Dirga menganga mendengar omelan istrinya. Borne dan Ian - yang juga mendengar omelan Andien - malah tertawa.
"Iye iye gue makan. Gitu aja ngambek!"
Andien menatap Dirga yang melihatnya seraya tersenyum.
"Ngapain senyum-senyum?"
"Ga apa-apa sayang."
Pagi itu, baik Andien maupun Dirga masih sama-sama terlelap. Dirga ikut tidur di bed pasien, memeluk istrinya semalaman. Kebiasaan Andien yang terbangun dini hari dan melabuhkan kecupan singkat pada suaminya pun masih sama. Entah sangkin lelahnya, atau karena baru semalam mereka merasakan tidur yang begitu tenang, mereka bahkan tidak menyadari seseorang pria masuk dan tersenyum melihat keduanya. Pria itu menepuk-nepuk kaki Dirga. Dirga membuka netranya perlahan. Menatap orang yang mengganggunya, lalu duduk dan tersenyum. Alex melangkah ke sisi Dirga, memeluknya erat.
Siangnya mereka meminta agar pemeriksaan dilakukan di poli saja. Mengingat dokter baru bisa melakukan visit pasien selepas senja dikarena harus menyelesaikan praktek dan melakukan tindakan Sectio Caesarea yang sudah dijadwalkan sore itu. Andien yang khawatir ada sesuatu yang salah akibat komanya, sementara Dirga yang berharap Andien hamil sekaligus khawatir jika istrinya harus menjalani kehamilan dalam kondisi lemah seperti itu – tentu saja membuat mereka habis kesabaran jika harus menunggu pemeriksaan lebih lama lagi.
Dirga baru saja merebahkan Andien kembali di bed pasien di dalam kamar ranap ketika ponselnya bergetar beberapa kali. Ia membuka satu pesan di aplikasi pesan singkat di ponselnya. Manik matanya membelalak membaca pesan yang sangat tidak menyenangkan itu. Dirga menjauhkan dirinya dari Andien, keluar ruangan meninggalkan Andien dengan perawat yang sedang mengatur infus Andien kembali. Dirga membuka kontak di ponselnya, mendial nomor Irgi. "Ya, Ga?"
'Bugh!' 'Bugh!' 'BUGH!' 'BRAK!' April
Dirga menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ternyata benar kata Ian, perempuan dan hormon kehamilannya." lanjutnya lagi. "Iiih!" Dirga tertawa, mematikan aliran infus dan memindahkan botol cairan itu ke pangkuan Andien. Ia lalu membuka pintu kamar mandi, mendekati Andien lagi, dan menggendongnya di depan tubuhnya. "Udah jangan ngambek. Aku gemas lia
Dirga masuk kembali ke dalam mobilnya seraya mendengus keras. Andien yang menunggu sang suami di dalam kendaraan itu mengerutkan kening, heran melihat gurat kesal di wajah Dirga. “Kenapa sayang?” “Entah kenapa aku malu beli pengaman begini di sini.” Andien malah terkekeh. “Kalau di London ga malu?”
“Udah boleh pulang Ar. Lagian bosan kali di Rumah Sakit terus.” kali ini Andien menjawab pertanyaan Arga. “Beneran udah ga kenapa-kenapa?” “Ngapain lo khawatirin bini gue?” “Astaghfirullah... Kei, boleh aku bogem ga suamimu?” “Jangan! Nanti kamu yang bonyok! Dia sensei karate, ban hitam.” “Buset! Yakuza?” “Setan lo!” maki Dirga. Arga justru tertawa geli. “Tenang Ga, gue udah ikhlas. Dan ga minat gue sama bini orang! Udah ngerasain sendiri soalnya bini gue diambil orang!” Dirga terdiam. Begitupun Andien. Arga menyuap lagi mie-nya, sementara Dirga dan Andien justru menatapnya lekat. “Kok pada bengong? Makan dong.” “Lo ga apa-apa?” tanya Dirga. “Sekarang perhatian banget.” kekeh Arga. “Ga apa-apa. Santai.” “Emang kamu ga tau Kei?&rd
Sudah satu bulan sejak Andien dan Dirga kembali ke kediaman Pranata tetapi trauma Andien masih tak banyak perubahan. Tak kian memburuk, tetapi tak bisa jua dikatakan membaik. Sementara di London sana, Max sudah berkali-kali bertanya pada Dirga kapan ia bisa menengok kantor mereka di Inggris Raya itu, berhubung klien-klien utama yang selama ini berurusan dengan Dirga sudah banyak yang menanyakan keberadaannya. Malam itu, usai makan malam bersama, Dirga mengumpulkan istri, anak-anaknya dan keluarga besarnya di ruang keluarga, hendak menyampaikan dan mencari mufakat untuk menyelesaikan beberapa permasalahan. “Yang pertama, Papa mau tanya sama El dan Ann