Dirga mengaktifkan kembali ponselnya begitu keluar dari pesawat yang ia tumpangi dalam perjalanan London – Doha – Jakarta. Seperti biasa, pria itu hampir tak pernah mengisi jatah bagasinya, cukup satu koper kabin dan sling bag saat keberangkatan, dan berubahnya slig bag menjadi ransel saat kembali ke Jakarta – menambah space untuk membawa buah tangan bagi sang istri tercinta dan anak-anaknya.
Siapa juga yang mau repot bolak balik packing jika perjalanan jauh itu harus ditempuhnya sekali sebulan sejak jatah tugas di tanah airnya habis.Senyum Andien pun semakin merekah. ‘Cantiknya istriku.’ "Kita pulang sekarang?" "Iya, Kak." "Anak-anak di mana?"
Dirga memberikan amplop berwarna putih pada Andien yang sedang menyusui Arya. Sementara Arna sudah tertidur pulas kembali seusai mengenyangkan perut kecilnya. Begitu pula dengan Eldra, Anne dan Cantika yang bersikeras menginap di rumah sakit karena tak mau berpisah dengan adik kembarnya. Andien membuka amplop itu, kedua manik matanya membola menatap lembar demi lembar foto di tangannya. "Another surprise?" Dirga menganggu
London, enam bulan kemudian. Andien membawa Arna dan Arya ke dalam kamarnya usai bayi kembar itu dimandikan. Tak seperti biasanya, karena memang sangat jarang terjadi, Dirga masih tertidur pulas padahal hari sudah memasuki pukul tujuh pagi itu. “Bangunin Papa oke boys?” Kedua bocah lucu itu hanya tersenyum manis. Andien meletakkan keduanya di samping Dirga, sementara ia duduk mengawasi. “Aaa aaah! Aaaah! Happphhhfff!” celoteh Arna seraya meraup wajah Dirga dengan mulut kecilnya, sementara Arya dalam posisi merangkak di samping sang Abang dengan gerakan maju mundur seolah mencari posisi untuk belajar duduk sendiri. Arna masih berkutat dengan kegiatannya ‘memakan’ sang Papa berulang kali, sementara Arya yang terus ragu untuk maju namun tak berani mendudukkan diri akhirnya menyerah. ‘Blugh!’ Arya menelungkupkan diri, lalu membalik tubuhnya hingga menabrak kepala Dirga dengan posisi kedua kaki mungilnya di atas kepala sang Ayah. “Hmmmphh! Mmmbab bab aaaaahhh!” gumam Arya, mu
Andien baru saja membersihkan dirinya sebelum tidur malam itu. Di tubuhnya sudah melekat Chemise Lingerie berwarna merah marun. Andien duduk di kursi riasnya, mengaplikasikan berbagai produk perawatan ke wajahnya. Usai melakukan ritual sebelum tidurnya, Ibu dari lima anak itu melangkah pelan ke depan standing mirror yang terletak di salah satu sisi kamarnya. Andien berdiri di depan cermin itu, berputar–putar menatap pantulan dirinya sendiri. Entah sudah berapa menit ia melakukannya. Bergerak–gerak dengan wajah murung. Seraya menghembuskan napas berat ia mendudukkan dirinya di atas tempat tidur, lalu menghempaskan diri hingga terlentang. Dirga yang se
“Kencan sama siapa hari ini?” tanya Max pada Dirga saat mendapati sahabatnya itu keluar dari ruang kerjanya dengan mengenakan setelan resmi dan surai yang tertata rapih serta klimis.Semua orang di 3D Desain Corp sudah amat sangat tahu, jika penampilan Dirga serapih itu pasti akan ada salah satu dari tiga perempuan yang hendak diajaknya kencan malam nanti“Anne.”“Aaah! I’m so jealous, I really need a baby girl.”
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect