Beranda / Romansa / TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN / 1.Pulihan yang tak terduga

Share

TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN
TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN
Penulis: Umi adibah

1.Pulihan yang tak terduga

Penulis: Umi adibah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 23:43:16

Langit senja mulai merona keemasan, menciptakan lukisan alam yang menenangkan. Hilya Salsabila berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah sawah yang membentang di depan mata. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung jilbabnya, membawa aroma padi yang mulai menguning. Namun, damainya sore itu tidak sejalan dengan hatinya yang resah.

“Hilya, sini sebentar, Nak,” suara lembut Umi terdengar dari dalam rumah.

Hilya menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Di ruang tengah, Abi dan Umi sudah duduk di sofa, wajah mereka serius namun tetap hangat.

“Ada apa, Umi?” tanyanya hati-hati.

Abi yang menjawab, “Nak, ada sesuatu yang ingin Abi dan Umi bicarakan denganmu. Ini soal masa depanmu.”

Kata-kata itu membuat jantung Hilya berdebar. Ia mendekat dan duduk di hadapan kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

“Abi dan Umi sudah menemukan seorang pemuda yang baik untukmu. Kami ingin kamu menjalani Ta’aruf dengannya,” ujar Abi dengan suara tenang namun penuh ketegasan.

Seakan bumi berhenti berputar, Hilya terdiam. Ta’aruf? Ia bahkan tidak pernah membayangkan akan menikah dalam waktu dekat, apalagi dengan seseorang yang tidak ia kenal.

“Tunggu, Abi, Umi… ini mendadak sekali. Kenapa tiba-tiba Ta’aruf? Bukankah Hilya masih kuliah?” Hilya mencoba merangkai kata-kata, meski suaranya bergetar.

Umi menggenggam tangan Hilya dengan lembut. “Nak, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Pemuda ini adalah anak dari teman lama Abi. Dia memiliki akhlak yang baik, pendidikannya bagus, dan keluarganya juga terhormat. Umi yakin, ini keputusan yang tepat.”

“Tapi… Umi, Hilya bahkan tidak tahu siapa dia. Bagaimana jika kami tidak cocok?” Hilya mencoba mengungkapkan kegelisahannya.

Abi tersenyum tipis, “Itulah gunanya Ta’aruf, Nak. Untuk mengenal dan mencari kecocokan tanpa melanggar syariat. Kami tidak akan memaksamu jika memang tidak ada kecocokan, tapi setidaknya beri kesempatan untuk mencoba.”

Hilya terdiam. Kata-kata Abi dan Umi terasa seperti pintu yang hanya terbuka setengah, cukup untuk memberikan sedikit cahaya namun belum cukup untuk meyakinkannya melangkah.

Malam itu, Hilya mengurung diri di kamarnya. Ia menatap layar ponselnya, jari-jarinya sibuk menggulir obrolan grup dengan teman-temannya, namun pikirannya melayang entah ke mana. Sesekali ia membayangkan bagaimana rupa pemuda yang disebut Abi dan Umi. Apakah ia orang yang menyenangkan? Atau justru sebaliknya?

Ia meraih Al-Qur’an di meja samping tempat tidurnya. Dengan hati yang gelisah, ia membuka lembarannya, berharap menemukan jawaban. Hilya membaca surat Al-Baqarah ayat 216:

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."

Ayat itu menggema di hati Hilya, menimbulkan perasaan campur aduk. Apakah keputusan Abi dan Umi benar-benar takdir yang terbaik untuknya?

Tiga hari berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari di mana Hilya akan bertemu dengan orang tua pria yang dijodohkan untuknya. Hilya duduk di ruang tamu, mengenakan gamis sederhana berwarna biru muda. Tangannya bermain dengan ujung jilbabnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin tidak terkendali.

“Tenang saja, Nak. Keluarga mereka adalah keluarga yang baik,” bisik Umi sambil menepuk pundaknya sebelum beranjak menuju dapur.

Pintu depan terbuka perlahan, dan Abi masuk bersama seorang pria paruh baya. Hilya menundukkan pandangannya, hanya melihat bayangan sepatu dan ujung celana kain yang rapi.

“Hilya, ini Pak Malik ayah nak Arfan,” suara Abi memperkenalkan.

Hilya perlahan mengangkat pandangannya. Di hadapannya berdiri seorang pria paruh baya dengan wajah teduh, namun bukan dengan kesan lembut yang biasa, melainkan dengan aura yang bijaksana, seolah mengerti keraguan dalam diri Hilya. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan peci hitam, menampilkan sosok yang matang dengan kesan tegas namun ramah.

“Assalamualaikum Nak Hilya,” suara Pak Malik terdengar jelas dan tenang, namun ada ketegasan dalam setiap ucapannya.

“Waalaikumussalam, Pak,” jawab Hilya hampir berbisik.

Percakapan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Pak Malik menjelaskan pekerjaan anaknya sebagai seorang pengajar di lembaga pendidikan Islam yang baru saja berkembang, dan menceritakan dengan sederhana tentang keluarganya yang tinggal di desa sebelah. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar tulus, tetapi Hilya bisa merasakan adanya lapisan kedalaman dalam perkataannya—ada sesuatu yang belum ia ungkapkan sepenuhnya. Pria ini sepertinya sangat memahami keadaannya, namun dalam cara yang lebih halus dan penuh kebijaksanaan.

Namun, meski kesan pertama orang tua Arfan cukup baik, hati Hilya masih dipenuhi kebimbangan. Di era seperti ini, semua terasa serba cepat dan tak pasti. Apakah benar ini jalannya? Atau ada sesuatu yang belum ia pahami?

Ketika Pak Malik pulang, Hilya duduk termenung di ruang tamu. Abi dan Umi memandangnya penuh harap.

“Bagaimana perasaanmu, Nak?” tanya Umi hati-hati.

“Pak Malik… beliau sangat baik, Umi. Tapi Hilya butuh waktu untuk mencerna semuanya,” jawab Hilya jujur, masih merasakan keraguan yang mengganjal.

“Tidak apa-apa, Nak. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Kami hanya ingin kamu bahagia,” Abi menepuk pundaknya lembut.

Namun, di balik senyuman Abi dan Umi, tersimpan sesuatu yang belum mereka ungkapkan. Sebuah alasan yang membuat mereka begitu ingin mempercepat perjodohan ini. Alasan yang kelak akan mengubah hidup Hilya selamanya.

Bab terkait

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   2. Langkah mengguncang

    Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hilya terbangun dengan pikiran yang masih kabur, antara kebingungan dan kegelisahan. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, ia mengenakan pakaian kampus—kemeja lengan panjang dan jeans biru—siap untuk menjalani hari yang penuh teka-teki. Sebelum berangkat, ia mampir sebentar ke ruang makan untuk sarapan bersama Umi. “Gimana, Nak? Pagi ini semoga hati kamu lebih tenang,” kata Umi sambil menyodorkan segelas teh hangat ke meja. Hilya mengangguk pelan, meskipun hatinya tetap gelisah. Setelah sarapan, ia langsung berangkat ke kampus. Di kampus, suasana terasa ramai seperti biasa. Hilya menyapa beberapa teman di lorong, lalu melangkah menuju ruang kuliah. Setelah duduk di bangkunya, ia melihat Anisa, Hana, dan Sherli sedang berbincang di pojok ruang kuliah. Hilya tersenyum dan bergabung dengan mereka. “Eh, Hilya! Kok lo kelihatan serius banget pagi ini? Ada apa?” tanya Anisa sambil melirik Hilya. Hilya menghela napas dan mulai membuka pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   3. Ragu karena buku

    Setelah kuliah pagi selesai, Hilya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia tidak mencari materi kuliah—tidak seperti biasanya—tetapi justru ia mencari sesuatu yang lebih penting: jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang hatinya. Tentang ta’aruf. Tentang keputusan yang sudah dibuat orang tuanya, tentang perasaan yang ia rasakan tetapi tidak bisa ia jelaskan.Hilya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong perpustakaan yang sunyi, mencari buku yang bisa memberinya pandangan baru. Entah mengapa, ia merasa tertekan dengan keputusan untuk menjalani ta’aruf yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia cerna sepenuhnya. Langkahnya terhenti di rak buku yang memuat berbagai judul tentang pernikahan, hubungan, dan ta’aruf. Matanya melirik beberapa buku yang berjudul "Ta’aruf: Jalan Menuju Pernikahan Sejati" dan "Cinta dalam Ta’aruf: Membangun Hubungan dengan Niat yang Tepat". Tetapi, ada satu buku di sudut rak yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   4. Pesan ambigu

    Hilya memandang layar ponselnya dengan ragu. Pesan singkat itu terasa begitu misterius, membuatnya semakin terperangkap dalam kebingungannya. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Mengapa hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan lebih lanjut? Hilya merasa seperti ada sebuah teka-teki yang harus ia selesaikan, namun ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukan jawabannya.Setengah hati, Hilya memutuskan untuk pergi tidur, berharap pagi membawa jawaban atas semua keraguan yang ia rasakan. Namun, malam itu seakan semakin terasa panjang, penuh dengan bayang-bayang yang mengganggu pikirannya.Pagi datang dengan cepat, dan Hilya merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan dan ketakutan. Tetapi, ia tahu bahwa hidup tidak bisa terus menerus berjalan dengan kebimbangan. Ia harus mengambil keputusan, meskipun itu sulit.Pagi itu, Hilya memutuskan untuk tetap pergi ke kampus seperti biasa. Ia mencoba untuk tampak normal, meski hatinya masih dipenuhi kec

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   5. Ilham

    Hilya duduk termenung di depan ponselnya. Perasaan kacau dan bingung terus menggerogoti pikirannya, terutama setelah pesan yang terakhir itu. Pesan yang menyebutkan nama si pengirim, nama itu Ilham.Nama itu tiba-tiba muncul dalam pesan. Ia mengenal Ilham sebagai teman kuliah yang cukup dekat, seseorang yang selalu mendukungnya dalam setiap kesempatan. Tapi Hilya juga tahu bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar teman. Ilham selalu bersikap sopan, tidak pernah menunjukkan perasaan lebih dari itu. Atau setidaknya, begitu yang ia kira. Namun, setelah membaca pesan tersebut, Hilya merasa ada sesuatu yang tak biasa. Seperti ada perasaan yang mendalam yang terpendam dalam diri Ilham, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Mungkinkah Ilham selama ini menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan? Dengan hati yang berdebar, Hilya memutuskan untuk menanggapi pesan itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata Ilham. Apakah pesan itu berhubungan den

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   6. Mencari Jejak Arfan

    Hilya duduk di depan laptop di kamar tidurnya, lampu meja yang redup menerangi ruang kecil itu. Hatinya masih penuh keraguan setelah percakapan dengan Ilham tadi. Kata-kata Ilham terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin terjepit dalam kebingungan. Apa benar perjodohan yang sudah dijalani keluarganya adalah jalan yang benar untuknya? Atau apakah itu justru sebuah kesalahan yang akan ia sesali?Malam itu, Hilya memutuskan untuk mencari lebih dalam mengenai Arfan, calon suaminya yang dijodohkan. Ia memulai pencariannya dengan membuka aplikasi media sosial. Hilya mengetik nama “Arfan” di kolom pencarian Instagram, berharap menemukan akun yang bisa memberinya sedikit gambaran tentang siapa Arfan sebenarnya. Namun, setelah beberapa detik, ia terkejut. Banyak sekali akun yang menggunakan nama Arfan. Semua dengan foto profil yang berbeda-beda, dan tak satupun yang bisa memberinya jawaban pasti. Hilya membuka satu per satu akun tersebut, mencoba menemukan jejak yang bisa membantunya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16

Bab terbaru

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   6. Mencari Jejak Arfan

    Hilya duduk di depan laptop di kamar tidurnya, lampu meja yang redup menerangi ruang kecil itu. Hatinya masih penuh keraguan setelah percakapan dengan Ilham tadi. Kata-kata Ilham terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin terjepit dalam kebingungan. Apa benar perjodohan yang sudah dijalani keluarganya adalah jalan yang benar untuknya? Atau apakah itu justru sebuah kesalahan yang akan ia sesali?Malam itu, Hilya memutuskan untuk mencari lebih dalam mengenai Arfan, calon suaminya yang dijodohkan. Ia memulai pencariannya dengan membuka aplikasi media sosial. Hilya mengetik nama “Arfan” di kolom pencarian Instagram, berharap menemukan akun yang bisa memberinya sedikit gambaran tentang siapa Arfan sebenarnya. Namun, setelah beberapa detik, ia terkejut. Banyak sekali akun yang menggunakan nama Arfan. Semua dengan foto profil yang berbeda-beda, dan tak satupun yang bisa memberinya jawaban pasti. Hilya membuka satu per satu akun tersebut, mencoba menemukan jejak yang bisa membantunya

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   5. Ilham

    Hilya duduk termenung di depan ponselnya. Perasaan kacau dan bingung terus menggerogoti pikirannya, terutama setelah pesan yang terakhir itu. Pesan yang menyebutkan nama si pengirim, nama itu Ilham.Nama itu tiba-tiba muncul dalam pesan. Ia mengenal Ilham sebagai teman kuliah yang cukup dekat, seseorang yang selalu mendukungnya dalam setiap kesempatan. Tapi Hilya juga tahu bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar teman. Ilham selalu bersikap sopan, tidak pernah menunjukkan perasaan lebih dari itu. Atau setidaknya, begitu yang ia kira. Namun, setelah membaca pesan tersebut, Hilya merasa ada sesuatu yang tak biasa. Seperti ada perasaan yang mendalam yang terpendam dalam diri Ilham, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Mungkinkah Ilham selama ini menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan? Dengan hati yang berdebar, Hilya memutuskan untuk menanggapi pesan itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata Ilham. Apakah pesan itu berhubungan den

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   4. Pesan ambigu

    Hilya memandang layar ponselnya dengan ragu. Pesan singkat itu terasa begitu misterius, membuatnya semakin terperangkap dalam kebingungannya. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Mengapa hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan lebih lanjut? Hilya merasa seperti ada sebuah teka-teki yang harus ia selesaikan, namun ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukan jawabannya.Setengah hati, Hilya memutuskan untuk pergi tidur, berharap pagi membawa jawaban atas semua keraguan yang ia rasakan. Namun, malam itu seakan semakin terasa panjang, penuh dengan bayang-bayang yang mengganggu pikirannya.Pagi datang dengan cepat, dan Hilya merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan dan ketakutan. Tetapi, ia tahu bahwa hidup tidak bisa terus menerus berjalan dengan kebimbangan. Ia harus mengambil keputusan, meskipun itu sulit.Pagi itu, Hilya memutuskan untuk tetap pergi ke kampus seperti biasa. Ia mencoba untuk tampak normal, meski hatinya masih dipenuhi kec

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   3. Ragu karena buku

    Setelah kuliah pagi selesai, Hilya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia tidak mencari materi kuliah—tidak seperti biasanya—tetapi justru ia mencari sesuatu yang lebih penting: jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang hatinya. Tentang ta’aruf. Tentang keputusan yang sudah dibuat orang tuanya, tentang perasaan yang ia rasakan tetapi tidak bisa ia jelaskan.Hilya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong perpustakaan yang sunyi, mencari buku yang bisa memberinya pandangan baru. Entah mengapa, ia merasa tertekan dengan keputusan untuk menjalani ta’aruf yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia cerna sepenuhnya. Langkahnya terhenti di rak buku yang memuat berbagai judul tentang pernikahan, hubungan, dan ta’aruf. Matanya melirik beberapa buku yang berjudul "Ta’aruf: Jalan Menuju Pernikahan Sejati" dan "Cinta dalam Ta’aruf: Membangun Hubungan dengan Niat yang Tepat". Tetapi, ada satu buku di sudut rak yang

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   2. Langkah mengguncang

    Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hilya terbangun dengan pikiran yang masih kabur, antara kebingungan dan kegelisahan. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, ia mengenakan pakaian kampus—kemeja lengan panjang dan jeans biru—siap untuk menjalani hari yang penuh teka-teki. Sebelum berangkat, ia mampir sebentar ke ruang makan untuk sarapan bersama Umi. “Gimana, Nak? Pagi ini semoga hati kamu lebih tenang,” kata Umi sambil menyodorkan segelas teh hangat ke meja. Hilya mengangguk pelan, meskipun hatinya tetap gelisah. Setelah sarapan, ia langsung berangkat ke kampus. Di kampus, suasana terasa ramai seperti biasa. Hilya menyapa beberapa teman di lorong, lalu melangkah menuju ruang kuliah. Setelah duduk di bangkunya, ia melihat Anisa, Hana, dan Sherli sedang berbincang di pojok ruang kuliah. Hilya tersenyum dan bergabung dengan mereka. “Eh, Hilya! Kok lo kelihatan serius banget pagi ini? Ada apa?” tanya Anisa sambil melirik Hilya. Hilya menghela napas dan mulai membuka pe

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   1.Pulihan yang tak terduga

    Langit senja mulai merona keemasan, menciptakan lukisan alam yang menenangkan. Hilya Salsabila berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah sawah yang membentang di depan mata. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung jilbabnya, membawa aroma padi yang mulai menguning. Namun, damainya sore itu tidak sejalan dengan hatinya yang resah.“Hilya, sini sebentar, Nak,” suara lembut Umi terdengar dari dalam rumah.Hilya menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Di ruang tengah, Abi dan Umi sudah duduk di sofa, wajah mereka serius namun tetap hangat.“Ada apa, Umi?” tanyanya hati-hati.Abi yang menjawab, “Nak, ada sesuatu yang ingin Abi dan Umi bicarakan denganmu. Ini soal masa depanmu.”Kata-kata itu membuat jantung Hilya berdebar. Ia mendekat dan duduk di hadapan kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.“Abi dan Umi sudah menemukan seorang pemuda yang baik untukmu. Kami ingin kamu menjalani Ta’aruf dengannya,” ujar Abi dengan suara tenang namun penuh ketegasan.Seakan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status