Indah semua cerita ketika kita bersama. Sampai membuatku lupa, bahwa semua yang indah, tak akan pernah bertahan selamanya.
“Eh, nanti aja deh, Cha! Itu liat, udah mau mulai acaranya,” ucap Fito ketika melihat pembawa acara sudah memulai acara.
“Lo, udah deh! Gapapa, for the last inget.” Sanggah Andi.
“Gapapa, Ndi. Emang udah mau mulai juga acaranya,” ucapku “Nanti ya, Tan. Beres acara, kita bicara. Aku tunggu ditaman.” Lanjutku sambil menatap Tristan.
“Yaudah, Sha. Fit, Ndi, Kak, gue kesana dulu ya.” Pamit Tristan.
“Iya, hati-hati lo, nanti nabrak orang!” Ucap Fito ketus.
“Gedek gue ngeliat muka dia lama-lama.” Balas Andi dengan nada tidak enak.
“Udah, lo berdua gitu mulu. Jangan gitu lah, dia juga temen kalian,” leraiku.
“Cih, sejak kapan gue temenan sama dia, temen lo kali Fit.”
“Mending temenan sama kucing gue mah.” Balas Fito.
“Ini bocah berisik amat dari tadi. Sana, cari orangtua kalian, udah mau mulai tuh.” Lerai Kak Ayza.
Merekapun menurut dengan perkataan Kak Ayza. Acara perpisahan, berlangsung dengan khidmat. Aku menikmati setiap detik dalam acara ini. Perasaanku hari ini sangat bahagia, aku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, dan aku bisa melanjutkan ke universitas impianku. Namun, aku juga sedih harus meninggalkan sekolah ini, banyak hal telah terjadi dan juga aku sedih mulai detik ini aku harus bernar-benar melupakan dia, dan semua kenangan yang telah terjadi. Dan SMA-ku ini, menjadi saksi bisu semua kenanganku bersamanya.
“Selamat ya dek, kamu lulus dengan nilai bagus banget. Ayah, sama Bunda pasti bangga deh!” Ucap Kak Ayza sambil mengelus lembut kepalaku.
“Makasih, Kak! Iya, Alhamdulillah, perjuangan aku gak sia-sia. Oh ya, Kak, kalo Kakak mau pulang, duluan aja ya. Aku masih ada urusan, nanti aku nitip barang-barang aku, biar gak ribet.”
“Yaudah, barang-barang kamu Kakak bawa. Tapi, Kakak gak langsung pulang kerumah, Kakak mau ngecek rumah kita yang deket rumah nenek dulu. Mau ngeliat, takutnya ada yang rusak, disuruh sama Ayah.”
“Jadi, bener kita mau pindah?” Mendengar penjelasan Kak Ayza tadi, aku langsung termenung. Secepat itu kah? Ternyata mungkin memang keputusanku ini tepat untuk melupakan Tristan, sampai semestapun mendukung.
“Iya dek, ya, kita mulai hari-hari baru lagi disana. Lagian, Ayah bilang, biar dia ga terlalu jauh jarak ke kantornya, terus juga kamu, kamu biar bisa lebih khusyuk ngelupain Tristannya.” Jelas Kak Ayza.
“Yaudah deh, Kakak hati-hati ya, aku mau kesana dulu.” Pamitku.
“Iya, kamu kalo udah selesai, telpon kakak aja. Nanti kakak jemput.”
“Gausah, kak, nanti aku sendiri aja.”
Setelah mengatakan itu, aku pun pamit berjalan menuju Taman Sekolah. Ya, aku berjanji bertemu dengan Tristan disana setelah selesai acara. Sambil memegang kotak yang akan aku berikan kepada Tristan, aku berusaha sekuat mungkin menahan air mataku yang sudah meronta-ronta ingin mengalir. Oh aku tidak cukup kuat untuk ini semua, Tuhan. Apalagi untuk menjalani hari-hariku tanpa dia sepenuhnya.
Sesampainya aku di Taman, aku belum melihat kehadiran Tristan disana. Aku pun duduk di kursi yang menghadap ke sebuah pohon.
Ditempat ini, dulu Tristan menyatakan Cintanya. Dia juga sempat berjanji untuk selalu bersamaku, tapi ternyata dia pula yang meninggalkan ku.
Flashback
“Kita mau kemana si Tristan, kok, mata aku ditutup gini?” Ucapku yang masih terus berpegangan tangan pada Tristan karena mataku ditutup kain olehnya.
“Nah, udah nyampe. Sini, aku bukain kainnya. Tapi, kamu janji, pas udah dibuka jangan dulu buka mata ya, janji. Kamu langsung duduk aja, dibelakang kamu ada kursi,” ucap Tristan sambil terus membukan ikatan kain pada mataku.
Aku tidak langsung percaya, akupun meraba-raba kebelakang, untuk merasakan kursi itu.
“Serius lah Sha, masa kamu gak percaya si sama aku. Dibelakang kamu emang ada kursi kok.”
“Ya, memastikan aja Tristan, tapi kamu bawa kacamata aku kan?” Ucapku sambil menduduki kursi itu.
“Iya Alishaa, bawel banget si. Pokoknya kamu duduk manis aja disitu. Nanti kalau aku bilang buka mata kamu, buka ya. Sekarang kamu pegang dulu kain ini.” Ucap Tristan sambil memberikan kainnya.
“Cepet ya Tristan, jangan bikin aku penasaran!”
“Udah nih, kamu bisa buka mata kamu Sha.”
Aku pun mulai membuka mataku, tidak ada yang aneh disekelilingku. Aku hanya sedang duduk di Taman Sekolah, duduk diposisi kursi yang menghadap sebuah pohon indah. Namun ternyata ketika aku melihat ketanah, disana ada sebuah papan kayu yang bertuliskan Alisha Tristan.
“Maaf ya, Sha, aku gak pandai dekor tempat, aku juga takut kena marah pihak sekolah, hehe, jadi aku gaada surprise tempatnya, paling aku cuman bisa tulis itu aja.”Jelas Tristan.
“Ish, tapi ini cantik loh Tan. Kamu belajar kayak gini dari siapa?”
“Aku kan, sering ngeliatin kamu, kamu kan jago gambar, ya aku coba aja dikit-dikit bikin yang gini hehe,”ucapnya sambil mengambil papan itu dan memberikannya kepadaku, lalu membawa kain yang tadi dipegangku.
“Sekarang, dengerin aku ya Sha,”ucapnya sambil menggenggam tangan kiriku.
“Aku tau, aku gak sesempurna yang lain. Kamu cantik, dan banyak juga cowo yang lebih ganteng yang suka sama kamu. Tapi, aku tetep nekat untuk deketin kamu sampai saat ini, hehe maafin aku yang gatau malu ini ya.” Ucapnya.
Aku yang mendengarnya merasa terharu, pertama kali aku melihat dia seperti ini, dengan raut muka yang tegang dan tangan yang gemetar. Haha, lucu juga ya.
“Aku juga tau, kamu wanita yang baik. Kalo dibandingin sama aku, aku kalah jauh banget sama kamu. Tapi, aku gamau ngelakuin itu. Karena aku mau kita jadi suatu kelengkapan yang melengkapi satu sama lain,”
Dia semakin mengeratkan pegangan tangannya, dan semakin melekatkan pandangannya kepadaku.
“Kamu pasti udah nebak maksud aku bicara seperti itu. Tapi, aku mau mengutarakannya langsung.”
“Aku suka sama kamu, Alisha. Rasa suka ini lebih dari sebuah rasa suka sama temen. Aku nyaman sama kamu, bahkan, aku punya rasa cinta sama kamu,” lanjut Tristan.
Aku terkejut mendengarnya, tidakku sangka ternyata secepat ini Tristan mampu mengutarakan perasaannya.
“Aku janji, kalo kita nanti jadi beneran kita, aku bakalan terus sama kamu, aku bakalan ngedampingin kamu dalam suka maupun duka. Aku gabakalan ninggalin kamu, dan aku gak bakalan ngebiarin air mata kamu keluar, sebisa mungkin aku akan berusahan buat kamu bahagia.”
“Kamu, serius Tristan. Kamu, beneran suka sama aku?” Ucapku masih belum bisa percaya dengan ucapan Tristan tadi.
“Iya, aku serius Sha, dan aku mau jadi pacar kamu. Tapi, kamu gak perlu jawab, kamu kan udah pegang papan itu, aku sengaja ngasih jarak diantara nama kita. Nah, disitu kamu boleh gambar bentuk hati kalo kamu punya perasaan yang sama dengan perasaanku, tapi kalo sebaliknya, kamu boleh gambar silang. Sementara aku, bakalan tutup mata aku dengan kain ini. Kalo udah selesai kamu kasih tau aku ya!”
Mendengar penjelasan Tristan, aku pun mengangguk dan mulai meyakinkan hatiku untuk menggambar dalam papan itu, kebetulan tadi Tristan membawa spidol.
“Udah, kamu bisa buka kainnya.” Ucapku.
Mendengarnya, Tristan langsung membuka kainnya, dan langsung melihat ke papan yang ada ditanganku “hah? Kamu serius Sha?” tanyanya.
“Iya, aku juga punya perasaan yang sama Tan, dan aku mau jadi pacar kamu.” Ucapku.
“Makasih ya Sha, aku janji buat selalu ada buat kamu!” Ucapnya sambil terus menggenggam tanganku.
Ya, aku menggambar hati disana, karena memang aku selalu nyaman ketika bersamanya. Aku selalu ingin menghabiskan setiap detikku, bersamanya.
---
“Eh Sha, kamu udah nyampe? Maaf ya lama.”
Aku menoleh kesebelahku, ternyata Tristan sudah duduk disebelahku, aku mulai menguatkan hatiku untuk mengakhiri semuanya.
Mungkin, memang seharusnya dari awal kita berpisah, kita memang benar-benar berpisah.Ini menyakitkan hanya untuk sekedar melihatmu dengan temanku. “Eh, Sha, kamu udah nyampe? Maaf ya lama.” Aku menoleh kesebelahku, ternyata Tristan sudah duduk disebelahku, aku mulai menguatkan hatiku untuk mengakhiri semuanya. “Nggak kok, aku baru nyampe juga. To the point aja ya Tan, sebenernya, ada yang mau aku omongin juga sama kamu,” ucapku langsung pada intinya. “Oh, gitu, yaudah kamu duluan Sha.” Aku mengambil kotak yang tadi aku bawa dan langsung memberikannya kepada Tristan, “Ini, aku mau ngasih ini dulu, d
Aku memasuki rumahku, dan ternyata, Kak Ayza masih belum pulang. Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamarku. Aku memandang buket bunga dan sebuah kotak pemberian Tristan. Aku menyimpan terlebih dahulu buket bunga, dan beranjak membuka kotak. Kotak berwarna abu dan biru, yang merupakan warna kesukaanku dan juga Tristan. Didalamnya, berisikan sebuah potoku bersama Tristan, dan juga satu potoku dengan berlatar senja, dibawahnya terdapat tulisan, lihat kebelakang ya!. Ah, ternyata ada kata-kata.Hallo senja!Mungkin kamu pertama baca ini ya, hehe maaf kalo salah.First of all, I will say thank you for you, Alisha Ri
Kebahagiaan mu, tidak selamanya tentang pasangan. Coba lihat sekitarmu, ada sahabat yang selalu peduli padamu. Jangan merasa sendiri ya, ingat sahabatmu selalu ada untukmu. “ICHAAAAA! SINI DONG, KITA UDAH NYAMPE NIH!” Teriak seseorang diruang tamu. Ya, aku sudah tahu, itu pasti Andi. Kemarin aku mengundang Andi dan Fito untuk kerumah. “Ck, lo tuh, ya! Pelan-pelan, liat noh, gak sopan ada Bunda sama Ayah!” Ucap Fito. “Dih, biasanya juga lo yang kayak gitu! Dasar pencitraan!” Akupun bergegas keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang tamu. “Hallo, teman-teman! Apa kabar hari ini?” Ucapku. 
Hari ini, hari dimana aku meninggalkan rumah ini. Sudah banyak sekali kenangan yang terjadi. Biarlah tersimpan dengan baik dirumah ini. Aku sudah siap dengan semua barangku, kini aku sedang memakai make up, tipis-tipis saja biar tidak terlalu pucat. Hari ini aku juga memakai hoodie pemberian Tristan. Jika kamu berfikir aku masih memikirkannya, iya, pasti. Karena, tidak semudah itu melupakan seseorang. Namun, jika berfikir lagi aku memakai hoodie ini karena itu, itu salah. Aku hanya menghargai pemberian seseorang. Tidak apa, aku harus dewasa dalam menghadapi masalah ini. Aku tidak boleh lagi bersikap kekanak-kanakan, hanya karena memakai hoodie ini aku tak boleh goyah dengan pendirianku, untuk melupakan dia.&n
Kadang, kehilangan seorang sahabat lebih menyakitkan daripada harus berpisah dengan kekasih. Kini, aku, Fito dan Andi sedang berada didalam mobil dalam perjalanan menuju rumah baruku. “Eh, Ndi, Fit gue mau nanya deh.” Ucapku tiba-tiba ketika teringat suatu hal. “Apaan?” Timpal Fito yang kini duduk disebelahku. “Hmm, gatau ya sebenernya gue gak bermaksud apapun si, cuman pengen aja gitu nanya gini. Kalo nanti nih, kalian udah punya pacar masing-masing, apa kalian bakalan masih ada buat gue? I mean, buat sekedar dengerin curhatan gue gitu, ya meskipun gue sadar kalo kalian udah punya pacar pasti ada seorang wanita lagi yang harus diperhatiinkan? Yang jadi prioritas kalian,” tanyaku.
“Darimana, kalian?” Tanya Kak Ayza yang melihatku baru sampai bersama Andi. “Oh, ini Kak, aku sama Andi baru pulang dari Mas Aji.” Ucapku. “Wahh, bawa martabak dong. Mana punya kakak?” Ucap Kak Ayza sembari mengambil martabak yang aku bawa. “Ihhh! Nanti dulu!” Ucapku sambil merebut kembali martabaknya, “Nanti aku bawain deh. Aku juga beli kok, buat kakak sama Ayah, Bunda. Sekaligus aku bawain ice choco buat kakak!” “Wah, tumben nih baik. Ada maunya nih pasti?” “Gak, lah! Udah, deh. Ayo, Ndi, kita ke atas. Kasihan Fito udah lama sendiri.” Ucap
Bertemu lagi. Kurasa, ini bukan kebetulan biasa, ini takdir ya?“Iya, gue Gio. Gue juga yang tadi gak sengaja lo senggol.”Aku terdiam sejenak. Pantas saja, ketika melihat dia tadi, seperti bukan pertama kalinya aku bertemu dia. Ah, dia berubah banyak. Aku sampai sempat tidak mengenalinya, padahal dia teman kecilku dulu. “Hm, Gio. Kita, pernah kenal ya?” Tanyaku, hanya memastikan saja. Karena aku takut jika aku yang duluan memulai menyapanya, aku takut terkesan so’ akrab dengan dia. “Ck, lo tuh, amnesia atau gimana? Masa lupa si? Ya, kan kita dulu temenan, Sha. Perasaan lo belum terlalu tua kan? Kan beda umur kita cuman 3 tahun.” Jawab Gio. “Iya iya, aku juga tau, kok. Cuman takut salah aja.” Jawabku. Namun tak lama
Gaada yang namanya kebetulan, semua udah ditentuin. Semua ini, Takdir. “Heh! Ngomel mulu, lo!” “Ggg-Gio?” Itu, Gio. Sejak kapan dia ada disini? Serem banget si, tiba-tiba muncul. Bikin kaget aja. “Iya, kenapa?” Tanya Gio mengejutkan lamunanku. “K-kok, ada disini?” “Ya emang ini bukan tempat umum?” Ucapnya sambil duduk di kursi sebelahku. “Kenapa, si? Tadi ngomel-ngomel gak jelas, sekarang ngelamun gitu.” “Hm? Gapapa. Btw, dari kafe juga? Kok, gak lihat?”&nbs