Bab 117:Surat Pemecatan Wanita berusia tiga puluhan yang biasa dipanggil Ibu Dewi ini merasakan sedikit keheranan kala melihat Joyce Angelique, atasan sekaligus bosnya yang tidak seperti biasa. Wajahnya tampak kuyu dan matanya memerah seperti habis bergadang semalaman.Lain dari pada itu, sikap yang ia tampilkan juga sedikit ganjil hari ini. Tidak ada senyuman dan juga sapaan hangat yang selalu ia tebar pada seluruh bawahannya kala memasuki kantor. Sembari menunggu Joyce menandatangani berkas yang baru ia sodorkan tadi, Ibu Dewi terus saja mencoba mencuri pandang pada wajah sang atasan yang tengah menunduk itu. “Ibu Dewi,” panggil Joyce tiba-tiba.“Ya, Bu?”“Tolong buatkan surat pemecatan untuk Joko.”Ibu Dewi terperangah. Dahinya berkerut dan matanya sedikit menyipit. Ia tetap berdiri di depan meja Joyce, menunggu berkas yang masih juga belum d
Bab 118: Comel Beberapa bulan kemudian..Aku duduk di dalam sebuah bus metro berwarna biru, yang akan membawaku ke arah barat kota Bandar Baru. Aku akan pergi untuk mengunjungi Alex, dan telah berencana untuk menginap di rumah kontrakannya. Keterlaluan aku memang, sudah hampir setahun sejak berpisah tinggal dari dirinya, namun inilah kali pertama aku bisa pergi mengunjungi dia. Walaupun Alex bilang aku ini sok sibuk, tapi sungguh aku memang benar-benar sibuk. Bersama diriku ini, aku membawa tas punggung kecil berisi satu setel pakaian dan sebuah ponsel yang rencananya akan aku berikan untuk Alex. Ponsel milik sahabatku itu rusak, dan aku berencana memberikan ponselku ini padanya.Ponsel ini adalah milikku yang dulu pernah rusak akibat dikeroyok oleh Daud dan Robin, orang suruhan Pak Sadeli itu. Tidak kusangka, ponselku ini ternyata masih bisa diperbaiki, dan orang yang berjasa dalam proses perbaikannya adalah Charles, yaitu si setter atau juru umpan di tim voli STMIK.Rupa
Bab 119:Orang Misterius di Dalam Bus Sungguh aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk tidak jauh di sisi kiriku, dan ternyata sedari tadi ia terus memperhatikan aku!Gerak-gerik orang itu seperti sedang menaksir tinggi badanku, atau menakar strata sosialku dari setelan kaus dan celana jins yang aku pakai, atau mungkin juga dari sepatu sport mahal yang aku dapat dari pemberian Ibu Joyce yang lalu.Aku terus saja tidak menyadari keberadaan orang itu, dan tidak memiliki firasat yang macam-macam. Beberapa menit berikutnya, bus metro berhenti di sebuah halte untuk menurunkan penumpang, termasuk satu orang yang tadi duduk persis di sebelahku.Mendapati bangku di sebelahku yang kosong, seseorang yang mis
Bab 120: Bertandang Akhirnya, aku sampai juga di jalan Taman Karya. Turun dari bus metro aku kemudian meneruskan perjalananku dengan memesan ojek online. Seorang driver ojek dengan nama Hekal Pratama mem-pick-up aku dari persimpangan, dan membawaku tepat ke sebuah gang yang lumayan lebar, di mana rumah kontrakan Alex dan sekaligus Tante Resmi sang pemilik kontrakan berada. “Terima kasih ya, Bang,” kataku pada sang driver ojek, sembari melungsurkan uang untuk pembayaran. Aku putuskan untuk meneruskan perjalananku sedikit lagi dengan berjalan kaki saja. Hitung-hitung sekalian nostalgia, pikirku. “Eh, Mas, ini kembaliannya!” tahan si driver ojek di belakangku. “Ambil saja, Bang,” sahutku. “Hah? Serius ini?” tanya driver, sampai merasa perlu untuk menahan tanganku. “Iya, tidak apa-apa, ambil saja.” “Waduh, banyak ini lho! Terima kasih banyak ya, Mas?” Aku tersenyum, dan mengangguk. Hanya lima ribu perak uang kem
Bab 121:Kebohongan Yang Berantai Obrolan khas anak muda antara aku dan Resti tentu saja menjadi sedikit terhalang. Apalagi kemudian, Tante Resmi menanyakan sesuatu yang membuatku segera terpaku.“Ngomong-ngomong, orang tua kamu di mana, Joko? Ayah, Ibu, masih ada?”Aku terkesiap. Mendadak sekujur tubuhku menegang di atas sofa yang aku duduki ini. Sementara telingaku sendiri terasa bergerak naik karena tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari Tante Resmi. Aku menyamarkan sikap gugupku dengan tetap menundukkan kepala dan sedikit mengulas senyum.Seumpama peluru yang melintas di depan keningku, secepat itulah bayangan yang teramat pahit dari kehidupanku melintas di dalam benakku. Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian tragis yang aku alami pasca mendapat fitnah dari Bu Suratih. Akibat fitnah itu ibuku sendi
Bab 122:Antara Haram, Harum dan Harim “Bagaimana malam Minggu kamu?” tanyaku pada Alex.“Seru, Boy! Seru sekali,” jawabnya sambil mengambil duduk, lalu menarik sebatang rokok dan menyulutnya.Alex belum memasukkan motornya ke dalam, masih membiarkannya terparkir di teras, supaya ruang tamu rumahnya yang sempit ini tidak bertambah sempit. Aku lalu bangkit dari posisi berbaringku di karpet dan mengecilkan volume televisi.“Apanya yang seru?” tanyaku lagi penasaran.“Ya, malam mingguannyalah, apa lagi?”“Iya, maksudku, serunya itu bagaimana?”“Aku.., aku..,&rd
Bab 123:Bang Udin “Hahaha..! Mas Jokoo.., Mas Joko! Seandainya kamu ada di sini dan melihat langsung kejadian di kafe dekat stadion ini, kamu pasti tertawa, Mas. Aku saja yang melihat itu lewat remang-remang lampu sampai tak sanggup menahan geli! Untung saja aku bisa menahan suara tawaku, dan Mas Tentara pun langsung membelesakkan kepalaku ke dalam lingkar dadanya, untuk antisipasi kalau ada suara tawa yang sampai keluar dari mulutku. Khawatir juga kami kalau ada yang malu atau tersinggung.”“Jadi ceritanya, tadi tuh aku diajak oleh Mas Tentara untuk hang out. Kami jalan-jalan menikmati malam akhir pekan di kota Bandar Baru ini. Seperti biasa Mas Tentara menjemput aku dengan motor gedenya. Bosan wira-wiri sambil ngobrol di jalan raya, Mas Tentara lalu mengajak aku nongkrong di sebuah kafe yang letaknya di dekat stadion.”
Bab 124:Foto di Atas Meja Minggu pagi, masih di rumah Alex. Aku dan sahabat karibku ini berbincang-bincang kembali, melanjutkan obrolan semalam yang terpotong akibat keburu disabotase oleh suara dengkurnya. Ia tertidur di sampingku, di depan televisi, dan aku masih menonton sepakbola liga Eropa sebelum kemudian para pemain bola di televisi itu pamit undur diri, meninggalkan aku yang juga tertidur di samping Alex.Pagi ini, daun jendela sudah aku buka semua. Daun pintu juga, setengah saja, supaya udara pagi bisa masuk dan menyegarkan isi rumah Alex ini.“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu merantau di Bandar Baru ini, Ko?” tanya Alex yang belum cuci muka tapi sudah menyulut rokok. Aku rasa, kebiasaan merokoknya itu semakin hari semakin deras saja.