Beranda / Romansa / TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN / 2. Langkah mengguncang

Share

2. Langkah mengguncang

Penulis: Umi adibah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 23:55:57

Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hilya terbangun dengan pikiran yang masih kabur, antara kebingungan dan kegelisahan. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, ia mengenakan pakaian kampus—kemeja lengan panjang dan jeans biru—siap untuk menjalani hari yang penuh teka-teki. Sebelum berangkat, ia mampir sebentar ke ruang makan untuk sarapan bersama Umi.

“Gimana, Nak? Pagi ini semoga hati kamu lebih tenang,” kata Umi sambil menyodorkan segelas teh hangat ke meja.

Hilya mengangguk pelan, meskipun hatinya tetap gelisah. Setelah sarapan, ia langsung berangkat ke kampus.

Di kampus, suasana terasa ramai seperti biasa. Hilya menyapa beberapa teman di lorong, lalu melangkah menuju ruang kuliah. Setelah duduk di bangkunya, ia melihat Anisa, Hana, dan Sherli sedang berbincang di pojok ruang kuliah. Hilya tersenyum dan bergabung dengan mereka.

“Eh, Hilya! Kok lo kelihatan serius banget pagi ini? Ada apa?” tanya Anisa sambil melirik Hilya.

Hilya menghela napas dan mulai membuka percakapan. “Gue lagi mikirin sesuatu. Abi sama Umi ngajarin gue buat Ta’aruf sama seseorang.”

Anisa, Hana, dan Sherli langsung berhenti bercanda, menatap Hilya dengan ekspresi terkejut. Hana yang duduk di sebelah Hilya langsung menimpali. “Lo serius, Hil? Ta’aruf? Ini jaman modern, masa lo mau ikutin cara tradisional kayak gitu sih? Kan udah banyak cara lain buat kenal sama orang, nggak mesti lewat jalur kayak gitu.”

Sherli yang biasanya pendiam ikut mengangguk. “Iya, gue juga agak skeptis. Kan banyak yang bilang, Ta’aruf tuh biasanya nggak bertahan lama. Entah kenapa, kayaknya gak cocok aja gitu, nggak ada chemistry-nya.”

Hilya cuma bisa tersenyum miris mendengar tanggapan teman-temannya. “Gue ngerti sih, kalian mikir gitu. Tapi, ini keputusan orang tua gue, dan mereka yakin banget sama pilihan ini. Arfan, orang yang bakal gue Ta’arufin, katanya baik banget. Cuma gue nggak tahu, ya, kenapa gue masih agak bingung.”

Anisa menatap Hilya penuh rasa ingin tahu. “Tapi lo ngerasa nyaman gak sih? Maksud gue, kalau udah ngerasa gak klik, kenapa masih dilanjutin? Jangan sampe lo ikut-ikutan aja karena orang tua lo mau.”

Hilya merenung sejenak, mencoba merangkai kata-kata. “Gue juga nggak tau sih, rasanya aneh aja. Arfan tuh baik, sopan banget, dan katanya keluarganya juga oke. Tapi, gue masih merasa ada sesuatu yang hilang. Gue belum bisa merasakan kecocokan yang gue cari.”

Hana mengangkat alis. “Ya, makanya kalau menurut gue, lo harus cari jalan yang lo nyaman. Ta’aruf sih ta’aruf, tapi kalau gak ada rasa, ya buat apa, kan? Ini kan soal hidup lo, bukan hidup orang tua lo doang.”

Hilya mengangguk, sedikit lega bisa mengungkapkan perasaannya. “Iya, gue paham. Tapi kadang-kadang, perasaan gue kayak bingung antara apa yang gue inginkan dan apa yang orang tua gue mau. Gue jadi ngerasa tertekan.”

Sherli akhirnya berbicara pelan. “Gue rasa, lo harus ngasih waktu untuk diri lo sendiri. Jangan buru-buru ambil keputusan. Kalau emang lo nggak siap, ya bilang aja. Lo harus nyaman dulu sama keputusan lo.”

Hilya mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. “Makasih, Sher. Gue juga mikir kayak gitu. Gue perlu waktu buat mikir, biar gak terjebak dalam keputusan yang buru-buru.”

Anisa tersenyum. “Tapi tetep, lo jangan sampe nyesel, ya. Kalo Arfan beneran cocok, ya mungkin bakal jadi jalan yang baik buat lo. Tapi kalo gak, jangan dipaksain.”

Hilya tersenyum tipis. “Iya, gue paham kok. Gue akan coba buka hati dan ngasih kesempatan, tapi gue juga gak mau terburu-buru. Semuanya harus ada proses.”

Sebelum kelas dimulai, percakapan itu berakhir, tapi kata-kata teman-temannya terus terngiang di kepala Hilya. Mungkin memang benar, ia perlu memberi waktu dan ruang untuk dirinya sendiri. Waktu untuk memahami perasaannya, bukan hanya mengikuti apa yang orang tua inginkan. Tapi, di sisi lain, Hilya juga merasa ada harapan yang harus dipertimbangkan. Apakah ini takdir yang datang lebih cepat dari yang ia duga?

Namun, satu hal yang pasti: Hilya kini semakin yakin bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang bagaimana ia bisa memahami hati, takdir, dan jalan yang akan ditempuh.

**

Di kelas, Hilya duduk di bangkunya dengan pandangan kosong, matanya menerawang keluar jendela yang terbuka. Angin pagi yang masuk membawa kesegaran, tetapi pikirannya jauh dari situasi saat ini. Semua yang ia pikirkan hanya tentang Arfan dan pertemuan mereka beberapa hari lalu. Meskipun Arfan tampak baik, ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Apa yang sebenarnya ia cari dalam pertemuan itu? Apakah benar ia harus menerima pilihan orang tuanya?

Tiba-tiba, suara dosen memecah lamunannya. “Hilya, bisa bantu jawab pertanyaan ini?”

Hilya terkejut. Ia menatap dosen yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Seperti tersentak dari tidur, Hilya segera membuka buku dan melihat pertanyaan yang ditunjukkan dosen, namun pikirannya tetap tidak fokus. Saking bingungnya, tanpa sengaja ia menyebutkan nama yang paling sering ada di benaknya.

“Arfan,” jawab Hilya dengan suara pelan.

Tiga teman di sebelahnya—Anisa, Hana, dan Sherli—langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. Mereka tak bisa menahan tawa, apalagi setelah mendengar nama itu keluar begitu saja.

“Arfan? Lo mikirin cowok itu sampai di kelas gitu, Hil?” tanya Anisa sambil tertawa terbahak-bahak.

Hilya langsung merona, merasa malu. “Astaga, gak sengaja! Gue pikir lagi tentang Ta’aruf, dan tiba-tiba nama dia aja yang keluar.”

Sherli ikut tertawa kecil. “Kok bisa-bisanya lo mikirin Arfan pas lagi di kelas? Itu sih, bukan Ta’aruf, tapi udah kayak nggak bisa move on.”

Hana menambahkan dengan nada bercanda, “Wah, kayaknya Arfan udah sukses jadi pusat perhatian lo ya. Hati-hati, bisa jadi calon suami lo nih, Hil!”

Hilya hanya bisa tertunduk, wajahnya semakin memerah. “Jangan besar-besarin deh, gue cuma bingung. Tadi pagi gue ngobrol sama Umi, dan sekarang pikiran gue jadi kacau.”

Anisa memiringkan kepala, masih tersenyum. “Yaelah, lo beneran ya, Hil? Ta’aruf itu kan bukan hal yang bisa diputusin cuma karena bingung. Kalau lo nggak merasa cocok, ya jangan dipaksain.”

Hilya mengangguk, sedikit lega karena teman-temannya bisa mengerti. “Iya, gue juga mikir gitu. Cuma rasanya, lo ngerti kan, kadang-kadang gue ngerasa tertekan. Semua ini tiba-tiba banget.”

Hana mendekat, menepuk punggung Hilya dengan pelan. “Tenang aja, lo nggak sendirian. Kadang, hidup emang suka ngasih kejutan yang nggak kita siapin. Tapi, apapun yang lo putusin, harus dari hati lo sendiri.”

Sherli setuju. “Jadi, Arfan udah masuk daftar nama calon suami lo, ya? Hahaha.”

Hilya cuma tertawa kecil. “Gak gitu juga. Gue cuma... butuh waktu buat ngerti apa yang bener-bener gue rasain.”

Dosen yang sempat memperhatikan kegaduhan di kelas akhirnya mengalihkan perhatian. “Ayo, kita lanjutkan materi,” katanya dengan suara yang sedikit lebih keras.

Hilya kembali fokus ke pelajaran, meskipun pikirannya masih tertahan di antara rasa bingung dan keraguan. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar tawa dan dukungan dari teman-temannya. Mungkin memang, seperti kata Hana dan Sherli, ia harus memberi waktu untuk dirinya sendiri.

Bab terkait

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   3. Ragu karena buku

    Setelah kuliah pagi selesai, Hilya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia tidak mencari materi kuliah—tidak seperti biasanya—tetapi justru ia mencari sesuatu yang lebih penting: jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang hatinya. Tentang ta’aruf. Tentang keputusan yang sudah dibuat orang tuanya, tentang perasaan yang ia rasakan tetapi tidak bisa ia jelaskan.Hilya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong perpustakaan yang sunyi, mencari buku yang bisa memberinya pandangan baru. Entah mengapa, ia merasa tertekan dengan keputusan untuk menjalani ta’aruf yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia cerna sepenuhnya. Langkahnya terhenti di rak buku yang memuat berbagai judul tentang pernikahan, hubungan, dan ta’aruf. Matanya melirik beberapa buku yang berjudul "Ta’aruf: Jalan Menuju Pernikahan Sejati" dan "Cinta dalam Ta’aruf: Membangun Hubungan dengan Niat yang Tepat". Tetapi, ada satu buku di sudut rak yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   4. Pesan ambigu

    Hilya memandang layar ponselnya dengan ragu. Pesan singkat itu terasa begitu misterius, membuatnya semakin terperangkap dalam kebingungannya. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Mengapa hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan lebih lanjut? Hilya merasa seperti ada sebuah teka-teki yang harus ia selesaikan, namun ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukan jawabannya.Setengah hati, Hilya memutuskan untuk pergi tidur, berharap pagi membawa jawaban atas semua keraguan yang ia rasakan. Namun, malam itu seakan semakin terasa panjang, penuh dengan bayang-bayang yang mengganggu pikirannya.Pagi datang dengan cepat, dan Hilya merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan dan ketakutan. Tetapi, ia tahu bahwa hidup tidak bisa terus menerus berjalan dengan kebimbangan. Ia harus mengambil keputusan, meskipun itu sulit.Pagi itu, Hilya memutuskan untuk tetap pergi ke kampus seperti biasa. Ia mencoba untuk tampak normal, meski hatinya masih dipenuhi kec

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   5. Ilham

    Hilya duduk termenung di depan ponselnya. Perasaan kacau dan bingung terus menggerogoti pikirannya, terutama setelah pesan yang terakhir itu. Pesan yang menyebutkan nama si pengirim, nama itu Ilham.Nama itu tiba-tiba muncul dalam pesan. Ia mengenal Ilham sebagai teman kuliah yang cukup dekat, seseorang yang selalu mendukungnya dalam setiap kesempatan. Tapi Hilya juga tahu bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar teman. Ilham selalu bersikap sopan, tidak pernah menunjukkan perasaan lebih dari itu. Atau setidaknya, begitu yang ia kira. Namun, setelah membaca pesan tersebut, Hilya merasa ada sesuatu yang tak biasa. Seperti ada perasaan yang mendalam yang terpendam dalam diri Ilham, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Mungkinkah Ilham selama ini menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan? Dengan hati yang berdebar, Hilya memutuskan untuk menanggapi pesan itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata Ilham. Apakah pesan itu berhubungan den

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   6. Mencari Jejak Arfan

    Hilya duduk di depan laptop di kamar tidurnya, lampu meja yang redup menerangi ruang kecil itu. Hatinya masih penuh keraguan setelah percakapan dengan Ilham tadi. Kata-kata Ilham terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin terjepit dalam kebingungan. Apa benar perjodohan yang sudah dijalani keluarganya adalah jalan yang benar untuknya? Atau apakah itu justru sebuah kesalahan yang akan ia sesali?Malam itu, Hilya memutuskan untuk mencari lebih dalam mengenai Arfan, calon suaminya yang dijodohkan. Ia memulai pencariannya dengan membuka aplikasi media sosial. Hilya mengetik nama “Arfan” di kolom pencarian Instagram, berharap menemukan akun yang bisa memberinya sedikit gambaran tentang siapa Arfan sebenarnya. Namun, setelah beberapa detik, ia terkejut. Banyak sekali akun yang menggunakan nama Arfan. Semua dengan foto profil yang berbeda-beda, dan tak satupun yang bisa memberinya jawaban pasti. Hilya membuka satu per satu akun tersebut, mencoba menemukan jejak yang bisa membantunya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   1.Pulihan yang tak terduga

    Langit senja mulai merona keemasan, menciptakan lukisan alam yang menenangkan. Hilya Salsabila berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah sawah yang membentang di depan mata. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung jilbabnya, membawa aroma padi yang mulai menguning. Namun, damainya sore itu tidak sejalan dengan hatinya yang resah.“Hilya, sini sebentar, Nak,” suara lembut Umi terdengar dari dalam rumah.Hilya menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Di ruang tengah, Abi dan Umi sudah duduk di sofa, wajah mereka serius namun tetap hangat.“Ada apa, Umi?” tanyanya hati-hati.Abi yang menjawab, “Nak, ada sesuatu yang ingin Abi dan Umi bicarakan denganmu. Ini soal masa depanmu.”Kata-kata itu membuat jantung Hilya berdebar. Ia mendekat dan duduk di hadapan kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.“Abi dan Umi sudah menemukan seorang pemuda yang baik untukmu. Kami ingin kamu menjalani Ta’aruf dengannya,” ujar Abi dengan suara tenang namun penuh ketegasan.Seakan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15

Bab terbaru

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   6. Mencari Jejak Arfan

    Hilya duduk di depan laptop di kamar tidurnya, lampu meja yang redup menerangi ruang kecil itu. Hatinya masih penuh keraguan setelah percakapan dengan Ilham tadi. Kata-kata Ilham terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin terjepit dalam kebingungan. Apa benar perjodohan yang sudah dijalani keluarganya adalah jalan yang benar untuknya? Atau apakah itu justru sebuah kesalahan yang akan ia sesali?Malam itu, Hilya memutuskan untuk mencari lebih dalam mengenai Arfan, calon suaminya yang dijodohkan. Ia memulai pencariannya dengan membuka aplikasi media sosial. Hilya mengetik nama “Arfan” di kolom pencarian Instagram, berharap menemukan akun yang bisa memberinya sedikit gambaran tentang siapa Arfan sebenarnya. Namun, setelah beberapa detik, ia terkejut. Banyak sekali akun yang menggunakan nama Arfan. Semua dengan foto profil yang berbeda-beda, dan tak satupun yang bisa memberinya jawaban pasti. Hilya membuka satu per satu akun tersebut, mencoba menemukan jejak yang bisa membantunya

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   5. Ilham

    Hilya duduk termenung di depan ponselnya. Perasaan kacau dan bingung terus menggerogoti pikirannya, terutama setelah pesan yang terakhir itu. Pesan yang menyebutkan nama si pengirim, nama itu Ilham.Nama itu tiba-tiba muncul dalam pesan. Ia mengenal Ilham sebagai teman kuliah yang cukup dekat, seseorang yang selalu mendukungnya dalam setiap kesempatan. Tapi Hilya juga tahu bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar teman. Ilham selalu bersikap sopan, tidak pernah menunjukkan perasaan lebih dari itu. Atau setidaknya, begitu yang ia kira. Namun, setelah membaca pesan tersebut, Hilya merasa ada sesuatu yang tak biasa. Seperti ada perasaan yang mendalam yang terpendam dalam diri Ilham, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Mungkinkah Ilham selama ini menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan? Dengan hati yang berdebar, Hilya memutuskan untuk menanggapi pesan itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata Ilham. Apakah pesan itu berhubungan den

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   4. Pesan ambigu

    Hilya memandang layar ponselnya dengan ragu. Pesan singkat itu terasa begitu misterius, membuatnya semakin terperangkap dalam kebingungannya. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Mengapa hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan lebih lanjut? Hilya merasa seperti ada sebuah teka-teki yang harus ia selesaikan, namun ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukan jawabannya.Setengah hati, Hilya memutuskan untuk pergi tidur, berharap pagi membawa jawaban atas semua keraguan yang ia rasakan. Namun, malam itu seakan semakin terasa panjang, penuh dengan bayang-bayang yang mengganggu pikirannya.Pagi datang dengan cepat, dan Hilya merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan dan ketakutan. Tetapi, ia tahu bahwa hidup tidak bisa terus menerus berjalan dengan kebimbangan. Ia harus mengambil keputusan, meskipun itu sulit.Pagi itu, Hilya memutuskan untuk tetap pergi ke kampus seperti biasa. Ia mencoba untuk tampak normal, meski hatinya masih dipenuhi kec

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   3. Ragu karena buku

    Setelah kuliah pagi selesai, Hilya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia tidak mencari materi kuliah—tidak seperti biasanya—tetapi justru ia mencari sesuatu yang lebih penting: jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang hatinya. Tentang ta’aruf. Tentang keputusan yang sudah dibuat orang tuanya, tentang perasaan yang ia rasakan tetapi tidak bisa ia jelaskan.Hilya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong perpustakaan yang sunyi, mencari buku yang bisa memberinya pandangan baru. Entah mengapa, ia merasa tertekan dengan keputusan untuk menjalani ta’aruf yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia cerna sepenuhnya. Langkahnya terhenti di rak buku yang memuat berbagai judul tentang pernikahan, hubungan, dan ta’aruf. Matanya melirik beberapa buku yang berjudul "Ta’aruf: Jalan Menuju Pernikahan Sejati" dan "Cinta dalam Ta’aruf: Membangun Hubungan dengan Niat yang Tepat". Tetapi, ada satu buku di sudut rak yang

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   2. Langkah mengguncang

    Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hilya terbangun dengan pikiran yang masih kabur, antara kebingungan dan kegelisahan. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, ia mengenakan pakaian kampus—kemeja lengan panjang dan jeans biru—siap untuk menjalani hari yang penuh teka-teki. Sebelum berangkat, ia mampir sebentar ke ruang makan untuk sarapan bersama Umi. “Gimana, Nak? Pagi ini semoga hati kamu lebih tenang,” kata Umi sambil menyodorkan segelas teh hangat ke meja. Hilya mengangguk pelan, meskipun hatinya tetap gelisah. Setelah sarapan, ia langsung berangkat ke kampus. Di kampus, suasana terasa ramai seperti biasa. Hilya menyapa beberapa teman di lorong, lalu melangkah menuju ruang kuliah. Setelah duduk di bangkunya, ia melihat Anisa, Hana, dan Sherli sedang berbincang di pojok ruang kuliah. Hilya tersenyum dan bergabung dengan mereka. “Eh, Hilya! Kok lo kelihatan serius banget pagi ini? Ada apa?” tanya Anisa sambil melirik Hilya. Hilya menghela napas dan mulai membuka pe

  • TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN   1.Pulihan yang tak terduga

    Langit senja mulai merona keemasan, menciptakan lukisan alam yang menenangkan. Hilya Salsabila berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah sawah yang membentang di depan mata. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung jilbabnya, membawa aroma padi yang mulai menguning. Namun, damainya sore itu tidak sejalan dengan hatinya yang resah.“Hilya, sini sebentar, Nak,” suara lembut Umi terdengar dari dalam rumah.Hilya menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Di ruang tengah, Abi dan Umi sudah duduk di sofa, wajah mereka serius namun tetap hangat.“Ada apa, Umi?” tanyanya hati-hati.Abi yang menjawab, “Nak, ada sesuatu yang ingin Abi dan Umi bicarakan denganmu. Ini soal masa depanmu.”Kata-kata itu membuat jantung Hilya berdebar. Ia mendekat dan duduk di hadapan kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.“Abi dan Umi sudah menemukan seorang pemuda yang baik untukmu. Kami ingin kamu menjalani Ta’aruf dengannya,” ujar Abi dengan suara tenang namun penuh ketegasan.Seakan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status