Dirga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ternyata benar kata Ian, perempuan dan hormon kehamilannya." lanjutnya lagi.
"Iiih!"
Dirga tertawa, mematikan aliran infus dan memindahkan botol cairan itu ke pangkuan Andien. Ia lalu membuka pintu kamar mandi, mendekati Andien lagi, dan menggendongnya di depan tubuhnya.
"Udah jangan ngambek. Aku gemas lia
Dirga masuk kembali ke dalam mobilnya seraya mendengus keras. Andien yang menunggu sang suami di dalam kendaraan itu mengerutkan kening, heran melihat gurat kesal di wajah Dirga. “Kenapa sayang?” “Entah kenapa aku malu beli pengaman begini di sini.” Andien malah terkekeh. “Kalau di London ga malu?”
“Udah boleh pulang Ar. Lagian bosan kali di Rumah Sakit terus.” kali ini Andien menjawab pertanyaan Arga. “Beneran udah ga kenapa-kenapa?” “Ngapain lo khawatirin bini gue?” “Astaghfirullah... Kei, boleh aku bogem ga suamimu?” “Jangan! Nanti kamu yang bonyok! Dia sensei karate, ban hitam.” “Buset! Yakuza?” “Setan lo!” maki Dirga. Arga justru tertawa geli. “Tenang Ga, gue udah ikhlas. Dan ga minat gue sama bini orang! Udah ngerasain sendiri soalnya bini gue diambil orang!” Dirga terdiam. Begitupun Andien. Arga menyuap lagi mie-nya, sementara Dirga dan Andien justru menatapnya lekat. “Kok pada bengong? Makan dong.” “Lo ga apa-apa?” tanya Dirga. “Sekarang perhatian banget.” kekeh Arga. “Ga apa-apa. Santai.” “Emang kamu ga tau Kei?&rd
Sudah satu bulan sejak Andien dan Dirga kembali ke kediaman Pranata tetapi trauma Andien masih tak banyak perubahan. Tak kian memburuk, tetapi tak bisa jua dikatakan membaik. Sementara di London sana, Max sudah berkali-kali bertanya pada Dirga kapan ia bisa menengok kantor mereka di Inggris Raya itu, berhubung klien-klien utama yang selama ini berurusan dengan Dirga sudah banyak yang menanyakan keberadaannya. Malam itu, usai makan malam bersama, Dirga mengumpulkan istri, anak-anaknya dan keluarga besarnya di ruang keluarga, hendak menyampaikan dan mencari mufakat untuk menyelesaikan beberapa permasalahan. “Yang pertama, Papa mau tanya sama El dan Ann
Dirga dan Andien masih saling berbalas kecupan, juga masih saling merengkuh erat setelah percintaan mereka. Tak ada yang ingin mengusaikan. Detik demi detik yang tersisa sebelum keberangkatan Dirga ke London benar-benar dimanfaatkan keduanya untuk lebih banyak bersama. Bahkan ke kantor sekalipun Dirga pasti membawa sang istri. “Kak Dirga ga apa-apa kan?” tanya Andien seraya mengusap-usap lembut rahang Dirga. Dirga kembali mengulum bibir sang istri
Dirga mengaktifkan kembali ponselnya begitu keluar dari pesawat yang ia tumpangi dalam perjalanan London – Doha – Jakarta. Seperti biasa, pria itu hampir tak pernah mengisi jatah bagasinya, cukup satu koper kabin dan sling bag saat keberangkatan, dan berubahnya slig bag menjadi ransel saat kembali ke Jakarta – menambah space untuk membawa buah tangan bagi sang istri tercinta dan anak-anaknya.Siapa juga yang mau repot bolak balik packing jika perjalanan jauh itu harus ditempuhnya sekali sebulan sejak jatah tugas di tanah airnyahabis.
Senyum Andien pun semakin merekah. ‘Cantiknya istriku.’ "Kita pulang sekarang?" "Iya, Kak." "Anak-anak di mana?"
Dirga memberikan amplop berwarna putih pada Andien yang sedang menyusui Arya. Sementara Arna sudah tertidur pulas kembali seusai mengenyangkan perut kecilnya. Begitu pula dengan Eldra, Anne dan Cantika yang bersikeras menginap di rumah sakit karena tak mau berpisah dengan adik kembarnya. Andien membuka amplop itu, kedua manik matanya membola menatap lembar demi lembar foto di tangannya. "Another surprise?" Dirga menganggu
London, enam bulan kemudian. Andien membawa Arna dan Arya ke dalam kamarnya usai bayi kembar itu dimandikan. Tak seperti biasanya, karena memang sangat jarang terjadi, Dirga masih tertidur pulas padahal hari sudah memasuki pukul tujuh pagi itu. “Bangunin Papa oke boys?” Kedua bocah lucu itu hanya tersenyum manis. Andien meletakkan keduanya di samping Dirga, sementara ia duduk mengawasi. “Aaa aaah! Aaaah! Happphhhfff!” celoteh Arna seraya meraup wajah Dirga dengan mulut kecilnya, sementara Arya dalam posisi merangkak di samping sang Abang dengan gerakan maju mundur seolah mencari posisi untuk belajar duduk sendiri. Arna masih berkutat dengan kegiatannya ‘memakan’ sang Papa berulang kali, sementara Arya yang terus ragu untuk maju namun tak berani mendudukkan diri akhirnya menyerah. ‘Blugh!’ Arya menelungkupkan diri, lalu membalik tubuhnya hingga menabrak kepala Dirga dengan posisi kedua kaki mungilnya di atas kepala sang Ayah. “Hmmmphh! Mmmbab bab aaaaahhh!” gumam Arya, mu