak bisa bohong.”
Mendengarnya, air mataku semakin deras mengalir. Ini terlalu sakit untuk di dengar.
“Tapi, aku gak bermaksud lain. Maksud aku, jujur Sha, percaya sama aku, belum ada wanita lain yang bisa ngegantiin posisi kamu dihati aku, tapi aku rasa aku masih belum pantes buat barengan sama kamu, aku terlalu banyak nyakitin hati kamu.” Ucap Tristan
“Oh iya, Sha, aku juga bawa ini,” ucapnya sambil memberikan buket bunga yang didalamnya ada juga poto-poto aku bersamanya, dan juga sebuah kotak berwarna abu dan biru, warna kesukaanku dengannya.
Melihatnya, aku semakin menangis. Sungguh, ini sangat berat.
“Gapapa, Sha, kalo emang ini sakit banget, kamu boleh nangis. Tapi, kamu jangan pernah lupa untuk tersenyum!” Ucapnya sambil membawaku kedalam dekapannya.
Aku tak menolak kali ini, biarkan untuk yang terakhir kalinya, aku bersandar dan menangis meluapkan semua kekesalan, rasa sakit hati dan juga rinduku ini dalam bahunya. Setelah ini, aku harus membuka kembali lembaran baru. Memang tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, tapi aku harus bisa belajar tanpa dirinya.
“Kamu tenangin diri kamu dulu, Sha. Nanti aku antar pulang, gak boleh nolak ya.” Ucapnya sambil berusaha menenangkanku.
Setelah cukup lumayan lama aku menangis, aku berusaha menguatkan diri untuk bangkit dari dekapan Tristan. Ini sudah cukup Alisha, kamu harus tetap ingat tujuan utamamu.
“Aku mau pulang Tristan.”
“Kamu udah kuat?”
“Iya.”
“Tapi, terima ya, ini mungkin pemberian terakhir dari aku. Tapi kalo kamu butuh aku, kamu jangan sungkan buat hubungin aku. Aku bakalan ada buat kamu.”
“Iya, terimakasih. Jangan lupa juga buat buka kotak ini. Semoga, setelah buka ini, kamu gak nyesel ya udah pernah jadi bagian di hidup aku.” Ucapku.
“Aku gak pernah sekalipun nyesel, Sha. Aku bersyukur mengenal kamu lebih dalam. Walau akhirnya, kita harus berpisah, tapi percaya deh hari-hari bersama kamu itu waktu yang indah. Dan aku, Tristan yang gak pernah bisa menghargai waktu,” ucapnya sambil mengehela nafas sejenak “Yaudah yuk, aku antar pulang, tapi senyum dulu ya? Please, buat aku.” Pintanya.
Sungguh berat, tapi aku berusaha untuk tersenyum setulus mungkin.
Kami berjalan menuju mobil Tristan. Tidak ada pembicaraan apapun, karena aku takut untuk memulainya duluan.
“Ekhem, Sha. Aku nyalain musiknya ya,” ucap Tristan melepas keheningan.
“Iya, silahkan.”
Kini terdengar alunan musik yang sedang membunyikan sebuah lagu.
Kini harus aku lewati, sepi hariku tanpa dirimu lagi
Biarkan kini kuberdiri, melawan waktu
Tuk melupakanmu
Walau perih hati, namun aku bertahan.
(Glenn Fredly – Akhir Cerita Cinta)
Aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi ketika lirik itu terdengar. Aku menangis sangat menjadi-jadi. Aku tidak bisa menahannya lagi, ini terlalu berat untukku. Sakit rasanya harus melupakan dia, tapi aku tidak ingin terus hidup dalam rasa sakit pula.
Tristan menepikan mobilnya. “Sha, aku merasa bersalah banget. Maafin aku ya?” Suaranya melemah, kini aku bisa melihat air mata turun
dipipinya.
“Aku gak kuat, Tristan. Kadang, aku suka bertanya kenapa kita harus bertemu jika ujungnya seperti ini. Aku terlalu menyayangi kamu.” Ucapku sambil terus menangis.
“Maafin aku, Sha, maafin aku,” ucap Tristan yang juga menangis. Diapun mengambil tanganku dan menggenggamnya “Apa, kita mulai dari awal lagi Sha ? Kita sama-sama berat menjalani ini.” Lanjutnya sambil menunduk.
Aku tidak langsung menjawab, aku masih terlarut dalam tangisku. Jika memang aku egois, aku pasti akan mengiyakan tawarannya. Namun, ada Felicya disini. Dia temanku, dia wanita, akupun wanita. Aku tidak boleh bersikap seperti itu. Tapi untuk kali ini biarkan saja waktu milik kita berdua. Untuk kali ini saja.
“Gak bisa, Tan. Kamu udah terlanjur bawa Feli dalam masalah ini. Aku gamau hanya karena keegoisan aku, aku sampai melukai orang lain.” Lirihku.
Tristan tidak menjawab, namun langsung memelukku dengan erat “Maafin aku, aku minta maaf banget. Aku udah bikin ini semua rumit. Aku udah bikin kamu sakit, aku minta maaf. Aku sayang kamu.”
Aku tidak menjawab, aku masih terus menangis. Aku sudah cukup lelah menahan semua dari awal.
Tristan melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya, juga air mataku, “Aku beli air minum dulu ya, biar kamu lebih tenang.” ucapnya sambil berlalu keluar untuk membeli air mineral.
Aku menarik nafas dalam, berusaha mencoba menenangkan diri sendiri “Alisha, udah yaa! Kamu gak boleh nangis terus. Kamu harus kuat, kamu harus inget tujuan awal kamu!” Ucapku berusaha menguatkan diri sendiri.
Tristan pun telah kembali “Nih, minum dulu ya. Tenangin diri kamu baru kita jalan lagi.” Ucap Tristan sambil memberikan botol air minum.
Aku pun masih terus berusaha menenangkan diri, “Udah Tan, ayo jalan lagi.”
Setelah itu kami pun saling diam kembali. Terlalu sulit untuk sekedar basa-basi. Sampai akhirnya, kami sampai dirumahku.
“Makasih, ya! Kamu udah mau nganterin aku. Soal tadi, kamu bisa lupain kalo emang risih. Nanti, kedepannya, kalo kamu sampe ada masalah sama Felicya gara-gara aku sekarang, kamu harus bilang sama aku, biar aku jelasin ke Feli.” Ucapku.
“Nggak, kok, Sha! Aku seneng banget bisa ngabisin hari ini sama kamu. Kamu baik-baik ya, kamu tenangin diri kamu, kalo emang masih sedih dan terlalu sakit, kamu bisa hubungin aku, aku bakalan kesini, buat kamu.” Balas Tristan.
“Terimakasih Tan, tapi gausah. Aku bakalan pergi, aku bakalan pindah dari sini, sebelumnya terimakasih banyak dan juga maaf ya.”
“Hah? Maksud kamu, kamu mau pindah? Pindah kemana?” Tanya Tristan.
Aku tidak menjawabnya, aku hanya tersenyum dan membuka pintu mobil “Aku pamit ya, jaga diri kamu baik-baik, kalo kamu butuh aku, kamu bisa hubungi aku.” Ucapku langsung keluar dan berlari menuju rumahku.
Rasanya tidak kuat untuk masih bersama dia. Tidak apa, mulai detik ini, aku akan terus membiasakan diri tanpa dia. Meski itu sakit.
Aku memasuki rumahku, dan ternyata, Kak Ayza masih belum pulang. Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamarku. Aku memandang buket bunga dan sebuah kotak pemberian Tristan. Aku menyimpan terlebih dahulu buket bunga, dan beranjak membuka kotak. Kotak berwarna abu dan biru, yang merupakan warna kesukaanku dan juga Tristan. Didalamnya, berisikan sebuah potoku bersama Tristan, dan juga satu potoku dengan berlatar senja, dibawahnya terdapat tulisan, lihat kebelakang ya!. Ah, ternyata ada kata-kata.Hallo senja!Mungkin kamu pertama baca ini ya, hehe maaf kalo salah.First of all, I will say thank you for you, Alisha Ri
Kebahagiaan mu, tidak selamanya tentang pasangan. Coba lihat sekitarmu, ada sahabat yang selalu peduli padamu. Jangan merasa sendiri ya, ingat sahabatmu selalu ada untukmu. “ICHAAAAA! SINI DONG, KITA UDAH NYAMPE NIH!” Teriak seseorang diruang tamu. Ya, aku sudah tahu, itu pasti Andi. Kemarin aku mengundang Andi dan Fito untuk kerumah. “Ck, lo tuh, ya! Pelan-pelan, liat noh, gak sopan ada Bunda sama Ayah!” Ucap Fito. “Dih, biasanya juga lo yang kayak gitu! Dasar pencitraan!” Akupun bergegas keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang tamu. “Hallo, teman-teman! Apa kabar hari ini?” Ucapku. 
Hari ini, hari dimana aku meninggalkan rumah ini. Sudah banyak sekali kenangan yang terjadi. Biarlah tersimpan dengan baik dirumah ini. Aku sudah siap dengan semua barangku, kini aku sedang memakai make up, tipis-tipis saja biar tidak terlalu pucat. Hari ini aku juga memakai hoodie pemberian Tristan. Jika kamu berfikir aku masih memikirkannya, iya, pasti. Karena, tidak semudah itu melupakan seseorang. Namun, jika berfikir lagi aku memakai hoodie ini karena itu, itu salah. Aku hanya menghargai pemberian seseorang. Tidak apa, aku harus dewasa dalam menghadapi masalah ini. Aku tidak boleh lagi bersikap kekanak-kanakan, hanya karena memakai hoodie ini aku tak boleh goyah dengan pendirianku, untuk melupakan dia.&n
Kadang, kehilangan seorang sahabat lebih menyakitkan daripada harus berpisah dengan kekasih. Kini, aku, Fito dan Andi sedang berada didalam mobil dalam perjalanan menuju rumah baruku. “Eh, Ndi, Fit gue mau nanya deh.” Ucapku tiba-tiba ketika teringat suatu hal. “Apaan?” Timpal Fito yang kini duduk disebelahku. “Hmm, gatau ya sebenernya gue gak bermaksud apapun si, cuman pengen aja gitu nanya gini. Kalo nanti nih, kalian udah punya pacar masing-masing, apa kalian bakalan masih ada buat gue? I mean, buat sekedar dengerin curhatan gue gitu, ya meskipun gue sadar kalo kalian udah punya pacar pasti ada seorang wanita lagi yang harus diperhatiinkan? Yang jadi prioritas kalian,” tanyaku.
“Darimana, kalian?” Tanya Kak Ayza yang melihatku baru sampai bersama Andi. “Oh, ini Kak, aku sama Andi baru pulang dari Mas Aji.” Ucapku. “Wahh, bawa martabak dong. Mana punya kakak?” Ucap Kak Ayza sembari mengambil martabak yang aku bawa. “Ihhh! Nanti dulu!” Ucapku sambil merebut kembali martabaknya, “Nanti aku bawain deh. Aku juga beli kok, buat kakak sama Ayah, Bunda. Sekaligus aku bawain ice choco buat kakak!” “Wah, tumben nih baik. Ada maunya nih pasti?” “Gak, lah! Udah, deh. Ayo, Ndi, kita ke atas. Kasihan Fito udah lama sendiri.” Ucap
Bertemu lagi. Kurasa, ini bukan kebetulan biasa, ini takdir ya?“Iya, gue Gio. Gue juga yang tadi gak sengaja lo senggol.”Aku terdiam sejenak. Pantas saja, ketika melihat dia tadi, seperti bukan pertama kalinya aku bertemu dia. Ah, dia berubah banyak. Aku sampai sempat tidak mengenalinya, padahal dia teman kecilku dulu. “Hm, Gio. Kita, pernah kenal ya?” Tanyaku, hanya memastikan saja. Karena aku takut jika aku yang duluan memulai menyapanya, aku takut terkesan so’ akrab dengan dia. “Ck, lo tuh, amnesia atau gimana? Masa lupa si? Ya, kan kita dulu temenan, Sha. Perasaan lo belum terlalu tua kan? Kan beda umur kita cuman 3 tahun.” Jawab Gio. “Iya iya, aku juga tau, kok. Cuman takut salah aja.” Jawabku. Namun tak lama
Gaada yang namanya kebetulan, semua udah ditentuin. Semua ini, Takdir. “Heh! Ngomel mulu, lo!” “Ggg-Gio?” Itu, Gio. Sejak kapan dia ada disini? Serem banget si, tiba-tiba muncul. Bikin kaget aja. “Iya, kenapa?” Tanya Gio mengejutkan lamunanku. “K-kok, ada disini?” “Ya emang ini bukan tempat umum?” Ucapnya sambil duduk di kursi sebelahku. “Kenapa, si? Tadi ngomel-ngomel gak jelas, sekarang ngelamun gitu.” “Hm? Gapapa. Btw, dari kafe juga? Kok, gak lihat?”&nbs
Kadang, apa yang kita takutin hari ini, itu yang akan kita hadapi besok. Kini, Alisha, Ayza, Alwi (Ayah Alisha) dan Dewi (Bunda Alisha) sedang berada dimeja makan untuk makan malam. “Oh iya, Cha, besok kamu ada dirumah aja ‘kan? Maksudnya kamu gaada acara keluar rumah?” Tanya Dewi tiba-tiba. Alisha yang sedang mengunyah makanannya berhenti sejenak, “Iya, Bund. Aku besok gaakan kemana-mana kok. Ada apa emangnya?” Tanya balik Alisha. “Besok Ayah sama Bunda mau ngajakin kamu sama Ayza buat ke restoran yang dulu biasa kita kunjungin, udah lama juga kan ya, gak kesana. Ada yang mau Ayah dan Bunda omongin juga sama kamu dan Ayza.” Jelas Dewi