4. Pesan ambigu

Hilya memandang layar ponselnya dengan ragu. Pesan singkat itu terasa begitu misterius, membuatnya semakin terperangkap dalam kebingungannya. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Mengapa hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan lebih lanjut? Hilya merasa seperti ada sebuah teka-teki yang harus ia selesaikan, namun ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukan jawabannya.

Setengah hati, Hilya memutuskan untuk pergi tidur, berharap pagi membawa jawaban atas semua keraguan yang ia rasakan. Namun, malam itu seakan semakin terasa panjang, penuh dengan bayang-bayang yang mengganggu pikirannya.

Pagi datang dengan cepat, dan Hilya merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan dan ketakutan. Tetapi, ia tahu bahwa hidup tidak bisa terus menerus berjalan dengan kebimbangan. Ia harus mengambil keputusan, meskipun itu sulit.

Pagi itu, Hilya memutuskan untuk tetap pergi ke kampus seperti biasa. Ia mencoba untuk tampak normal, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Di kampus, ia berusaha untuk fokus pada pelajaran, namun bayangan pesan itu tetap menghantui pikirannya.

Teman-temannya, Anisa, Hana, dan Sherli, sudah menunggu di kantin. Mereka berbicara dengan ceria, tetapi Hilya merasa terasing. Sepertinya, ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang terjadi dalam hidupnya, sesuatu yang mereka tidak tahu dan tidak bisa mengerti.

Saat teman-temannya bertanya, Hilya hanya menjawab seadanya, berusaha tidak membebani mereka dengan kebingungannya. Namun, di dalam hati, ia merasa semakin terperangkap. Pertanyaan yang sama terus berputar-putar di benaknya: Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa yang benar-benar akan membuatnya bahagia?

Ketika waktu masuk kelas datang, Hilya mengikuti teman-temannya dengan langkah pelan, merasa seolah-olah ia sedang berjalan di atas tali yang rapuh. Setiap langkah terasa begitu berat. Begitu banyak hal yang harus ia pertimbangkan, begitu banyak perasaan yang harus ia jernihkan.

Selama kuliah, Hilya tidak bisa fokus. Mata kuliah yang seharusnya menyenangkan itu pun terasa semakin jauh dari jangkauan pikirannya. Pikirannya melayang, mencerna segala hal yang baru saja ia pelajari di perpustakaan tentang ta’aruf, tentang dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Apakah ia sudah benar dengan keputusannya untuk menjalani proses ini? Apakah ini yang benar-benar ia inginkan, atau apakah ini hanya sekadar keinginan orang tuanya?

Hilya terperangah ketika tiba-tiba dosennya menegur.

“Hilya, bisa dengar saya?” suara dosen itu menggema di ruang kelas yang hening.

Semua mata langsung tertuju padanya, membuat Hilya terkejut dan merona malu. Ia tercekat sejenak sebelum menjawab dengan sedikit gugup, “Iya, Pak.”

Dosen itu tersenyum tipis, namun ada nada serius dalam suaranya. “Coba fokus, ya, Hilya. Jangan biarkan pikiran lain mengganggu kuliahmu.”

Hilya merasa matanya semakin berat, dan ia menunduk. Tiba-tiba, tanpa sengaja, ia menggumamkan sebuah nama. “Arfan…”

Seketika, seluruh kelas terdiam. Teman-teman di sekitarnya saling berpandangan, dan akhirnya, Hana yang duduk di sampingnya tidak bisa menahan tawa. “Aduh, lo ngomong apa, Hil? Baru juga ngomongin ta’aruf, udah kepikiran terus.”

Teman-temannya yang lain ikut tertawa, termasuk Sherli yang langsung mencandainya. “Wah, kayaknya lo udah baper berat deh, Hilya. Jangan sampai mikirin si Arfan itu terus, nanti malah makin bingung!”

Hilya menunduk, merasa semakin cemas. Ia mencoba mengendalikan perasaan, tetapi rasanya semakin sulit untuk menepis bayangan wajah Arfan yang terus muncul di pikirannya. Seperti ada sesuatu yang menarik dirinya untuk mengenal lebih dalam, namun di saat yang sama, ada keraguan yang begitu besar tentang keputusan yang akan ia ambil.

“Kok tiba-tiba ngomongin ta’aruf sih, Hil? Kan lo nggak biasa kayak gitu,” kata Anisa, yang tampaknya sedikit bingung dengan perubahan Hilya.

Hilya hanya bisa tersenyum canggung. “Iya, aku lagi mikirin banyak hal, aja. Tapi, nggak apa-apa, kok.”

Namun, meskipun ia berusaha untuk tenang, Hilya merasakan hatinya semakin berat. Apakah ia benar-benar siap menghadapi semua ini? Apakah ia bisa menjalani hidup dengan keputusan yang sudah dibuat oleh orang tuanya? Dan lebih penting lagi, apakah ia akan bisa membuka hati untuk seseorang yang bahkan belum ia kenal sepenuhnya?

Setelah kuliah, Hilya kembali ke rumahnya. Ia duduk di tempat tidur, membuka ponselnya, dan melihat pesan yang masih belum dibalas. “Ada yang harus kita bicarakan,” kalimat itu semakin menghantuinya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang besar yang akan terjadi, sesuatu yang akan mengubah arah hidupnya.

Dengan gemetar, Hilya memutuskan untuk membalas pesan itu. “Tentang apa?”

Namun, tak ada balasan yang datang. Detik demi detik berlalu, dan Hilya semakin cemas. Siapa yang mengirim pesan itu? Apa yang mereka ingin bicarakan? Apakah itu terkait dengan keputusan tentang ta’aruf yang semakin membuatnya bingung?

Saat Hilya hendak meletakkan ponselnya, tiba-tiba pesan masuk kembali. Kali ini, dari nomor yang tak dikenal.

"Aku harus bicara denganmu, tentang keputusan besar dalam hidupmu. Jangan lari."

Hilya membacanya dengan perasaan campur aduk. Siapa ini? Apa yang dimaksud dengan 'keputusan besar'? Hilya merasa seperti ada yang sedang mengamatinya, mencoba mengarahkannya ke dalam keputusan yang besar dan mungkin tidak bisa ia ubah.

Tapi, di tengah kebingungannya, ada satu hal yang lebih membuat jantungnya berdegup kencang: apakah pesan ini ada kaitannya dengan Arfan?