Sesampainya di Bogor, Dirga menyelesaikan permohonan perpanjangan Sekolah Jarak Jauh untuk kedua anaknya Eldra dan Anne. Selanjutnya ia beranjak ke kantornya di bilangan Jakarta Selatan untuk menghadiri meeting dengan salah satu client VIP-nya. Dirga masih memberikan presentasi rencana pembangunan beberapa resort dan restoran seperti yang diminta oleh client-nya itu. Seusai meeting Dirga melangkahkan kaki ke ruangannya. Netra dan tubuhnya benar-benar terasa lelah, imbas dari kelelahan lahir batin yang dialaminya satu bulan belakangan. Borne yang belum sempat berbincang banyak karena Dirga datang tepat saat meeting dengan client VIP tadi akan dimulai, menyempatkan diri menanyakan keadaan sahabatnya itu. "Are you ok, man?" "Hmm. I'm ok." "Andien?" Dirga menghela napas lelah. Ragu menjawab pertanyaan Borne. "Ngeliat kondisinya, harusnya Andien udah sadar." lirih Dirga. "Lo ajak ngomong terus kan, Ga?" "Iya." "Semangat, br
Dirga bergegas mempercepat langkah menuju basement tempat mobilnya terparkir. Ia merogoh kantong celana dan tasnya mencari ponsel untuk menghubungi Bonte."Damn it!"Ia memukul pelan keningnya sendiri karena baru saja ingat jika ponselnya tertinggal di ruang kerja.Tak ingin membuang waktu lebih lama, Dirga tak lagi kembali ke ruang kerjanya, tetapi
"Hey sleepy head." sapa Dirga. Parau. Andien hanya tersenyum, tak menjawab sapaan Dirga. Netranya lekat menatap sang suamiyang berjalan mendekatinya. Kia, Ken dan Sandra mengajak anak-anak mereka pulang agar tak terlalu lama berada di rumah sakit. Ketiga malaikat kecil itu memeluk dan mencium Andien bergantian, kemudian beranjak memeluk sang Ayah. "Ingat untuk bersikap baik, dan besok datang lagi ya sayang-sayangnya
Manik mata Dirga membelalak saatmendengar pernyataan Andien. Dirga melepaskan rengkuhannya, mencengkram lembut lengan Andien, memberi sedikit jarak agar bisa menatap lekat sang istri. "Kok ga ada yang bilang ke aku kalau kamu sadar dari pagi?" tanyanya. Andien tersenyum hangat. "Aku baru sadar sekitar... Empat jam yang lalu?" jawab Andien seraya melirik ke jam dinding di belakang Dirga.
Dirga menganga mendengar omelan istrinya. Borne dan Ian - yang juga mendengar omelan Andien - malah tertawa. "Iye iye gue makan. Gitu aja ngambek!" Andien menatap Dirga yang melihatnya seraya tersenyum. "Ngapain senyum-senyum?" "Ga apa-apa sayang."
Pagi itu, baik Andien maupun Dirga masih sama-sama terlelap. Dirga ikut tidur di bed pasien, memeluk istrinya semalaman. Kebiasaan Andien yang terbangun dini hari dan melabuhkan kecupan singkat pada suaminya pun masih sama. Entah sangkin lelahnya, atau karena baru semalam mereka merasakan tidur yang begitu tenang, mereka bahkan tidak menyadari seseorang pria masuk dan tersenyum melihat keduanya. Pria itu menepuk-nepuk kaki Dirga. Dirga membuka netranya perlahan. Menatap orang yang mengganggunya, lalu duduk dan tersenyum. Alex melangkah ke sisi Dirga, memeluknya erat.
Siangnya mereka meminta agar pemeriksaan dilakukan di poli saja. Mengingat dokter baru bisa melakukan visit pasien selepas senja dikarena harus menyelesaikan praktek dan melakukan tindakan Sectio Caesarea yang sudah dijadwalkan sore itu. Andien yang khawatir ada sesuatu yang salah akibat komanya, sementara Dirga yang berharap Andien hamil sekaligus khawatir jika istrinya harus menjalani kehamilan dalam kondisi lemah seperti itu – tentu saja membuat mereka habis kesabaran jika harus menunggu pemeriksaan lebih lama lagi.
Dirga baru saja merebahkan Andien kembali di bed pasien di dalam kamar ranap ketika ponselnya bergetar beberapa kali. Ia membuka satu pesan di aplikasi pesan singkat di ponselnya. Manik matanya membelalak membaca pesan yang sangat tidak menyenangkan itu. Dirga menjauhkan dirinya dari Andien, keluar ruangan meninggalkan Andien dengan perawat yang sedang mengatur infus Andien kembali. Dirga membuka kontak di ponselnya, mendial nomor Irgi. "Ya, Ga?"