Share

5. Ilham

Penulis: Umi adibah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 00:24:12

Hilya duduk termenung di depan ponselnya. Perasaan kacau dan bingung terus menggerogoti pikirannya, terutama setelah pesan yang terakhir itu. Pesan yang menyebutkan nama si pengirim, nama itu Ilham.

Nama itu tiba-tiba muncul dalam pesan. Ia mengenal Ilham sebagai teman kuliah yang cukup dekat, seseorang yang selalu mendukungnya dalam setiap kesempatan. Tapi Hilya juga tahu bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar teman. Ilham selalu bersikap sopan, tidak pernah menunjukkan perasaan lebih dari itu. Atau setidaknya, begitu yang ia kira.

Namun, setelah membaca pesan tersebut, Hilya merasa ada sesuatu yang tak biasa. Seperti ada perasaan yang mendalam yang terpendam dalam diri Ilham, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Mungkinkah Ilham selama ini menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan?

Dengan hati yang berdebar, Hilya memutuskan untuk menanggapi pesan itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata Ilham. Apakah pesan itu berhubungan dengan apa yang sedang terjadi dalam hidupnya? Apakah ini ada kaitannya dengan ta’aruf yang sedang ia jalani?

Akhirnya, setelah beberapa jam menimbang-nimbang, Hilya mengirimkan balasan. “Oke, aku akan bertemu denganmu. Di mana?”

Tak lama kemudian, Ilham membalas dengan tempat dan waktu yang ditentukan. Hilya merasa sedikit cemas, namun rasa ingin tahu lebih besar daripada keraguannya. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Ilham.

[Cafe, Tempat biasa.] balas Ilham beberapa saat kemudian

**

Saat hari yang dijanjikan tiba, Hilya berdiri di depan kafe kecil yang sudah ditentukan. Udara sore yang sejuk terasa menambah ketegangan dalam dirinya. Hilya menatap sekitar, mencoba menemukan Ilham di antara kerumunan orang.

Tak lama, seorang pemuda dengan senyum sedikit kikuk datang menghampirinya. Ilham. Hilya mengenal wajahnya dengan baik, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Mata Ilham tampak lebih serius daripada biasanya. Ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan di raut wajahnya.

"Hilya," Ilham menyapa dengan suara yang sedikit gemetar. "Terima kasih udah mau datang."

Hilya menatapnya dengan curiga. “Jadi, kamu yang mengirim pesan itu?”

Ilham mengangguk. “Iya, itu aku. Aku nggak bisa diam aja, Hilya. Aku harus bilang sesuatu yang penting.”

Hilya merasa marah, kecewa, dan bingung semua dalam satu waktu. “Kenapa kamu harus mengirim pesan kayak gitu? Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Aku nggak suka dirahasiakan kayak gini, Ilham!”

Ilham terlihat cemas, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Aku tahu kamu pasti bingung, Hilya. Aku cuma nggak mau kamu menyesal. Kamu nggak tahu siapa itu Arfan, kan? Calon suamimu yang dijodohkan sama keluarga kamu.”

Hilya terdiam, perasaan tidak nyaman mulai menjalar. “Apa maksud kamu?”

Ilham menghela napas panjang, seperti berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku nggak kenal Arfan, tapi aku tahu kalau dia bukan orang yang tepat buat kamu. Aku tahu dia bakal bikin kamu kecewa, dan aku nggak mau itu terjadi.”

Hilya terkejut mendengar pernyataan Ilham yang tiba-tiba. “Kamu nggak kenal Arfan, jadi kenapa kamu bisa bilang kayak gitu?”

Ilham mengangkat bahu dengan gelisah. “Aku nggak tahu banyak tentang dia, tapi aku bisa lihat dari cara orang-orang memperlakukannya. Mereka bilang dia orang baik, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang nggak beres. Kamu nggak akan pernah tahu siapa dia sebenarnya kalau nggak benar-benar kenal, Hilya.”

Hilya merasa bingung. Apa yang sedang dikatakan Ilham? Apakah dia benar-benar peduli padanya, ataukah ada sesuatu yang lebih pribadi di balik kata-katanya? “Ilham, kenapa kamu nggak langsung bicara dari awal? Kenapa harus kayak gini?”

Ilham menunduk, matanya tampak penuh kesedihan. “Karena aku nggak bisa ngeliat kamu salah pilih. Aku nggak bisa liat kamu menikah sama orang yang nggak bisa bikin kamu bahagia.”

Hilya merasa jantungnya berdebar kencang. Ada rasa marah, ada juga rasa ingin tahu yang makin besar. Ilham benar-benar berani mengungkapkan perasaannya seperti itu, meskipun tahu betapa rumitnya situasinya. Tetapi, apakah ini benar-benar tentang Arfan, atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam lagi?

“Maksud kamu, aku harus membenci Arfan?” Hilya bertanya, masih mencoba mencerna kata-kata Ilham.

Ilham menatap Hilya dengan intens. “Aku nggak bilang kamu harus benci, Hilya. Tapi, kamu harus waspada. Jangan sampai kamu terjebak dalam perasaan yang nggak kamu pahami. Aku cuma nggak mau kamu salah pilih, karena aku tahu kamu lebih pantas dari itu.”

Hilya terdiam, otaknya berputar cepat. Ia merasa bingung, marah, dan cemas, semua campur aduk menjadi satu. Ia tidak tahu harus merasa apa. Apakah Ilham benar? Apakah Arfan benar-benar orang yang tepat untuknya, atau apakah dia hanya ingin Hilya memilihnya, tanpa alasan yang jelas?

“Jadi, kamu cuma mau bikin aku ragu sama Arfan?” tanya Hilya, suaranya sedikit meninggi. “Kenapa nggak bilang dari awal kalau kamu punya perasaan sama aku?”

Ilham terdiam sejenak, matanya penuh penyesalan. “Aku… aku nggak bisa bilang begitu, Hilya. Aku nggak mau kamu berpikir aku cuma mikirin perasaan pribadi. Tapi aku cuma nggak bisa diem aja, ngeliat kamu ke arah yang salah.”

Hilya merasa hatinya semakin berat. Ilham memang teman yang baik, bahkan mungkin lebih dari itu. Namun, ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan sendiri, tanpa terpengaruh oleh siapa pun. “Aku harus memikirkannya, Ilham. Ini bukan cuma soal kamu dan aku. Ini tentang hidupku.”

Ilham menatapnya dalam-dalam, wajahnya penuh keinginan untuk meyakinkan Hilya. “Aku nggak bakal maksa, Hilya. Tapi aku cuma pengen kamu bahagia. Itu aja.”

Hilya berdiri dari tempat duduknya, merasa perlu untuk memberi jarak. “Aku butuh waktu. Aku akan berpikir tentang semua ini.”

Ilham mengangguk, meski wajahnya terlihat kecewa. “Aku akan selalu ada buat kamu, Hilya. Tapi aku nggak bisa diam aja.”

Dengan langkah berat, Hilya meninggalkan kafe itu, meninggalkan Ilham yang tampak menatap kepergiannya dengan mata penuh harapan. Tetapi, dalam hatinya, Hilya merasa bingung. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Apakah ia bisa mempercayai Ilham? Dan lebih penting lagi, apakah ia bisa memahami Arfan lebih dalam?

Pertanyaan-pertanyaan itu masih menggantung di benaknya, dan Hilya tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.

Bab terkait

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   6. Mencari Jejak Arfan

    Hilya duduk di depan laptop di kamar tidurnya, lampu meja yang redup menerangi ruang kecil itu. Hatinya masih penuh keraguan setelah percakapan dengan Ilham tadi. Kata-kata Ilham terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin terjepit dalam kebingungan. Apa benar perjodohan yang sudah dijalani keluarganya adalah jalan yang benar untuknya? Atau apakah itu justru sebuah kesalahan yang akan ia sesali?Malam itu, Hilya memutuskan untuk mencari lebih dalam mengenai Arfan, calon suaminya yang dijodohkan. Ia memulai pencariannya dengan membuka aplikasi media sosial. Hilya mengetik nama “Arfan” di kolom pencarian Instagram, berharap menemukan akun yang bisa memberinya sedikit gambaran tentang siapa Arfan sebenarnya. Namun, setelah beberapa detik, ia terkejut. Banyak sekali akun yang menggunakan nama Arfan. Semua dengan foto profil yang berbeda-beda, dan tak satupun yang bisa memberinya jawaban pasti. Hilya membuka satu per satu akun tersebut, mencoba menemukan jejak yang bisa membantunya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   1.Pulihan yang tak terduga

    Langit senja mulai merona keemasan, menciptakan lukisan alam yang menenangkan. Hilya Salsabila berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah sawah yang membentang di depan mata. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung jilbabnya, membawa aroma padi yang mulai menguning. Namun, damainya sore itu tidak sejalan dengan hatinya yang resah.“Hilya, sini sebentar, Nak,” suara lembut Umi terdengar dari dalam rumah.Hilya menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Di ruang tengah, Abi dan Umi sudah duduk di sofa, wajah mereka serius namun tetap hangat.“Ada apa, Umi?” tanyanya hati-hati.Abi yang menjawab, “Nak, ada sesuatu yang ingin Abi dan Umi bicarakan denganmu. Ini soal masa depanmu.”Kata-kata itu membuat jantung Hilya berdebar. Ia mendekat dan duduk di hadapan kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.“Abi dan Umi sudah menemukan seorang pemuda yang baik untukmu. Kami ingin kamu menjalani Ta’aruf dengannya,” ujar Abi dengan suara tenang namun penuh ketegasan.Seakan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   2. Langkah mengguncang

    Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hilya terbangun dengan pikiran yang masih kabur, antara kebingungan dan kegelisahan. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, ia mengenakan pakaian kampus—kemeja lengan panjang dan jeans biru—siap untuk menjalani hari yang penuh teka-teki. Sebelum berangkat, ia mampir sebentar ke ruang makan untuk sarapan bersama Umi. “Gimana, Nak? Pagi ini semoga hati kamu lebih tenang,” kata Umi sambil menyodorkan segelas teh hangat ke meja. Hilya mengangguk pelan, meskipun hatinya tetap gelisah. Setelah sarapan, ia langsung berangkat ke kampus. Di kampus, suasana terasa ramai seperti biasa. Hilya menyapa beberapa teman di lorong, lalu melangkah menuju ruang kuliah. Setelah duduk di bangkunya, ia melihat Anisa, Hana, dan Sherli sedang berbincang di pojok ruang kuliah. Hilya tersenyum dan bergabung dengan mereka. “Eh, Hilya! Kok lo kelihatan serius banget pagi ini? Ada apa?” tanya Anisa sambil melirik Hilya. Hilya menghela napas dan mulai membuka pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   3. Ragu karena buku

    Setelah kuliah pagi selesai, Hilya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia tidak mencari materi kuliah—tidak seperti biasanya—tetapi justru ia mencari sesuatu yang lebih penting: jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang hatinya. Tentang ta’aruf. Tentang keputusan yang sudah dibuat orang tuanya, tentang perasaan yang ia rasakan tetapi tidak bisa ia jelaskan.Hilya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong perpustakaan yang sunyi, mencari buku yang bisa memberinya pandangan baru. Entah mengapa, ia merasa tertekan dengan keputusan untuk menjalani ta’aruf yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia cerna sepenuhnya. Langkahnya terhenti di rak buku yang memuat berbagai judul tentang pernikahan, hubungan, dan ta’aruf. Matanya melirik beberapa buku yang berjudul "Ta’aruf: Jalan Menuju Pernikahan Sejati" dan "Cinta dalam Ta’aruf: Membangun Hubungan dengan Niat yang Tepat". Tetapi, ada satu buku di sudut rak yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   4. Pesan ambigu

    Hilya memandang layar ponselnya dengan ragu. Pesan singkat itu terasa begitu misterius, membuatnya semakin terperangkap dalam kebingungannya. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Mengapa hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan lebih lanjut? Hilya merasa seperti ada sebuah teka-teki yang harus ia selesaikan, namun ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukan jawabannya.Setengah hati, Hilya memutuskan untuk pergi tidur, berharap pagi membawa jawaban atas semua keraguan yang ia rasakan. Namun, malam itu seakan semakin terasa panjang, penuh dengan bayang-bayang yang mengganggu pikirannya.Pagi datang dengan cepat, dan Hilya merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan dan ketakutan. Tetapi, ia tahu bahwa hidup tidak bisa terus menerus berjalan dengan kebimbangan. Ia harus mengambil keputusan, meskipun itu sulit.Pagi itu, Hilya memutuskan untuk tetap pergi ke kampus seperti biasa. Ia mencoba untuk tampak normal, meski hatinya masih dipenuhi kec

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16

Bab terbaru

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   6. Mencari Jejak Arfan

    Hilya duduk di depan laptop di kamar tidurnya, lampu meja yang redup menerangi ruang kecil itu. Hatinya masih penuh keraguan setelah percakapan dengan Ilham tadi. Kata-kata Ilham terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin terjepit dalam kebingungan. Apa benar perjodohan yang sudah dijalani keluarganya adalah jalan yang benar untuknya? Atau apakah itu justru sebuah kesalahan yang akan ia sesali?Malam itu, Hilya memutuskan untuk mencari lebih dalam mengenai Arfan, calon suaminya yang dijodohkan. Ia memulai pencariannya dengan membuka aplikasi media sosial. Hilya mengetik nama “Arfan” di kolom pencarian Instagram, berharap menemukan akun yang bisa memberinya sedikit gambaran tentang siapa Arfan sebenarnya. Namun, setelah beberapa detik, ia terkejut. Banyak sekali akun yang menggunakan nama Arfan. Semua dengan foto profil yang berbeda-beda, dan tak satupun yang bisa memberinya jawaban pasti. Hilya membuka satu per satu akun tersebut, mencoba menemukan jejak yang bisa membantunya

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   5. Ilham

    Hilya duduk termenung di depan ponselnya. Perasaan kacau dan bingung terus menggerogoti pikirannya, terutama setelah pesan yang terakhir itu. Pesan yang menyebutkan nama si pengirim, nama itu Ilham.Nama itu tiba-tiba muncul dalam pesan. Ia mengenal Ilham sebagai teman kuliah yang cukup dekat, seseorang yang selalu mendukungnya dalam setiap kesempatan. Tapi Hilya juga tahu bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar teman. Ilham selalu bersikap sopan, tidak pernah menunjukkan perasaan lebih dari itu. Atau setidaknya, begitu yang ia kira. Namun, setelah membaca pesan tersebut, Hilya merasa ada sesuatu yang tak biasa. Seperti ada perasaan yang mendalam yang terpendam dalam diri Ilham, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Mungkinkah Ilham selama ini menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan? Dengan hati yang berdebar, Hilya memutuskan untuk menanggapi pesan itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata Ilham. Apakah pesan itu berhubungan den

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   4. Pesan ambigu

    Hilya memandang layar ponselnya dengan ragu. Pesan singkat itu terasa begitu misterius, membuatnya semakin terperangkap dalam kebingungannya. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Mengapa hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan lebih lanjut? Hilya merasa seperti ada sebuah teka-teki yang harus ia selesaikan, namun ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukan jawabannya.Setengah hati, Hilya memutuskan untuk pergi tidur, berharap pagi membawa jawaban atas semua keraguan yang ia rasakan. Namun, malam itu seakan semakin terasa panjang, penuh dengan bayang-bayang yang mengganggu pikirannya.Pagi datang dengan cepat, dan Hilya merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan dan ketakutan. Tetapi, ia tahu bahwa hidup tidak bisa terus menerus berjalan dengan kebimbangan. Ia harus mengambil keputusan, meskipun itu sulit.Pagi itu, Hilya memutuskan untuk tetap pergi ke kampus seperti biasa. Ia mencoba untuk tampak normal, meski hatinya masih dipenuhi kec

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   3. Ragu karena buku

    Setelah kuliah pagi selesai, Hilya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia tidak mencari materi kuliah—tidak seperti biasanya—tetapi justru ia mencari sesuatu yang lebih penting: jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang hatinya. Tentang ta’aruf. Tentang keputusan yang sudah dibuat orang tuanya, tentang perasaan yang ia rasakan tetapi tidak bisa ia jelaskan.Hilya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong perpustakaan yang sunyi, mencari buku yang bisa memberinya pandangan baru. Entah mengapa, ia merasa tertekan dengan keputusan untuk menjalani ta’aruf yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia cerna sepenuhnya. Langkahnya terhenti di rak buku yang memuat berbagai judul tentang pernikahan, hubungan, dan ta’aruf. Matanya melirik beberapa buku yang berjudul "Ta’aruf: Jalan Menuju Pernikahan Sejati" dan "Cinta dalam Ta’aruf: Membangun Hubungan dengan Niat yang Tepat". Tetapi, ada satu buku di sudut rak yang

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   2. Langkah mengguncang

    Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hilya terbangun dengan pikiran yang masih kabur, antara kebingungan dan kegelisahan. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, ia mengenakan pakaian kampus—kemeja lengan panjang dan jeans biru—siap untuk menjalani hari yang penuh teka-teki. Sebelum berangkat, ia mampir sebentar ke ruang makan untuk sarapan bersama Umi. “Gimana, Nak? Pagi ini semoga hati kamu lebih tenang,” kata Umi sambil menyodorkan segelas teh hangat ke meja. Hilya mengangguk pelan, meskipun hatinya tetap gelisah. Setelah sarapan, ia langsung berangkat ke kampus. Di kampus, suasana terasa ramai seperti biasa. Hilya menyapa beberapa teman di lorong, lalu melangkah menuju ruang kuliah. Setelah duduk di bangkunya, ia melihat Anisa, Hana, dan Sherli sedang berbincang di pojok ruang kuliah. Hilya tersenyum dan bergabung dengan mereka. “Eh, Hilya! Kok lo kelihatan serius banget pagi ini? Ada apa?” tanya Anisa sambil melirik Hilya. Hilya menghela napas dan mulai membuka pe

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   1.Pulihan yang tak terduga

    Langit senja mulai merona keemasan, menciptakan lukisan alam yang menenangkan. Hilya Salsabila berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah sawah yang membentang di depan mata. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung jilbabnya, membawa aroma padi yang mulai menguning. Namun, damainya sore itu tidak sejalan dengan hatinya yang resah.“Hilya, sini sebentar, Nak,” suara lembut Umi terdengar dari dalam rumah.Hilya menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Di ruang tengah, Abi dan Umi sudah duduk di sofa, wajah mereka serius namun tetap hangat.“Ada apa, Umi?” tanyanya hati-hati.Abi yang menjawab, “Nak, ada sesuatu yang ingin Abi dan Umi bicarakan denganmu. Ini soal masa depanmu.”Kata-kata itu membuat jantung Hilya berdebar. Ia mendekat dan duduk di hadapan kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.“Abi dan Umi sudah menemukan seorang pemuda yang baik untukmu. Kami ingin kamu menjalani Ta’aruf dengannya,” ujar Abi dengan suara tenang namun penuh ketegasan.Seakan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status