Bab 119: Orang Misterius di Dalam Bus
Sungguh aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk tidak jauh di sisi kiriku, dan ternyata sedari tadi ia terus memperhatikan aku!
Gerak-gerik orang itu seperti sedang menaksir tinggi badanku, atau menakar strata sosialku dari setelan kaus dan celana jins yang aku pakai, atau mungkin juga dari sepatu sport mahal yang aku dapat dari pemberian Ibu Joyce yang lalu.
Aku terus saja tidak menyadari keberadaan orang itu, dan tidak memiliki firasat yang macam-macam. Beberapa menit berikutnya, bus metro berhenti di sebuah halte untuk menurunkan penumpang, termasuk satu orang yang tadi duduk persis di sebelahku.
Mendapati bangku di sebelahku yang kosong, seseorang yang mis
Bab 120: Bertandang Akhirnya, aku sampai juga di jalan Taman Karya. Turun dari bus metro aku kemudian meneruskan perjalananku dengan memesan ojek online. Seorang driver ojek dengan nama Hekal Pratama mem-pick-up aku dari persimpangan, dan membawaku tepat ke sebuah gang yang lumayan lebar, di mana rumah kontrakan Alex dan sekaligus Tante Resmi sang pemilik kontrakan berada. “Terima kasih ya, Bang,” kataku pada sang driver ojek, sembari melungsurkan uang untuk pembayaran. Aku putuskan untuk meneruskan perjalananku sedikit lagi dengan berjalan kaki saja. Hitung-hitung sekalian nostalgia, pikirku. “Eh, Mas, ini kembaliannya!” tahan si driver ojek di belakangku. “Ambil saja, Bang,” sahutku. “Hah? Serius ini?” tanya driver, sampai merasa perlu untuk menahan tanganku. “Iya, tidak apa-apa, ambil saja.” “Waduh, banyak ini lho! Terima kasih banyak ya, Mas?” Aku tersenyum, dan mengangguk. Hanya lima ribu perak uang kem
Bab 121:Kebohongan Yang Berantai Obrolan khas anak muda antara aku dan Resti tentu saja menjadi sedikit terhalang. Apalagi kemudian, Tante Resmi menanyakan sesuatu yang membuatku segera terpaku.“Ngomong-ngomong, orang tua kamu di mana, Joko? Ayah, Ibu, masih ada?”Aku terkesiap. Mendadak sekujur tubuhku menegang di atas sofa yang aku duduki ini. Sementara telingaku sendiri terasa bergerak naik karena tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari Tante Resmi. Aku menyamarkan sikap gugupku dengan tetap menundukkan kepala dan sedikit mengulas senyum.Seumpama peluru yang melintas di depan keningku, secepat itulah bayangan yang teramat pahit dari kehidupanku melintas di dalam benakku. Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian tragis yang aku alami pasca mendapat fitnah dari Bu Suratih. Akibat fitnah itu ibuku sendi
Bab 122:Antara Haram, Harum dan Harim “Bagaimana malam Minggu kamu?” tanyaku pada Alex.“Seru, Boy! Seru sekali,” jawabnya sambil mengambil duduk, lalu menarik sebatang rokok dan menyulutnya.Alex belum memasukkan motornya ke dalam, masih membiarkannya terparkir di teras, supaya ruang tamu rumahnya yang sempit ini tidak bertambah sempit. Aku lalu bangkit dari posisi berbaringku di karpet dan mengecilkan volume televisi.“Apanya yang seru?” tanyaku lagi penasaran.“Ya, malam mingguannyalah, apa lagi?”“Iya, maksudku, serunya itu bagaimana?”“Aku.., aku..,&rd
Bab 123:Bang Udin “Hahaha..! Mas Jokoo.., Mas Joko! Seandainya kamu ada di sini dan melihat langsung kejadian di kafe dekat stadion ini, kamu pasti tertawa, Mas. Aku saja yang melihat itu lewat remang-remang lampu sampai tak sanggup menahan geli! Untung saja aku bisa menahan suara tawaku, dan Mas Tentara pun langsung membelesakkan kepalaku ke dalam lingkar dadanya, untuk antisipasi kalau ada suara tawa yang sampai keluar dari mulutku. Khawatir juga kami kalau ada yang malu atau tersinggung.”“Jadi ceritanya, tadi tuh aku diajak oleh Mas Tentara untuk hang out. Kami jalan-jalan menikmati malam akhir pekan di kota Bandar Baru ini. Seperti biasa Mas Tentara menjemput aku dengan motor gedenya. Bosan wira-wiri sambil ngobrol di jalan raya, Mas Tentara lalu mengajak aku nongkrong di sebuah kafe yang letaknya di dekat stadion.”
Bab 124:Foto di Atas Meja Minggu pagi, masih di rumah Alex. Aku dan sahabat karibku ini berbincang-bincang kembali, melanjutkan obrolan semalam yang terpotong akibat keburu disabotase oleh suara dengkurnya. Ia tertidur di sampingku, di depan televisi, dan aku masih menonton sepakbola liga Eropa sebelum kemudian para pemain bola di televisi itu pamit undur diri, meninggalkan aku yang juga tertidur di samping Alex.Pagi ini, daun jendela sudah aku buka semua. Daun pintu juga, setengah saja, supaya udara pagi bisa masuk dan menyegarkan isi rumah Alex ini.“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu merantau di Bandar Baru ini, Ko?” tanya Alex yang belum cuci muka tapi sudah menyulut rokok. Aku rasa, kebiasaan merokoknya itu semakin hari semakin deras saja. 
Bab 125:Plan C Foto di atas meja Resti itu telah membuatku benar-benar tersanjung. Itu adalah foto diriku dalam kostum voli, yang meskipun hanya dominan menampakkan wajahku namun aku tahu foto itu diambil ketika aku menjalani laga pertama melawan tim Yonif di Walikota Cup beberapa waktu yang lalu.Aku ingat sekali, karena timing shoot dari foto itu bersamaan dengan foto selfie yang kami lakukan berdua di Gelanggang Remaja, di mana salinan foto selfie itu juga ada di dalam ponselku.Jujur aku katakan, hatiku berbunga-bunga mendapati fotoku ada di atas meja belajar Resti itu. Meskipun, di dalam waktu yang bersamaan masih ada Ningsih, yang bayangannya masih saja melambai-lambai di ufuk mataku dan seakan meminta untuk aku kejar.&
Bab 126: Aku atau Aku “Gawat, Ko! Gawat!” “Gawat?? Apanya yang gawat??” “Kamu ditunggu Menuk,” jawab Gofur. “Ditunggu Menuk? Di mana?” “Di atas.” “Di atas? Maksud kamu di rooftop?” “Iya.” “Nah, terus, apanya yang gawat?” tanyaku lagi. “Masalahnya, Yana juga menunggu kamu di atas.” “Di rooftop juga?” “Iya.” “Nah, terus?” “Mereka berdua meminta aku, untuk menyuruh kamu menemui mereka berdua.” “Sekarang?” “Iya, sekarang.” Aku tercenung sebentar, membuang pandangan ke samping dan mencari dasar logis dari keberadaan Menuk dan Yana di rooftop dimana keduanya sedang menunggu aku sekarang. “Kira-kira, ada urusan apa ya, Fur?” tanyaku. “Apa lagi kalau bukan urusan status?” sahut Gofur. “Status?” Aku sampai menarik wajah. “Iya, status.” “Aku saja tidak punya akun media sosial b
Bab 127:Simalakama “Kamu pilih aku??” tunjuk Yana pada dirinya sendiri.“Atau aku??” sahut Menuk pula sambil menunjuk dirinya sendiri.Aku yang menyaksikan itu.., deg! Langsung bengong seketika. Rasa-rasanya waktu sedang berhenti di sini, dan hanya di rooftop gedung Benua Trada ini saja. Semuanya diam tak ada yang bergerak, angin tak berembus awan tak berarak, bahkan semut yang tadi mau berjalan pun batalkan gerakannya beranjak.Sementara di luar lingkaran rooftop gedung ini semua berjalan normal seperti biasa. Mobil-mobil dan aneka macam kendaraan yang di jalan raya nun di bawah sana berlalu lalang secara normal karena memang tidak ada apa-apa.Aku masih bengong, menatap Yana