Dirga baru saja merebahkan Andien kembali di bed pasien di dalam kamar ranap ketika ponselnya bergetar beberapa kali. Ia membuka satu pesan di aplikasi pesan singkat di ponselnya. Manik matanya membelalak membaca pesan yang sangat tidak menyenangkan itu.
Dirga menjauhkan dirinya dari Andien, keluar ruangan meninggalkan Andien dengan perawat yang sedang mengatur infus Andien kembali. Dirga membuka kontak di ponselnya, mendial nomor Irgi.
"Ya, Ga?"
Hyperthymesia atau sindrom mengingat superior, kondisi ini adalah antitesa dari pikun. Sering disebut sebagai Highly Superior Autobiographical Memory (HSAM), pengidap hyperthymesia bisa mengingat secara rinci semua detail dari segala yang dialaminya di masa lampau.
'Bugh!' 'Bugh!' 'BUGH!' 'BRAK!' April
Dirga menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ternyata benar kata Ian, perempuan dan hormon kehamilannya." lanjutnya lagi. "Iiih!" Dirga tertawa, mematikan aliran infus dan memindahkan botol cairan itu ke pangkuan Andien. Ia lalu membuka pintu kamar mandi, mendekati Andien lagi, dan menggendongnya di depan tubuhnya. "Udah jangan ngambek. Aku gemas lia
Dirga masuk kembali ke dalam mobilnya seraya mendengus keras. Andien yang menunggu sang suami di dalam kendaraan itu mengerutkan kening, heran melihat gurat kesal di wajah Dirga. “Kenapa sayang?” “Entah kenapa aku malu beli pengaman begini di sini.” Andien malah terkekeh. “Kalau di London ga malu?”
“Udah boleh pulang Ar. Lagian bosan kali di Rumah Sakit terus.” kali ini Andien menjawab pertanyaan Arga. “Beneran udah ga kenapa-kenapa?” “Ngapain lo khawatirin bini gue?” “Astaghfirullah... Kei, boleh aku bogem ga suamimu?” “Jangan! Nanti kamu yang bonyok! Dia sensei karate, ban hitam.” “Buset! Yakuza?” “Setan lo!” maki Dirga. Arga justru tertawa geli. “Tenang Ga, gue udah ikhlas. Dan ga minat gue sama bini orang! Udah ngerasain sendiri soalnya bini gue diambil orang!” Dirga terdiam. Begitupun Andien. Arga menyuap lagi mie-nya, sementara Dirga dan Andien justru menatapnya lekat. “Kok pada bengong? Makan dong.” “Lo ga apa-apa?” tanya Dirga. “Sekarang perhatian banget.” kekeh Arga. “Ga apa-apa. Santai.” “Emang kamu ga tau Kei?&rd
Sudah satu bulan sejak Andien dan Dirga kembali ke kediaman Pranata tetapi trauma Andien masih tak banyak perubahan. Tak kian memburuk, tetapi tak bisa jua dikatakan membaik. Sementara di London sana, Max sudah berkali-kali bertanya pada Dirga kapan ia bisa menengok kantor mereka di Inggris Raya itu, berhubung klien-klien utama yang selama ini berurusan dengan Dirga sudah banyak yang menanyakan keberadaannya. Malam itu, usai makan malam bersama, Dirga mengumpulkan istri, anak-anaknya dan keluarga besarnya di ruang keluarga, hendak menyampaikan dan mencari mufakat untuk menyelesaikan beberapa permasalahan. “Yang pertama, Papa mau tanya sama El dan Ann
Dirga dan Andien masih saling berbalas kecupan, juga masih saling merengkuh erat setelah percintaan mereka. Tak ada yang ingin mengusaikan. Detik demi detik yang tersisa sebelum keberangkatan Dirga ke London benar-benar dimanfaatkan keduanya untuk lebih banyak bersama. Bahkan ke kantor sekalipun Dirga pasti membawa sang istri. “Kak Dirga ga apa-apa kan?” tanya Andien seraya mengusap-usap lembut rahang Dirga. Dirga kembali mengulum bibir sang istri
Dirga mengaktifkan kembali ponselnya begitu keluar dari pesawat yang ia tumpangi dalam perjalanan London – Doha – Jakarta. Seperti biasa, pria itu hampir tak pernah mengisi jatah bagasinya, cukup satu koper kabin dan sling bag saat keberangkatan, dan berubahnya slig bag menjadi ransel saat kembali ke Jakarta – menambah space untuk membawa buah tangan bagi sang istri tercinta dan anak-anaknya.Siapa juga yang mau repot bolak balik packing jika perjalanan jauh itu harus ditempuhnya sekali sebulan sejak jatah tugas di tanah airnyahabis.
Senyum Andien pun semakin merekah. ‘Cantiknya istriku.’ "Kita pulang sekarang?" "Iya, Kak." "Anak-anak di mana?"
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect